10. Langit dan Lintang


Di antara belasan pasang mata yang menatap, Langit berusaha menenangkan Anggita yang masih menampakkan kilatan emosi. Langit mengembuskan napas, begitu Anggita duduk di hadapan tanpa mengindahkan tatapan. Bahkan ia sempat mendorong beberapa kali, saat Langit mengelus-elus bahunya.

“Gi, aku enggak ada maksud untuk ninggalin kamu. Aku hanya takut, dia temanku sejak kecil. Dia sudah jadi bagian dari keluargaku, saudaraku,” terang Langit menatap Anggita penuh makna.

“Tapi kenyataannya dia bukan keluargamu. Kamu itu dari awal emang gak pernah bisa ngertiin perasaan aku! Hampir semua orang yang kenal sama kita, khususnya kamu yang selalu dilirik di luar sana. Mereka menjelekkan aku! Enggak pantaslah, bahkan sampai ada yang memanggilku—“ Anggita menghentikan ucapannya di ujung air mata yang telah hadir, bagaimana bisa ucapan yang ia anggap sudah dikubur dalam-dalam bisa bangkit begitu saja dari mulut mereka.

Anggita mendorong tubuh Langit hingga tubuhnya mundur beberapa langkah, ia beranjak dari kelas ini menuju kelasnya yang nyaris sepi. Luka itu tidak pernah sirna, selalu hadir ke mana pun dirinya melangkah, dulu saat ketemu Langit memang ada risih, tapi dalam waktu beberapa hari, ia menemukan kasih yang menjadikan alasan untuk terikat dalam sebuah hubungan.

Bukan tak bersyukur, Anggita hanya takut dan memilih Pasundan sebagai pelabuhan di masa sekolahnya agar bisa move on dari luka itu. Faktanya, beberapa orang di sini ada yang sadar akan luka dirinya, tapi ia selalu berusaha abai dan berharap kalau Langit akan menutupi dan melindunginya.

“Gi?” Suara itu mengalun lembut di telinga Anggita. “Aku hanya ingin hubungan pertemananku dengan Rinjani baik-baik aja. Aku minta maaf, kita mulai dari awal lagi, ya?” Langit duduk di bangku depan dan meraih tangan Anggita kemudian menggenggamnya erat, berharap ia dan Anggita bisa memperbaiki hubungan ini.

“Aku akan selalu ada untuk kamu, Gi,” tuturnya lagi.

Anggita terdiam cukup lama, sesekali ia menyeka sisa air mata yang membanjiri pipi. Baru menoleh ketika degup dadanya mulai tenang, ditambah Anggita tidak mau terlalu banyak disorot oleh teman-temannya yang bisa ia tebak sedang bergosip ria mengenainya.

“Dari dulu aku enggak butuh janji, tapi bukti,” tandas Anggita, beriringan dengan berbunyinya bel istirahat berakhir.

O0O

Persetan dengan persahabatan. Sampai bel pulang berbunyi, tak sedikit pun Rinjani memberi celah untuk berhubungan dengan Langit. Semuanya mendadak beku, mereka bertingkah seakan-akan apa yang telah mereka lalui selama ini tidak berkesan sama sekali. Mungkin memang ini akhirnya.

Tidak seperti biasanya, kini Rinjani keluar dari kelas paling pertama meninggalkan seruan Salma dan Senja, serta mengabaikan seribu tatap dari yang lainnya termasuk Langit. Sejak kejadian istirahat tadi, beberapa pasang mata yang menyertainya hingga ke halte sekolah, seakan memberikan rasa iba kepadanya.

“Vidio lo saat istirahat udah ke sebar,” cetus Salma sembari duduk di samping Rinjani.

“Bodoh amat!” ketus Rinjani.

“Rin, lo udah benar, kok. Enggak seharusnya lo diam saat ditindas, lo harus ngebungkam mulut dia. Dari pertama masuk ke sini, beberapa dari kita-kita emang udah gak suka sama dia. Tapi, yang lebih kelihatan, setelah Langit banyak penggemarnya dan mereka baru sadar kalau Langit berpacaran dengan Anggita,” terang Senja sambil duduk si sisi lainnya.

“Iya, sih beberapa kali gue sering denger desas-desus anak sini ngatain Anggita. Makannya, banyak anak yang bilang kalau Anggita enggak pantas sama Langit, bodohnya lagi kenapa Langit enggak cari tahu tentang Anggita!” lanjut Salma.

“Karena mereka, awalnya mengira kalau Rinjani pacarnya Langit. Toh, lo berdua sering berangkat dan pulang bareng.” Senja menambahkan fakta yang mulai saat ini akan menjadi bagian dari masa lalu. Rinjani sudah memutuskan satu hal yang sering dilakukan dengan Langit di depan umum, untuk aktivitas lainnya biar waktu yang menjawab.

“Gue gak tertarik untuk tau. Terserah mau kayak gimana, gue capek dan memang seharusnya gue belajar memberi jarak sama Langit,” balas Rinjani.

“Yakin?” Senja menatap penuh wajah Rinjani, yang masih memaparkan luapan emosi sampai saat ini.

Salma mendengkus, kemudian memeluk Rinjani. “Rinjani temen gue, pasti bisa ngelakuin itu. Jika berada didekatnya menimbulkan luka, untuk apa nyolot tetap bersama?” Bola mata Salma sejenak melirik ke arah Senja yang langsung membuang muka.

“Matanya, biasa aja kali!” komentar Senja.

“Lagian ya, udah tahu Fajar gak suka, masih aja nyolot pengen barengan,” timpal Salma, kemudian terkekeh. “Dari nama kalian aja udah kelihatan, Fajar dan Senja, enggak mungkin bersama.”

“Seneng, lo?”

Rinjani menggaruk kepala yang tak gatal mendengar perdebatan antara Salma dan Senja, dari dulu hingga kini belum menemukan titik damai dalam masalah ini. Selama berteman dengan mereka berdua, tak sedikit pun Rinjani melihat tanda-tanda Senja akan mengakhiri hinaan Salma. Entah apa yang ada dipikiran Senja sampai rela menunggu dan berjuang untuk mendapatkan hati Fajar, meskipun seperti apa yang Salma bilang, ketua OSIS itu tampak enggan memboroskan segalanya demi Senja.

“Kalian bisa damai enggak?” celetuk Rinjani memotong perdebatan yang berputar, enggak ada ujungnya. “Mungkin Fajar butuh waktu untuk beradaptasi sama dunia yang Senja berikan, dan buat lo mungkin bangga jadi jomblo, tapi gue yakin lo pernah ngerasain berada di titik kesepian dan kepengen punya pasangan untuk menghapus kesepian itu sendiri, kan?”

Salma dan Senja hanya bisa saling menatap dalam diam. Keduanya menyetujui apa yang baru saja Rinjani ucapkan, titik-titik itu memang sempat hadir dan Salma sempat meneteskan air mata ketika hatinya berteriak cemburu melihat sepasang manusia. Begitu juga dengan Senja, selalu yakin kalau suatu hari Fajar akan menyapanya, meskipun waktu yang menentukan endingnya.

“Terus, sebenarnya kita lagi ngapain sih duduk di halte?” Salma baru ingat akan sesuatu yang sebenarnya tak perlu dilakukan.

Senja mengerjap beberapa kali. “Iya juga, padahal angkutan umum sudah stay dari tadi.”

Rinjani menggeleng dengan dibarengi kekehan pelan, kenapa temannya ini selalu punya tingkah aneh seperti ini. Tapi, hal tersebut menjadi nilai plus dan akan menjadi alasan sebuah rindu bertamu kelak.

“Jadi lo dijemput atau naik angkot?” tanya Senja yang sudah beranjak, berdampingan dengan Salma yang juga menatap Rinjani.

“Gue dijemput.” Rinjani mengambil ponsel di saku bajunya, baru ingat selama bel pulang berbunyi ia mengabaikan benda ini.

“Dijemput sama A Ardhan?” tebak Salma antusias.

Rinjani menggeleng lembut. “Sama seseorang yang mungkin akan menjadi rutinitas baru untuk hari esok dan seterusnya.” Rinjani menahan senyum, mengetahui kalau kalimat yang baru saja ia lontarkan memberikan sengatan halus di pipinya.

“Bagus deh, kalo gitu kita duluan ya?” Senja dan Salma memberikan salam perpisahan kepada Rinjani, setelah itu mereka beranjak menuju angkutan umum yang sudah bersiap untuk mengantarkan penumpang ke depan rumahnya.

Rinjani menggigit bibir ketika mengetahui banyak spam chat dan panggilan tak terjawab dari orang yang akan menjemputnya ini. Segera ia menelepon balik sembari bangkit dari duduknya lalu mondar-mandir, lengkap dengan perasaan bersalah. Hari pertama untuk memulai kisah baru, telah ia rusak karena tenggelam dalam obrolan teman-temannya.

Lintang:

Halo?

Balasan Rinjani tertahan di ujung mulutnya, saat sepasang mata di balik helm menatapnya penuh. Sementara yang dibonceng, hanya fokus terhadap minuman ber-es batu yang terbuat dari campuran cincau dan cokelat. Lantas Rinjani membuang muka, seakan-akan tak peduli atas apa yang baru saja dilihatnya.

Lintang:

Rin?

Rinjani mengerjap dan membalas sapaan Lintang yang kedua kali, ia meminta maaf karena terlambat mengabari soal kepulangannya. Rinjani juga menjelaskan kenapa bisa terlambat, tapi sosok di seberang sana hanya terkekeh dan memaklumi apa yang sudah terjadi.

“Aku tunggu ya di halte, kamu hati-hati di jalannya, dah!” Tingkat percaya diri Rinjani terhadap Lintang meningkat, ketika laki-laki itu bertamu dan berbaur dalam obrolan bersama keluarganya. Orangnya asyik dan gampang akrab.

Sekitar lima belas menit Rinjani menunggu kehadiran Lintang dengan kuda besinya, tapi sosok itu belum kelihatan. Sekitaran Pasundan sudah mulai sepi, tersisa beberapa murid yang mungkin bernasib sama dengannya yaitu menunggu jemputan. Para angkutan umum pun mulai berpergian, hanya sesekali mengajak di antara mereka untuk naik ke mobilnya.

Rinjani menatap jam di ponselnya, mungkinkah Lintang sudah tiba di kossannya hingga memakan banyak waktu untuk menjemputnya. Rinjani pun enggak tahu di mana letak kossan Lintang, ketika mengobrol dengannya sisi keluarga yang menjadi pokok utama yang dibahasnya.

Bertepatan dengan bangkitnya Rinjani, sosok yang seharusnya tidak perlu repot-repot datang malah hadir dan turun dari motor, menghampirinya. Rinjani membuang muka dan melipat kedua tangannya di depan dada, berusaha untuk baik-baik saja setelah kejadian istirahat tadi.

“Ayo balik!” ajak Langit.

“Ngapain lo ke sini? Gue kan udah bilang gak usah antar jemput gue lagi, lagipun bentar lagi Lintang datang,” balas Rinjani masih enggan untuk menatap sosok laki-laki yang kini melepas helmnya.

Bukannya pergi, Langit malah duduk bersandar di halte. Sontak membuat Rinjani menoleh dan mengerutkan dahinya. “Kok malah duduk. Gue ada yang jemput kok!”

“Kenapa? Gue cuma mau mastiin lo dijemput,” timpal Langit.

Dalam dada, Rinjani berdoa agar Lintang segera datang. Jangan sampai kenyataan lain mengutuknya yang mengharuskan pulang dengan Langit. Mata Rinjani melayang ke ujung jalan, dan setiap kali menangkap sebuah motor hatinya mantap mengklaim bahwa itu adalah Lintang, meskipun pada kenyataannya bukan sama sekali.

“Bentar lagi jam lima, lo masih mau nunggu Lintang?” tanya Langit.

“Iya. Lagian gue ngabarin dia setengah lima, jadi wajar sampai jam segini!” Rinjani memokuskan tatapan pada satu pengendara motor di ujung sana, kali ini hatinya benar-benar berteriak antusias. Ia yakin kalau motor gede itu adalah milik Lintang, dan ya dugaan kalau dia sudah di kossan emang kenyataan.

Laki-laki berjaket hitam itu membuka kaca helm, menampakkan sorot mata yang menandakan kalau dirinya tengah tersenyum. Rinjani langsung menghampiri Lintang dan menyapanya, sementara Langit hanya mampu bermain lirik-lirikkan dengan getar dada yang tak bisa dinetralkan lagi.

“Maaf telat, tadi ada perdebatan kecil sama kakak soal motor. Biasa kalo soal otomotif jatuhnya kita kayak tom and jerry,” kata Lintang.

“Enggak apa-apa lagi pun, aku juga ngabarinnya telat,” balas Rinjani.

Lintang menatap Langit yang tengah sibuk dengan ponselnya di sana, kemudian mengalihkan kepada Rinjani. “Dia Langit kan?” tanya Lintang.

“Iya. Ya udah yuk, takut kemalaman, kan besok kita masih ujian.” Sepertinya Rinjani akan membuang jauh-jauh sikapnya hari ini, jujur ia ingin cepat-cepat pergi dari hadapan Langit. Entah kenapa aura Langit sekarang terlihat mengganggu?

Setelah Rinjani naik ke boncengan, Lintang memberikan intrupsi melalui klaksonnya kepada Langit. Sebagai balasan Langit hanya menatap mereka tanpa ekspresi, diikuti dengan hela napas yang sangat panjang begitu motor yang membawa mereka menjauh.

Langit bangkit dari duduknya, lalu menautkan helm dengan tidak bersemangat. Mungkin memang ini waktunya, Langit harus beradaptasi dengan kenyataan baru. Satu rutinitas yang ia dan Rinjani sering lakukan, melambaikan salam perpisahan pada masa depan.

Langit rinjani tengah berkabut, yang diharapkan bukanlah pertanda akan datangnya badai, melainkan pelangi yang menambah keelokkan di sana.

O0O

Yuuhuuu Kutunggu Kau Putus kembali💓💓💓
Gimans?

Setay sef en heltiiiiii yooooo biar tamu tak diinginkan ini segera sirna dari muka bumi ini😙

Jan lupa VOTE COMMENT AND SHARE💓

Dan jan lupa baca 'JADI AKU SEBENTAR SAJA' karya kak VitaSavidapius

Cekidot

“Bukannya kalau kumisan itu ciumable, ya?”

“Ih, ogah.”

“Jangan bilang kalau ciuman pertamamu itu—“

Kali ini serbuan cubitan di segala tempat Ario dapatkan. Mika mendorong Ario hingga lelaki itu bergeser dari duduknya. Tak mau kalah, walau tubuh berdenyut nyeri, Ario membalas dengan mencubit pipi gadis itu. Lelaki itu sedikit menyesal, musuhnya kali ini perempuan. Tak banyak arena yang bisa dia pegang dengan bebas.

Tanpa ada yang menyadari, ada seseorang yang tanpa sengaja melihat kebersamaan mereka. Lelaki itu menarik napas lebih dalam dan mengembuskan perlahan sebelum berbalik masuk ke rumah.

See you oghey❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top