Whose Fault? Part 2 [Husband!Aomine x Wife!Reader]
Merry Christmas!
Yap, ini lanjutan dari part kemaren. Maaf, kebablasan baca manga jadi lupa update hehe.
Warning seperti biasa~
×××
Malam telah menyapa kala Aomine sampai di depan rumahnya. Rumah sederhana khas yang terletak di pinggiran kota Tokyo, tidak terlalu besar ataupun kecil, cocok untuk ditinggali keluarga dengan lima orang anggota. Tetapi untuk saat ini, hanya ada Aomine dan istrinya.
Dengan nanar, Aomine menatap papan bertuliskan nama keluarganya yang terpasang di depan pagar. Ia ingat saat pertama kali memasang papan itu bersama istrinya, tepat setelah pemilik rumah sebelumnya memberi mereka kunci rumah itu, mereka berdua saling mengumbar tawa juga suka cita lantaran akhirnya berbagi nama yang sama.
Namun sekarang, ketika tahu wanita itu akan melepas nama yang mereka bagi, kayu berpahat huruf kanji itu terlihat menyedihkan berkali-kali lipat. Ombak kenangan seolah-olah menerjang Aomine dengan kencang, seperti akan merobohkannya saat ini juga.
Jika saja sang istri tidak mengkhianati ikatan pernikahan mereka, Aomine yakin ia akan pulang dengan perasaan senang sembari membayangkan makan malam apa yang akan dihidangkan istrinya. Bukan perasaan berat serta sesak yang seolah mencekiknya sampai hampir kehilangan napas seperti saat ini.
Tangan Aomine terasa berat tatkala ingin menyentuh pagar di hadapannya. Entah mengapa ada sesuatu di dalam dirinya yang merasa belum siap untuk memasuki bangunan yang disebutnya sebagai rumah. Seolah bagian kecil di dalam hatinya menolak setiap keputusan yang telah ia buat matang-matang di kepala.
Setelah menguatkan hati dan dirinya sendiri, Aomine berhasil membuka pagar juga pintu, membuatnya kini disambut keheningan juga kegelapan ruang depan dari rumahnya.
"Aku ...." Aomine mengurungkan niat melanjutkan perkataannya, ia merasa jika ia menyelesaikannya, keteguhan yang ia pertahankan susah payah dapat hancur begitu saja.
Kaki Aomine berusaha melangkah memasuki lebih jauh sudut rumah, ketika mendapati ruang depan yang gelap. Sejauh ini, ia hanya disambut lampu pintu masuk yang menyala secara otomatis, selebihnya hanya keheningan.
Apa tidak ada orang? Pikirnya sembari menyalakan satu per satu lampu yang dikira dapat menerangi ruangan tertentu. Mungkin belum pulang, tambahnya masih meniti tiap ruangan.
Namun langkah Aomine berhenti di ruang makan yang terhubung dengan dapur, napasnya tiba-tiba tersekat hingga dia tidak percaya apa yang berada di sana.
Meskipun sudah terlihat tidak begitu rapi, tetapi jelas ada jejak hiasan-hiasan dinding yang sepertinya tampak begitu meriah sehari sebelumnya, ditambah meja makan yang tertata rapi dengan lilin tidak berbentuk karena habis dimakan api, serta kotak biru tua yang tampak tidak tersentuh.
'Selamat Ulang Tahun, Daiki!' Tertulis di hiasan dinding yang hampir tidak kuat lagi menempel, alat convetti yang tidak terpakai ikut tergeletak di atas pantry dapur dengan sembarangan, dan tentu saja Aomine melihat jejak piring-piring juga pisau untuk kue yang entah berada di mana.
Tiba-tiba Aomine teringat perkataan istrinya siang tadi, ketika wanita itu menanyakan mengapa ia tidak pulang di hari ulang tahunnya sendiri. Kepala Aomine tiba-tiba terpenuhi berbagai kemungkinan, apa sang istri yang menyiapkan ini hingga terlihat begitu kecewa tatkala mendapati dirinya bersama wanita lain sehari setelah ulang tahunnya?
Tapi ... aku sudah lama sekali tidak pulang, ungkapnya dalam hati yang membuat rasa bersalah perlahan muncul tanpa diminta. Artinya sang istri tetap berharap ia pulang di hari ulang tahunnya, bahkan ketika sadar kemungkinannya sangat kecil.
Ia mendekat dan langsung meletakkan tubuhnya pada salah satu kursi, kakinya yang lemas seperti tidak bisa ditumpui lagi, dan jantungnya seolah lupa bagaimana cara memompa darah hingga terasa begitu sakit. Silu di dalam hati pun memperparah keadaan Aomine, hingga tanpa sadar ia menyenggol kotak yang berada di meja, membuat kotak itu mengeluarkan seluruh isinya.
Mau tidak mau Aomine membungkuk meraih kotak itu di atas lantai, bermaksud untuk memperbaiki kembali letak kotak tersebut seperti semula.
Tetapi alisnya tiba-tiba saja bertaut tatkala mendapati banyak benda yang baru pertama kali dilihatnya di depan mata.
Benda pertama yang didapatinya berukuran kecil juga tipis dengan dua garis berwarna merah di atasnya, selanjutnya benda yang sedikit lebih besar—bentuknya sangat aneh—masih memiliki dua garis yang mencolok. Aomine menelan ludah setelah mencermati kedua benda itu.
Kemudian jantung Aomine seolah jatuh ke perut, benda berikutnya yang ia temukan membuatnya hampir menitihkan air mata—entah haru atau sedih.
"Aoi Minggu Ke-6!" Terbaca pada salah satu kertas foto yang berada di dalam kotak, Aomine menatapnya dengan saksama. Benda itu hanya menunjukkan warna putih yang dominan dengan satu rongga hitam yang mencolok.
Aomine melihat lembaran lain dengan tulisan Aoi dan angka yang semakin besar. Hingga ia sampai pada gambar terakhir dengan catatan yang lebih panjang dari sebelumnya.
"Aoi Minggu Ke-23 ! Laki-laki ♡"
Beep
Perhatian Aomine langsung langsung menuju telepon rumah, benda itu mengeluarkan tanda bahwa ada pesan suara yang masuk. Namun setelah beberapa saat, tidak ada suara apa pun padahal benda itu sedang mengeluarkan rekaman.
"Daiki-kun, apa kamu di sana?" Tiba-tiba suara familier keluar dari benda itu. Suara dari ibu mertua yang tinggal di distrik lain kota Tokyo, "Kaa-san tidak tahu bagaimana cara menghubungimu. Telepon dan email, tidak ada satu pun yang bisa membuat kami sampai ke padamu. Tapi Kaa-san benar-benar berharap kamu sedang berada di rumah dan mendengarkan ini."
Alis Aomine bertaut, untuk apa ibu mertua yang tinggal cukup jauh memberi pesan suara? Terlebih lagi pesan itu khusus untuknya, bukan sang putri.
"Kaa-san dan Otou-san tahu pernikahanmu dan [Name] sedang tidak baik," Suara itu kembali terdengar dari telepon, "tapi dia membutuhkanmu—hiks. Datanglah ke rumah sakit xx ... Kaa-san mohon, datanglah."
Telinga Aomine mendadak berdenging dengan kencang, pikirannya tiba-tiba kalut tatkala mendengar suara ibu mertuanya yang bergetar diiringi isakan pilu. Ia ingin bangkit, menuju ke rumah sakit yang sempat diucapkan sang ibu mertua, tetapi kakinya masih terasa lemas.
Apa yang sebenarnya terjadi?
×××
Butuh waktu lama untuk Aomine sampai di rumah sakit, ia perlu waktu untuk menenangkan dirinya sendiri juga bersiap menghadapi keluarga sang istri. Ia tahu akan sangat sulit untuknya menghadapi mereka di tengah keadaan mereka berdua yang tidak baik.
Setelah menanyakan keberadaan istrinya di resepsionis, Aomine melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit yang terbilang sepi karena malam yang semakin larut. Ia ingin segera menemui istrinya.
"Okaa-san!" Panggil Aomine tanpa sadar, suaranya serak efek kelelahan, dan entah mengapa ia merasa air matanya membendung ketika melihat sosok wanita itu di depan ruang operasi bersama satu wanita lainnya.
"Dai—"
Slap!
Belum sempat sang ibu mertua membalas sapa, seseorang menampar pipi kirinya dengan keras hingga meninggalkan rasa pedih di tempat yang sebelumnya telah mendapat tinjuan, "Dari mana saja kamu, Brengsek?" Tanya perempuan itu penuh tekanan, tatapannya jelas menyiratkan kemarahan, "sudah puas kamu melihat [Name] menderita seperti ini?"
Tangan Aomine sontak memegangi pipinya yang terasa panas juga pedih, ia menatap perempuan bergaya khas wanita kantoran memandanginya dengan tajam. Aomine awalnya tidak ingat, tetapi ada sekelebat bayangan tentang perempuan ini di memori—sahabat baik istrinya.
"Akiko," tegur ibu mertua Aomine.
Perempuan itu tidak berkutik, ia masih menatap tajam Aomine, "Kamu pasti sudah puas, kan?!" Bentak perempuan itu hingga suaranya memantul di koridor, "PUAS MELIHAT ISTRIMU MENDERITA BEGINI?!"
Aomine bisa melihat emosi yang menggebu dari perempuan itu, "AKU PERCAYA PADAMU, BRENGSEK, DAN AKU MEMERCAYAKANNYA PADAMU!" Tangan perempuan itu memukul-mukul dada Aomine dengan kencang, "TAPI KAMU MALAH MEMBUATNYA SEPERTI INI!"
Perempuan itu tampaknya belum mau berhenti, "ISTRIMU DI DALAM SANA MENGANDUNG LIMA BULAN, BAJINGAN, LIMA BULAN!" teriaknya sekencang mungkin, "APA KAMU BUTA SAMPAI TIDAK SADAR DIA SEDANG MENGANDUNG ANAKMU?"
Isakan ibu mertuanya juga mulai terdengar, wanita itu menutup mulutnya menahan tangis yang semakin mengencang. Jelas terlihat kalau ia sangat terpukul.
"Maaf," bisik Aomine tanpa sadar. Mau bagaimana pun, ia adalah laki-laki paling berdosa. Dibutakan rasa cemburu, menyelingkuhi istrinya, hingga tidak menyadari jika sang istri mengandung anak mereka. Bahkan jika harus dieksekusi mati pun, Aomine memang pantas mendapatkannya.
Hening menyelimuti koridor yang kini bertambah penghuninya. Orangtua Aomine datang setelah anak lelaki mereka memberi kabar bahwa sang menantu berada di rumah sakit.
"[Name] ... ingin memberimu kejutan soal Aoi ... tentang anakmu," jelas Akiko dengan suara parau karena telah memaki juga memukul Aomine tanpa ampun beberapa menit yang lalu, "jadi dia pergi bersamaku dan Tatsuya untuk menyiapkannya."
Perempuan itu menghapus air mata yang mengalir begitu saja di pipi, "Dia takut mengganggumu yang sedang fokus untuk bekerja, dan terkadang aku tidak bisa mengantarnya karena selalu ada panggilan dari kantor," lanjut perempuan itu, "makanya kuminta suamiku, Tatsuya, untuk selalu menemani dan mengantarnya pulang untukku."
"Tadi Tatsuya bilang ... dia mengejarmu dan tidak melihat jalanan ..." Suara Akiko kembali terdengar, "Aku ... tidak akan memaafkanmu kalau terjadi sesuatu padanya."
Dada Aomine semakin sesak, rasa bersalah kini telah menyelimutinya dan semua kemungkinan yang ada di kepalanya hanya menggambarkan hal buruk.
"Maaf," Aomine tidak tahu harus berkata apa lagi. Pikirannya kacau dan ia merasa bertanggung jawab atas semua yang terjadi pada [Name]. Tentu saja itu salahnya, jika ia tidak keras kepala dan mendengarkan penjelasan sang istri—atau sadar jika istrinya sedang mengandung, semuanya tidak akan berakhir seperti ini.
Keheningan menyelimuti ruangan, dingin seolah telah menyatu dengan manusia yang berada di sana. Harapan dan doa tidak berhenti terpanjatkan dalam hati, berharap wanita yang tengah ditangani di dalam sana baik-baik saja.
"Mobil melaju kencang karena lampu lalu lintas baru saja berganti hijau," Kali ini Ibu mertua Aomine yang berujar dengan susah payah, tangisnya berubah menjadi isakan kecil dan ditenangkan oleh besannya, "seandainya dia lebih berhati-hati."
"Ini salahku, Okaa-san. Maaf," Entah sudah berapa kali mengucapkan kata maaf. Andai saja ia tidak begitu menghindari [Name] dan berbicara baik-baik dengan istrinya itu, semuanya tidak akan berakhir seperti ini.
Kemudian tangan Aomine bergetar hebat, napasnya mendadak berat, bibirnya bergetar, "Bagaimana kalau [Name] tidak—"
Perkataan Aomine disela oleh bunyi pintu ruang operasi yang terbuka. Di sana seorang laki-laki dengan pakaian lengkap khusus bedah ternodai beberapa bercak darah keluar. Semua orang di depan ruangan berdiri, menantikan laki-laki itu untuk berbicara.
"Sayang, bagaimana?" Itu Akiko, menatap penuh harap pada orang yang dapat ditebak adalah suaminya, Tatsuya.
Laki-laki itu membuka masker di wajahnya, kemudian memberikan pelukan pada Akiko, "Maaf," katanya dengan suara pelan, bahu laki-laki itu bergetar, "kami ... tidak bisa menyelamatkan mereka berdua."
Kaki Aomine lemas, tubuhnya limbung begitu saja, dan seketika tangisan pecah memenuhi lorong ruang operasi. Duka jelas terasa di antara orang-orang itu. Tentu saja, mereka kehilangan anggota keluarga mereka.
Brankar rumah sakit keluar dari ruangan operasi, dibawa oleh beberapa perawat yang juga bersetelan lengkap, juga Tuan [Last Name] yang tampak terpukul karena menyaksikan langsung kepergian putri semata wayangnya di dalam ruang operasi.
"Maaf," salah satu perawat mengucapkan kata yang seolah-olah terdengar dari radio rusak, berulang lagi dan lagi, "bayinya sudah tidak bisa diselamatkan dari awal Nona sampai di rumah sakit. Kami berusaha menyelamatkan sang ibu, tetapi pendarahan hebat karena benturan juga syok membuat operasinya sulit. Kami kehilangan mereka berdua."
Perkataan itu harusnya disampaikan oleh dokter atau asistennya, tetapi kedua orang itu juga bagian dari keluarga pasien yang berpulang. Bagaimana bisa mereka menyampaikan kematian anggota keluarga mereka tanpa mengeluarkan kesedihan mereka sendiri?
Tangan Aomine bergerak tanpa diminta, ia membuka kain yang menutupi wajah istrinya. Ia bisa melihat wajah pucat itu penuh luka lebam dan lecet di sana, membuatnya tersadar bahwa istrinya itu terhantam cukup keras.
Ini semua salahnya. Salahnya karena termakan api cemburu, menutup telinga dari penjelasan istrinya, dan bahkan berusaha mengakhiri pernikahan mereka. Jika saja ia tidak begitu keras kepala serta menahan emosinya barang sebentar, hal ini bisa saja tidak terjadi. Ia masih bisa bersama dengan istrinya dan mungkin saja ... bisa bersama putra mereka.
"Otou-san," panggil Aomine dengan tangis tertahan pada ayah mertuanya, air matanya membendung di pelupuk mata. Ia berlutut di atas lantai rumah sakit dan membungkuk hingga kepalanya menyentuh lantai, "Maafkan aku. Aku tidak bisa menjaga [Name] seperti janjiku padamu, aku membuatmu kehilangan cucu, dan aku membuatmu—"
Ayah mertua Aomine membuat ia tidak bisa melanjutkan perkataannya dan menyuruhnya berdiri, laki-laki di akhir usia lima puluhnya itu tersenyum, berusaha terlihat tegar, "Jangan meminta maaf, Daiki. Kamu terdengar seperti menyesal menjadi menantuku," katanya berusaha menangkan, padahal wajah dan mata pria itu sendiri bengkak akibat menangis, "[Name] memilihmu dan dia tidak menyesal sama sekali."
Pria itu memaksakan senyumnya, "Dia bahagia bersamamu, Daiki ... sampai akhir hayatnya dia bahagia. Dan dia ingin kamu bahagia."
Senyum pria itu tidak luntur, ia menepuk pundak laki-laki itu dan kemudian membungkuk, "Terima kasih karena membuat putriku bahagia."
Air mata meluruh begitu saja mengaliri pipi Aomine. Bagaimana bisa, pria ini dengan lapang hati mengucapkan terima kasih padanya yang secara tidak langsung membuat putrinya kehilangan nyawa?
Dan pada hari itu, Aomine sadar, meminta maaf saja tidak akan mengembalikan apa yang sudah hilang dan berlalu.
×××
Thanks to hanhamiya untuk ilustrasinya TnT penyelamat untukku yang gabisa gambar 😭😭❤❤
Kok, bisa kecelakaan? Kapan? Ini aku udah kasih hint di adegan Aomine pergi sama selingkuhannya. Dia nggak lari, cuma jalan karena lagi padat-padatnya, tapi kenapa istrinya nggak bisa ngejar padahal dia bisa nampar-nampar selingkuhan Aomine pas lagi ngobatin Aomine? Karena dia hamil dan ketabrak. Aomine saking marahnya karena ngira si istri selingkuh, dia jadi nggak mau tahu keadaan istrinya—padahal sadar ada yang beda.
Pokoknya selesai juga drama pernikahan ini. Terima kasih untuk requester yang bikin Mahouka nyari tahu soal kehamilan dan masalah yang biasanya didapat pasutri di awal pernikahan :')
Dari awal liat plot, emang udah ditetapkan untuk sad ending walaupun requester bilang terserah mau sedih atau senang. Tapi menurut Mahouka pribadi, there's no happy end for a cheater. Dan intinya adalah, komunikasi biar nggak ada salah paham.
Btw aku bakal bikin bonus cerita—konflik ini dari sudut pandang sang istri yang terselingkuhi. Mungkin ... doakan saja, minggu depan atau minggu depannya lagi 5555.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top