14. Drama Kimia


Ruang kelas ini mendadak hampa dan canggung. Beberapa pasang mata beberapa kali membagi pandang antara laki-laki beramput agak ikal, dengan perempuan cantik yang masing-masing menggeluti buku. Mereka merasa kehilangan momen menarik hari ini, yang biasanya bisa melahirkan tawa kecil atau kekesalan. Akan tetapi hari yang cerah ini benar-benar terasa bisu.

“Lo marahan sama Langit, Rin?” tanya Salma menoleh sekejap dari buku paket tebal yang dipeluknya. Hanya Salma satu-satunya orang yang menggeluti buku Bahasa Indonesia, sementara yang lainnya fokus sama Kimia.

“Bisa dibilang begitu,” jawab Rinjani singkat. “Lo ngapain sama buku Bahasa Indonesia? Kan, pelajarannya habis Kimia?”

“Gak tau, lagi pengen aja.” Salma menopang kepalanya, lantas memutar tubuhnya ketika sederet kata mengingatkan hal yang membuat dirinya bahagia. “Ja, makna dongeng menurut lo apa?”

Rinjani menghela napas lega, ketika Salma tidak cerewet mengenai masalahnya dengan Langit. Biasanya dia akan berkicau, kadang mengompori kadang pula mendadak sok bijak. Rinjani turut memutar tubuhnya, mengikuti Salma menatap Senja yang kini menatapnya bergantian.

“Cerita yang tidak benar-benar terjadi? Cerita turun-temurun, fiksi, pokoknya gitu. Kenapa?” tanya Senja.

Salma malah terkekeh. “Menurut gue dongeng itu, kek kisah lo sama Fajar!”

“Anjir!”

Sial, Rinjani turut tertawa melihat Salma tertawa lepas atas ucapannya, bahkan Senja juga menampilkan tawa sebelum melayangkan gulungan buku paket kimia ke kepala Salma. Bisa-bisanya Salma beranekdot ria, yang mungkin jika suasana hati Senja sedang tidak baik bisa menimbulkan peperangan hebat pagi ini.

“Sori-sori, entahlah ketika gue baca pengertian dongeng, pikiran gue langsung tertuju sama lo, Ja!” terang Salma masih dengan tawanya.

“Lo itu ya, gak pernah support gue Sal!” cetus Senja. “Lagian kenapa lo ngapalin indo? Jam pertama kan kimia, bego!” Senja kembali melayangkan gulungan buku paket kimia ke kepala Salma.

“Serah gue dong!” sewot Salma.

“Lo mau tau kenapa Salma ngapalin indo?” Rinjani menatap kedua temannya bergantian. “Nanti ketika dia gak bisa jawab soal, dia akan berteori sendiri menggunakan banyak kata kek koran,” lanjut Rinjani.

“Terus, kalo susah dapat isi, dia bakal jawab dongeng, enggak bisa diketahui kebenarannya,” timpal Senja.

“Bully terus sampe mampus! Kalo gue bisa dapetin nilai lebih gede dari kalian, gue jitak sampe botak terutama lo, Ja!” Salma memberikan tatapan tajam kepada dua temannya yang masih terkekeh karena berhasil membalikkan keadaan.

“Sayangnya itu dongeng, Sal!”

Kini giliran Salma yang melayangkan buku paket Bahasa Indonesia yang super tebal ke kepala Senja. “Dongeng-dongeng, mau gue buat jadi nyata kek di tv?”

Baiklah, perseteruan Salma dan Senja mulai tidak kondusif. Rinjani membalikkan badannya ke semula, tanpa sadar ia sudah menoleh menatap Langit yang tengah berbincang dengan Aldi. Di satu titik Rinjani merasa kehilangan, satu titik lainnya ia merasa bahagia dengan Lintang. Rinjani mengerjap, lalu menopang kepalanya dan fokus terhadap materi yang tengah dihafal.

Tersisa beberapa hari lagi ujian ini akan selesai, sebenarnya bukan ujian melainkan latihan untuk minggu depan menghadapi ujian akhir semester. Setelah itu, ia akan menghabiskan waktu bersama Lintang hingga tahun baru nanti. Ini akan menjadi tahun baru pertama yang dirayakan dengan orang spesial dalam hidup Rinjani. Mungkin setelah pembagian rapor, Rinjani dan Lintang harus membuat rencana agar penghujung tahun ini bermakna.

Di deretan bangku yang hanya disekati satu bangku, Langit duduk membelakangi Rinjani. Sebuah usaha untuk move on ini membuat beberapa orang yang melihatnya menampakkan keheranan. Biasanya selalu ada perdebatan, hingga muncul Anggita. Tunggu ... sekarang Anggita pun tak menunjukkan batang hidungnya. Biasanya dia selalu menjadi alasan Rinjani mengakhiri ceramah panjang, kemudian belajar bareng sambil diselingi ucapan ngawur tapi romantis.

“Hanya karena kejadian kemarin Rinjani ngusir lo?” Aldi menatap tak percaya ke arah Langit, yang malah menggedikkan bahu. “Bagus dong, lo gak perlu takut dimarahin lagi kalo dapat nilai kecil, dan lo bisa nonton delapan belas plus tanpa harus kongkalikong sama Rinjani. Ah, lo bebas, Lang!”

“Terus orang tua gue gimana? Mereka sama galaknya kayak dia kalo nilai gue kecil,” balas Langit.

“Yaelah, santai aja kali! Lo tinggal jelasin apa adanya, kalo semua nilai yang lo dapetin adalah hasil perjuangan hingga titik darah penghabisan. Hidup seperti Aldi!” Aldi mengangkat tangan kanan yang mengepal.

“Sa ae! Awas kalo lo buat gara-gara kek kemarin, kalo udah kebelet pengen ke kantin gak usah ajak gue!” Langit mengingatkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika pelajaran yang memiliki hubungan erat dengan rumus dan angka.

“Pokoknya lo gak boleh pelit, kalo pelit siap-siap aja,” balas Aldi seraya terkekeh.

Langit memutar tubuhnya, diam-diam ia mencuri pandang ke arah Rinjani. Dia terlihat fokus sama buku pelajaran, dengan kepala tertopang di atas tangannya. Apakah perang dingin ini akan berlangsung lama, hingga melupakan segalanya adalah titik akhirnya? Entahlah, perempuan yang masih ia potret terlihat serius melakukan hal ini.

“Selamat pagi anak-anak!” sapa laki-laki berusia tiga puluhan tiba-tiba melengos begitu saja, membuat beberapa anak muridnya tersentak karena tingkahnya yang agak gemulai.

“Pagi Pak!” jawab mereka sembari menutup buku yang tengah dibacanya.

Setelah menorehkan senyum, Pak Gugun langsung menulis lima belas lambang kimia ditulis dobel di papan tulis. Hal ini membuat pengisi kelas IPA 3 saling menatap satu sama lain, mempertanyakan apakah yang ditulis Pak Gugun adalah soal ujiannya?

“Baiklah, perwakilan dari absen satu sampe lima belas ke depan, begitu juga perwakilan dari absen enam belas ke tiga puluh maju ke depan,” ujar Pak Gugun begitu memutar badannya dengan lincah.

Siswa yang berada di nomor absen lima belas teratas langsung menyorot ke arah Langit, karena dari absen tersebut hanya Langit yang memasuki rangking lima besar sementara yang lainnya berada di absen lima belas terbawah.

“Lang, lo maju!” bisik Aldi.

“Ayo, Lang!” seru lainnya.

“Kenapa harus gue?” balas Langit dengan kerutan di dahinya.

“Lo paling pinter di absen segitu, Lang.” Aldi mendekatkan wajahnya ke wajah Langit.

“Apa hubungannya?”

“Jaga-jaga Lang. Kalo lo yang maju gak bakal kaget kalo disuruh isi itu,” terang Aldi seraya menyenggol tubuh Langit dengan bahunya.

Sementara itu, Rinjani sudah berada di depan kelasnya. Dia sempat menatap Langit yang masih enggan untuk maju, padahal teman-teman yang berada di absen lima belas teratas terus memberikan tatapan menuntut.

“Absen lima belas teratas?” Pak Gugun menyita seluruh muridnya.

“Langit, Pak!” seru mereka nyaris serempak.

“Langit, kamu maju!” perintah Pak Gugun begitu matanya memotret sosok laki-laki berambut agak ikal yang menunduk.

Dengan ogah-ogahan, Langit bangkit dan berdiri berdampingan dengan Rinjani. Sialnya, semua pasang mata yang berada di kelas ini malah menapakkan rasa pukau yang membuat Rinjani dan Langit membuang muka dan setengah bergidik, apalagi ketika salah satu dari mereka mengomandoi kata ‘cie’ kepada mereka.

“Kalian pacaran?” tanya Pak Gugun takjub melihat respons anak kelasnya.

Rinjani dan Langit menengadah menatap Pak Gugun bersamaan. “Enggak!”

“WAW cocok!” komentar Pak Gugun.

“Ceritanya mereka lagi marahan Pak!” celetuk Salma yang sudah tertawa puas semenjak pergelaran ‘cie’ berlangsung.

“Iya, Pak. Lagi di-pause, terus mereka ragu untuk mulai lagi!” timpal Aldi.

Laki-laki itu berhasil membuat mata Langit berkilat, bagaimana dia mengucapkan hal itu? Padahal beberapa menit yang lalu dia antusias dirinya bisa terlepas dari Rinjani, tapi sekarang malah menyuarakan seakan-akan berharap kalau hubungannya dengan Rinjani kembali membaik.

“Baiklah, semoga lambang kimia yang ada di papan tulis bisa membuat kalian baikkan lagi.” Pak Gugun mengakhiri ocehan yang membuat sepasang manusia di depan kelas canggung. “Sekarang kita akan latihan, dan Bapak akan membagi kelas ini menjadi dua sesi. Jika perwakilan kalian berhasil merampungkan soal di papan tulis dengan cepat berarti kebagian di sesi dua, paham?”

“Paham, Pak!”

Sebenarnya Rinjani dan Langit tidak mempermasalahkan akan ujian di sesi ke berapa, tapi mayoritas temannya seakan-akan menuntut kalau mereka harus ujian di sesi dua. Lantas ketika ditanya kenapa harus sesi dua? Mereka akan menjawab belum siap untuk ujian, atau supaya dapat bocoran dari sesi pertama dan alasan lainnya.

“Ini spidolnya.” Pak Gugun memberikan masing-masing spidol. “Siap-siap Bapak hitung dari tiga ya; tiga, dua, satu, mulai!”

“Zn untuk seng!”

“U untuk uranium!”

“Ca untuk kalsium!”

“Mg untuk magnesium!”

“H dua O untuk air!”

“CH empat untuk metana!”

“Amonium Nitrat ... NH emp—astaga!” Rinjani menggeleng keras, kenapa ia bisa kebobolan. Padahal beberapa menit lalu ia menghafal deretan lambang kimia ini. “Ayo dong!” Rinjani masih kukuh, hingga titik terang berhasil memeluk otaknya. “NH empat NO tiga!”

“Hidrogen Sulfida itu H dua S!”

“BaO untuk Barium Oksida!”

“Alumunium Bromida ... anjir lupa!” Langit menghentikkan aksi nulisnya, sementara teman-temannya terus berseru memberi semangat untuk Langit, paling semangat Aldi. Jujur apa yang Aldi lakukan padanya sangat mengganggu. Mungkin setelah ini ia akan menjitak kepala teman sebangkunya, kalau segala seruan semangat itu sungguh tidak membantu. “Nama artis itu siapa lagi! Fah—ri Albar! Iya, AlBr tiga!”

“C empat H sepuluh untuk butana!”

“SO tiga balerang!

“Kalsium Nitrat ...” Tubuh Rinjani kini bergetar hebat, ketika satu lambang kimia kabur begitu saja dari otaknya, apalagi ketika Langit berada diujung penyelesaiannya. Napas Rinjani tersendat, bagaimana bisa rumus itu lolos begitu saja dari otaknya. “Ca ... astaga! Ca ... apa!”

Ini memang sebatas penentu untuk melakukan latihan di sesi pertama atau sesi kedua, tapi kenapa suasana yang membungkam saat ini sangat menyiksa sepasang manusia yang tengah berusaha sekuat pikiran. Bahkan tangan mereka tampak berkeringat, bodohnya mereka baru sadar kalau Pak Gugun hanya berdiam diri seraya memandang bukan mewasiti yang tatapannya terbagi dengan stopwatch!

“Mg kurung OH kurung dua, magnesium hidroksida!” Langit berhasil menyeret spidol itu hingga ke soal terakhir. “Asam Oksalat ....” Langit termanggu sebentar sebelum deretan huruf dan angka muncul begitu saja dalam kepalanya. “H dua C dua O empat!” Langit menghela napas panjang begitu spidol yang dipegangnya mengakhiri pelatihan serasa lomba cerdas cermat ini.

“Langit!” Para murid yang menduduki absen lima belas pertama berteriak saling bersahutan, dengan diiringi tepuk tangan yang meriah.

Sementara Rinjani baru saja selesai menuntaskan soalnya, wajahnya tampak lesu tentu saja teriakkan untuk Langit membuat perasaannya terkikis. Dia berhasil mengalahkannya. Seharusnya ia tak perlu sakit hati untuk ini, malah harusnya ia bangga berarti ilmu yang dia gali bersama bisa menempel di kepala Langit yang mayoritas isinya tentang hal-hal menyebalkan.

“Baiklah, berarti absen satu hingga absen lima belas di luar dulu, sementara yang lainnya tetap di sini dan jangan ada yang sebangku berdua!” terang Pak Gugun menyilakan para pemenang berlalu ke luar.

Rinjani mengempaskan tubuhnya yang berkeringat sembari memandang Langit yang masih dihujani pujian. Dadanya masih terasa sesak karena hal ini, entah apa yang terjadi padanya hingga rasa tak nyaman atas keberhasilan Langit muncul.

“Gak nyangka lho, Rin!” ujar Salma lesu. “Padahal gue udah yakin lo yang bakal menang tadi, gue merasa lo akan jadi penyelamat gue karena jujur gue cuma buka buku doang, enggak dibaca sama sekali semalam! Kemenangan Rinjani ternyata hanya dongeng!”

“Ngawur lo! Malah gue senang enggak jadi sesi dua, biar bisa istirahat lebih awal. Gue juga yakin, lo senang juga kan Rin karena kerja keras lo membuahkan hasil untuk Langit?” kata Senja. “Guru itu selalu senang melihat anak muridnya berjaya!” lanjutnya.

“Mungkin memang seharusnya begitu,” pungkas Rinjani seraya beranjak menuju bangku kosong yang berada di hadapan bangkunya Langit.

O0O

Senang gak belajar kimia sama Langit dan Rinjani?
Oke ditunggu nextnya biar uwu ❤️❤️❤️

Kalo udah baca, mari menepis sejenak ke cerita Jadi Aku Sebentar Saja karya Kak VitaSavidapius

Ini cuplikannya!

Jangan lupa untuk Vote Comment dan Share geng!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top