And Someone Who Has to Depart [Husband!Aomine x Wife!Reader]
Kupikir aku sudah update, ternyata belom. Kebanyakan tugas, pusing 555.
Warnings seperti biasa~
enjoy~!
×××
"Kamu yakin dia akan pulang hari ini?" tanya Akiko yang tengah memasang kertas ucapan di dinding dapur rumah [Name], "ini sudah lebih dari sebulan, kan?"
[Name] yang tengah menghias meja makan, mengembangkan senyum tipisnya, "Tentu saja, ini kan rumahnya," Ia bertutur, masih sibuk dengan peralatan di meja makan, "lagipula ini ulang tahunnya, Daiki pasti akan pulang."
Piring di atas meja sudah tertata rapi, lilin yang akan dinyalakan mendekati waktu sang suami pulang juga telah berada pada posisi yang pas, serta kue ulang tahun sedang buatan sendiri tampak ikut meramaikan meja makan kecil itu.
Senyum [Name] terkembang, membayangkan ekspresi terkejut sang suami ketika melihat dekorasi ini tepat di hari ulang tahunnya. Ditambah, ia sudah menyiapkan kotak kado berwarna biru yang merupakan inti dari perayaan, membuat [Name] tidak sabar untuk merayakan ulang tahun laki-laki itu sesegera mungkin.
"Aku tidak mengerti, tugas dinas apa yang memakan waktu satu bulan?" tanya Akiko setelah turun dari atas kursi. Perempuan itu kemudian memegang perut [Name], "Aoi, kamu jangan seperti Ayahmu, ya?"
Tawa [Name] terdengar, "Tentu saja dia akan seperti Daiki, Akiko," ujarnya.
Akiko mendecakkan lidah, "Maksudku sifatnya, ok? Kalau tampan seperti Daiki-kun, aku malah tidak keberatan," balas Akiko lagi, "bagaimana, Aoi?"
[Name] tertawa dan mereka berdua melanjutkan kegiatan masing-masing, menghiasi ruangan itu dengan sepenuh hati, berharap orang yang menjadi target kejutan pulang ke rumah. Tidak apa-apa jika laki-laki itu pulang untuk sekadar mengambil barang dan pergi lagi, tetapi setidaknya ia pulang, dan [Name] akan memberitahunya soal anak mereka.
Sampai jam menunjukkan pukul sebelas malam, tidak ada tanda-tanda dari laki-laki yang umurnya bertambah hari ini untuk pulang. Lilin yang tadi dinyalakan [Name] untuk menghibur diri sudah habis dimakan api, kue yang ia buat pagi-pagi buta sudah kembali masuk ke dalam kulkas, dan kotak yang ia harap menjadi kejutan terbesar hari ini nyatanya masih terpajang rapi di atas meja tanpa disentuh.
Akiko yang datang dari pagi membantu menyiapkan kejutannya pun sudah kembali ke kantor beberapa jam lalu, meninggalkan [Name] dengan hiasan dinding yang tidak lagi terasa spesial. Padahal sebelumnya, ia begitu bersemangat mengira sang suami akan pulang karena hari ini ulang tahunnya.
"Hei, Aoi," panggil [Name], ia berbaring di sofa ruang tengah sembari mengelus perutnya yang semakin membesar, "Ibu pikir, Ayahmu akan pulang hari ini."
Air matanya membendung, dadanya sesak seiring ia menyadari bahwa kenyataan yang terjadi hari ini tidak seindah angan-angannya, "Ibu pikir hari ini kita akan makan bersama, setidaknya hari ini saja," katanya lagi disusul isakan pilu, "tetapi Ayahmu tidak pulang."
Lama sekali [Name] berbaring di sofa, menangisi hari yang berlalu dengan kesedihan yang selama ini ia simpan di dalam hati.
×××
Langit Tokyo tampak cerah. Sang surya tidak malu memberikan kehangatan, embusan pelan angin juga setia menemani, dan birunya langit membuat [Name] teringat pada nama yang ia berikan pada sang anak. Ia senang memilih untuk berjalan-jalan sebentar hari ini.
"Sayang sekali Akiko harus kembali ke kantor," ujar [Name] pada Tatsuya yang berada di sampingnya, "maaf karena aku merepotkanmu lagi, Tatsuya-kun."
Laki-laki berambut hitam itu tersenyum ramah, "Ayolah, [Name] ini bukan pertama kali Akiko meninggalkan kita berdua," ujarnya lalu tertawa, "aku juga tidak bisa langsung meninggalkanmu begitu saja, kan?"
[Name] ikut tersenyum, "Terima kasih, kamu memang bisa diandalkan."
Berjalan berdua bersama Tatsuya, membuat [Name] sebenarnya ingin melakukan ini dengan suaminya. Itu karena ia sendiri sudah tidak ingat, kapan mereka menghabiskan waktu berdua. Kalau dipiki-pikir pun, menghabiskan waktu bersama Akiko dan Tatsuya bahkan lebih banyak daripada bersama sang suami.
Sesekali [Name] memandangi para pasangan yang ikut menyatu dengan keramaian, ada rasa iri di hatinya, ia juga ingin melakukan hal yang sama. Namun, apa daya jika keberadaan sang suami saja ia tidak tahu.
"Ngomong-ngomong, [Name]," Suara Tatsuya membuat [Name] menoleh, raut wajah laki-laki itu tampak sedikit terganggu, "apa suamimu sudah kembali?"
Kedua sudut bibir [Name] terangkat, tetapi tidak menunjukkan kebahagiaan, "Ada apa memangnya?"
Wajah Tatsuya semakin menunjukkan raut tidak enak hati. Ia menghindari tatapan langsung dengan [Name] dan tanpa sadar menggaruk tengkuknya, "Aku ...," Tatsuya memberanikan diri menatap [Name], tetapi akhirnya mengembuskan napas menyerah, "kurasa bukan apa-apa."
"Tidak apa-apa, Tatsuya-kun, kamu bisa memberitahuku."
Tatsuya tampak masih ragu, tetapi melihat [Name] yang menunjukkan wajah memelas, ia akhirnya menyerah, "Kudengar bahwa suamimu ... memiliki wanita lain," ungkap Tatsuya, raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam, "maaf, aku mengatakan hal seperti."
Namun, Tatsuya melanjutkan perkataannya, "Tetapi berada di rumah sendirian itu sangat berisiko, [Name]," kata Tatsuya lagi, "tidak ada salahnya kalau kamu pulang ke rumah orang tuamu dan—"
[Name] tidak mengatakan apa-apa. Suasana hatinya yang semulanya membaik, kini kembali sedu. Ia tahu, bahwa laki-laki yang tidak kembali ke rumah berarti memiliki tempat pulang yang lain. Namun ia menolak untuk percaya, ia tidak mau meragukan suaminya sendiri.
"Aku ... akan tetap di rumah," balas [Name] lalu memaksakan senyum, "bisa saja apa yang kamu katakan tentang Daiki itu salah dan dia memang sedang bekerja, kan?."
"Dan aku tidak akan ke mana pun, karena aku percaya suamiku akan pulang."
Namun, [Name] tertampar kenyataan saat itu juga. Di tengah padatnya kota Tokyo, di saat satu dari sekian juta kemungkinan ia berpapasan dengan sang suami bersama orang lain, mengapa hal itu harus terjadi di saat ia baru saja meyakinkan diri jika sang suami tidak mengkhianatinya?
"Daiki ...," panggilnya tidak percaya. Jantungnya berdetak cepat, bahkan tanpa diminta kakinya terasa lemas, terlebih lagi ketika matanya tertuju pada tangan perempuan itu tengah bergelayut manja pada lengan sang suami.
Pertemuan tidak terduga, dengan keadaan yang tidak pernah sekali pun [Name] bayangkan terjadi tepat di depan matanya. Begitu banyak emosi yang tertahan di dada, pikirannya mendadak kalut, tetapi alam bawah sadarnya mengatakan ia harus mengatakan sesuatu pada sang suami.
"Ulang tahunmu ... kemarin ...," Lidah [Name] terasa kelu, suaranya bergetar tanpa ia minta. Kalau bisa, ia lebih baik menangis sekarang juga, ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi ini.
Tetapi, ketika ia menengadah mendapati iris suaminya yang juga terlihat sendu, membuat ia menarik napas meyakinkan diri, "Kenapa kamu tidak pulang?" tanyanya.
Ia tidak ingin membuat masalah ini semakin rumit, jika satu kata maaf keluar dari laki-laki yang dicintainya itu, [Name] janji akan melupakan semua ini, dan mereka akan kembali seperti dulu. Ia bersumpah.
"Apa kamu harus mempersalahkan itu?" Kalimat yang keluar dari suaminya seolah membuat jantung [Name] jatuh ke tanah. Harapannya seolah menghilang begitu saja dari genggaman, membuatnya takut jika mereka akn terus seperti ini.
Air mata mendadak ingin keluar, hati [Name] terasa hancur detik itu juga, "Tapi ... Daiki," Ia tidak bisa mengeluarkan kalimat apa pun lagi, ia menelan ludah, "kita ini suami istri dan—"
"Diamlah," Napas [Name] tersekat, ia menggigit pipi bagian dalamnya untuk menahan air mata yang bisa meluruh kapan saja.
Laki-laki itu berbicara lagi, "Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu, [Name]," ujarnya pelan, tetapi jelas menyiratkan kekecewaan, "kamu menatapku seolah-olah aku yang mengkhianatimu dan kamulah korbannya, lucu sekali, aku bahkan sampai ingin tertawa."
Siapa yang mengkhianati siapa di sini? Berpaling pada laki-laki lain selain suaminya pun tidak pernah terlintas di dalam benak [Name]. Lantas, kenapa laki-laki itu merasa terkhianati dan tersakiti?
[Name] tidak mengerti, kepalanya terus dipenuhi pertanyaan, dan dadanya semakin lama terasa begitu sesak hingga seolah mencekik. Bagaimana ia harus menghadapi ini?
"[Name] ...," panggilan pelan laki-laki itu membuat [Name] menengadah, mendapati kilatan sedu pada iris biru tua milik suaminya, "bagaimana kalau kita bercerai?"
Jantung [Name] seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, air mata di pelupuk matanya bisa terjatuh dalam satu kedipan. Mengapa kata bercerai mudah sekali lolos dari bibir laki-laki itu, sedangkan dirinya selalu berpegang erat pada pernikahan mereka?
Namun, Tatsuya yang dengan setia berdiri di sisi [Name] sejak tadi tampak ikut tersulut oleh satu kalimat itu. Setelah mengumpat dengan lantang, kepalan tangan laki-laki itu terus menghantam pipi suami [Name], sepertinya ia juga sudah tidak bisa menahan emosinya.
"Tatsuya, hentikan! .... hentikan!" Pekik [Name], berharap Tatsuya mendengarnya.
Setelah melayangkan beberapa tinjuan, Tatsuya menatap [Name] dengan tatapan penuh amarah, "Lihatlah, [Name]!" Teriaknya,"ini laki-laki yang kamu tunggu selama berminggu-minggu untuk pulang? Bukankah sudah kubilang kalau dia sudah bersama wanita lain? Apalagi yang kamu harapkan dari laki-laki tidak tahu diri ini?!"
"Tatsu—"
"Lucu sekali mendengar perkataanmu itu, Sialan!"
Perkataan [Name] yang berusaha menenangkan Tatsuya disela, membuat [Name] mendapati sang suami yang tadi telah tersungkur di tanah kini bersama perempuan lain di sisinya.
Telinga [Name] berdenging dengan kencang dan semakin lama semakin menjadi-jadi, ia tidak tahu apa lagi yang sang suami dan Tatsuya katakan, percakapan keduanya terdengar samar, seolah mereka berbicara di dalam air. Semua hal yang kini terjadi terasa seperti mimpi buruk, [Name] tidak mau merasakannya. Ia ingin pulang.
"Atau ... kalau saja dari awal kamu sadar kalau kamu seorang istri, hubungan kita tidak akan seperti ini," Tatapan [Name] bertemu dengan iris berwarna biru tua itu lagi, tetapi terasa semakin dingin, tidak ada lagi sendu, hanya kemarahan. Hingga percikan cinta yang selalu dapatkannya dalam iris itu sebelum ini, seperti hilang tanpa jejak.
Kemudian laki-laki itu menarik lengan perempuan yang sedari tadi bersamanya, "Ayo kita pergi."
"Daiki! Daiki! Tunggu dulu!" [Name] berteriak sekuat tenaga, tangannya berusaha meraih laki-laki yang berjalan pergi. Kali ini, air matanya telah meluruh membasahi pipi setelah cukup lama ia tahan.
"Untuk apa kamu mengejarnya?" Tatsuya mencegat tangan [Name], "dia sudah meninggalkanmu, [Name], dia memilih wanita itu."
Kepala [Name] menggeleng kencang, "Kami ini suami dan istri, Tatsuya, hubungan kami tidak bisa berakhir seperti ini," papar [Name], tatapannya yang masih sendu kini telah dipenuhi air mata, "aku harus berbicara dengannya."
Tanpa mendengar jawaban Tatsuya, [Name] melepas cegatan laki-laki itu dan berlari sekuat tenaga untuk mengejar suaminya. Tidak peduli dengan keadaannya sendiri.
Aku harus mengejarnya, aku harus berbicara dengannya, ujar [Name] berulang-ulang di dalam kepala seperti radio rusak. Napasnya terengah, tidak memedulikan sekelilingnya, tujuannya saat ini adalah sang suami, dan cinta yang telah mereka ikat dalam janji pernikahan.
Piip!
Bruk!
Sepersekian detik itu terasa lama dan terputar seperti adegan lambat. Tubuhnya yang terpental ke udara, dunia yang seolah berputar, hingga rasa sakit pada sekujur tubuh juga bau aspal bercampur metalik yang masuk ke indra penciuman. Tubuh [Name] terhantam sebuah mobil.
Aoi, Daiki, pikirnya. Tangannya meraih udara, berusaha meraih sesuatu yang tidak nyata layaknya fatamorgana di tengah gurun—ilusi di mana keluarga kecilnya baik-baik saja.
×××
Cahaya lampu samar dan suara orang-orang yang tengah sibuk menyambut [Name] yang baru saja tersadar. Sekujur tubuhnya terasa sakit, nyaris mati rasa. Ia sendiri bahkan tidak bisa merasakan tangan atau kakinya, hingga tidak yakin apakah dirinya masih hidup atau tidak.
"Bertahanlah, [Name]," Suara samar itu begitu familier, hingga membuat [Name] mengeluarkan air mata, "Otou-san pasti akan menyelamatkanmu."
"T—tou ...," Suaranya tidak bisa keluar, padahal ia ingin bercerita pada sang ayah tentang bagaimana suaminya hari ini, bagaimana ia ingin mempertahankan pernikahannya. Ia yakin pria itu akan mendukungnya.
"Aoi ...," ucapnya lagi dengan susah payah.
"Jangan berbicara dulu, [Name]," Ayahnya berujar, seolah beliau berada di tempat yang begitu jauh, "Otou-san ... tidak ingin kehilangan kamu juga."
Butuh waktu cukup lama untuk [Name] mengerti maksud sang ayah. Anaknya, buah hati dari pernikahannya dengan seorang Aomine Daiki, tidak dapat diselamatkan. Dia menghilang setelah berkembang di dalam rahim [Name].
Maafkan Ibu, Aoi, batin [Name] pilu pada dirinya sendiri. Kalau begini, bukankah Aoi akan kesepian jika dia sendirian?
Rasa sakit kembali menjalar ke seluruh tubuhnya, napas juga detakan jantungnya perlahan terasa semakin melemah, keheningan juga seolah-olah merengkuh [Name] dengan sayang. Ternyata inilah saatnya, ya? Aku bahkan belum menyelesaikan masalahku dan Daiki, memberikan orangtuaku cucu, atau bahkan ....
"Otou-san ...," [Name] memanggil ayahnya untuk yang terakhir kali, berharap pria yang paling dicintainya sebelum sang suami itu mendengar, "... aku bahagia ... terima kasih."
[Name] memaksakan senyumnya, menyadari lampu yang tadinya menyilaukan mata perlahan menggelap, "Aku ... mencintai kalian."
Perlahan tapi pasti, napas pelan diembuskan oleh [Name], rasa sakitnya menghilang seperti buih di lautan, beriringan dengan kegelapan seolah-olah menenggelamkannya. Aoi, Ibu datang.
Alat yang memantau detakan jantung [Name] menunjukkan garis lurus dan mengeluarkan nyaring, pertanda tidak ada lagi pompaan darah pada tubuh perempuan itu. Orang-orang yang berada dalam ruangan itu bergerak lebih cepat, tetapi ketika mereka telah berusaha sebisa mungkin, Tuhan lebih menyayangi wanita itu.
Setelah penanganan panjang yang melelahkan, perempuan yang berusaha mereka selamatkan kini tidak menunjukkan respons apa pun. Tubuh perempuan itu tidak lagi hangat dan perlahan memucat.
Dengan berat hati, mereka menyatakan jika perempuan dengan nama Daiki [Name] itu telah pergi untuk selamanya.
×××
Ternyata jaraknya partnya dua minggu. Maaf, aku bener-bener kira ini udah update, ternyata belom :"'
Udah kita ngedrama dengan Aomine, mingdep kita ngedrama dengan Akashi. Udah lama gak muncul juga.
Nanti aku mau bikin Sakurai/Kasamatsu, terus lanjut request lagi di part kemaren //moga yg req masih inget wkwk.
Seperti biasa, aku akan menerima kritik dan saran :')
See you next oneshoot!
MK ❤
YA 💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top