12. Usai?


Di ruangan sebesar 3 x 3 meter dengan cahaya remang-remang Langit masih bertahan, posisi yang semula di atas kasur terus ke mulut pintu kini berakhir di kursi yang berada di balkon. Bukan komik lagi yang digenggamnya melainkan buku tulis, berhiaskan materi penuh ukir layaknya catatan dokter.

Perempuan berambut semi pirang, berpakaian kaus belang dan celana selutut itu benar-benar meninggalkan banyak keseharian yang selalu mereka lakukan. Usai perdebatan kecil tadi, Rinjani memilih tak acuh bahkan terkesan bodoh amat dengan apa yang dipertegasnya. Bahkan, sekarang dia lebih memilih belajar bareng Lintang dengan melakukan panggilan video di sana, sementara dirinya melamun membiarkan bukunya membeku diterpa angin.

Langit bangkit dengan diiringi hela panjang, bertepatan ketika Rinjani dan Lintang tertawa bersama saat menganekdotkan sebuah istilah dalam pembahasan. Dulu tepatnya sebelum hal itu terjadi, ia sering melakukannya juga, tapi, ya, sekarang sudah berakhir.

“Gue balik dulu, dan lo jangan tidur kemaleman,” ujar Langit. Ketika tangannya memegang hendel pintu, Rinjani menoleh dan memanggilnya.

“Besok lo gak usah repot-repot ke sini lagi, Lang, kecuali lo mau lunasin itu eskrim,” cetus Rinjani seraya menaikan salah satu sudut bibirnya.

Langit berbalik, menatap penuh wajah Rinjani yang sudah fokus lagi dengan wajah Lintang yang tergambar di sana. Apa Langit tidak salah dengar apa yang baru saja Rinjani ucapkan? Apa dia sadar kalau ucapannya berhasil menggores hatinya?

“Secepat itu lo ngelupain semuanya, Ni?” tanya Langit dengan hela napas lumayan panjang, berharap kalau Rinjani menarik ucapannya.

“Jangan mendramatisasi, Lang.” Rinjani mengaktifkan mode silent atas panggilannya, sebelum akhirnya menatap Langit. “Lo pikir persahabatan kita baik-baik aja? Lo pikir gue gak sakit hati ketika lo bucin sama Anggita?” Rinjani menjeda ucapannya sejenak. “Lo pikir lo aja yang mesti bahagia? Gue juga berhak bahagia, dan sekarang gue udah nemuin itu tanpa harus mencampuri bahagia lo!” pungkas Rinjani seraya memalingkan wajahnya dari Langit.

Rinjani tidak akan menutupinya lagi, apa yang mengganjal di dada sudah terucapkan. Meskipun ia harus merasa sesak setelahnya. Rinjani tak sanggup kembali menatap Langit, dia adalah alasan untuk semua sesak di dada.

Langit mengangguk. “Oke, kalo gitu. Gue juga akan mulai melupakan semuanya. Sori jika akhir-akhir ini gue nyakitin lo,” pungkas Langit seraya menutup pintu kamar Rinjani. Sebelum benar-benar pergi Langit menghela napas, menetralkan perasaan yang menggebu menyuarakan kebodohan yang telah dilakukannya baru saja.

Aku baik-baik aja, biasa kalo kebanyakan baca buku mataku berair. Langit juga udah pergi barusan. Bukan bertengkar, tapi kayak semacam break aja.

Bibir Langit melahirkan senyum tipis, kala kata ‘break’ berhasil melewati gendang telinganya. Terdengar lucu, tapi berhasil membuat dadanya menggebu, bukan tak sanggup merajut rindu, melainkan Langit menginginkan buntu untuk itu.

Saat Langit menuruni tangga, Rini terpaku di hadapannya dengan semangkuk camilan dan dua gelas susu yang memang selalu dia hidangkan saat dirinya meramu pelajaran setiap malam. Rini mengerutkan dahi, heran, melihat Langit keluar dari kamar Rinjani bukan di jamnya. Bahkan sekarang terlalu dini, jika Langit pulang.

“Mau ke mana? Kok udahan belajarnya?” tanya Rini seraya memangkas beebrapa anak tangga lagi untuk tepat lebih dekat dengan Langit.

“Hm, iya Tante. Soalnya besok ujiannya bukan pelajaran yang susah, lagi pun kasihan Jani kayaknya kelelahan,” terang Langit, ragu.

Rini menggeleng pelan, dengan senyum tipis tercetak. “Kayaknya Jani harus dikasih pelajaran, semenjak kenal sama Lintang dia jadi sering pulang terlambat!”

Langit mendadak panik, segera mungkin Langit menenangkannya. “Enggak Tante, Lintang enggak salah. Percaya deh, gara-gara dia Rinjani menjadi tambah senang. Tadi pun kita bertiga belajar bareng lewat panggilan video.”

“Oh, gitu. Ya udah Tante bakal telepon Lintang agar dia enggak terlalu sering bawa Rinjani keluyuran. Rinjani pun kebiasaan kalo udah main sampe malam enggak ada kabar kecuali kalo jalannya sama kamu, Lang.” Rini melenggang menuju kamar Rinjani, sementara Langit meneruskan langkahnya menuruni tangga.

Namun, ketika Langit keluar dari rumah, Ardhan baru saja menghentikan motornya di sana. Dia menahan Langit untuk pergi dari rumah ini, padahal Langit ingin melupakan semua meskipun mustahil ia bisa melakukan itu. Seenggaknya Langit belajar melepas hal itu, berhasil atau gagal biar waktu yang menjawab.

“Tumben dah pulang, jam sepuluh juga belum,” tanya Ardhan seraya menyuruh Langit untuk duduk di bangku yang ada di beranda rumah.

“Besok bukan pelajaran yang susah, jadi ya udahan aja,” balas Langit.

Ardhan membuka salah satu kotak martabak yang dibelinya, kemudian menyilakan Langit untuk turut menikmati benda berwarna kuning dengan baluran keju yang meleleh itu.

“Alasan yang enggak masuk akal!” cetus Ardhan. “Biasanya juga, mau ujian atau kagak jam pulang tetap jam sepuluh,” lanjutnya seraya memasukkan potongan martabak ke mulutnya.

Pikiran Langit berputar mencari pelabuhan yang tepat, agar kakak Rinjani ini kehilangan kata untuk menyangkal jawabannya. “Entahlah, tanya aja sama Rinjani. Aku mau pulang, mau istirahat, A. Makasih martabaknya, dah!”

“Kamu masih menggenggam tugas pangeran, kan, Lang?” Pertanyaan Ardhan berhasil membuat Langit menghentikan langkahnya. Dia menoleh dengan memberikan senyum tipis, yang membuatnya mengerutkan dahi menunggu jawaban dari mulut Langit.

“Aku mendapatkan utusan yang menyatakan tugasku sudah selesai, kini giliran pangeran dari kerajaan lain yang mengenyam tugas itu,” balas Langit sambil melanjutkan langkahnya, tanpa menoleh lagi.

Langkahmu sudah benar Langit, tugasmu sudah selesai. Sekarang kau bebas!

Langit mengempaskan tubuhnya ke atas kasur, menatap langit-langit kamar yang tampak sepi. Ia menyampingkan raganya, dan tatapannya terpaku pada gitar akustik sebagai hadiah ujian semester kemarin dari bapak. Langit meraihnya, kemudian bersandar ke dinding ranjang setelah panggilan video dengan Anggita tersambung.

“Halo!” sapa Langit senang.

Halo, kamu enggak belajar? Gadis itu terlihat memutar tubuhnya menjadi telentang di atas kasur.

“Udah, baru aja selesai.” Langit menidurkan ponselnya, sesaat kemudian beberapa kunci gitar mulai menyuarakan keberadaannya. “Kamu benar, Anggi.”

Hah? Anggita kembali memutar tubuhnya, dan meraih buku pelajarannya.

“Kok bisa aku enggak terlalu fokus sama kamu selama kita pacaran, padahal kamu itu pacar aku dan sudah sangat baik padaku. Aku nyesel. Besok aku antar jemput kamu, ya?” Langit menatap penuh wajah Anggita yang juga sudah fokus kepadanya.

Kenapa kamu tiba-tiba begini?

“Karena kamu pacar aku.” Langit menjeda ucapannya beberapa detik. “Memang waktu enggak bisa diulang, tapi aku akan memperbaiki itu semua dari sekarang. Aku akan jemput kamu besok, jadi jangan sampai kamu bangun kesiangan, ya?” ujar Langit antusias.

Oke, kamu mau nyanyi? Kini Anggita terlihat menyimpan buku catatannya.

Langit mengangguk. “Mau lagu apa?”

Bebas, serah kamu.

Langit mengangguk-angguk, mengikuti petikkan gitar yang terdengar lembut di telinganya. Hingga beberapa detik kemudian, senyumnya tercetak kala sebuah lagu berhasil menjadi titik fokus di otaknya.

Janganlah kau tinggalkan diriku takkan mampu menghadapi semua hanya bersamamu ku akan bisa, kau adalah darahku, kau adalah jantungku, kau adalah hidupku lengkapi diriku oh sayangku kau begitu sempurna ....

Kapan-kapan kamu bikin konser, ya! Anggita menatap penuh dirinya, sambil menampilkan senyum dengan mata tampak ... berkaca-kaca.

“Iya, pasti. Sekarang mah konsernya depan kamu aja,” timpal Langit seraya terkekeh. “Oh, iya. Aku punya satu lagu spesial buat kamu, mau dengar?” Langit kembali antusias, membuat Anggita tersenyum simpul dengan tatapan penuh tanya.

Apa?

Langit malah tersenyum, nyaris tertawa ketika mengingat betapa susahnya menghafal lagu ini. Hampir setiap hari, lagu ini menjadi lagu wajib sebelum jiwanya meraih banyak mimpi. Bukan karena tembakkan nadanya yang membuat dirinya kalap, melainkan bahasa berbeda yang membuat lidah Sunda-nya keseleo tak terkira.

Geudaereul barabol ttaemyeon

modeun ge meomchujyo

Eonjebuteonji nado moreugeyeossjyo

Begitu bait pertama didendangkan, Langit tak berniat untuk membuka matanya karena ia takut pacarnya itu menertawakannya. Bahkan, sepertinya dia tengah tertawa dalam diam sambil menutup mulutnya atau mungkin mengaktifkan rekam layar untuk mengabadikan momen aneh ini setelah itu disebarkan ke story  Whats app dengan caption emoji ketawa se-RT.

Eoneu nal kkumcheoreom geudae dagawa

Nae mameul heundeuljyo

Unmyeongiran geol naneun neukkyeossjyo

Namun, semua itu terbantahkan. Anggita malah antusias, seraya menggoyangkan kepalanya mengikuti irama yang kemudian ikut bernyanyi bersama ketika bait kedua mulai tersampaikan. Melihat hal ini, Langit menjadi percaya diri dan menyesali ke mana saja ia hingga pacar sebaik dan semanis Anggita terabaikan begitu saja.

Makasih udah buat aku senang malam ini, Cacing Arab! Anggita tidak bisa menyembuyikan rasa senangnya, wajahnya tampak berseri dan sepertinya Langit akan mengingat hal ini ketika dirinya jauh dari Anggita.

“Sama-sama. Makasih udah pertahanin aku hingga detik ini, selamat malam!” Langit tersenyum sangat lebar ketika layar ponselnya berubah menjadi tampilan depan ponsel. Tubuhnya merebah, sembari membayangkan wajah Anggita yang baru saja ia lihat.

O0O

Di depan pintu Rini berseru memanggil Rinjani, lengkap dengan menyebutkan tujuannya. Rini langsung masuk begitu pintu terbuka, dan kebetulan anaknya sedang melakukan panggilan video dengan Lintang. Setelah menyimpan sajian malam, Rini duduk di kursi belajar dan menyapa Lintang dengan ramah.

“Halo Lintang, gimana kabarnya?”

Baik Tante, kalau Tante sendiri gimana? Lintang membalas senyum Rini meskipun terlihat malu.

Rinjani malah terduduk santai seraya memakan camilan yang terbuat dari tepung dicampur kelapa dengan dibarengi seruputan susu. Sejenak ia melihat satu gelas lagi yang juga berisi susu, itu jatah Langit. Tapi laki-laki itu sudah pulang, dan dengan berat hati Rinjani melakukan hal itu. Ya semuanya agar ia tidak terlalu memendam luka, intinya lelah dengan segala ocehan Anggita dan dia juga butuh kebebasan.

“Nanti kalo ajak Jani main kabari kita, ya? Apalagi ini baru bagi Jani, biasanya, kan, Langit yang selalu nemenin Jani,” terang Rini membuat Rinjani memutar bola matanya.

Iya, Tante, maaf udah buat Tante khawatir.

“Kalo begitu, Tante pamit ya, silahkan dilanjut lagi.” Rini tersenyum, sebelum benar-benar meninggalkan kamar Rini menarik Rinjani sejenak, setidaknya tubuh dan suara mereka tidak terekam atau terdengar oleh Lintang.

“Apa, Mah?” rengek Rinjani yang sudah menebak-nebak apa yang akan dilakukan Rini.

“Besok pelajaran apa?” tanya Rini membuat Rinjani mendesah mengkapanyekan kalau tebakkannya akan tepat.

“Kimia, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan PPKN, kenapa?” Rinjani memalingkan wajah sana-sini mencari titik untuk menjadi pusatnya.

“Kok Langit udah pulang, katanya kalian udahan belajarnya—“

“Emang udahan, aku sama Kak Lintang lagi bercerita, tanggung. Bentar lagi juga kita bakal udahan,” potong Rinjani.

“Kalian lagi marahan?”

“Enggak marahan, ya lagi kesal aja. Nanti juga kita baikkan lagi.” Meskipun enggak yakin, apakah hubungannya dengan Langit akan sehangat dulu atau berubah seratus delapan puluh derajat? Rinjani enggak tahu.

“Ingat, dia itu teman kamu sejak kecil. Cari teman seperti Langit susah, jangan sampai pertemanan kalian hancur karena hal kecil yang dibesar-besarin.” Rini masih menatap penuh wajah Rinjani yang terlihat tidak nyaman dengan percakapan ini.

Rinjani menghela napas pendek. “Iya, Mah. Lagian Langit enggak bisa terus-terusan ada didekatku, dia udah punya pacar. Kasihanlah pacarnya nanti, kalo kita kelihatan selalu bersama. Pokoknya Mamah tenang aja, ya?”

Rini mengangguk kemudian mencium kening Rinjani, sebelum akhirnya hilang tertelan pintu kamar. Rinjani kembali menghela napas pendek, dan menghadap ke ponsel yang masih menunjukkan sosok laki-laki yang fokus terhadap tulisannya.

“Maaf, ya, Kak,” ujar Rinjani lemah.

Enggak apa-apa, Rin. Namanya juga orang tua pasti khawatir, kalo anaknya keluyuran tanpa kabar. Apalagi kamu perempuan.

“Kita udahan dulu, ya? Nanti besok kita lanjut lagi, seru tahu dengar kamu bercerita,” kata Rinjani seraya tersenyum.

Ya udah. Aku juga senang dengar kamu bercerita. Baru kali ini aku enggak jenuh saat belajar di kosan. Jangan lupa besok harus udah siap saat aku tiba di rumah nanti.

“Iya, aku tunggu, dah Kak!” Rinjani menggulir layarnya begitu laki-laki setahun lebih tua darinya melambai dan tersenyum kepadanya.

Rinjani bangkit dan melempar tubuhnya ke atas kasur beriringan dengan hela napas. Ucapan Rini mengenai pertemanannya dengan Langit barusan, membuat pikirannya seakan diajak menaiki komidi putar dengan kecepatan luar biasa.

Ayolah, Rinjani hanya ingin rehat sejenak dengan Langit. Bukan hanya karena ia mulai menemukan sosok laki-laki yang menurutnya pas, tetapi untuk dia juga, untuk kisah cintanya dengan Anggita. Rinjani juga ingin membuktikan, menyelesaikan apa yang Langit utarakan mengenai sosok kekasih, dan Lintang adalah harapannya. Sampai saat ini benih yang Lintang tanam, mulai tumbuh menjadi sepucuk daun kecil yang menyembul dari tanah kala sinar matahari menyapa.

O0O

Di hari Jumat ini Langit dan Rinjani kembali hadir untuk menghibur eaks😚

Tentunya mereka akan lebih senang jika readers semua memberikan vote, comment and share ke semua orang😘

Dan jangan lupa untuk baca juga Lovesick Girls karya kak NeissLyn

Berikut cuplikannya

"Dia jadi datang, kan?" tanya Djenar saat Ochi ikut duduk di sampingnya dan meminum es teh.

"Iya, satu jam yang lalu dia bilang lagi otw." Gadis itu beralih menyendok tahu telor yang sudah dimakan Djenar setengahnya. "Katanya sih, abis Dzuhur juga kayaknya sampe. Pas makan siang."

"Yah, lama banget dong." Tyssa menghela napas. Matanya memandang jam yang baru saja tergantung manis di sana.

"Ini udah jam dua belas, kok."

"Ya siapa tahu maksud dia abis Dzuhur itu artinya Ashar."

Ochi tertawa hambar. Djenar ikut tertawa, tapi bukan karena lelucon garing ala Tyssa, melainkan ekspresi Ochi yang seperti terpaksa.

Salam,
Tokohfiksi_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top