How He Falls in Love [Ogiwara x Reader]
Entah kenapa Mahouka seneng banget dah nulis ini, rasanya ingin kuceritakan kenapa reader bisa moveon dan lain sebagainya. Nanti kutulis juga, deh ✊
Enjoy~!
Warnings seperti biasa
×××
Hari itu pertengahan musim panas, Ogiwara dan [Name] melangkah beriringan dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain. Meski tak terlihat jelas, tapi dapat dirasakan jika di antara mereka ada dinding pembatas, cukup kokoh hingga sulit dihancurkan. Padahal, mereka baru saja bersama-sama menonton pertandingan basket bergengsi, meskipun mereka bersama dengan rombongan Kuroko, Aomine, dan Momoi.
Festival musim panas berlangsung minggu depan dan Ogiwara berniat mengajak [Name] menghadirinya, tidak ada tujuan jelas, tapi perempuan itu tak pernah tersenyum meskipun ini pertemuan ke sekian mereka setelah melakukan Hanami bersama Kuroko dan teman setimnya di SMA musim semi lalu. Perempuan itu seakan menjaga jarak pada siapa saja, tak terkecuali Ogiwara yang bahkan selalu menjadi teman pulang perempuan itu karena arah tempat tinggal mereka searah. Mungkin Ogiwara hanya ingin perempuan itu sedikit lebih ramah padanya.
Namun Ogiwara tak bisa menyalahkan [Name], perempuan itu kelewat setia pada kekasih yang mencampakkannya untuk memulai hidup baru di Amerika. Ia tahu kalau perempuan itu sungguh berharap kekasihnya akan pulang dan akan meminta maaf, lalu setelahnya hubungan mereka menjadi baik-baik saja.
Klise, tapi Ogiwara tak senang membayangkannya.
Menurutnya, [Name] itu terlalu berharga untuk dicampakkan, meskipun tak mengenalnya secara baik. Tetapi dari cerita-cerita yang dikatakan Kuroko padanya, Ogiwara sendiri sudah bisa merangkumkan kalau [Name] adalah perempuan luar biasa. Hanya saja, hati serta kepercayaannya hancur karena satu laki-laki hingga sikapnya berubah menjadi dingin.
Ogiwara terlalu lama berpikir, stasiun sudah dekat dan berarti waktunya kurang dari setengah jam untuk bersama [Name]. Kalau ia tidak mengutarakan niatnya mengajak—sekaligus menghibur—perempuan itu minggu depan, ia tidak tahu kapan lagi ia bisa memiliki kesempatan untuk pulang bersama.
"Anu ... [Last Name]—"
"Aduh!"
Entah kesialan apa lagi yang menimpa Ogiwara, laki-laki itu tak sempat menyelesaikan perkataannya dan seseorang menabrak [Name] dengan sepeda hingga tersungkur.
"Hei, brengsek!" Teriak Ogiwara pada pesepeda tadi, bukannya menghampiri [Name] karena mereka sama-sama terjatuh, pengendara sepeda itu malah menaiki sepedanya dan kabur begitu saja.
Ogiwara siap mengejar pesepeda itu, tapi sesuatu menahannya, "Sudahlah, Ogiwara-kun," Itu [Name], ia masih tersungkur di tanah, tangannya memegang tangan Ogiwara yang menggantung di sisi tubuh, "mungkin dia buru-buru."
Lihat, perempuan ini terlalu baik.
Sesegera mungkin Ogiwara membantu [Name] agar dapat berdiri dan mengarahkannya untuk duduk di salah satu bangku terdekat. Ia merasa silu, kala melihat lutut serta telapak tangan perempuan itu tergores karena bergesekan dengan permukaan tanah yang kasar, "Tunggu di sini, [Last Name]-san," Buru-buru ia berlari ke supermarket terdekat dan membeli benda yang ia perlukan.
Benar saja, lima menit setelahnya ia sudah membalut luka-luka [Name], "Terima kasih, Ogiwara-kun," ujarnya pelan.
Laki-laki berambut cokelat itu duduk di samping [Name], memerhatikan jalanan Tokyo yang semakin malam semakin ramai. Ia tak mengeluarkan suara, terlalu canggung, ia juga tak mungkin mengajak ke festival musim panas [Name] di saat seperti ini.
Mungkin ia memang tidak akan pernah bisa mengajaknya.
"Apa kau tidak merasa bosan?" Suara [Name] merambat ke indra pendengaran setelah cukup lama hanya kebisingan jalanan yang terdengar, "kau bisa meninggalkanku di sini kalau bosan."
Lantas kepala Ogiwara menggeleng, "Tidak, aku tidak bosan," katanya, "lagi pula kita harus pulang bersama, kan?"
Perempuan itu menghela napas, "Aku hanya akan menghambatmu," balas [Name], "lututku terasa sakit sekali, aku tak yakin bisa berjalan dengan baik. Sekarang, kau punya alasan jelas untuk meninggalkanku di sini dan pulang. Aku bisa menghubungi orang rumah."
Sebelah alis Ogiwara terangkat, bagaimana bisa dia meninggalkan seorang perempuan—apa lagi sedang terluka—sendirian? Ia menatap [Name], "Tidak bisa begitu, kita akan pulang bersama," tegasnya, ia lalu berjongkok di hadapan [Name] sambil menunjukkan punggung lebarnya, "kau tidak akan menghambatku kalau dari awal kita bisa berjalan bersama-sama. Naiklah."
"Ogiwara-kun, di sini banyak orang."
"Lalu apa? Memang ini kota yang padat penduduk," ujarnya, "naik dan akan kuantar pulang."
Setelah berdebat cukup lama, akhirnya perempuan dengan rambut [Hair Colour] itu naik ke atas punggungnya. Terasa sangat canggung di menit awal karena [Name] terlalu memerhatikan orang lain dan terus berbisik di telinga untuk menurunkannya.
Sebenarnya Ogiwara sadar kalau dia cukup keras kepala, tapi mengingat jika ia akan berdiri tak stabil—dan kemungkinan besar akan terjatuh—di atas kereta bersama [Name] ia akhirnya menurunkan perempuan itu untuk duduk di salah satu bangku. Ia ikut duduk di sebelahnya dengan canggung.
"Terima kasih," Suara [Name] terlampau rendah, tapi Ogiwara bisa mendengarnya. Ketika ia meminta [Name] untuk mengulanginya, perempuan itu malah menengok ke arah lain.
Waktu berlalu dengan lambat, setelah kecanggungan menyelimuti mereka berdua, pemberitahuan bahwa stasiun di mana mereka turun bersuara memenuhi kereta.
"Aku bisa jalan sendiri," tolak [Name] ketika Ogiwara telah besiap berjongkok di depannya, "rumahku cukup dekat—"
"Tidak apa-apa," sela Ogiwara cepat, "bukankah itu berarti aku tidak perlu menggendongmu lebih lama?" Jejeran gigi rapi Ogiwara terlihat, laki-laki itu tetap memaksa [Name] untuk naik ke punggungnya dan mau tak mau [Name] menuruti.
Semakin jauh dari stasiun, suasana semakin sepi. Ogiwara tak mau berbicara asal, ia takut dikira beraga dekat dengan [Name] padahal tidak. Jadi ia menunggu—atau lebih tepatnya berharap agar perempuan itu mengajaknya berbicara.
Lima menit berlalu dan [Name] tak mengeluarkan suara, padahal Ogiwara yakin kalau perempuan itu tak tertidur. Ia bisa merasakan tangan yang melingkar di lehernya masih tegang, pertanda perempuan itu gugup dan terjaga.
Helaan napas dikeluarkan Ogiwara, "Kau lelah, Ogiwara-kun?" Suara [Name] langsung memecah keheningan, "aku bisa—"
"Aku tidak mau," Ogiwara menukas, "rumahmu sebentar lagi sampai, kan? Aku tidak apa-apa."
Mereka diam lagi selama beberapa saat, tapi Ogiwara bisa merasakan jika helaian rambut [Name] mulai menggelitiki bahu kanannya, sepertinya perempuan itu ingin berbisik lagi. Namun nyatanya, Ogiwara bisa merasakan ada sesuatu yang bertumpu pada pundak kanannya, "Maaf, Ogiwara-kun," ujar [Name] tepat di telinga kanan, "maaf menyusahkanmu."
Ogiwara ingin membalas, tapi perempuan itu lanjut berbicara, "Aku tahu kau berusaha untuk akrab denganku, tapi kepribadianmu, cara bicaramu, antusiasme milikmu pada basket. Semua mengingatkanku tentangnya, aku takut."
Ah, pantas saja perempuan itu selalu terang-terangan menyuruhnya menjauh, bahkan sering membuat atmosfir di antara mereka canggung. Apakah tujuannya agar mereka tak menghabiskan waktu lebih banyak?
"Kau takut jatuh cinta padaku?" Sebenarnya Ogiwara berkata asal dan berniat bercanda. Namun, tangan [Name] mendadak tegang, ia langsung menyesali perkataannya
Untuk pertama kali dalam hidup Ogiwara, ia menyesal memiliki tindak tanduk yang kelewat santai, risikonya dia jadi tidak peka dengan keadaan. Seperti saat ini misalnya.
Menit selanjutnya langkah Ogiwara terhenti di depan rumah minimalis yang memiliki sebuah papan yang bertuliskan [Last Name] di pagar. Dengan perlahan Ogiwara menurunkan [Name] dan menatap perempuan itu sejenak.
"Maaf, membuat—"
"Tidak apa-apa," sela [Name] cepat, ia membungkuk pelan sebelum masuk ke dalam rumah.
"Anu ...," Ogiwara berkata saat [Name] hampir memasuki rumahnya. Perempuan itu berhenti kemudian memberi seluruh perhatiannya pada Ogiwara dan itu membuat laki-laki berambut cokelat tersebut gugup, "Itu ...."
Oh ayolah, ini kesempatanmu! Ia menyemangati diri dalam hati. Ogiwara menarik napas pelan, lalu membalas tatapan [Name], "M—mau ke Festival Musim Panas bersamaku?"
Jeda, Ogiwara sudah merasa ajakannya yang akan ditolak karena [Name] bahkan tak terlihat berpikir. Perempuan itu hanya menatapnya kosong dengan alis bertaut, setelah yakin ajakannya memang ditolak, Ogiwara tersenyum kaku sambil menggaruk belakang kepala.
"Maaf mengganggu waktumu," ujarnya pelan masih menggaruk belakang kepala, "aku pulang dulu."
Lagi, Ogiwara kembali dicegat saat ingin pergi. Ia menatap [Name] dengan tatapan heran.
"Kau tidak ingin mendengar jawabanku? Atau kau mau aku mengirimimu pesan?" Tanya [Name], Ogiwara menyadari leher dan belakang leher perempuan itu memerah.
"Tapi kau tidak punya nomor—"
"Aku ingin ke Festival bersamamu," Perempuan itu mengintrupsi dengan cepat, "jadi, kurasa kau harus memberikan nomor teleponmu."
Sejenak Ogiwara terheran-heran, tapi melihat perempuan itu sudah memberanikan diri membuat aksi agar hubungan mereka tak canggung, Ogiwara hanya bisa memberikan senyum lebar dengan anggukan kepala, "Tentu saja."
×××
Entah apa yang membuat Ogiwara gugup sekarang, apa karena ini baru kali pertama ia berjalan bersama [Name]? Atau karena banyak orang yang berlalu lalang? Tapi bukankah Festival memang banyak orang?
Oh, ayolah ini bukan kencan pertamamu, pikirnya dalam hati. Namun, sedetik kemudian ia menampar pelan pipinya sendiri ketika tersadar menyebut ini dengan kencan. Bukankah dari awal tujuannya ingin menghibur [Name]? Kenapa sekarang ia bagai terbang ke langit dan menganggap ini kencan?
Bodoh, Hiro, bodoh, Ia mencibir dirinya sendiri.
"Ogiwara-kun?"
Spontan Ogiwara menoleh ke asal suara dan ia mendapati [Name] berdiri menggunakan yukata berwarna merah dengan obi berwarna kuning keemasan. Sejenak ia terpaku, apa lagi kala melihat rambut [Name] yang ditata rapi dengan hiasan dengan warna senada.
Gawat, dia cantik sekali.
"Mau ke mana?" Suara [Name] membuyarkan lamunanya, spontan Ogiwara mengalihkan pandangan dan berusaha mencari stan festival terdekat.
Jarinya menunjuk stan yang cukup jauh, efek asal dan tidak memerhatikan dengan baik, "D—di sana ada es serut, mau mencobanya?" Usulnya.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum tipis, setelahnya ia berjalan lebih dulu dari Ogiwara menuju ke stan es serut.
Ogiwara memandang [Name] dari belakang, ia bisa melihat betapa cantik perempuan itu bahkan dari sudut ini. Rasanya Ogiwara rendah diri menjadi teman perempuan itu di festival, ia hanya memakai hakama biasa dengan warna cokelat pudar dan motif seadanya. Ia hanya bagai penduduk biasa, sedangkan [Name] seperti tuan putri atau setidaknya bangsawan.
Sebetulnya Ogiwara enggan menyetujui jika berlalunya waktu tergantung bagaimana perasaan hati seseorang. Maksudnya, ketika kita bahagia, maka waktu berlalu dengan cepat, berbanding terbalik kala kita sedang bersedih, maka waktu berlalu dengan sangat lambat. Namun, ketika ia merasa gembira berada di dekat [Name], waktu berlalu dengan cepat bagai kedipan mata. Buktinya, mereka kini duduk di atas rumput beralaskan terpal kecil yang dibawa [Name] dan masing-masing memangku jajanan.
Sejenak Ogiwara memandang ke arah [Name], perasaan kasihan dan ingin mengenalnya berubah menjadi perasaan hangat ingin memiliki. Katakan ia laki-laki tak tahu malu, diberi kesempatan malah ingin mendapatkan lebih.
Tidak, tidak. Ogiwara menjatuhkan hati bukan karena fisik, ia tahu [Name] cantik, bahkan tanpa memakai yukata atau berdandan seperti malam ini pun ia cantik. Namun, setelah menghabiskan waktu dengan [Name] yang ternyata ceria dan bersemangat—apa lagi saat mereka bermain di beberapa stan mini game. Ogiwara sadar, ia jatuh cinta.
Jantungnya berdenyut sakit, ia tahu jika perempuan itu masih memikirkan mantan kekasihnya dan khawatir jatuh cinta padanya, Ogiwara pun menganggapnya sebagai kekhawatiran biasa. Tetapi, bagaimana jika ternyata dirinya yang jatuh terlebih dahulu?
Duar! Duar!
Dengan suara kembang api yang meledak di udara serta sorakan yang terdengar tak begitu jauh, tatapan Ogiwara tetap terpaku dengan [Name] yang memandangi kembang api dengan tatapan berbinar bersama sebuah senyuman.
"Ogiwara-kun, kembang apinya sangat indah!" Seru perempuan itu sambil menunjuk langit yang kini tengah dihiasi oleh kembang api.
Ogiwara spontan memandang ke arah langit, "Ah iya!" Pekiknya tanpa sadar, "bentuknya juga menarik."
Samar-samar ia mendengar perempuan itu tertawa dan kembali melihat kembang api di atas langit.
Sudut mata Ogiwara masih memandang [Name], tak terfokus pada kembang api di langit. Ia tak lagi memedulikan kembang api itu, tapi mengkhawirkan jika dirinya sempat jatuh cinta di saat yang tidak tepat dan orang yang tidak tepat pula.
Bodohnya kau Ogiwara.
×××
Maaf kalau Ogiwara rada OOC atau bener-bener OOC, tapi sifatnya harus begitu supaya cocok dengan plot.
Hehe, see you next oneshoot!
MK ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top