18. Balikan?


Tersisa tiga puluh menit lagi, film yang Lintang dan Rinjani tonton selesai. Film yang berdurasi hampir dua jam ini, telah mereka lalui dengan berbagai macam reaksi. Terkadang, Rinjani meluk tangan Lintang, atau mengusap wajah Lintang kasar karena greget. Dari sini, Lintang mulai mengetahui sisi lain dari Rinjani.

Kamar kos seluas 4 x 4 meter ini menciptakan banyak kisah yang berbaur dengan kegaduhan film dan komentar sejoli. Lintang benar-benar sangat bahagia melihat Rinjani seperti ini, heboh sendiri. Pantas saja pertemanan Rinjani dengan Langit awet, ternyata ini yang Lintang rasakan ketika bersama sosok Rinjani yang sebenarnya.

Di penghujung film, Rinjani mengeratkan pelukan terhadap bantal yang emang disediakan sebagai penangkal sesuatu yang mengerikan atau menyedihkan. Suara yang dikeluarkan dari film, membuat Rinjani benar-benar fokus, sementara Lintang dari awal tidak pernah fokus terhadap film. Lintang masih terpesona dengan aura Rinjani yang sekarang, entah karena sikapnya atau status baru yang mereka resmikan beberapa jam lalu.

“Anjir, gantung!” Sebuah bantal yang Rinjani peluk berhasil mengenai wajah Lintang, bahkan laki-laki yang berada di sampingnya itu mendapatkan pukulan kekesalan yang bertubi. Hingga satu titik Rinjani mematung, memandang Lintang dengan tegang.

“Ada apa?” Di tengah tawa yang asyik, mendadak Lintang menghentikannya. Dahinya berkerut, dengan salah satu alis terangkat.

Rinjani mengerjap beberapa kali, lalu membuang muka dari Lintang. Rinjani baru sadar jika apa yang ia lakukan selama pemutaran film tidak boleh terjadi. Ia merasa sekarang sedang menonton film dengan Langit, makannya Rinjani seheboh ini bahkan sampai melakukan kekerasan terhadap Lintang, yang memang sering ia lakukan jika lawan mainnya adalah Langit. Astaga ... apakah Lintang mendadak jijik dengan dirinya, setelah melihat apa yang terjadi?

“Hm, maaf, Kak. Aku enggak sengaja,” ucap Rinjani seraya memancarkan senyum kaku bercampur malu di bibirnya.

“Maaf? Untuk apa?” Lintang menjadikan bantal yang dilempar Rinjani bertumpuk dengan bantalnya di atas kakinya yang bersila. Lintang menatap penuh Rinjani dengan kedua tangan menopang wajahnya.

“Untuk semua yang aku lakukan pada Kakak tadi, aku enggak sengaja. Aku pikir tadi....” Kegugupannya berhasil memenjarakan Rinjani, dalam kalimat yang menggantung dalam ucapannya barusan.

“Kamu pikir aku Langit?” tebak Lintang, masih mempertahankan posisinya.

Rinjani terkesiap, sah kah jika dirinya mengiyakan tebakan Lintang? Jangan biarkan kenangan bersama Langit menghancurkan cinta pertamanya ini, jangan pernah. Sungguh tidak lucu, jika sekarang Lintang memutuskannya karena suasana saat bersama Langit masih melekat pada hidupnya. Rinjani benar-benar payah dalam berpacaran, dan kenapa ia tidak pernah mencoba untuk beranjak dari bawah bayang-bayang Langit saat dulu? Menyebalkan!

“E-Enggak, Kak. Aku pikir kamu A Ardhan. Kita ini emang kayak Tom and Jerry kalo nonton film. Maaf, ya, Kak aku beneran enggak sengaja.” Rinjani berusaha meminta maaf kepada Lintang, tapi dia malah tertawa kecil kemudian mengelus pipinya sebentar.

“Kamu itu lucu Rin. Pas pertama aku ngajak kamu ke Jajaka, kamu pemberani bahkan janjiin aku buku paket jika aku nyulik kamu. Setelah itu aku deketin kamu lagi, hingga tadi di minimarket sebelum kita resmi pacaran kamu itu baik banget. Dan sekarang, kamu mengejutkanku dengan sosok Rinjani yang lain. Aku enggak salah berharap sama kamu, Rin. Aku beneran jatuh cinta sama kamu!”

Tatapan Rinjani terhadap Lintang melembut, bibirnya tiada henti mengulum senyum. Terkadang kedua pipinya mengembung, atau bibirnya manyun, saking bahagianya mendengarkan jawaban Lintang.

“Jadilah sosok Rinjani yang apa adanya, jangan menahan apa yang sudah menjadi karakter kamu. Karena itu adalah yang spesial dalam diri kamu,” lanjut Lintang.

Rinjani mengangguk. “Kakak juga, jadilah diri Kakak sendiri.”

“Masing-masing harus jadi diri sendiri, supaya kita bisa saling mengenali satu sama lain.” Lintang mengangkat jari kelingkingnya di depan Rinjani.

Tanpa berpikir panjang, Rinjani menyambut kelingking tersebut dan tersenyum. “Aku sayang sama Kakak.”

Lintang mengangguk. “Aku juga sayang sama kamu.”

Rinjani terpejam, dadanya membusung menahan napas. Hatinya bereaksi, kala sebuah kecupan tulus mendarat di jari kelingking yang bertaut. Beginikah rasanya jatuh cinta dengan seseorang?

“Aku anter kamu pulang. Aku gak mau buat Mamah khawatir lagi. Besok aku jemput kamu latihan jam setengah empat, ya, Rin?” Lintang membenahi bantal dan laptopnya. Sedangkan, Rinjani memungut sampah bekas camilan, dan menyapunya.

Rinjani mengangguk. “Bang Beni ke mana?”

“Bang Ben jarang di kosan, dia itu kerjanya main terus sama komunitasnya,” terang Lintang, menghadap Rinjani.

“Enggak kerja atau kuliah?”

Lintang mengangkat bahu. “Entahlah, tapi buktinya dia punya uang buat makan atau nongkrong. Kita saudara tapi kita berbeda, Rin.”

Lintang merangkul Rinjani untuk keluar dari kamar kos, langit sudah berganti malam sejak beberapa menit yang lalu. Lintang akan mengantar Rinjani pulang setelah itu percakapan mereka akan disambung melalui panggilan video.

Namun, Rinjani meminta untuk hari ini agar tidak melakukan panggilan video karena hendak beristirahat, meskipun pada kenyataannya ketika Lintang sudah hilang dilahap malam Rinjani menepi ke rumah Langit. Tentunya, Rinjani sudah minta izin kepada Rini, sungguh mengejutkan ketika sosok yang menjadi mamah itu mengangguk dengan antusias.

“Eh, Rinjani? Setelah sekian lama enggak main ke sini, tiba-tiba nongol. Mau ke Langit?” sambut Lia yang di tangannya terdapat remote televisi.

“Iya, Tante. Langitnya ada?” Rinjani menampakkan senyum yang ada malu-malunya.

“Ada. Tuh, di kamar.”

Saking malunya, Rinjani mendadak minta izin kepada Lia untuk ke kamar Langit padahal sebelumnya, ia tidak perlu izin segala. Entah itu untuk makan, minum, nonton televisi, termasuk mengunjungi Langit. Hal ini tentu mengundang rasa heran dari Lia, yang pada akhirnya keduanya terkekeh.

“Udah gih ke kamar. Tante, lagi nonton sinetron kesukaan Tante ini.” Lia kembali ke sofa depan televisi.

Rinjani mengangguk dan berlalu dengan cepat, setiap langkahnya ekspresi Rinjani berubah menjadi sangat tajam memendam segala kegeraman yang sempat mengendap di hatinya. Rinjani menghela napas begitu tiba di depan pintu kamar Langit. Terdengar sunyi. Apakah dia sudah tidur? Mustahil sekali seorang Langit tidur lebih awal dari pada biasanya.

Tangan Rinjani sudah memegang hendel pintu, perlahan ia menganggukkan hendel tersebut karena takut mengganggu jika memang Langit sudah tertidur. Rinjani mendorong pintu tersebut. Lampu utama kamar ini dipadamkan, tetapi dari dinding Rinjani menangkap bayangan laki-laki yang terlukis karena sebuah cahaya yang disorotkan kepadanya.

Rinjani menambah kecepatan membuka pintu ini, dan tersentak ketika sosok laki-laki tanpa baju, dengan headphone terpasang di kepalanya, menghadap sebuah laptop yang menampakkan sebuah film tepat adegan ... astaga! Cepat-cepat Rinjani menghampiri Langit dan mengejutkannya dengan menjambak rambutnya sejenak.

“Nah, ketahuan lo nonton apa?!” Rinjani langsung menembakkan suara penuh emosi kepada Langit yang tergopoh dan langsung menutup laptopnya cepat.

Masih sangat kaget, Langit mengerjap berkali-kali sembari menurunkan headphone di kepalanya. Ia menatap Rinjani pucat, sebelum tatapannya teralihkan dengan sebuah pintu yang terbuka. Sial! Ia lupa mengunci pintu. Mungkin ini bisa dibilang keberuntungan karena Rinjani yang muncul, beda adegan jika Lia yang muncul.

“Nga-ngapain lo ke sini?” tanya Langit, berdiri menghadap Rinjani yang tenggelam dalam lautan emosi.

“Tadi lo nonton apa?” Rinjani melipatkan tangan di depan dadanya.

“Ya, nonton film. Film romantis barat.” Langit kehilangan banyak kalimat untuk membuat sebuah alasan. Lagi pun enggak ada gunanya menyangkal, toh, Rinjani sudah melihatnya.

“Iiiiiiih!!!” Rinjani meraih wajah Langit dan mengacaknya, hingga menjambak rambutnya dengan geram.

“Apaan, sih, Ni!” Langit melepaskan segala bentuk penyiksaan Rinjani kepadanya.

“Kenapa nilai lo anjlok! Kimia yang gue taksir lo bakal dapat gede, tapi malah sebaliknya. Ada lima pelajaran yang nilainya merah. Kimia, Fisika, Matematika, Bahasa Inggris, dan yang paling memalukan Bahasa Indonesia! Kesel banget gue sama lo!” Rinjani duduk di kasur Langit, lemas.

“Kenapa lo peduli sama gue? Bukannya kemarin lo ngusir gue, dan nyuruh gue buat lupain semuanya? Lagian ini hasil usaha gue, hasil otak gue.” Langit membuang muka dari Rinjani, dan duduk di kursinya lagi sembari menatap kosong terhadap buku bersampul hitam dan cokelat di sana.

Sepercik rasa salah mulai menyembul di hatinya, dadanya berdegup melahirkan rasa sakit yang membuat napasnya tersendat beberapa saat. Rinjani merebahkan tubuhnya di kasur Langit yang acak-acakan ini, tapi membuatnya nyaman bahkan sesekali Rinjani terpejam.

“Ya udah gue tarik ucapan itu! Lo boleh main lagi ke kamar gue, nanti kita belajar bareng lagi,” ucap Rinjani akhirnya.

Langit menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Lo kira tarik tambang. Lagian percuma juga gue main ke kamar lo kalau dijadiin nyamuk.”

“Lo cemburu sama gue? Bukannya lo yang ngasih gue tantangan buat dapetin cowok, dan gue udah dapetin. Gue udah jadian sama Lintang, kita pacaran.” Rinjani bangkit, dan berjalan menuju saklar, menghidupkan lampu utama kamar ini.

“Cinta itu bukan untuk ajang tantangan—“

“Gue tau. Gue tulus sama Lintang, gue cinta sama dia, dan dia cinta sama gue,” potong Rinjani, kembali duduk di kasur Langit.

Dada Langit menggebu mendengar segala penuturan Rinjani, tapi perlahan ia netralkan. Langit memutar tubuhnya menatap Rinjani, beriringan dengan hela napas menenangkan. “Terus tujuan lo ke sini apa?”

“Pertama gue kesel banget sama nilai lo, kedua gue tambah kesel saat lo nonton film dewasa, ketiga gue ngajak lo damai, keempat gue mau laporan sekaligus pamer kalo gue udah jadian sama Lintang.” Rinjani menghampiri Langit seraya melipatkan tangan di depan dadanya.

“Dan gue enggak peduli dengan semua itu. Sekarang lo pulang, diam di kamar lo, entah belajar atau video call dengan Lintangmu itu. Gue mau istirahat!” Langit menyeret Rinjani keluar dari kamarnya.

Begitu Rinjani sudah berada di luar kamar, ia menatap penuh wajah Langit yang datar, tanpa ekspresi. “Lo gak mau damai sama gue?”

Langit membuang muka dari Rinjani, tanpa sepatah kata apa pun Langit langsung menutup pintu kamar dan menguncinya dua kali. Entahlah, sepertinya menjaga jarak dengan Rinjani memang ide yang tepat untuk beberapa hari, atau minggu, bulan, atau tahun. Langit tidak tahu, tapi berkat semua ini hubungannya dengan Anggita semakin terasa nyata dan nyaman.

Rinjani menunduk sejenak, lantas mengusap wajahnya. “Baiklah kalo lo gak mau balikin semuanya, gue gak bakal maksa!”

Rinjani membalikkan tubuh, dengan deru napas yang memburu. Tatapan Rinjani bertegur sapa dengan Lia, yang langsung berdiri menghampirinya ketika langkahnya berhasil menapak lantai dasar.

“Ada, Langitnya?”

Rinjani mengangguk. “Ada, Tante. Aku pulang dulu, ya?”

“Kok cepat banget pulangnya.” Lia memegang dua tangan Rinjani dengan tatapan penuh kepadanya.

“Langit sibuk nonton film dewasa. Aku pulang, Tante, dah!”

Lia terbelalak. Film dewasa? “Iya, hati-hati, Ni!”

Cepat-cepat Lia memangkas tangga dan menggedor pintu kamar Langit dengan keras. “Langit! Langit! Buka pintunya! Pasti kamu lagi nonton film dewasa, kan? Buka pintunya!” Lia menjeda beberapa saat, menempelkan telinganya ke pintu kamar Langit. “Langit! Cepat buka! Astaghfirullah! Cepetan buka!”

Laki-laki yang sudah berselimut itu, mendadak bangkit dan menatap ke arah laptopnya. Segera ia membuka kembali laptopnya, dan menghapus film yang baru saja ditontonnya. Rinjani sialan! Dia memberitahu mamahnya tentang film yang padahal belum selesai ia tonton.

“Langit! Jangan pura-pura enggak denger ya! Mau Mamah pindahin ke pesantren?”

Langit langsung mematikan laptopnya, kemudian meraih selimut untuk membalut tubuhnya. Sebelum membuka pintu, Langit berusaha memasang wajah mengantuk untuk mematahkan tuduhan mamahnya.

“Apa, Mah?” sambut Langit begitu pintu terbuka. “Ganggu aja orang tidur.”

“Gak usah pura-pura, Langit. Mau Mamah kutuk jadi batu kayak Malin Kundang, hah?” Lia langsung menerobos masuk, dan membuka laptop Langit.

Langit merebahkan tubuhnya ke kasur, dan memejam berharap Lia tidak macam-macam dengan laptopnya.

“LANGIT!” teriak Lia membuat Langit bangkit dalam sekejap.

“Apa, Mah? Ini udah malam lho, jangan teriak-teriak pamali,” ujar Langit.

“Jangan nganggap Mamah ini bodoh. Mamah ini sarjana komputer, Lia Nuramalia S.Kom. Ini film apa di berkas sampah?”

ANJIR LUPA AING!!!!

“Sini, kamu!”

Dengan berat hati Langit menghadap Lia, dengan kepala tertunduk. 

“Ini film apa?”

“I-itu filmnya Christian Grey, Mah. Fifthy shades of grey!”

Tanpa sepatah kata apa pun dari mulut Lia, tangannya langsung menjewer telinga Langit. “Ari maneh bedegong-bedegong teuing jadi budak teh!

O0O

Hari Jumat di mana cerita Kutunggu Kau Putuh hapdet!!!

Akankah momen Rinjani dan Langit hadir kembali? Tunggu episode selanjutnya setelah jeda pariwara ini, saya tokohfiksi pamit undur diri, sampai jumpa di Jumat selanjutnya❤😙

And then, jangan lupa baca Jadi Aku Sebentar Saja karya kak VitaSavidapius

“Kalau... kami berdua... sepakat untuk membatalkan perjodohan ini, apakah kalian bisa mengerti?”

Hera memutar tubuh, kembali menatap wajah Miko yang terlihat berantakan.

“Apa ada alasan yang bisa kami terima selain tidak cinta dan tidak cocok?”

Wanita dengan baju rumahan berbahan batik ringan itu meninggalkan Miko yang masih membisu.

Miko mengembuskan napas kasar dan kembali bersandar. Bayangan wajah Mika yang memarahinya di tempat parkir kembali muncul di matanya.

_Ada Mama, dia membenciku._

Waktunya VOTE muehee✌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top