1. Kita

November, 2017

Laki-laki jangkung itu berlari masuk, tepat ketika motornya terparkir di depan sebuah tempat yang tidak terlalu ramai ini. Suasananya tampak hangat, dengan lampu-lampu kuning temaram menggantung; membelah setiap senti tempat ini. Bukan hanya itu, alunan musik akustik yang membungkam menambah kesan syahdu tempat ini.

Sayang, laki-laki itu telah menghancurkan kenyamanan orang yang paling disayangnya saat ini. Dia datang terlambat karena sebuah janji lampau yang diucapkannya pada perempuan yang kini tengah mendekam dalam ruangan penuh materi bersama teman-temannya.

Sore yang seharusnya terlihat indah karena jingganya, seolah tak berarti dan hanya menyisakan kehampaan luar biasa kala perempuan cantik di depan mengabaikan kehadirannya selama lebih dari lima belas menit. Laki-laki itu tiada henti mengungkapkan segala penyesalan, dan menuturkan janji kalau ini adalah keterlambatan yang terakhir.

Perempuan itu mendengkus, dan menggeleng pelan secara berkala. Senyum mirisnya kian mencuat beriringan dengan tatapan yang perlahan terarah kepada kekasihnya ini.

“Kita putus aja!” ungkapnya.

Obrolan yang menyelimuti tempat hangat ini seakan terserap habis oleh kekuatan yang membersamai ucapan perempuan pemilik bulatan mata hitam itu. Tak perlu banyak waktu, rasa yang ia ukir indah selama lebih dari satu tahun ini berubah menjadi sebilah pisau yang mencabik hatinya dengan kejam.

“Ta-tapi, Anggita, a-aku--Plis ... beri aku kesempatan sekali lagi, aku janji aku akan memperbaikinya, ya?” balas laki-laki itu bersungguh-sungguh.

Anggita terdiam cukup lama. Perlu diketahui, putus dari kekasihnya ini memang sangat tidak diinginkan. Ia sudah terlanjur dibuat nyaman olehnya, meskipun entah sudah ke berapa kali kekasihnya ini menghancurkan kenyamanannya oleh alasan yang sama.

“Baiklah, tapi,” Anggita menghela napas pendek. “Perlakukan Rinjani sewajarnya layaknya seorang teman, bukan memprioritaskan dia seakan-akan dia pacar kamu, Lang?” tegas Anggita.

“I-iya, aku janji!” Meskipun bimbang, laki-laki itu tetap menyetujuinya. Tak perlu dipikirkan, setidaknya sampai kencan dengan Anggita berakhir.

Langit Samudra Bintang, nama paling megah dan memesona ini sangat pantas laki-laki itu dapatkan. Laki-laki berparas lumayan tampan sekaligus lucu ini, tidak pernah absen dari pujian orang-orang di sekitarnya. Terlepas dari fisik yang nyaris sempurna, Langit juga sangat handal dalam bernyanyi dan bermain alat musik terutama gitar.

“Aku minta maaf ya, Gi. Aku sudah sering buat salah ke kamu, tapi jujur aku sangat-sangat cinta sama kamu. Aku enggak mau putus sama kamu,” terang Langit, serius. “Makasih, ya, udah pertahanin aku sampai detik ini, aku akan berusaha menjaga rasa percaya kamu,” lanjut Langit.

Perempuan bernama lengkap Anggita Novitasari itu mengangguk, kemudian tersenyum. Perempuan cantik dan pintar ini, berhasil membuat seorang Langit nyaman dalam sekali pertemuan. Kata Langit--saat perkemahan masa tamu setahun yang lalu--kepandaian Anggita membuatnya kagum, dan mulai dari sana benih cinta itu tumbuh.

“Kamu jangan hianati lagi janji kamu,” imbau Anggita.

“Iya, aku janji!” sahut Langit seraya melebarkan senyumnya.

“Ya udah cepetan kamu pesan makanannya, aku udah lapar, nih!” Anggita memutar dua bola matanya sebal melihat tingkah Langit yang enggak ada bosan-bosannya melakukan kesalahan yang sama. Bodohnya, Anggita selalu memberikan kesempatan dalam setiap kesalahan yang dibuatnya.

Langit menampakkan deretan gigi, sebelum akhirnya memanggil pelayan Kedai Jajaka yang berseliweran sana-sini. Tempat yang dihiasi berbagai lukisan karakter kartun yang digemari cowok ini, menjadi salah satu tempat favorit para insan penikmat kopi dan camilannya. Selain dipenuhi lukisan karakter kartun, yang menjadi ciri khas sekaligus alasan dari nama kedai kopi ini adalah banyaknya miniatur karakter superhero, juga benda-benda yang berhubungan dengan otomotif.

Sepasang kekasih yang tengah menikmati hidangan kopi dan kentang goreng ini, menghabiskan waktu hingga penghujung sore. Entah berapa kisah yang telah mereka ceritakan sore ini, sampai berkali-kali tatapan kagum berselimut bahagia terlukis jelas pada sepasang mata mereka.

“Habis ini, temenin aku belanja, ya? Aku mau beli skincare, beli buku, dan camilan buat temen baca sama nonton,” ujar Anggita.

“Iya, ayo, aku juga mau beli buku bacaan juga,” balas Langit.

Anggita mengerutkan dahinya. “Sejak kapan kamu suka baca buku?” selidik Anggita seraya memajukan kepalanya ke hadapan Langit.

“Sejak saat ini.” Langit turut memajukan kepalanya sampai embusan napas dari sang kekasih tercium,  lalu melebarkan senyumnya.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Anggita.

“Bisa. Karena kamu,” jawab Langit yang langsung dibalas Anggita dengan tamparan pelan dipipinya.

“Bisa aja, cacing arab!” ledek Anggita.

“Bisa, kalo pacarnya kutu buku korea!” balasnya lagi.

Jika bukan karena rambut Langit yang agak ikal dan sorot mata cokelat terang bak orang timur tengah, mungkin Anggita tidak akan memberikan sebutan demikian. Mulai dari sana, jika sedang dibuat kesal atau baper, Anggita akan memanggil Langit cacing arab.

Sementara Langit sendiri, memanggil Anggita dengan sebutan kutu buku sepertinya tidak perlu dijelaskan. Perempuan pintar dan cantik di hadapannya ini sangat terobsesi dengan hal-hal yang berbau buku dan Korea, sampai jika dia kesal atau marah karena drama Korea yang ditontonnya, Langit harus bersiap menerima pelampiasan yang membuat dirinya tersenyum ditengah kesakitan.

O0O

Wanita bertubuh langsing melepaskan kacamata, begitu selesai menjelaskan materi hari ini untuk sepuluh murid kesayangannya. Sudah lebih dua jam kelas berlangsung, dan kini tiba saatnya ia menutup kelas minggu ini.

“Thank you, sir!”

Perempuan berambut semi-pirang sepunggung segera membereskan beberapa buku miliknya, sembari membalas salam perpisahan dari teman-teman Les Bahasa Inggrisnya. Sejak dulu minat Bahasa Inggris perempuan ini sangat tinggi, dia selalu bermimpi dan bercerita kepada temannya kalau dirinya kelak akan menjelajahi dunia. Sebagai dasar untuk mewujudkan mimpinya, ia harus lancar berbahasa Inggris.

“Rin, mau aku bantuin?” tawar Lintang, laki-laki satu tahun lebih tua darinya.

“Enggak usah, Kak.” Rinjani memasukan buku terakhir ke dalam tasnya.

Laki-laki bertubuh tegap itu menyilakan Rinjani untuk keluar dari bangkunya. “Kenapa kamu ambil kelas Bahasa Inggris?”

“Karena aku ingin keliling dunia,” jawab Rinjani.

“Enggak mau ajak aku?” canda Lintang yang langsung direspons senyuman dari Rinjani. “Ngomong-ngomong, kita makan bareng yuk? Aku yang traktir,” sambungnya, dadanya berdegup kencang karena memang ini adalah kali pertama ia mengajak teman lesnya makan bareng.

“Boleh, kebetulan teman aku agak telat jemputnya,” balas Rinjani.

“Teman apa pacar?” goda Lintang.

“Dih, mana mau aku pacaran sama dia. Dia itu udah punya pacar, lagian cewek yang suka sama dia kayaknya banyak banget, capek kalo aku pacaran sama orang kayak dia,” jelas Rinjani.

Lintang terkekeh pelan. Sudah lama sekali dia mengaggumi Rinjani, tepatnya ketika mereka masuk kelas ini beberapa bulan yang lalu. Tetapi, dia tak berani untuk mengungkapkannya, apalagi ketika orang yang baru saja Rinjani anggap sebagai teman selalu mengantar jemputnya.

“Dia bintang SMA ya?”

“Mungkin iya. Dia orangnya baik, bisa nyanyi sama main gitar. Terus kalau dia udah show di acara sekolah, pasti seisi acara pada teriak manggil namanya,” terang Rinjani selama memangkas tiap senti lorong.

“Cie ada yang diam-diam merhatiin,” godanya lagi.

“Bukan begitu, Kak. Dia tetangga aku, teman aku sejak kecil, jadi aku tahu banyak tentang dia, begitu juga sebaliknya,” elak Rinjani.

Obrolan tentang kebersamaan Rinjani bersama temannya, menjadi cerita perjalanan menuju tempat parkir kendaraan yang berada di depan bangunan kubus ini. Dahi Rinjani mendadak berkerut, ketika Lintang menyuruhnya naik ke boncengan motornya.

“Tunggu, kenapa Kak Lintang tiba-tiba ngajak aku makan bareng? Kakak enggak ada niatan nyulik aku, kan?” selidik Rinjani menyadari keanehan yang terjadi. Rinjani tahu Lintang, dia adalah laki-laki pendiam, serius, dan selama les dia jarang banget mengeluarkan suara kepadanya. Paling sering, dia selalu menyapanya dengan senyum tipis.

Lintang tertawa mendengar deretan pertanyaan yang terlontar dari mulut Rinjani. Kenapa perempuan cantik di hadapannya bertanya demikian? Seburuk itukah penampilannya hingga seorang Rinjani mempertanyakan ajakan tulusnya?

“Iya, aku mau nyulik kamu!” balas Lintang.

“Ish!” desis Rinjani.

“Ya, enggaklah Rinjani. Nanti aku ceritain, kenapa aku ngajak kamu makan hari ini. Yang penting sekarang kamu naik ke boncengan, kita habiskan waktu hingga teman kamu itu jemput kamu, gimana?” terang Lintang.

“Awas ya jangan macam-macam, aku bisa pukul kamu pake kamus sampai hilang ingatan,” ancam Rinjani.

Susah payah Lintang menahan tawa mendengar ancaman dari Rinjani. Baru tahu kalau perempuan yang ia kagumi selucu ini, ah, entahlah antara lucu dan galak sepertinya beda tipis bagi seorang Rinjani.

Motor gede milik Lintang berlalu meninggalkan bangunan kubus bercat abu, dengan deretan huruf kapital yang terpampang di atasnya menyuarakan ‘SMART PEOPLE’. Tempat di mana orang-orang yang memiliki minat tinggi mendalami ilmu akademik itu, menjadi saksi pertama atas kekagumannya seorang Lintang Adelio terhadap Rinjani. Bukan tanpa alasan dirinya menganggumi sosok Rinjani, tetapi ia perlu waktu untuk mengungkapkan hal itu.

Untuk Rinjani sendiri, tak pernah berharap besar terhadap laki-laki yang sekarang tengah fokus menyetir motornya. Ia tidak pernah percaya sama cinta pandangan pertama, karena saking mumetnya terhadap permasalahan yang dikeluhkan teman sekelasnya. Ya, karena semua teman-temannya merasa dipermainkan oleh cinta pandangan pertama.

“Ini adalah tempat kesukaanku,” kata Lintang begitu motornya terpakir, dan helmnya mendarat di spion. “Biasanya, aku sama teman-teman aku nongkrong di sini.”

“Kedai Jajaka.”

“Iya. Kamu tau kenapa tempat ini dinamakan Kedai Jajaka?” tanya Lintang.

“Mungkin kedai ini dibuat oleh sekelompok cowok,” jawab Rinjani seadanya.

Lintang tersenyum, seraya menggelengkan kepalanya berkala. “Bukan. Karena yang mendirikan kedai ini sangat suka otomotif, olahraga, dan film superhero. Yang mana semua itu pada umumnya adalah hobi para cowok. Makanya kedai ini diberi nama Kedai Jajaka.”

“Kok bisa tahu?” tanya Rinjani.

“Karena kedai ini milik temannya kakak aku,” jawab Lintang.

Detik berikutnya, mereka berlalu masuk dan duduk di bangku yang berada di salah satu sudut ruangan. Rinjani sangat takjub dengan hiasan yang terpajang di kedai ini, dan benar saja nuansa kedai ini terasa laki banget. Terlihat dari miniatur dan lukisan karakter kartun, dan beberapa meja di sini didesain dari ban mobil.

“Unik!” komentar Rinjani.

“Kamu mau pesan apa?” tanya Lintang.

“Apa aja terserah Kak Lintang, yang penting rasanya manis enggak pahit,” jawab Rinjani.

“Oke. Kita pesan roti bakar sama Vietnam Drip aja,” putus Lintang.

Tempat ini tidak terlalu ramai, karena memang orang-orang yang berkunjung ke sini lebih aktif di atas jam sembilan malam. Sementara sekarang, baru saja pukul enam lebih lima belas menit.

“Jadi, apa alasan Kak Lintang ngajak aku ke sini terus traktir aku?” tanya Rinjani, mengingatkan.

“Alasannya, kamu cantik dan menarik perhatianku untuk kenal lebih dekat denganmu,” balas Lintang penuh percaya diri.

Rinjani tersenyum tipis. “Gombal!”

“Enggak, aku serius. Selama kita les, aku sering merhatiin kamu, dan aku kagum sama kamu karena selalu tampil aktif di kelas. Dan kamu harus tahu, kalau sekarang aku deg-degan banget bisa ngajak kamu ke sini,” jelas Lintang.

“Enggak usah lebay, Kak,” balas Rinjani seraya membenarkan posisi duduknya yang mendadak tidak nyaman.

“Aku serius. Tapi, kalo kamu gak percaya ya gak apa-apa,” timpal Lintang.

Rinjani tersenyum simpul, kemudian mengalihkan percakapan. “Kenapa ikut les Bahasa Inggris?”

“Karena aku ingin menemanimu keliling dunia.” Lintang menatap Rinjani penuh makna.

Rinjani menghela napas pendek. “Kak?!”

Lintang terkekeh, sejenak memalingkan wajahnya sebelum fokus kembali kepada Rinjani. “Nanti kamu tahu sendiri, kenapa aku les Bahasa Inggris.”

Laki-laki itu bercerita banyak hal, tentang orang tuanya yang merupakan seorang pengusaha di bidang perhotelan dan restoran sampai dengan dirinya yang memutuskan sewa kost dibandingkan diam di rumah besar sendirian.

Rinjani hanya mengangguk sambil ber-‘oh’ mendengar cerita Lintang yang sebagian kecil ia sudah bisa menebaknya melalui kendaraan dan beberapa barang branded yang dibawa oleh laki-laki itu ke ruang les. “Kamu tau, Kak. Aku pikir kamu tipikal orang yang pendiam dan pemalu, tapi ternyata kamu orangnya asik juga kalo lagi ngobrol atau cerita.”

Lintang terkekeh. “Jangan menilai buku dari kovernya, Rin.”

“Justru karena kover yang pertama kali dilihat seharusnya dibuat menarik, Kak,” tandas Rinjani lalu tertawa pelan.

O0O

Hallo gais, welcome back to KUTUNGGU KAU PUTUS versi lebih rapi dari sebelumnya!!!

Gimana part ini?

Semoga suka ya, dan jangan lupa untuk Vote, Comment, dan Share!❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top