15. Pertemuan Tak Terduga
Tidak pernah menyangka jika semesta akan mempertemukannya dengan luka lama yang dibungkam rahasia. Setelah berusaha membawa jauh rahasia, dan membuang dalam luka itu, kini waktu malah mengejeknya dengan dihadirkannya kepingan dari masa lalu. Mungkin, dalam beberapa detik, atau mungkin jam, hari, minggu, bulan, atau bahkan tahun, rahasia itu akan berkoar mematahkan segalanya.
“Kamu kenapa dari tadi pagi hingga saat ini, masih aja diam. Aku merasa kehilangan sosok yang ngegemesin, manja, ada apa?” Langit menatap lekat wajah Anggita, terhitung dari pagi wajah itu terlihat datar, berekspresi tanpa makna sesungguhnya.
Laksana tirai yang diseret, langit biru kini menyibak semburat jingga dengan perlahan. Tempat parkir yang bisa menampung lebih dari dua ratus motor ini, perlahan lenggang. Tersisa beberapa murid, yang tengah mengobrol atau sepasang manusia yang tengah melakukan adegan romantis, seperti menarik motor membantu kekasihnya, atau memasangkan helm dengan disertai senyum manis dari keduanya.
“Maaf, ya, Lang. Mood-ku sedang enggak baik, semuanya terjadi ketika ujian berlangsung. Ada beberapa soal yang lolos gitu saja, padahal semalam aku udah yakin bakal terisi semua,” balas Anggita, lelah.
Belum genap dua puluh empat jam Anggita merasa sangat dekat dengan Langit, sosok itu tiba-tiba hadir di jam-jam pertama kisah hari ini dimulai. Sialnya, sekarang sosok itu menjelma menjadi kekasih temannya Langit, yang kemungkinan setiap hari ia akan bertemu dengan dia mengantar Rinjani atau mungkin pada saat menjemputnya.
“Sekarang, kan, kita mau nonton bagaimana kalau kita beli dulu camilan?” saran Langit sembari memasangkan helm ke kepala Anggita. “Atau kita ke alun-alun dulu, atau kamu mau beli buku baru?”
Anggita terdiam sejenak, memandang wajah Langit yang menampakkan sebuah harap kalau dirinya menyetujui usul tersebut. Anggita naik ke boncengan, kemudian memeluk tubuh Langit dengan erat.
“Sekarang kamu adalah rajanya, aku siap mengikuti semua keinginanmu,” balas Anggita seraya menempelkan dagunya ke pundak Langit.
Dalam sekejap Langit tersenyum merekah, dan langsung beranjak dari tempat parkir menuju alun-alun. Langit akan mengajak Anggita jalan-jalan di sana seraya menikmati jajanan di sana, atau mungkin mengajaknya belanja berbagai aksesoris. Setelah itu, Langit berniat untuk membawa Anggita ke toko buku untuk memburu buku yang ada potongan harganya.
“Gi, kalo ada masalah bilang ya? Jangan ditutupi, siapa tau aku bisa bantu kamu. Kita selalu terbuka dan saling percaya, kan?” Langit memelankan laju motor, agar Anggita bisa mendengar apa yang diucapkannya.
“Iya, lagipun enggak ada masalah, kok. Aku hanya lelah aja sama ujian tadi,” balas Anggita tenang.
“Besok terakhir, kan? Kelasku tersisa satu pelajaran lagi, dan sepertinya besok nilai ujian bakal keluar,” timpal Langit melemah sembari melirik Anggita.
“Berapa pun hasilnya, aku enggak masalah, kamu tetap yang terbaik bagiku!” Anggita tersenyum, memberi semangat kepada Langit.
Langit tersenyum, seraya meraih tangan Anggita yang melingkar di tubuhnya. Langit mengelusnya pelan. “Makasih!”
Anggita mengangkat bahunya, dengan ditemani senyum, lantas mengecup punggung Langit. “Sama-sama.”
Langit menambah kecepatan motornya, bahkan sesekali melakukan zig-zag di jalanan begitu jalanan lenggang. Langit hanya bisa tertawa ketika Anggita merengek, memintanya agar menghentikan aksi tersebut. Namun, Langit terus melakukan hal itu berulang kali, hingga satu waktu Anggita menggigit punggung Langit.
“Jangan gitu!” Seiring dengan berhentinya aksi itu, Anggita memukul dan mencubit punggung Langit. “Kalo jatuh gimana?”
“Katanya kita udah jatuh, Nggi!” balas Langit mengingat ucapan Anggita pagi tadi.
“Enggak lucu, tau!” ketus Anggita.
“Aku emang enggak lagi ngelucu, Nggi!” Langit sedikit menurunkan kecepatan motornya.
“Ish!” Anggita kembali melayangkan tangannya ke punggung Langit.
“Aw! Sekarang kamu hobinya mukul, nyubit, sama gigit ya, Nggi?” komentar Langit sembari membagi pandang antara jalanan dan wajah Anggita yang cemberut.
“Lagian kamunya nyebelin!” Anggita membuang muka dari Langit.
“Nyebelin apa ngebaperin?” Langit mengulum senyum, membiarkan pipinya mengembang beberapa detik.
“Dasar cacing arab!” Anggita menepuk wajah Langit, kemudian membuang muka menahan getaran di dada yang meluap. Selama menjalin hubungan, baru kali ini Anggita merasa sangat dekat dengan Langit. Sebelumnya, selalu terganggu dengan berbagai alasan yang keluar dari mulut Langit. Terkesan bodoh karena mempertahankannya, tapi pada akhirnya Anggita merasa menang ketika Langit membuktikan ikrar yang sebenarnya sudah dianggap sampah olehnya sendiri.
Setelah melewati banyak bangunan dan menyalip kendaraan, yang sesekali membuat Anggita merengek ketika terjebak kemacetan. Motor yang mereka tumpangi, akhirnya berhenti di antara motor lainnya yang berderet di depan pembatas jalan. Bangunan-bangunan klasik, dengan berbagai stan penjaja dagangan di tepi jalan yang memblokir akses lalu lalang pengunjung, menyita pandangan mereka.
“Kalo jalan-jalan ke sini tuh berasa kek berada di antara bangunan-bangunan Eropa,” komentar Anggita.
“Bedanya di Eropa enggak ada yang jualan cimol kayak di sini,” balas Langit sembari berjalan menuju roda pedagang cimol yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Mang beli dua, pedasnya dikit aja.”
Anggita mendekat dan langsung menggenggam tangan Langit, keduanya memandang pedagang cimol ini yang gesit dalam mengemas. Anggita bersandar pada bahu Langit sejenak, sebelum pedagang tersebut menyodorkan pesanannya.
“Makasih, Mang!” Langit beranjak menyeret tubuh Anggita yang rekat dengan tangannya. Ia memberikan seplastik cimol kepadanya. “Enak, tau!”
“Lang, gak ada niatan buat ke Eropa sama aku?” Anggita menatap Langit seraya memasukkan beberapa bola yang terbuat dari tepung itu ke mulutnya.
“Ngapain ke Eropa, dagang cimol?” celetuk Langit.
“Ish! Becanda mulu, aku serius!” Anggita memutar bola matanya kesal, kenapa pacarnya ini tidak bisa membedakan keadaan serius sama becanda. Anggita bete, dan membuang muka dengan tangan tiada henti memberi asupan cimol ke mulutnya. Ah, pesona Langit kalah jauh sama cimol ini.
“Mau ngapain ke Eropa?” tanya Langit santai.
“Jalan-jalan, main, gitu. Kita rencanain ya?” Mata Anggita kembali berbinar, menatap wajah Langit dengan serius. “Sekarang dua ribu delapan belas, kita kelas sebelas. Berarti kita lulus tahun dua ribu dua puluh. Hm ... dua ribu dua puluh empat kita ke Eropa tepatnya ke Inggris. Gimana?”
“Serius?” Langit menatap penuh wajah Anggita.
Anggita mengangguk mantap. “Aku yakin, kita masih bersama.” Kelingking kanan Anggita terangkat ke hadapan wajah Langit. “Bukan untuk janji, tapi kita menseriuskan rencana ini.”
Langit tersenyum diikuti anggukkan pelan. “Dua ribu dua puluh empat kita ke Inggris!”
Kelingking mereka bersatu, dan keduanya melemparkan senyum seelok langit sore.
O0O
Kepala Rinjani refleks terangkat, ketika Langit melintas di hadapannya. Dia tampak datar, tak menyembulkan ekspresi apa pun. Bahkan Aldi yang berkicau di sampingnya diabaikan begitu saja. Mungkin dia lagi ada masalah dengan Anggita, mengingat perempuan itu hari ini absen tidak check in ke kelas ini. Tunggu ... apa Rinjani memperhatikan mereka? Rinjani hanya terlalu sering melihat mereka beduaan di kelas ini, jadi wajar kalau ia merasa ada yang hilang pada kelas ini.
“Ngelamunin apa sih, Rin?” celetuk Salma yang sudah menggendong tasnya, begitu juga dengan Senja.
“Lupakan kimia, sekarang mari kita pulang aja. Besok hanya satu pelajaran lagi untuk menuntaskan latihan ini, Biologi. Kesukaan lo, Sal!” Senja menghela napas pendek begitu, berhasil membereskan peralatannya.
“Mau taruhan?” tantang Salma dengan nada angkuh.
“Taruhan mulu! Kalo kebelet butuh duit cepetan cari pacar biar ada yang traktirin,” ketus Rinjani.
“Mentang-mentang udah ada cowok bilangnya gini! Mau gue sumpahin udahan?” cerocos Salma seraya mengangkat kepalanya sedikit.
Senja mengembuskan napas, kemudian berjalan menengahi mereka. “Kita pulang yuk! Gue udah lelah, pengen cepat-cepat mandi dan istirahat.”
Salma dan Senja langsung pamit kepada Rinjani begitu angkutan umum yang akan membawa mereka pulang sudah berdiam diri di seberang sana. Rinjani melambai, sebelum duduk di bangku halte seraya memainkan ponselnya. Lintang sudah berangkat untuk menjemputnya sore ini, setelah itu dia akan membawanya menepi di Jajaka.
Sepertinya Rinjani benar-benar harus mengakui kalau aura Langit masih sangat kuat ia rasakan, ketika laki-laki itu melintas membawa Anggita, kepalanya langsung mendongak menatap mereka hingga hilang di telan jalanan. Rinjani menggeleng berkali-kali, berusaha untuk melupakan laki-laki itu meskipun pada dasarnya ia tidak akan pernah bisa melakukan hal itu serapi mungkin.
Melupakan kisah yang telah tertuang sejak lama, dengan kisah yang baru saja Rinjani tulis dengan sosok Lintang? Lelucon yang sangat tidak lucu.
Rinjani bangkit dari duduknya menatap ke ujung jalan, berharap sosok yang ditunggunya sudah memasuki jalanan Pasundan. Namun, sayang sosok itu belum juga menampakkan keberadaannya. Rinjani berjalan mondar-mandiri, dengan pikiran mendadak menggeluti tentang kebersamaan-kebersamaan yang akan ia dan Lintang lewati bersama. Saat ini, dan pada saat musim liburan tiba.
Sebuah motor berpunggung besar dengan bodi hitam mengkilap, berhenti tepat di depan Rinjani. Laki-laki yang menunggangi motor tersebut, membuka kaca helm menampakkan kerutan halus di ujung matanya yang menandakan jika laki-laki bernama lengkap Lintang Adelio ini sedang tersenyum.
“Hai!” sapa Lintang sambil turun dari motornya. Ia melepaskan helmnya, dan menatap Rinjani sejenak sebelum akhirnya memberikan jaket biru yang baru saja dikeluarkan dari tasnya. “Pake, kamu tanggung jawabku sekarang.”
“Hah?”
Lintang berkacak pinggang memandang Rinjani. “Jangan sampai mamah kamu khawatir sama kamu, yang nantinya aku tidak diperbolehkan lagi dekat sama kamu.”
“Terus kamu pake jaket siapa?” Rinjani baru sadar kalau Lintang memakai jaket berwarna putih dengan tanda centang di bagian samping.
“Temen sebangku, tadi aku palakkin dia,” balas Lintang seraya tertawa kecil. “Cepetan pake, kita berangkat sebelum kemalaman. Udah kabarin mamah atau A Ardhan?”
Rinjani mengangguk begitu jaket biru beraroma parfum khas cowok itu membalut tubuhnya. “Udah, kita ke Jajaka, kan?”
“Iya, kita ngopi di sana sambil ngobrol juga seperti biasa setelah itu kita pulang. Besok masih ujian, kan?” Lintang sudah menunggangi kuda besi lengkap dengan helm yang membungkus kepalanya.
“Kalo abis ngopi kita ke toko buku boleh? Aku kehabisan stok buku bacaan.” Rinjani duduk diboncengan Lintang, meskipun sebenarnya buku yang Langit kasih belum ia habiskan.
“Oke. Kebetulan, aku mau beli modul buat ikut test beasiswa nanti,” balas Lintang.
Di penghujung senja, di antara kehangatan tempat kopi bernuansa otomotif ini. Lintang dan Rinjani menghabiskan waktu. Rinjani agak kaget, jika ternyata teman-teman Lintang turut bergabung di bangkunya. Awalnya Rinjani merasa tidak nyaman, bukan karena ocehan mereka yang menggoda bahwa dirinya adalah pacarnya Lintang, melainkan menjadi perempuan di tengah-tengah laki-laki yang terlihat seperti anak-anak komunitas atau geng motor.
“Kamu masuk geng motor, Kak?” tanya Rinjani begitu mereka berlalu dari hadapannya.
“Enggak. Mereka itu sebenarnya temannya abang aku, mereka masuk komunitas bukan geng.” Lintang meloloskan kopi hitam beraroma harum itu ke mulutnya.
“Oh, kirain aja geng motor,” balas Rinjani lega.
“Apa perawakanku kayak anak geng, Rin?” Lintang memandang Rinjani dengan diikuti kekehan pelan.
“Enggak sih. Cuma aku kaget aja sama mereka. Emang abang kamu yang mana Kak?” Rinjani tidak melihat laki-laki yang setidaknya mirip dengan Lintang untuk mengklaim bahwa dia adalah abangnya. Tapi, di antara laki-laki yang berkerumun tadi Rinjani tidak menemukan sosok yang seiras dengan Lintang.
Lintang mengedarkan tatapannya, mencari sosok laki-laki yang selama ini hidup dengannya. “Tunggu, mana ya, dia.”
Rinjani turut mengedarkan tatapannya mencari sosok laki-laki yang mirip dengan Lintang, entah dari hidung mancungnya atau dari matanya yang tajam, atau mungkin dari rahangnya yang tegas. Tapi, Rinjani tidak bertemu dengan sosok dengan ciri-ciri tersebut.
“Oh itu. Bang Ben!” seru Lintang, membuat laki-laki yang duduk di bar menoleh ke arahnya.
Laki-laki bertubuh tinggi, berkulit putih, berambut kecokelatan, dengan segelas kopi di tangannya menghampiri mereka. Bibirnya menampilkan senyum, dan terpaku pada Rinjani beberapa saat sebelum menempati kursi kosong di sana.
“Bang Ben, kenalin ini Rinjani teman satu lesku.” Lintang mengenalkan Rinjani pada laki-laki bernama Beni itu.
“Halo Bang, saya Rinjani temannya Kak Lintang,” ujar Rinjani sopan.
“Saya Beni Kakaknya Lintang. Kalian pulang sekolah langsung ke sini?” Beni menatap penampilan mereka dari atas hingga bawah.
“Bentar lagi pulang kok, Bang!” tukas Lintang.
“Awas lho, anak orang jangan bawa keluyuran. Ya udah, Abang mau ke sana lagi, kasihan jadi ganggu kalian. Senang kenalan denganmu, Rinjani.” Beni meninggalkan bangku mereka meninggalkan tawa kecil dari keduanya.
Rinjani menatap Lintang penuh, menelisik lebih jauh untuk mendapatkan satu titik persamaan antara Beni dan dirinya. “Dia enggak ada mirip-miripnya sama kamu, Kak.”
“Entahlah, tapi kenyataannya dia abang aku.”
Setelah waktu senja telah berakhir, Lintang mengajak Rinjani untuk langsung ke toko buku. Seperti wejangan dari mamahnya Rinjani, Lintang enggak mau membuat beliau khawatir karena Rinjani selalu pulang malam dengannya. Apalagi kondisinya ia dan Rinjani belum lama kenal.
Hanya perlu menghabiskan waktu lima belas menit untuk tiba di sebuah mal, Rinjani dan Lintang langsung beranjak menuju lantai tiga di mana toko buku itu berada. Rinjani berjalan menuju deretan buku fiksi, sementara Lintang menuju rak di mana modul tebal dijajakan.
Rinjani menyisir buku fiksi yang memiliki tema kisah remaja, setiap kali ada kover yang menarik ia langsung meraihnya dan membaca cuplikannya. Entahlah, bagi Rinjani kover buku menjadi penilaian awal sebelum membeli buku itu. Sepenasaran apa pun isi bukunya, jika kovernya enggak kena di hati, Rinjani langsung skip.
Ketika Rinjani berusaha meraih buku remaja bergenre fantasi di hadapannya, suara orang yang tak jauh dari sampingnya membuat kepalanya menoleh yang mengakibatkan buku bekas pengambilannya terjatuh. Sialnya, dua manusia itu menoleh bersamaan, dengan ekspresi yang sama kaget dengannya.
Rinjani segera meraih buku yang jatuh itu, dan kembali terpaku ketika Lintang sudah ada di belakangnya lengkap dengan tatapan mengarah kepada sepasang manusia yang membuat Rinjani gagal fokus.
“Langit? Kalian beli buku juga?” ujar Lintang.
Langit tersenyum kikuk, dan mengangguk. “I-iya.”
Ruangan luas yang dipenuhi rak buku ini mendadak pengap, seakan-akan pendingin yang sebelumnya membuat pengunjung bisa menggigil kedinginan seolah kehilangan kekuatannya. Terutama untuk Anggita, yang berusaha mencari pelabuhan untuk tatapannya yang tak tenang. Kejadian itu kembali membombardir pikiran dan hatinya, kenapa semesta harus mempertemukannya dengan sosok itu?
“Kebetulan, selama ini kita belum pernah ngobrol, kan.” Lintang memandang satu persatu dari mereka yang malah terpaku, terjebak dalam pemikirannya masing-masing. “Bagaimana setelah beli buku kita makan bareng, sambil ngobrol-ngobrol?”
Anggita menggeleng pelan. “Hm ... aku rasa kita enggak bisa. Aku bisa dimarahi kalo pulang kemalaman, lagipun kita udah makan. Mungkin lain kali aja, maaf.” Sekuat perasaan, Anggita berusaha melontarkan kalimat setenang mungkin, sebelum akhirnya menyeret Langit dari hadapan mereka.
“Sebaiknya memang tidak, Kak.” Rinjani menyimpan kembali buku yang jatuh ke tempatnya.
Lintang mengangguk pelan. “Tadinya, agar hubungan kamu sama Langit membaik, Rin. Dan satu lagi, kamu enggak usah panggil aku ‘Kak’, Lintang aja. Berasa tua kalo kamu panggil gitu.”
Rinjani terkekeh pelan, masih kaget atas apa yang baru saja terjadi. Enggak pernah menduga sebelumnya, kalau hal ini akan terjadi. ‘Double date’ secara tak sengaja dalam beberapa detik dengan seseorang yang sedang dihindarinya, cukup membuat dadanya berdebar tak karuan.
“Kan, kamu emang tua, Kak, eh, maksudnya Lintang. Ih, kepanjangan kalo aku panggil Lintang!”
“Ya udah, panggil sayang aja!” Lintang mengulum senyum seraya mengangkat bahu, geli sendiri.
“Ish! Geli!” Rinjani melayangkan buku yang digenggamnya ke tubuh Lintang.
O0O
Updatenya bablas ya bund😢😚
Maaf, ehe😅🙏
Gimahow? Mudah-mudahan lancar sampe akhir, ehe😚
Tetap stey sef en helti yee geis❤️
Sebelum otw jan lupa baca Lovesick Girls karya kak NeissLyn
"Kalo gitu yang ini kami ambil aja," putus Djenar yang kemudian meraih kotaknya, meski kemudian ia harus menelan kekecewaan karena kalah cepat dari Sandra yang buru-buru memeluk benda itu.
"Loh, gak bisa gitu, Kak."
"Kenapa?"
"Ini dijual, jadi harus dibeli."
"Tapi kami yang punya ini."
"Dari mana aku bisa tahu kalo kakak-kakak ini beneran alumni SMA Bina Cendekia?"
"Buktinya kami tahu sama ruang memori."
"Itu belum cukup."
"Udahlah, siapa juga yang mau beli kotak kekunci gitu?"
"Kan, bisa dibongkar."
Muka Djenar yang tadinya merah jadi tambah merah. Kali ini bukan karena malu, melainkan menahan geram pada kelakuan gadis kecil di depannya. Di belakang, Tyssa terkikik geli, merasa terhibur karena Djenar seolah mendapat lawan yang sepadan.
Salam,
Tokohfiksi_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top