Whose Fault? [Husband!Aomine x Wife!Reader]
Karena merasa oneshoot ini akan sangat cringe—juga panjang, tolong persiapkan diri kalian yak 555.
Terima kasih untuk @call_ist karena udah request dan ngasih plot, tapi doi gabisa dimensyen btw. Coba komen, ya.
Warnings seperti biasa dan tambahan di atas 555.
×××
TUK!
Tangan Aomine memukul pelan jam digital di atas nakas, membuat benda yang tadinya berbunyi dengan suara nyaring itu berhenti dalam hitungan detik. Kesadarannya tidak langsung kembali, tetapi perlu beberapa menit hingga ia mengerang dan memijat pangkal hidungnya pelan.
Kamar tempat ia bangun hanya diterangi cahaya minim dari celah gorden, tetapi seharusnya itu tidak membuat tempat ini terasa asing. Letak perabotan, warna cat dinding, hingga selimut yang dipakainya dalam kamar terasa tidak familier, bagaimana dia bisa berakhir di sini?
Aomine menghela napas, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum ia tertidur. Mungkin sebelum ia tenggelam dalam alam mimpi, dia menegak minuman beralkohol terlalu banyak hingga sampai pada momen mabuk berat. Namun, seberapa keras ia berusaha mengingat, kepalanya hanya terus bertambah sakit.
"Kepalamu sakit lagi?" Sebuah suara membuat Aomine spontan mengangguk dan mengerang lagi, "akan kubuatkan ochazuke, untuk sekarang, kembalilah tidur."
Mau tidak mau Aomine menuruti, sakit kepala yang menyerangnya membuat dirinya tidak bisa berbuat sesuka hati. Akhirnya ia berbaring sembari menutup mata.
Suara pendingin ruangan juga jam digital yang ternyata mengeluarkan suara detakan, membuat Aomine terlarut dalam pikirannya sendiri tanpa diminta. Suasana di dalam kamar ini masih terasa aneh walau ia berusaha untuk terbiasa, tidak menyenangkan, dan ia merasa ada yang kurang dari tempat ia menghabiskan malam ini. Tapi apa?
Mau seberapa keras ia berpikir, ia tetap tidak menemukan jawaban apa pun.
Waktu berlalu begitu saja, Aomine yang terlarut dalam pikiran juga sakit kepala yang berlebihannya tersadar tatkala mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan spontan ia membuka mata dan mengakkan tubuhnya.
"Makanlah dengan pelan, hari ini akhir pekan, tidak masalah jika kamu tidak pergi kantor," Perempuan yang tadi keluar untuk membuatkannya ochazuke berujar pelan. Kemudian tangan perempuan itu menyeka rambut di kening dan memberikan ciuman di sana, "Jangan lupa untuk dihabiskan."
Perempuan itu berlalu lagi, tetapi ke arah pintu yang berbeda, dan alam bawah sadar Aomine tahu jika perempuan itu pergi ke kamar mandi.
Melihat ochazuke di hadapannya dihidangkan dengan alat makan mewah membuat Aomine tiba-tiba saja sadar di mana dirinya sekarang. Mangkuk keramik dengan warna putih bermotif rumit itu tidak pernah dibelinya, sumpit kayu tradisional dengan ukiran itu juga pertama kali dilihatnya, atau bahkan gelas minum berbentuk elegan berisi air di sisi mangkuknya pun jelas bukan miliknya.
Begitu ya, Pikirnya dalam hati sebelum memakan ochazuke tadi. Rasanya tidak seenak yang kuingat, tambah laki-laki berambut biru tua itu.
Setelah tersadar sepenuhnya, Aomine kini tahu ia berada di mana. Ini bukan rumah yang ia beli dengan uang tabungan dari gajinya sendiri, bukan kamar yang ia tempati tidur selama dua tahun terakhir, atau bahkan masakan yang ia makan selama ini. Tempat ini adalah penthouse seorang perempuan pebisnis yang ia temui di bar langgannya beberapa waktu lalu, bukan rumah tempat ia tinggal bersama sang istri.
Mangkuk keramik itu ia letakkan di atas nakas, tidak yakin jika ochazuke tadi memberikan efek langsung pada hangover*-nya. Tetapi satu hal yang pasti, Aomine merasa ia akan menjerumuskan dirinya ke masalah besar setelah ini.
Namun, bukan tanpa dasar Aomine menghabiskan malam dengan wanita lain selain istrinya sendiri. Ia bukanlah laki-laki yang mencoreng janji suci pernikahannya sendiri dengan berkhianat lebih dulu.
Perkataan orang-orang spertinya benar, mau selama apa pun hubungan dijalani, jika sudah terikat dengan janji suci pernikahan, semuanya tidak akan sama seperti dulu. Entah kenapa hubungan yang dulunya manis bagai madu perlahan berubah menjadi hambar seperti air, seolah-olah cinta yang dibangun bersama mulai hilang seiring berjalannya waktu.
Kepala laki-laki berambut biru tua itu berkedut lagi, sepertinya memikirkan pernikahannya yang sudah hampir tidak utuh di tahun ke dua membuat sakit kepalanya bertambah parah.
"Mau keluar denganku hari ini?" Spontan Aomine menoleh, mendapati wanita berambut panjang dengan bathrobe berdiri di depan pintu kamar mandi.
Aomine menatap jam digital yang menunjukkan angka tujuh dan dua puluh tiga, "Kamu tidak bekerja?"
Wanita itu tertawa, "Ini hari Sabtu, ingat?" Ujarnya sambil berjalan menuju ke arah lemari di sisi lain ruangan, "kita berdua tidak perlu ke kantor, apalagi bekerja. Bagaimana kalau kita pergi berkeliling?"
"Sudah lama kita tidak berkencan, kan?" Lanjut wanita itu lagi.
Sebenarnya Aomine ingin mengatasi hangover-nya terlebih dahulu, entah dengan kembali tidur atau sekadar duduk-duduk sambil menikmati kopi. Namun, melihat kilatan dari iris perempuan itu membuatnya tidak enak hati, bagaimana bisa ia berdiam diri di tempat ini sedangkan sang empu mengajaknya pergi?
Helaan napas pelan di keluarkannya, ia bangkit sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Baiklah, tunggu sebentar."
Tidak butuh waktu lama untuk Aomine bersiap. Setelah melakukan rutinitas pagi, rambutnya yang tidak terlalu panjang hanya dirapikan sedikit dan meskipun usianya tidak lagi muda, baju kaus berpadu dengan kemeja lalu celana jeans berwarna biru pudar masih membuat karisma laki-laki itu berpendar tanpa diminta. Tampan hingga menyilaukan mata.
"Senang melihatmu tidak terlalu kaku, Daiki-san," Wanita yang menjadi kekasih Aomine berujar, tangan jenjangnya perlahan bergelayut di lengan Aomine, "apalagi kamu memutuskan untuk tidak menghias jari manismu lagi semalam."
Spontan Aomine melihat jari manis tangan kirinya dan menyadari jika cincin pernikahan yang menjadi tanda bahwa ia adalah suami dari seorang istri, telah hilang dan entah berada di mana. Meskipun ada rasa tidak enak hati di dadanya, Aomine memilih untuk abai, toh tidak ada lagi alasan dia memakai benda itu.
"Sudah kusimpan sih, siapa tahu nanti Daiki-san ingin mengembalikannya," tambah wanita itu lagi sambil mengeratkan pelukannya. "Ayo kita pergi!"
"Kamu ini banyak bicara juga, ya?" Terang Aomine sambil mengusap rambut kecokelatan milik wanita itu dengan tangannya yang bebas. Memberi sentuhan penuh kasih sayang pada wanita yang bukan istrinya.
Di sisi lain, wanita itu merespons dengan manja, seolah-olah tidak peduli atau enggan peduli pada posisinya sekarang. Seperti dunia hanya milik sendiri dan tidak memikirkan hal lain selain dirinya.
×××
"Daiki ...."
Sepertinya semesta sedang tidak berpihak pada Aomine. Di saat ia tidak ingin memikirkan masalah yang seolah-olah menggerogotinya seperti hama, ia malah dipaksa untuk menghadapinya.
Setelah berjalan sambil mengobrol dengan maksud menghabiskan akhir pekan bersama kekasihnya, Aomine malah bersua dengan sang istri, parahnya lagi perempuan itu sedang berama laki-laki lain. Drama apa lagi ini?
Yang benar saja? Pikirnya jengkel dan tanpa sadar mendecakkan lidah.
"Ulang tahunmu ... kemarin ...," Perempuan berambut [Hair Color] itu tergagap, seperti baru saja tertangkap basah melakukan tindak kejahatan. Tetapi, momen selanjutnya perempuan itu menatap Aomine dengan tatapan sendu, "Kenapa kamu tidak pulang?"
Rasanya emosi Aomine naik ke kepala, hatinya panas tanpa diminta, dan kepalanya sudah memikirkan kata-kata yang harus ia keluarkan supaya istrinya itu sadar akan posisinya sendiri. Namun, Aomine menghela napas pelan, membiarkan aura negatif keluar, lalu menjawab pertanyaan istrinya, "Apa kamu harus mempermasalahkan itu?"
"Tapi ... Daiki," Suara perempuan itu nyaris hilang di tengah riuhnya kota Tokyo, "kita ini suami dan istri—"
"Diamlah," sela Aomine sambil menatap dingin istrinya, enggan mendengar lebih lanjut perkataan perempuan itu. Ia bisa melihat laki-laki berambut hitam yang berada di sisi sang istri seolah siap melayangkan kepalan tangan, tetapi Aomine tidak peduli, ia telanjur muak.
"Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, [Name]," tukasnya dingin, "kamu menatapku seolah-olah aku yang mengkhianatimu dan kamulah korbannya, lucu sekali, aku bahkan sampai ingin tertawa."
Perempuan itu tidak menjawab, tetapi wajahnya menunjukkan jika ia sedang menerka-nerka sesuatu. Meskipun tidak ingin Aomine akui, ia juga melihat sececah ekspresi kesedihan di wajah perempuan yang sama. Tetapi tidak, ia tidak bisa terus begini.
Keheningan seolah menyelimuti mereka, orang-orang yang berlalu-lalang bagai membisu, dan waktu seperti melambat tanpa diminta. Namun, tidak bisa dimungkiri momen ini dapat membuat Aomine menenangkan sedikit emosinya.
"[Name] ...," panggil Aomine akhirnya dan perempuan itu menengadah setelah menatap tanah tanpa sadar, "bagaimana kalau kita bercerai?"
"Brengsek!" Laki-laki di samping [Name] bergerak secepat kilat dan tanpa sadar kepalan tangannya telah menghantam pipi Aomine dengan kencang beberapa kali.
"Hentikan! ... Hentikan!" [Name] dan kekasih Aomine berteriak kencang, membuat beberapa pasang mata mengarah pada mereka—tetapi tidak ada yang berniat melerai kedua pria itu.
Butuh waktu beberapa lama sampai laki-laki berambut hitam itu berhenti, "Lihatlah, [Name]!" Teriaknya, "ini laki-laki yang kamu tunggu selama berminggu-minggu untuk pulang? Bukankah sudah kubilang kalau dia sudah bersama wanita lain? Apalagi yang kamu harapkan dari laki-laki tidak tahu diri ini?!"
"Tatsuya—"
"Lucu sekali mendengar ucapan itu darimu, Sialan!" timpal Aomine sambil memegangi wajahnya.
"Daiki-san, sudahlah," bujuk kekasih Aomine.
Tidak acuh dengan perkataan wanita itu, Aomine berdiri lalu mencengkeram kerah baju laki-laki yang dipanggil Tatsuya tadi, "Bukankah kamu yang malah pergi diam-diam dengan istri orang, hah?! Membawanya sampai larut tanpa bilang pada suaminya? Sekarang siapa yang tidak tahu diri?"
Amarah Aomine tidak dapat ia tahan, giginya bergemeletak bersama napas memburu tiap detik. Jika saja ia tetap kehilangan kontrol emosi, ia bisa pastikan wajah laki-laki di hadapannya itu menghantam kepalan tangannya dengan kencang juga keras, ia bisa pastikan itu.
Tidak berselang berapa lama, Aomine melepaskan cengkraman tangannya pada kerah laki-laki itu, merasa hal tersebut tidak ada gunanya. Ia kemudian menghela napas dan menatap sang istri, "Atau ... kalau saja dari awal kamu sadar bahwa kamu seorang istri, hubungan kita tidak akan seperti ini."
Aomine melangkah menjauh, lalu menarik lengan kekasihnya, "Ayo kita pergi."
"Daiki! Daiki! Tunggu dulu!" Vokal perempuan itu merambat di tengah padatnya kota Tokyo. Terdengar sendu juga frustrasi, bahkan beberapa kali sumbang karena berusaha menambah volume.
Aomine tidak acuh, kakinya melangkah sembari menghindari orang-orang yang ikut memenuhi Tokyo. Meskipun napasnya semakin memburu atau wanita yang ditariknya sudah mengeluh kelelahan, Aomine tetap berjalan sambil menahan emosi di dada.
Enam tahun menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, tidak menjamin akan sama ketika telah menikah. Aomine pikir, istrinyalah yang akan menemaninya seumur hidup seperti angan-angan yang selalu ia harapkan menjadi nyata, tetapi tampaknya hal itu tidak akan pernah terwujud. Hubungan mereka telanjur berantakan bahkan sebelum tengah jalan.
Jujur saja, Aomine rasanya ingin meluapkan air mata saat ini juga. Napasnya yang memberat bukan hanya karena berjalan cukup jauh atau menghindari orang-orang, tetapi juga karena ada sesuatu di dalam dadanya yang hancur menjadi tidak bersisa.
"Daiki-san," Perempuan di sebelah Aomine berujar, setelah beberapa menit lalu memutuskan untuk merawat lebam di pipi Aomine pada bangku taman terdekat. Ekspresinya sukar ditebak, tetapi kilatan di matanya tampak serius, "Kurasa sekarang waktunya Daiki-san untuk berbicara dengan [Name]-san."
Aomine tidak menjawab, menunggu perempuan itu berkata lagi, "Bukannya aku menginginkan kalian berbaikan ... maksudku, aku tentu saja ingin serakah dengan memintamu untuk terus di sisiku," Lanjut wanita itu sambil meraih sesuatu di dalam tas selempangnya, "makanya, kupikir ini saatnya Daiki-san mengembalikan ini pada [Name]-san."
Perempuan itu menyerahkan kotak beledu yang Aomine baru pertama kali lihat. Saat Aomine menerimanya dan membuka kotak itu, ia melihat cincin platinum yang mengukir nama seorang wanita di belakangnya, [Name]. Itu cincin pernikahan yang sudah tidak terpasang lagi di jarinya.
"Sekarang, Daiki-san harus pulang dan selesaikan urusan yang belum selesai," Perempuan itu berujar lagi, menggenggam tangan Aomine tang memegangi kotak beledu tadi, "rumah dan hatiku selalu terbuka untuk Daiki-san."
Sebenarnya Aomine tahu jika hubungannya dengan wanita ini sangatlah tidak benar, tetapi perkataannya selalu membuat sisi kosong di relung hati Aomine seperti kembali terisi. Bukan hanya karena mereka kenal semenjak masa kuliah, atau kebetulan tidak disengaja yang membuat mereka bekerja dalam satu perusahaan, tetapi kehadiran wanita itu seperti takdir yang direncanakan semesta.
Tanpa sadar bibir Aomine melengkung membuat senyuman, perlahan hawa hangat menyelimutinya, membuat setiap masalah yang memenuhi pikirannya bagai menguap ke udara hanya dengan mendengar perkataan wanita itu.
Tangan Aomine terangkat menyentuh pipi sang wanita, ibu jarinya bergerak pelan mengusap wajah yang kini digenggamnya, "Kalau begitu ... akan kupastikan hari ini semuanya akan berakhir," ungkap Aomine dengan suara pelan.
Wanita itu ikut menyentuh tangan Aomine, "Kalau begitu, aku akan menunggu Daiki-san di rumah," sahutnya ikut tersenyum, "dan setelahnya kita akan bersama, kan?"
Kepala Aomine spontan mengangguk, "Iya. Kita akan bersama dan akan kupastikan itu."
×××
Jengjengg! Belum selesai, masih ada part selanjutnya ... tapi minggu depan XD.
Jadi, bagaimana pendapat kalian? Mahouka butuh masukan, nih 5555.
Oke sekian dari Mahouka, pai paii~~
See you next oneshoots!
MK❤
YA💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top