11. Ribut Lagi?
Kelamnya langit ini memang bukan pertanda turunnya hujan, melainkan berakhirnya senja yang menjunjung tinggi harapan. Sama halnya dengan Langit, embusan napas terasa berat dan pasrah saat ini. Ketika hati Langit berharap jika Rinjani tidak benar-benar serius mengatakan untuk tidak mengantar dan menjemputnya, tapi kenyataannya dia benar-benar pergi dengan sosok yang Langit analogikan sebagai malam.
Senja adalah Langit, langit adalah Rinjani, dan malam adalah Lintang. Artinya waktu Langit dan Rinjani akan singkat, apalagi jika Lintang menjelma juga sebagai siang. Langit benar-benar menjadi senja yang malang, yang kehilangan pesonanya.
Langit menghentikan motor tepat di depan garasi, lalu membuka helmnya. Sejenak Langit terpaku pada helm yang membeku di jok belakang, helm dengan model yang sama ini dibelikan orang tua Rinjani tepat mereka dinyatakan lulus masuk SMA Pasundan. Sekarang dua benda tersebut benar-benar menjadi full kenangan. Keduanya sudah beranjak meraih kebahagiaannya.
Kepala Langit menggeleng, dan mengakhiri tatapan itu. Namun, kenapa setiap objek yang memiliki hubungan dengan Rinjani selalu menyita perhatiannya. Setelah helm, kini bunga yang pernah ia tanam bersama merenggut indra penglihat Langit. Dan jangan lupakan kamar Rinjani, kini Langit menatapnya. Di balkon itu mereka selalu melakukan konser bersama, sambil menatap malam yang penuh bintang.
Baru saja Langit berbalik untuk masuk ke rumah, sosok laki-laki yang menghentikan motor di depan rumah itu memanggilnya dengan lantang. Sebagai respons Langit hanya memberikan senyum dan lambaian, dan kembali melangkah. Namun, sosok itu mencegahnya, dia menghampiri Langit masih dengan senyumnya.
“Gimana Rinjani, dia baik-baik aja, kan?” Ardhan menyambut salam dari Langit, sebelum akhirnya ia mengajak Ardhan untuk duduk di kursi yang ada di beranda rumah.
“Ya dia baik-baik aja. Sepertinya dia udah mulai bisa menerima kenyataan, tadi dia juga udah bertengkar sama temannya,” timpal Langit seraya bersandar ke dinding kursi, berusaha rileks seperti biasa.
Ardhan menaikkan salah satu alisnya. “Bertengkar?”
“Iya. Bertengkar ala cewek, adu mulut. Masalah remaja.” Apa Langit terlalu berlebihan? Ia hanya mencoba untuk jujur, ia tak mau banyak memendam yang mungkin akan memberatkan hati nantinya.
“Ya udah, cepetan mandi. Pasti Jani nunggu di kamar, besok masih ujian, kan?” Ardhan sudah bangkit dari kursi, dan beranjak beberapa langkah dari Langit.
“Jani lagi main sama Lintang, dan mulai hari ini dia yang akan antar jemput Jani,” ungkap Langit membuat Ardhan menoleh dan terpaku sejenak.
“Jadi yang kamu maksud bertengkar tadi, kamu sama Rinjani?” Ardhan berkacak pinggang, kemudian menggeleng lembut beriringan dengan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.
Sekarang Langit terjebak oleh pengakuannya sendiri, apa yang Ardhan ucapkan memang tak sepenuhnya benar. Langit dan Rinjani hanya membuat jeda, bukan mengakhiri apa yang telah terjalin. Langit hanya belum rela melihat Rinjani bersanding dengan laki-laki lain, lantas kenapa ia berani menantang Rinjani? Entahlah, pada saat itu hanya tersulut dengan ucapan Rinjani yang berbunyi mengenai berakhirnya hubungan dengan Anggita.
“Mana ada, A!” Langit memalingkan wajahnya, mencari labuhan baru untuk menjadi titik fokusnya.
Ardhan menghentikan tawa kecilnya, tapi wajahnya masih kentara menampakkan betapa puasnya ia menggoda Langit yang sudah ia anggap sebagai adik sendiri atau pangeran yang senantiasa melindungi putri Rinjani, seperti dulu.
“Tapi, penasihat tidak pernah mencabut tugas pangeran, Lang.” Sekarang Ardhan benar-benar meninggalkan Langit dengan sebuah dentum hebat di dadanya. Ardhan tidak pernah melupakan memori kebahagiaan Rinjani, meskipun ketika memasuki ranah putih biru ia mulai jarang bergabung dengan Langit dan Rinjani.
Langit menghela napas panjang, sekali lagi ia mengempaskan tubuhnya ke dinding kursi. Perlahan tangan kananya memijat dahinya pelan, sebelum akhirnya ia mengusap wajahnya dan berdiri. Tubuhnya tersentak, tepat ketika pandangannya bersitatap dengan sosok wanita yang berdiri di mulut pintu sembari menyilangkan tangan di depan dada.
“Halo, Mah!” Langit menampakkan deretan giginya.
“Cepetan mandi, bentar lagi Magrib! Kebiasaan kalo mandi sareupna, diculik leled samak baru tahu!” ujar Lia dengan penuh penekanan di beberapa titik kalimatnya.
“Ini udah modern, Mah! Mana ada yang kek gituan!” timpal Langit seraya melengos masuk ke rumah melewati Lia yang masih kesal.
“Di kasih tahu malah melawan!” Lia sudah mengangkat tangan kanannya siap menimpuk anak pertamanya.
“Iya-iya, Mah! Astagfirullah! Lagian aku bukan melawan, tapi mengutarakan pendapatku. Salah mulu,” kicau Langit yang sudah memangkas beberapa anak tangga.
“Tembal terus! Sampai sapu ijuk melayang, nih!” balas Lia tambah sengit siap meraih sapu ijuk kapan saja.
Langit membeliak, lalu memberikan simbol ‘oke’ dengan kedua tangannya. “Oke, Mah, oke! Besok-besok aku mandinya jam sembilan malam, biar sekalian genderewo yang gendong aku!” Setelah itu Langit berlari secepat kilat menuju kamarnya, dan mendengkus. Langit duduk di bibir kasur, seraya membuka seragamnya yang sudah tidak bersahabat dengan tubuhnya.
“Huft!”
O0O
Menyisir Kota Bandung selama lebih dari tiga puluh menit setelah pulang sekolah bersama Lintang, menjadi pengalaman pertama bagi Rinjani. Selama perjalanan itu, mereka membahas banyak gedung dan tempat-tempat yang sangat mencolok di sepanjang jalan. Lintang juga menampakkan keadaan sekolahnya, yang ternyata hanya memakan waktu sepuluh menit dari sekolahnya. Namun, dia bersaksi jika tidak memboncengnya mungkin waktu yang ditempuh hanya sepuluh menit dari Pasundan.
“Emang kamu enggak keberatan antar jemput aku?” tanya Rinjani, memposisikan kepalanya di samping kepala Lintang yang terbungkus helm.
“Apa kamu meragukan jam bangunku, Rin?” Mata Lintang fokus ke depan, sementara bibirnya terkekeh.
“Bukan gitu, nanti kalo kamu telat gimana?” Rinjani hanya takut jika karena Lintang menjemputnya, dia terlambat masuk sekolah. Ini memang keinginan Lintang, dia yang mengajak duluan, makannya Rinjani berani untuk memutuskan satu rutinitasnya dengan Langit.
“Enggak Rin, percaya sama aku,” balas Lintang lembut.
Motor Lintang berhenti di depan sebuah kedai kopi yang terimpit ruko, tapi cukup ramai untuk ukuran kedai minimalis ini. Tersisa beberapa kursi lagi, Rinjani memilih bangku paling belakang untuk menikmati momen bersama Lintang. Tatapan Rinjani beredar menatap sekitar, yang ternyata diisi oleh pengunjung yang masing-masing berpasangan. Senyum Rinjani mencuat, kala Lintang duduk di hadapannya.
“Aku enggak nyaman,” ujar Rinjani, kikuk.
Lintang menatap heran ke Rinjani. “Kenapa?”
“Cuma kita yang pakai seragam sekolah,” bisik Rinjani, sembari mengeratkan pelukan sweater biru mudanya.
“Enggak apa-apa, lagi pun kamu pake sweater, aku pake jaket. Jadi enggak bakal ada yang tahu, kita anak sekolah mana,” terang Lintang sembari tertawa kecil. “Jadi, kamu sama Langit lagi marahan? Kasihan lho, dia.” Lintang menatap penuh ke wajah Rinjani.
“Berhenti menatapku seperti itu, Kak.” Rinjani mendorong wajah Lintang, karena enggak nyaman ditatap seperti itu apalagi ini tempat umum, asing bagi Rinjani yang baru-baru ini kencan dengan laki-laki selain Langit.
“Enggak apa-apa, justru kalo kita enggak lakuin ini ditatap aneh sama orang.” Lintang memutar kepalanya, melihat seluruh isi ruangan berwarna kuning gading ini. “Lihat, hampir semua orang di sini menatap penuh pasangannya. Bahkan ada yang kissing tuh di bangku pojok,” lanjutnya seraya melirik pasangan yang tengah berciuman di sana.
Rinjani menjadi ngeri sendiri, bahkan ia sempat bergidik dan memejamkan matanya karena pikirannya mulai menampakkan hal kotor. Setelah itu mendengkus, dan memutar bola matanya, tapi laki-laki di hadapannya malah menggeleng diikuti kekehan, apa ini sesuatu yang lucu?
“Kamu polos banget,” komentar Lintang.
“Lain kali cari tempat yang lebih terbuka saja,” balas Rinjani sedikit kesal.
“Kedai Jajaka?” Lintang menaikkan salah satu alisnya.
“Itu lebih baik.” Rinjani menatap Lintang, lalu mengangguk setuju.
“Baiklah. Jadi kamu ada masalah apa sama Langit? Kok, kamu kayak kesal sama dia. Ingat, dia itu sahabat kamu, yang selalu kamu puji-puji dan kamu pernah bilang kalau peran dia gak bisa digantikan oleh siapa pun.” Lintang kembali mengingatkan Rinjani mengenai Langit, persis seperti yang dia katakan kepadanya tempo hari.
Lintang dan Rinjani mengucapkan terima kasih bersamaan, ketika pelayan mendaratkan dua gelas Vanilla late dengan selamat di hadapan mereka. Rinjani menyedot Vanila late-nya sebelum menjawab pernyataan Lintang barusan.
“Aku hanya kesal aja sama pacarnya dia, Anggita. Dia tidak pernah berpikir positif tentang hubungan kita. Ya udah, aku putuskan untuk jaga jarak dengannya dan kebetulan kamu ajak aku untuk berangkat dan pulang bareng.” Rinjani mengutarakan semua kebenarannya, ia tak mau memendam semua itu. Jangan sampai hubungannya dengan Lintang, berakhir karena sebuah hal yang ditutupi.
“Anggita?” Lintang mengulang nama itu dengan salah satu alis terangkat.
Rinjani mengangguk. “Kamu tahu?”
Lintang menaikkan bahunya, tak acuh. “Tapi kayaknya, Anggita ada benarnya. Kamu kan emang dekat banget dengan Langit. Wajar sih dia cemburu, aku pun cemburu saat dengar kebersamaan kamu dengan Langit.”
“Hah? Kamu cemburu?” Susah payah Rinjani menandaskan Vanilla Late yang berkemul di mulutnya.
“Iya. Aku enggak pernah punya sahabat, yang bisa dibilang dua puluh empat jam selalu stay seperti Langit atau sebaliknya. Kebanyakan yang stay kalo ada maunya aja.” Lintang tertawa di ujung kalimatnya, begitu juga Rinjani. Pada detik ini juga, sekali lagi hati Lintang berikrar kalau perempuan di hadapannya memang pantas untuk ia miliki.
“Setelah ini, aku mau pulang. Besok kita masih ujian, kan?” pungkas Rinjani tanpa mengalihkan tatapannya dari Lintang yang juga tengah menatapnya.
Dia mengangguk, diiringi senyum.
O0O
Seperti kejadian sore itu, Langit kembali menunggu kepulangan Rinjani saat ini. Entah, sudah berapa kali panggilan suara serta pesan ditujukan pada perempuan seumurnya itu. Rini dan Ardhan sudah berkali-kali menyuruhnya untuk terus menghubungi Rinjani. Dia pernah bilang, kalau sepasang manusia sudah bersama dan bercengkerama mengenai banyak hal seolah dunia milik berdua. Mereka akan fokus terhadap pasangan satu sama lain, sampai tidak ada satu pun yang lolos untuk mengganggunya.
“Menurutmu Rinjani ke mana?” Ardhan duduk di samping Langit yang bersandar ke dinding kasur sembari membaca komik kesukaannya.
Langit mengangkat bahu. “Dia belum pernah bercerita panjang mengenai Lintang. Terakhir, mereka nongkrong di Jajaka.” Langit menoleh ke Ardhan yang fokus menatap langit malam melalui pintu balkon yang terbuka. “Mungkin dia lagi di jalan, jadi Rinjani enggak bisa angkat,” lanjutnya.
“Aku lupa gak minta nomor Lintang,” sesal Ardhan.
“Dia orang baik, A. Kelihatan dari wajahnya, kemarin pun kalian udah mengobrol, kan?” Langit meyakinkan agar pikiran Ardhan enggak melayang terlalu jauh.
“Si Mija pun bisa jadi kucing garong, Lang,” balas Ardhan membuat Langit membeku.
Langit membenarkan posisi duduknya yang mendadak tidak nyaman, apa yang Ardhan ucapkan memang benar. Namun, Langit yakin Rinjani baik-baik saja, jika Lintang berubah menjadi kucing garong, Rinjani pun akan melakukan hal yang sama. Tanpa sadar bibirnya malah tersenyum, kala pikirannya memaparkan kegalakkan Rinjani yang sering Langit samakan dengan kucing garong.
“Kenapa?” celetuk Ardhan.
“Dia Rinjani, A. Dia lebih garong dari siapa pun.” Langit melepaskan tawanya, diikuti Ardhan yang refleks memberikan rangkulan kepadanya. “Ih, geli, A!”
“Dih, dikira Aa homo, apa?!” Ardhan menoyor kepala Langit hingga terantuk.
Seketika, keduanya terdiam kala sebuah motor berhenti di halaman rumah ini. Ardhan bergegas beranjak dari kamar, sementara Langit hanya mengintip dari balkon. Siapa lagi jika bukan Rinjani dan Lintang, mereka telah pulang dari kelana rasa yang berkemungkinan menimbulkan sesuatu yang istimewa. Langit melihat mereka berdua, tapi ponsel di celana membuat fokusnya harus teralihkan.
“Halo Dek!” sapa Langit sembari memutar tubuhnya dan duduk di tempat semula.
“Halo, A! Keadaannya kak Rinjani gimana, A?”
“Bukannya Aa yang ditanyain kabar, malah Rinjani,” kesal Langit.
“Dih, aku udah tahu Aa baik-baik aja. Toh, baru berapa menit yang lalu Aa post story sama kak Anggita. Ya, berarti baik-baik aja!”
“Terserah! Tanyain aja sendiri, kalo perlu kepoin semua storynya kak Rinjani.” Langit masih kesal dengan tingkah adiknya yang berada di belahan kota lain di pulau ini.
“Baper ceritanya. Lagi bareng kak Rinjani, kan, Kak?”
“Gak ada. Kak Rinjani gak ada, kak—“
Belum sempat meneruskan kalimat, ponsel Langit sudah direbut oleh perempuan yang baru saja dibicarakannya. Sialnya, Rinjani membawa makhluk paling menggemaskan di mata banyak orang, tapi di mata Langit makhluk ini membuat geli sekaligus takut karena cakarannya. Dan yang lebih sial, Rinjani malah melemparkan makhluk itu ke tubuhnya.
“Anjir! Jani! Kaget aing!” Langit refleks bangkit dan bergidik kegelian, ketika makhluk penuh bulu halus berwarna putih itu mendarat di tubuhnya. Makhluk itu mengeong dan menatap garang kepadanya, sebelum akhirnya dia rebahan di kasur.
Rinjani malah ketawa, bahkan adik Langit yang enggak tahu apa yang terjadi turut tertawa di seberang sana. “Mampus!” cetus Rinjani kemudian menempelkan benda pipih yang digenggamnya ke telinga.
“Halo Kak Jani! Apa kabar?”
“Baik Ima! Kalo Ima sama Papah gimana kabarnya?” balas Rinjani lembut seraya melempar tas gandongnya ke sembarang arah.
“Alhamdulillah baik, Kak. Semesteran nanti aku pulang, Kak. Kakak mau hadiah apa?”
Langit memutar bola matanya sebal, memang ini bukanlah yang pertama Rinjani melakukan hal itu. Ini juga bukan kali pertama Silma lebih memprioritaskan Rinjani dalam hal apa pun, seperti sekarang mengenai hadiah. Benar-benar menjengkelkan, kenapa dia lebih menyayangi Rinjani ketimbang dirinya yang sudah jelas tercatat dan diakui negara kalau dirinya adalah kakak kandung sendiri.
“Apa aja Ima, bebas!” Rinjani mengibaskan tangannya.
“Kasih tau sama Kak Langit, kalo dia pengen hadiah kata Papah nilai ujiannya harus bagus jangan ada yang minus,”
“Nah, dengerin tuh! Kalo pengen hadiah nilainya harus bagus jangan minus!” tegas Rinjani sambil melotot, merasa puas ata apa yang dilakukannya. “Tunggu bentar, Ima.” Apa yang Silma katakan barusan membuat Rinjani teringat sesuatu. Ia bangkit dan menghadap Langit yang bersandar di mulut pintu balkon.
“Lo masih punya utang cornetto ke gue, mana?” bisik Rinjani.
“Besok deh, double!” ujar Langit datar. Ia lupa pulang tadi enggak menyimpang ke toko buat bayar utang eskrim ke Rinjani, toh semua pikirannya masih tertuju sama permasalahan istirahat tadi.
Rinjani memutar bola matanya, dan kembali duduk di atas kasur. “Oh, iya Ima. Udahan dulu, ya? Kita mau ngapalin dulu materi buat besok. Ima juga jangan lupa belajar yang giat, biar dapat nilai bagus.”
“Iya, Kak. Makasih. Kalo gitu Ima pamit ya, dah!”
Langit meraih ponsel yang disodorkan Rinjani, ia mengamankannya sebelum melakukan interogasi ke temannya ini.
“Lo dari mana aja, ditelepon enggak pernah diangkat, di WA gak dibales!” cerocos Langit masih bertahan di mulut pintu, karena si Mija masih di sana.
“Jalan sama Lintang, kenapa? Cemburu? Lagian kenapa lo ke sini, gue kan lagi kesel sama lo.” Rinjani merebahkan tubuhnya, sembari mengelus-elus tubuh si Inces.
“Gue gak peduli lo jalan sama siapa. Tapi, seenggaknya lo bales pesan entah pesan gue, A Ardhan atau ibu. Mereka khawatir, gue juga—“
“Apa lo khawatir?” Rinjani bangkit seraya mengarahkan telinganya ke hadapan Langit.
“Pangeran masih memegang kokoh tugas untuk melindungi putri, Ni!”
O0O
Hola Langit dan Rinjani comeback! Ini menjadi part terpanjang dalam cerita KKP untuk saat ini😄
Semoga tetap terhibur ya, dan selalu stay sef en helti oke😘
Nah, untuk memanjakan PPKM yang sebenarnya membuat kita hmmm banget, mending baca cerita Slow Motion karya Kak Tasya yeee😘
Ini cuplikannya:
"Manna, kamu marah?"
"Saya tidak bisa marah?"
Manna kehilangan kerasionalannya.
"Tidak, maksud saya ...." Okka menatap dalam pada manik Manna. "Jika kamu suka anak-anak, kita bisa mengadopsinya."
Bibir Manna berkedut. Ia tidak salah dengar? Okka ingin mengadopsi anak daripada memilikinya sendiri? Ia sempat berpikir, alangkah baiknya jika dalam pernikahan mereka adanya sedikit pertengkaran. Namun, tetap saja, pertengkaran tidak pernah sebaik itu. sedari dulu, Manna tidak bisa mengerti jalan pikiran Okka. lelaki itu terlalu pengecut.
"Okka, kamu pikir saya tidak bisa melahirkan?"
Jangan lupa untuk vote coment and share yeee
Gracias❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top