Salju Pertama [Midorima x Reader]
Oke, ini request dari alfiana27 di part kemarin (yang sudah kuhapus karena sudah kukerja semua) dan kupublish pertama karena doi yang komen duluan dengan plot (jadi langsung kukerja wkwk)
Enjoy~!
Warnings: OOC, Typo(s), ga-je, penulisan yang nggak berkembang sama sekali wkwk, de-el-el
=~=~=~=~=
Kepulan asap tipis keluar dari mulut Midorima. Musim gugur berlalu dengan cepat, sangat cepat hingga ia bahkan baru tersadar jika musim dingin sudah berada di depan mata. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya yang tidak tertutupi apa pun, berusaha mencari kehangatan.
"Kau juga baru pulang, Midorima-sensei?" Sebuah suara membuat Midorima menoleh ke sisi kanannya. Ia mendapati perempuan yang lebih pendek darinya ikut berdiri di sampingnya sambil memeluk diri mencari kehangatan juga.
Laki-laki dengan iris hijau itu hanya membalas dengan anggukan.
"Ah ...," desah perempuan itu dan membuat kepulan asap keluar dari mulutnya, "tahun sudah hampir berganti lagi, aku bahkan belum sempat menikmati apa pun lagi kali ini."
"Begitulah ... nodayo," balasnya pelan sambil menyembunyikan wajahnya di balik syal yang melilit lehernya. Terlalu malu hanya untuk sekadar berbincang ramah dengan sang atasan.
Meskipun pemalu, bukan berarti Midorima sama sekali tidak memberikan tanda atau pergerakan untuk menarik hati sang atasan yang memiliki nama lengkap [Full Name]. Hampir terhitung ratusan kali ia mengajak atasannya itu untuk makan bersama atau memberinya bunga sebagai tanda jika ia menyukai sang atasan. Bukan tipikal Midorima memang, tapi ia rela melakukannya demi sang pujaan hati.
Tapi entah mengapa, setiap ajakannya selalu berakhir dengan berbincang tentang produktifitas para dokter ahli di rumah sakit milik perempuan itu. Jangan lupa, setiap bunga yang diberikan pada perempuan itu juga berakhir di kamar rawat ICU. Midorima yang tidak peka—kata salah satu teman baiknya—berhadapan dengan perempuan tanpa kepekaan. Apa ini namanya karma?
Sudah lebih dari seminggu belakangan ini Midorima tak mengajak atau memberikan bunga pada atasannya itu lagi. Bukannya menyerah, ia hanya sadar jika yang dilakukannya sia-sia dan perlu strategi baru. Meskipun lagi-lagi hal ini di luar image-nya.
"Ngomong-ngomong, Midorima-sensei," panggil [Name] padanya.
Satu dehaman keluar dari Midorima.
[Name] tersenyum dengan reaksi Midorima, "Apa kau pernah mengalami hal romantis di salju pertama?" tanya perempuan sambil menatap ke depan.
Satu alis Midorima terangkat, kemudian ia menggeleng pelan, "Tidak," jawab Midorima, "bagaimana danganmu, nanodayo?"
Senyum di bibir [Name] mengembang, "Seseorang pernah menyatakan perasannya padaku saat salju pertama," jawab perempuan itu terdengar senang.
Bohong kalau Midorima bilang dirinya tidak penasaran tentang pengalaman perempuan itu, ia menajamkan indra pendengarannya, "Dan kau menerimanya?" tanya Midorima.
Perempuan dengan rambut [Hair Colour] itu menggeleng, "Aku menolaknya," jawab perempuan itu, "kupikir kami terlalu muda untuk hal seperti itu."
Lalu tawa pelan keluar dari perempuan itu, "Aku pasti terdengar udik, ya?"
"Kurasa ... kau tidak udik, nodayo," ungkap Midorima, "terdengar seperti rasional, kau lebih memilih untuk menghindari hal-hal negatif yang orang-orang biasa lakukan."
Lagi-lagi perempuan itu tertawa, "Entah kenapa aku tidak terkejut mendengar jawabanmu," kata [Name].
Keduanya lalu kembali terdiam dan menikmati keheningan nyaman di antara mereka.
"Tapi bukankah sangat berkesan jika bersama orang dicinta pada salju pertama berikutnya?" kata [Name] tiba-tiba sambil memandang langit yang tak menampakkan apa pun.
Entah sebuah kebetulan atau apa, perlahan-lahan salju turun di langit Tokyo malam itu. Hal itu membuat senyum kembali terukir di bibir [Name], "Kurasa aku adalah cenayang di kehidupan sebelumnya," canda perempuan itu.
Tatapan Midorima tertuju pada [Name] yang kini memandangi salju dengan senyum. Jantungnya berdetak tidak karuan, seakan-akan siap meledak kapan saja, "Mungkin saja," kata Midorima sambil mengalihkan pandangannya, "cenayang yang mencuri hatiku, nanodayo."
"Eh?"
Satu helaan napas keluar dari Midorima, ia memberanikan dirinya menatap perempuan yang membuat jantungnya berdetak dengan tak karuan. Ia menatapnya dengan dalam, "Aku akan mengatakan ini satu kali, nodayo, jadi dengarkan dengan baik," katanya malu-malu.
Tatapan mereka bertemu, "Aku menyukaimu, [Last Name]-san," katanya dengan tulus, "aku ingin kita menyambut salju pertama selanjutnya bersama-sama."
Wajah [Name] merona dan Midorima mengalihkan pandangannya.
Midorima berharap agar ia tidak dipindahkan ke rumah sakit yang lain setelah ini, karena ia tahu akan secanggung apa hubungan mereka setelah hari ini.
"Midorima-sensei ... aku ...."
"H—hanya kau yang tidak tahu tentang perasaanku ini, nanodayo," kata Midorima masih belum menatap [Name], "bahkan semua staff tahu jika aku m—menyukaimu."
Perempuan itu terdiam dan Midorima masih enggan untuk menatapnya, rasa canggung mengalahkan rasa nyaman yang tadi menyelimuti mereka berdua. Dan ini semua karena pernyataan cinta tiba-tiba milik Midorima.
Dengan terpaksa Midorima menatap [Name], "Kalau kau menolakku juga tidak apa-apa, nodayo, itu hakmu," jelas Midorima, "aku hanya ingin kau tahu kalau selama ini aku menyukaimu."
Jujur saja Midorima tidak terkejut dengan reaksi [Name] yang terlihat sangat shock dengan pernyataan cintanya. Perempuan itu memang sama sekali tidak menyadari perasannya, padahal ia sudah menunjukkannya secara terang-terangan.
Perempuan itu terlihat menelan ludah, "Selama ini?" tanya [Name] pelan, "kau sudah lama menyukaiku?"
Kepala Midorima mengangguk lalu mengalihkan pandangannya, entah memandang perempuan yang lebih pendek darinya itu terasa seribu kali memalukan sekarang.
Midorima kembali menghela napas, "Aku harus pulang sekarang, nanodayo, adikku—"
"Mari kita mencobanya," sela [Name] tiba-tiba dengan wajah merona, "a—ayo kita mencoba berkencan."
Tidak ada respon langsung dari Midorima, ia memandang perempuan itu dengan tidak percaya, "Sungguh, nanodayo?" tanyanya, "kau sedang tidak bercanda, kan?"
"Mana bisa aku bercanda di saat seperti ini?" tanya perempuan itu menggembungkan pipinya, "l—lagipula, aku ingin melihat salju pertama selanjutnya bersamamu."
Wajah Midorima lebih memerah dari sebelumnya, ia bahkan menutup wajahnya karena tahu akan semerah apa, "Kenapa kau mengatakan hal yang memalukan."
"Bukannya itu memang tujuanmu menyatakan perasaanmu padaku?"
Jika rasa malu dapat membunuh, Midorima sudah tergeletak tak bernyawa sekarang.
=~=~=~=~=
kemampuan romance-ku menjadi sangat tumpul, kawan-kawan, kebanyakan baca tragedy sama slice of life kayaknya :'D
semoga Mbak Alfi dan reader yang lain suka dengan ff Mahouka setelah sekian lama ini :'D
See you next Oneshots~!
Yanagawa Ashita,
Wifunya Shoutan (gelarnya gak keganti wkwk)
MK♥
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top