Wish (Nijimura x Reader)

Genre: Hurt/Comfort

Rate: T

  Happy (late) Birthday (again?), Nijimura Shuuzou. Gomen aku belum membuatmu di romance. Hehehe. Maa, fic ini sepenuhnya dari sudut pandang Nijimura.

  "Karena kecelakaan yang anda alami, beberapa saraf di otak anda terganggu. Salah satunya berdampak pada fungsi kaki anda. Karena hal itulah, anda mengalami kelumpuhan permanen"

  Perkataan dokter itu membuat jantungku serasa berhenti berdetak. Seketika semua yang kumiliki seakan hilang begitu saja. Aku yang seorang pemain basket, tak bisa lagi menggunakan kakiku? Apakah ini mimpi? Jika iya, maka ini adalah mimpi buruk. Sangat buruk.

  "Dan selama beberapa minggu kedepan, anda akan dirawat disini untuk memulihkan kondisi anda. Karena bukan hanya masalah kaki anda saja, namun anda juga mengalami beberapa luka, Nijimura Shuuzou-san"

  Selama beberapa minggu aku harus mendekam di ruangan serba putih berbau obat-obatan ini? Jadi, intinya mulai sekarang aku tidak akan bisa melakukan hal yang kusuka lagi? Sepertinya begitu. Bermain basket dan karate, semua itu tak akan bisa kulakukan. Dan yang paling menyedihkan, aku tidak akan bisa mengajaknya berkencan ke taman tempat kita biasa pergi lagi.

  "Ya. Terimakasih, dokter", ucapku singkat.

  Tak ada lagi yang bisa kukatakan selain itu. Aku terlalu merasa shock. Bahkan karena hal itu, menangis saja aku lupa untuk melakukannya.

  'Tak ada yang bisa kau lakukan, Shuuzou. Tuhan telah memutuskannya'

.

  "Shuuzou?"

  Pintu tempat aku dirawat terbuka. Ah, suara itu. Walau baru beberapa saat aku tidak mendengarnya, tetap saja hal itu terasa berhari-hari.

  "Ya, (First name)?"

  Dia melangkahkan kaki mendekat kearah ranjangku. Jelas sekali terlihat kalau dia baru saja menangis. Pelupuk matanya membengkak dan matanya memerah. Aku hanya bisa tersenyum miris melihatnya.

  'Hey, (First name). Tak tahukah kau melihatmu seperti ini membuatku semakin merasa sakit?'

  "A-Aku telah mendengarnya dari dokter. B-Bersabarlah, Shuuzou. Hal itu bukanlah akhir dari segalanya", suaramu bergetar.

  Aku yakin kau akan menangis lagi sekarang. Dan benar saja, liquid bening itu perlahan mulai mengalir keluar dari pelupuk matamu. Kau berusaha menghapusnya secepat mungkin. Berusaha supaya aku tidak melihatnya, eh?

  "Terimakasih"

  Pandanganku terpaku pada kaca jendela di ruangan ini. Lebih baik aku memandang langit mendung hari ini daripada harus melihat calon istriku menangis.

  "A-adakah yang kau mau? M-mungkin aku bisa mencarikannya"

  "Tidak. Tidak ada. Dan tidak perlu"

  Mungkin setelah mendengar jawabanku dia akan berpikiran bahwa aku telah berubah. Tapi tak apa. Mungkin hal itu lebih baik.

  Ucapanku hanya ditanggapinya dengan sebuah senyuman. Senyuman yang dapat dengan jelas kuketahui bahwa hal itu dipaksakan.

  "Sou ka", balasnya lirih. "Kapan o-orangtua mu akan kesini, Shuuzou?"

  Kali ini aku memandangnya. Tatapan matanya tampak lebih tenang walau hanya sedikit.

  "Mungkin sebentar lagi. Jadi, pergilah, (First name). Kau bisa pulang sekarang"

  Dan aku kembali menatap jendela untuk yang kedua kalinya. Setelah tahun-tahun yang kita lewati bersama sebagai kekasih, tentu saja aku tahu ia merasa sakit mendengar ucapanku. Tapi maafkan aku, aku memang harus melakukan itu.

  "B-baiklah. Jaa matta ashita, Shuuzou"

  Pada akhirnya ia memilih untuk beranjak dari ruangan ini. Dia adalah calon istri yang paling baik. Selalu saja melakukan apa yang kukatakan sekalipun hal itu menyakitinya.

  'Dan tanpa kau sadari dirimu juga telah menyakitiku karena melakukannya'

.

  Sosok bersurai (Hair colour) kembali memasuki ruangan ini. Seperti yang telah ia katakan, 'Jaa matta ashita'. Sepertinya ucapanku kemarin sama sekali tidak diindahkan.

  "Mengapa kau disini?"

  "Eh? Bukankah aku sudah berkata kalau akan kesini lagi?", jawabnya sambil tersenyum dan mendudukan diri di samping ranjangku.

  "Maaf. Aku lupa menambahkan 'jangan kemari lagi' pada kalimatku kemarin", ujarku dingin.

  Kedua iris (Eyes colour) miliknya membulat begitu saja. Dia tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.

  "M-maksudmu apa, Shuuzou?"

  Menghela nafas pelan, aku kembali mengulang ucapanku tadi. Dan ia juga membulatkan mata untuk yang kedua kalinya.

  "M-mengapa?"

  "Jelas karena aku ingin kau pergi dariku", dustaku. Namun tidak sepenuhnya berdusta.

  Aku memang ingin supaya ia pergi dariku. Supaya dia bahagia walaupun aku yakin ia merasa menderita. Tapi ia akan lebih menderita jika terus bersamaku. Karena aku takut aku tidak akan bisa membahagiakannya.

  Lagipula apa yang dapat diberikan oleh seorang calon suami yang tak bisa berjalan sepertiku? Aku hanya akan merepotkannya. Entah untuk sekarang maupun kelak.

  "Shuuzou..", gumamnya lirih. Ia menunduk dalam. Suaranya bergetar.

  'Tidakkah kau benci kepada orang yang sudah membuatmu menangis ini?'

  Bencilah aku. Lalu pergilah dariku supaya aku tidak membuatnya menangis lagi. Walalupun mungkin nanti aku lah yang akan menangis karena ditinggalkan. Tapi apa peduliku? Yang terpenting bagiku adalah kebahagiaannya.

  "Ya?", balasku singkat. Padahal aku yakin dia tadi tidak memanggilku.

  "Bagaimana kalau.. aku menolaknya?", kini iris (Eyes colour) nya bertemu dengan manik obsidian ku. "Aku benar-benar mencintaimu, Shuuzou. Aku mencintaimu bukan karena pernikahan yang diinginkan kedua orangtua kita. Aku mencintaimu karena apa yang sudah kita lewati selama beberapa tahun ini. Apa yang sudah kita kewati bersama sejak kelas satu SMP", lalu ia tersenyum lembut.

  Sekarang giliranku yang membulatkan kedua mata tak percaya.

  'Mengapa kau begitu keras kepala? Mengapa pula kau harus mengatakan semua hal itu? Kau membuatku ingin menagis'

  Dia terlalu baik. Dan hal itu semakin membuatku takut tidak akan bisa membahagiakannya jika terus bersamaku.

  "Aku ingin kau menerimanya. Kalau perlu, aku bisa meminta kedua orangtua ku untuk membatalkan pernikahan kita", kataku sambil menatap jendela.

  Keheningan menyelimuti. Dia kembali menunduk. Isakan pelan mulai terdengar diiringi rasa sakit yang semakin menusuk dadaku. Tapi apa yang kurasakan mungkin bukan apa-apa. Pasti dia lah yang paling sedih di situasi seperti ini.

  'Maafkan aku. Aku hanya berharap kau bisa bahagia'

  "Baiklah.. hiks.. K-kalau begitu aku akan pergi. Sayounara, Shuuzou"

  Dengan itu ia mulai bangkit berdiri. Ia lalu melangkah pergi setelah sebelumnya tersenyum kepadaku. Mungkin senyuman terakhir yang bisa kulihat.

  'Kenapa kau menunjukan senyuman lembut itu ketika kau akan pergi? Apakah kau sengaja membuatku menderita karena ingin melihat senyuman itu lagi?'

.

  Satu bulan pun telah berlalu. Dan selama satu bulan itu aku belum juga melihat wajah manisnya. Rindu? Tentu saja. Sekalipun aku berkata 'Tidak', tetap saja aku tak bisa membohongi perasaan asliku.

  Suara pintu yang dibuka terdengar. Tanpa sadar aku langsung menatap ke pintu. Apakah itu dia dengan surai (Hair colour) nya? Aku mulai berharap. Rupanya tidak. Kini orangtua ku lah yang masuk ke ruangan.

  "Shuuzou. Apakah (First name)-chan tidak pernah kembali lagi?", tanya ibuku. Mengapa ibu menatapku dengan sedih?

  "Iya"

  "Apakah kau ingin membatalkan pernikahannya?", sambung ayahku.

  "Tidak"

  Tunggu. Apa yang barusan kukatakan? Mengapa aku menolaknya? Bukankah jika aku membatalkan pertunangan ini, (Your name) tidak perlu lagi berhubungan denganku? Bukankah dengan begitu aku tidak perlu khawatir tak akan bisa membahagiakannya? Lantas, mengapa aku menolaknya?

  Ayah menghela nafas. Raut mukanya seakan menyimpan berbagai pertanyaan yang telah lama dipendam. Begitu pula dengan mimik wajah ibu.

  "Sebenarnya apa yang terjadi, Shuuzou?", tanya ayah sambil menatapku dengan pandangannya ketika ia sakit dulu.

  "Tidak ada apa-apa"

  "Jangan berbohong, Shuuzou. Kami bisa dengan jelas tahu bahwa kau tengah menyembunyikan sesuatu", ucap ibu sambil membelai pelan rambutku.

  Tak tahan dengan perlakuan itu, aku pun menceritakan semuanya. Mereka hanya mendengarkan pada awalnya. Dan ketika aku selesai berbicara, mereka mulai mengutarakan pendapat. Semuanya berinti sama. Mereka menyerahkan semuanya kepadaku. Keputusan ada ditanganku. Apakah aku akan membatalkan pernikahan ini atau tidak.

  'Haruskah aku melakukannya? Dan jika aku melakukannya, apakah kau akan benar-benar bahagia?'

.

  Keesokan harinya, aku hanya bersandar pada kepala ranjang dan menatap keluar jendela. Dan hari ini pun sama. Ia belum juga datang. Atau mungkin 'ia tidak datang'.

  "Masuk", titahku ketika mendengar ketukan di pintu. Bodoh, kalau mau masuk ya masuk saja. Biasanya mereka yang menjengukku akan melakukan hal itu.

  Dan ketika orang yang mengetuk pintu tadi melangkah masuk, aku hanya mampu menatapnya penuh keterkejutan. Dia datang?

  'Benarkah ini adalah kau? Atau mungkin hanya ilusi yang kubuat sendiri karena terlalu merindukanmu?'

  "Shuuzou?"

  Suara itu sama. Ini benar-benar dia. Aku tidak bermimpi maupun berkhayal. Apa yang kulihat kini nyata. Itu adalah sosok anggun dari dirimu yang kurindukan.

  "Otanjoubi omedetou", ucapnya sambil tersenyum. Kue tart yang sejak tadi dibawa ia letakan di meja samping ranjangku.

  "Eh?"

  Benarkah? Memangnya tanggal berapa sekarang? Sepuluh Juli? Astaga, aku bahkan lupa kalau hari ini aku berulangtahun.

  Dia mulai menyalakan lilin. Lalu tart tadi ia arahkan ke depan wajahku.

  "Make a wish, Shuuzou. Jangan lupa", katanya sambil tersenyum.

  'Setelah apa yang kulakukan kepadamu selama ini, kau masih bisa tersenyum kepadaku?'

  Aku seringkali dibuat bingung olehnya. Sebenarnya ia ini terlalu bodoh atau terlalu baik hati? Entahlah. Yang jelas aku mencintainya bagaimanapun sifat yang ia miliki.

  Aku mulai memejamkan mata dan bergumam dalam hati. Mengungkapkan berbagai harapan yang kuinginkan.

  'Nee, Kami-sama. Aku berterimakasih kepadamu karena sudah membuatku dikelilingi orang yang penuh perhatian. Khususnya gadis bodoh didepanku ini. Aku harap ia selalu ada disisiku. Dan kuharap aku bisa membahagiakannya sekalipun dengan kondisiku saat ini. Sekalipun aku yakin kemungkinannya kecil. Atau bahkan sangat kecil.'

  Kemudian lilin itu kutiup. Sejak tadi aku tidak menyadari bahwa airmataku mengalir dan (Your name) terus menatapku. Kedua matanya berkaca-kaca. Lalu ia langsung memelukku erat setelah sebelumnya menaruh tart yang tadi ia bawa.

  "Kumohon jangan menyuruhku pergi. Jangan kau suruh aku meninggalkanmu. Aku tidak bisa, Shuuzou. Aku mencintaimu. Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu. Kumohon. Aku berjanji aku akan selalu ada disisimu, Shuuzou. Jadi, tolong jangan menyuruhku untuk pergi lagi kali ini!", disela isakannya ia mengatakan semua hal itu.

  Mendengar semua yang ia katakan membuat airmataku mengalir lagi.

  "Tapi kau tidak akan mungkin bahagia jika bersamaku. Aku tidak bisa, (First name). Mana mungkin aku bisa membahagiakanmu?"

  "Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini!", elaknya. "Kalau memang seperti itu aku tidak keberatan! Setidaknya.. Setidaknya aku bersamamu, Shuuzou!", ia menatapku dengan pandangan penuh airmata dan kesedihan. "Bersama orang yang kucintai sudah cukup membuatku bahagia", dan senyum tulus dia kembangkan.

  'Apa yang kau lakukan? Kalau seperti ini aku tak akan bisa merelakanmu, bodoh'

  Aku menyerah. Tidak mungkin aku bisa meninggalkan gadis ini. Aku sangat mencintainya. Kudekap ia dengan erat. Airmata tak dapat lagi kutahan. Aku terisak. Tak peduli apakah hal yang kulakukan ini memalukan atau tidak.

  "Bodoh. Kau pikir sebenarnya aku mau menyuruhmu pergi? Aku juga mencintaimu, bodoh. Kalau tidak, mana mungkin aku menyutujui orangtua ku?", kubenamkan wajah di helaian surai lembutnya.

  "Jadi.. kau akan membiarkanku menemanimu terus 'kan? Untuk selamanya?"

  "Ya. Untuk selamanya", ucapku sambil tersenyum.

  Pada akhirnya aku luluh juga olehnya. Tembok yang selama ini kubangun telah diruntuhkan untuk yang kesekian kalinya oleh gadis ini.

  'Dan kuharap aku bisa membahagiakanmu, (First name)'

.

A/N:
Gomen, readertachi karena author note nya double. Tapi mau bagaimana lagi? Saya cuma mau bilang kalau mungkin mulai hari ini saya gak yakin bisa update tiap hari lagi. Tapi tetap diusahakan update cepet kok. Tenang saja.
Saa, jaa matta, readertachi~!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top