19. Langit Galau
Perubahan sikap Langit semakin kentara, setelah kejadian di mana ia menerobos kamarnya Jumat malam. Dalam sekejap, dia berubah menjadi sosok laki-laki yang dingin, seakan-akan enggan untuk memaparkan sebuah ekspresi. Memang hal ini hanya berlaku pada dirinya sendiri, jika berhubungan dengan orang lain dia masih tetap Langit yang dikenalnya. Mungkinkah, dia sudah berhasil melupakan segalanya? Jujur, sampai saat ini Rinjani belum bisa melakukan hal itu. Terlebih melihat sikap Langit yang mendadak berubah begitu saja.
Sudah lebih dari seminggu Rinjani mengamati Langit, tapi sikap dia masih sama sangat dingin, seakan-akan tak berselera menatapnya lagi. Jumat malam, tanggal tiga puluh November dua ribu delapan belas pukul tujuh tiga puluh, langit tanpa bintang dan bulan, hawa terasa menusuk, Rinjani duduk di kursi balkon lengkap dengan sweater abu-abu sembari menggenggam segelas cokelat hangat. Rehat sejenak dari tumpukkan buku, yang diawal Desember akan dihadapi dengan ujian semester.
Rinjani meneguk pelan cokelat hangatnya, sejenak ia terpejam membiarkan angin membelai tengkuknya. Sebelum jarum panjang jam menunjuk angka dua belas, Rinjani akan menghabiskan waktu ini bercengkerama dengan malam bagaimana mengembalikan hubungan yang dulu terjalin hangat kini menyengat pun enggan.
Malam sepi mampu mengantarkan banyak suara dari mana pun, termasuk alunan gitar akustik yang kini menyapa telinga Rinjani. Segera ia membuka mata, dan menoleh menelisik sesuatu yang ia duga sebagai sumber cahaya. Di balkon lain, ia melihat sosok laki-laki terduduk di sana tengah mengulik gitar yang dipangkunya. Langit, sosok yang dulu sangat dekat, kini terasa jauh.
Tanpa hambatan apa pun, Rinjani tak berniat untuk melepaskan pandangan dari Langit. Perubahan sosok Langit membuatnya rindu setengah mati, bagaimana tidak ucapan menyakitkan yang dulu pernah terlontar kepada Langit seakan meledeknya sekarang. Rinjani menyesal melontarkan kalimat tersebut. Andaikan tidak terjadi, mungkin sosok itu ada di sampingnya sekarang.
Hai! Kamu belum tidur?
Alunan gitar itu mendadak lenyap, tergantikan dengan sebuah obrolan. Rinjani bisa melihat dengan jelas, kalau Langit sedang melakukan panggilan video. Toh, suara dia samar-samar sampai ke telinganya.
“Belum,” jawab Rinjani sangat pelan.
Padahal beberapa detik lalu kita vc, tapi aku udah sangat rindu.
Tanpa sadar Rinjani tersenyum memandang Langit di sana. “Gue juga rindu, mau gak lo maafin gue?”
Rinjani meringis mengakhiri semuanya, ia menutup pintu balkon—melupakan segelas cokelat hangat di sana—kemudian melempar tubuhnya ke atas kasur. Ia memejamkan matanya, Rinjani rindu dengan Langit. Biasanya di hari-hari menuju ujian akhir, mereka selalu sibuk membahas banyak materi sambil berdebat yang berujung perang. Tapi sekarang enggak. Mereka seperti sudah dipisahkan oleh semesta.
Tubuh Rinjani berguling sana-sini mencari tempat ternyaman dari singgasananya ini. Ia melihat laptop yang masih menyambung dengan whats app web, beberapa menit lalu Lintang memenuhi layar benda itu. Telah seminggu, Lintang selalu hadir dalam hidupnya, seminggu pula hidupnya berasa ada yang kurang. Langit. Nama itu mengudara di otaknya akhir-akhir ini, seakan-akan ia tidak pernah menghargai Lintang.
Rinjani memejamkan mata, mungkin dengan terlelap segala desas-desus dalam pikirannya lenyap. Jangan memikirkan apalagi bertindak yang membuat kekasihnya nanti merasa tidak nyaman, bukankah ini yang diimpikannya dulu? Sialnya, rasa cinta dengan rindu datang beriringan tapi tak seirama. Semesta membuatnya dilema dalam rasa, yang mana jika keduanya beradu, mungkin saja Rinjani kehilangan salah satunya, atau dua-duanya.
Sabtu pagi yang akan menjelma dalam beberapa jam, Rinjani dan Lintang sudah sepakat untuk menghabiskan waktu dengan bersepeda mengukur jalanan Bandung. Berharap rasa cintanya bertambah kuat, tidak akan goyah. Setidaknya, bisa menumpas sedikit rindu pada sosok Langit yang menggunung ini.
Waktu berdetik, mengantar Rinjani pada mimpi dalam setiap menitnya.
O0O
Tidak dapat dipungkiri jika rasa untuk kembali itu ada, namun Langit enggan memublikasikannya. Kalimat menyakitkan yang keluar dari mulut Rinjani senantiasa masih terngiang-ngiang dalam benaknya. Selain itu, Langit sangat menikmati masa-masa yang dilewatinya dengan Anggita. Ia merasa sangat bahagia, dan menyayangkan waktu-waktu di mana ia selalu menomorduakan Anggita. Tapi, sekarang tidak. Kisah telah utuh, meskipun sesekali Anggita terlihat kikuk ketika melakukan atau memikirkan sesuatu yang masih tertutup rapat untuk diceritakan.
Malam ini, Langit memangku gitar di kursi balkon. Sebuah instrumen halus, menjadi teman selain langit tanpa bulan dan bintang dan sosok yang berada di seberang sana. Langit hanya melihat melalui ekor mata, tapi firasatnya memberitahukan jika cewek itu tengah menatapnya. Namun, tak sedikitpun Langit tertarik untuk balas menatap kalau memang dia tengah menatapnya.
Setelah itu, ponselnya berdering dan Langit tidak perlu susah payah untuk menebak karena sudah dapat dipastikan kalau itu adalah Anggita. Beberapa menit yang lalu, Langit dan Anggita melakukan panggilan video, tapi karena Anggita ada keperluan sebentar panggilan itu berakhir dan sekarang mereka akan melanjutkan.
Gak usah lebay deh. Tadi aku nganter Bang Pandu beli jajanan.
Langit terkekeh. “Padahal kamu sendiri yang maksa buat ikut, Bang Pandu mana ada ajak orang!”
Iya juga hahaha. Oh iya besok malam Mamah ajak kamu buat ikut makan malam, bisa, kan?
Malam yang terasa dingin ini tidak membuat Langit beku, tapi ucapan yang terlontar dari mulut Anggita membuatnya beku, sementara dadanya berdegup luar biasa. Tunggu ... kenapa tiba-tiba mama Anggita mengajaknya makan malam bersama.
“Hah?”
Makan malam bersama gitu. Biasalah sambil ngobrol-ngobrol, acara bulanan keluarga ya makan-makan kita. Nah, Mamah pengen kamu ikut.
“Keinginan mamah atau kamu yang maksa?” goda Langit.
Dih, enggaklah! Emang mamah yang ajak kamu, papah juga setuju!
Langit bangkit dari duduknya, menyandarkan gitar pada dinding kemudian menggenggam pagar balkon yang dingin. Sesekali ia menatap langit, tanpa sengaja ia menurunkan tatapannya pada balkon lain. Langit melihat gelas putih yang ditinggalkan pemiliknya di sana.
Kamu tau sendiri kalau mamah sama papah sangat percaya sama kamu. Mereka menyayangimu, dan aku bangga saat denger itu dari mereka. Kamu itu segalanya, kamu telah mengubah sesuatu yang membuatku takut. Aku bangkit sama kamu.
Senyum Langit mengembang. “Kamu juga segalanya, Gi.”
Anggita tersenyum, lantas menguap yang membuatnya berkaca-kaca. Aku ngantuk, kita udahan ya vcnya. Kamu juga tidur, jangan ngegame, atau nonton film.
“Iya. Selamat bobo, kutu buku korea-ku!”
Selamat bobo juga cacing arab-ku!”
Langit tersenyum, kemudian meraih gitarnya dan mengunci pintu. Seperti apa yang disuruh Anggita barusan, ia harus tidur. Langit merebahkan tubuhnya, melempar ponsel ke sembarang arah. Langit berguling sana-sini dan mata cokelat terangnya terpaku pada sebuah foto yang berada di balik figura di atas sana.
Tangan Langit meraih foto tersebut, ia menelisik lebih dalam cerita yang melatar belakangi foto tersebut. Perempuan berambut sebahu itu Rinjani, dan di sampingnya adalah dirinya sendiri, sementara di belakang ada Ardhan. Langit masih mengingat kisah ini. Kisah Pangeran dan Putri. Lantas, Papah Rinjani menyuruh berpose untuk diabadikan.
Langit menyimpan kembali foto tersebut ke atas nakas, ia kembali berguling menatap jendela sekaligus pintu balkon itu. Langit terlihat hampa, tidak ada bulan atau pun bintang yang menemaninya. Bahkan, awan pun seolah menjauh darinya. Ia mengembuskan napas pendek, teringat tentang kejadian seminggu yang lalu di mana Rinjani membuka pintu damai, lalu kenapa dengannya yang berlagak enggan, Langit tidak peduli dengan kebersamaan itu. Bukannya dulu, ia sangat terluka untuk itu? Dan sekarang setelah diberi kesempatan untuk menuai kisah lagi, ia malah bersikap sebaliknya.
Tekad dalam dada yang membuatnya gengsi untuk mengakui sesuatu yang sejujurnya, berusaha melepas dan merelakan adalah hal yang sedang Langit lakukan. Perlahan terkikis, meskipun hatinya teriris.
Langit mulai terpejam, dan menyelimuti tubuhnya dengan kain tebal; menumpas dingin yang memeluk, sedingin kenangan yang ia bekukan, mengabaikan kehangatan yang mencairkan. Huft! Drama apa yang sedang ia mainkan ini?
Pangeran itu tertidur dengan segala kegundahan di dada, bahkan bunga tidur pun tak sanggup untuk menghiburnya. Bukan terjebak, melainkan merelakan diri untuk terkurung di balik keambiguan rasa yang perlahan membuatnya terluka.
Huft!
O0O
Huhuhu updatenya telat harusnya kemarin😥 tapi tak palah yang penting update hihihi❤❤❤
Gimans bab ini? Semoga suka yaaa❤❤❤
Jangan lupa untuk vote, comment, and share❤
Salam,
Tokohfiksi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top