Soulmate(s) (Aomine x Reader x Gold)

Genre: Supranatural, romance
Rate: T

Hallo, readertachi! Very very long time no see (':
Apa kabar? Baik?
Nih, saya bawa request dari Dantesparda99
Ya Lord, serius. Ini request dari zaman apa? Ini jari udah luamaaaa banget gak ngetik. Berasa kaku. Ini juga pasti ambyar bahasanya. Maapekun Orz
Saya sendiri juga gak ngerti ini nulis apa. Gomenne. Semoga suka aja deh T^T
Saa, jaa mata, readertachi!

Warning: Alternate Universe, profanities

.

  Soulmate.

(Your name) ingat betul. Kata ibunya dulu, semua orang pasti memiliki soulmate di dunia ini. Entah kapan bertemu. Entah di mana berjumpa. Yang jelas, setiap orang pasti memiliknya.

Tapi, apakah soulmate itu?

Ketika ia bertanya kepada ibunya sewaktu masih kecil dulu, ibunya menjawab bahwa soulmate adalah orang yang akan membuat dunia hitam-putihmu menjadi berwarna. Soulmate adalah orang yang mengucapkan kata yang terukir di tanganmu. Pada intinya, soulmate adalah belahan jiwamu—walaupun pada saat itu (Your name) tak paham apa itu belahan jiwa.

Semua itu benar adanya. Namun ada satu hal yang tak diucapkan sang ibu kepadanya dulu. Wanita itu tak pernah bilang jika ada juga manusia di dunia ini yang memiliki kasus seperti dirinya. Yaitu, bukannya satu, justru dua soulmate yang (Your name) miliki. (Your name) sendiri tak tahu bagaimanna bisa hal itu tejadi. Tapi memang begitu nyatanya.

(Your name) memiliki dua soulmate.

Dan masing-masing dari kubu yang berbeda.

“Apa yang kau pikirkan?”

Terlalu asyik dengan pikirannya sendiri, (Your name) jadi melupakan kehadiran dua sosok pemuda yang sedaritadi duduk di samping kanan-kirinya. Menengok ke kiri, (Your name) membuka mulut bersiap menjawab pertanyaan dari Gold.

“Tentu saja aku,” sosok yang berada di kanannya—Aomine—menyela.

Kemudian terjadilah perang deathglare di antara pemuda berambut kuning dengan si navy blue.

Satu-satunya perempuan di sana menghela nafas. “Bukan. Aku hanya memikirkan bagaimana kita bertemu.”

Kedua pemuda di samping gadis itu diam lalu merangkulnya. Tangan Aomine mengarah ke pundak (Your name), Gold melingkarkan tangannya ke pinggang gadis itu. Keduanya berkata serempak.

Ah, itu...”

.

Sore itu (Your name) berjalan pulang dari sekolahnya, SMA Vorpal Sword. Matahari tenggelam menciptakan pemandangan lembayung senja yang indah. Namun seindah apapun lembayung senja seperti yang orang-orang katakan, semua itu sama saja di mata (Your name)—monokrom.

(Your name) hanyalah omega biasa. Dan perlu digaris bawahi, belum bertemu soulmate-nya. (Your name) sendiri pada awalnya tidak begitu ambil pusing. Tapi mau tak mau hal itu menghantui pikirannya juga ketika ia masuk SMA. Karena mayoritas teman seangkatannya telah memiliki pasangan. Gadis itu juga mulai memikirkan bagaimana rupa maupun kepribadian soulmate-nya. Mengingat tulisan yang terukir di lengan bagian bawahnya tak begitu romantis dan enak dibaca.

‘Mai-chan!’

Tolong beritahu (Your name) di bagian manakah tulisan itu bisa disebut romantis? Sejujurnya (Your name) juga tidak mengharap tulisan itu berbunyi suatu hal yang romantis. Setidaknya sesuatu yang normal pun sudah cukup. (Your name) bahkan ragu dengan kesetiaan soulmate-nya. Kenapa tulisan itu seolah menandakan kalau soulmate-nya sudah lebih dahulu selingkuh bahkan sebelum mereka bertemu?

Tak hanya itu, (Your name) juga semakin ragu dengan soulmate-nya ketika ia menyadari kehadiran sebuah tato di pundak kirinya. Tato tribal berwarna hitam yang bisa dibilang cukup lebar dalam ukuran. (Your name) beruntung kedua orangtuanya paham dan dapat memaklumi. Jika tidak, mungkin dirinya sudah menjadi gelandangan sekarang.

Terlalu asyik dengan pemikirannya tentang soulmate, (Your name) sampai tak menyadari jika sebuah buku terlempar dengan cukup keras tepat ke bawah kakinya. (Your name) yang memang tak melihat pun dengan santainya menginjak buku tersebut.

“Mai-chan!”

(Your name) terperanjat. Dia yang sedaritadi sibuk melamun kini melemparkan pandangannya ke arah sumber suara. Tepat saat itu seorang pemuda berkulit tan dengan rambut biru tua berlari ke arahnya. (Your name) bergeming di tempat ia berdiri ketika ia sadar kata yang ia dengar barusan. Kata yang sama persis seperti apa yang tertera di lengan bagian bawahnya.

Jadi, pemuda itu... soulmate-nya?

Dia menemukan soulmate-nya?!

Walaupun senang karena telah menemukan belahan jiwanya, sebuah perempatan imajiner tetap muncul di dahi gadis itu. Berani-beraninya pemuda itu memanggil nama perempuan lain padahal telah bertemu soulmate-nya!

Aho! Siapa Mai-chan?!” pekik (Your name) ketus ketika pemuda tadi telah berada di hadapannya. Dalam hati (Your name) mengutuk tinggi pemuda itu yang di atas rata-rata. Tunggu, dia bukannya Aomine Daiki, salah satu pemain regular tim basket di sekolah?

Kini giliran pemuda itu yang kaget. Dia bahkan tak lagi memedulikan buku—tepatnya majalah—yang masih berada di bawah kaki (Your name). Bermacam warna yang ia lihat tiba-tiba sukses membuat perhatiannya teralihkan.

Aomine menatap (Your name) sesaat. Tak tahu harus berkata apa. Jadi, gadis di depannya ini soulmate-nya? Jadi, soulmate-nya itu gadis yang di pertemuan pertama mereka langsung mengatainya ‘aho’? Jadi, soulmate-nya itu gadis yang tidak tahu siapa Mai-chan?

Tapi masa bodoh.

Setidaknya Aomine tak perlu melihat dunia hitam-putih lagi.

Berbeda dengan Aomine yang tampak sumringah, (Your name) sendiri masih mematung di tempat. Ekspresi kesalnya tadi digantikan oleh raut bingung sekaligus ragu. “Kau... benar-benar soulmate ku?”

Pertanyaan itu terlontar dengan begitu lancarnya. Aomine yang mendengar dapat merasakan seolah-olah sebuah bola raksasa menghantam tepat ke ulu hatinya. Bagaimana tidak, soulmate-nya sendiri ragu dengan hubungan mereka.

“Tentu saja, bodoh! Aku, Aomine Daiki, adalah soulmate mu! Lagipula, siapa kau?”

Uh... Aku... (Full name),” jawab (Your name) dengan keraguan.

Kemudian hening. Tak ada salah satu dari mereka yang tahu cara melanjutkan pembicaraan. Jarum dari jam tangan yang (Your name) kenakan terus berdetik. Hingga memasuki detik ke tiga, sebuah suara yang familiar bagi keduanya terdengar mendekat.

“Dai-chaaan!” Momoi berseru sembari berlari mendekat ke arah (Your name) dan Aomine. “Mou, kau ini—“ kalimat Momoi tertunda tatkala ia melihat sosok si gadis (Hair colour) yang notabene adalah teman sekelasnya berdiri di hadapan teman masa kecilnya. “Eh? (Last name)-chan?”

“Satsuki! Dia soulmate ku!”

“Momoi! Dia soulmate ku?!”

Eh?”

Hei! Kenapa nada bicaramu terdengar ragu?!”

Hehehe... Maaf... Aku memang masih ragu...”

“Kenapa?!”

“Karena... etto... kenapa pandanganku masih monokrom?”

.

“Jadi... ada yang bisa menjelaskan mengapa pandanganku tetap hitam putih padahal aku telah menemukan soulmate ku?”

Sore itu (Your name) duduk manis di hadapan kedua orangtuanya. Di samping gadis itu, duduk Aomine yang memasang wajah acuh tak acuh andalannya. Si pemuda biru navy mau tak mau harus ikut dalam pertemuan kecil keluarga (Last name) tersebut. Karena semalam, (Your name) menceritakan kejadian kemarin. Dan alhasil kedua orangtuanya pun ingin bertemu pemuda kulit tan itu. Aomine sendiri tak masalah. Karena dengan begini ia akan tahu alasan mengapa (Your name) belum bisa melihat warna-warni dunia padahal ia telah menemukan soulmate-nya.

“Ibu tak tahu apakah ini bisa disebut anugerah ataukah kutukan. Memang, ada kasus yang sangat langka di mana seseorang masih saja belum bisa melihat warna sekalipun ia telah menemukan soulmate-nya. Namun, itu karena dia tak hanya memiliki satu soulmate. Ia punya lebih. Belahan jiwanya tak hanya satu.”

Mimik wajah kedua remaja yang mendengar penjelasan itu berubah drastis. Raut bingung (Your name) hilang digantikan oleh bola mata yang melebar dan mulut yang menganga namun tak mengeluarkan suara. Sedangkan Aomine, tak jauh berbeda dengan (Your name). Hanya saja sebuah ‘apa?!’ keluar dengan lantang dari mulutya.

“Kesimpulannya, soulmate (First name) tak hanya dirimu, Aomine,” tambah kepala keluarga (Last name) membuat Aomine ingin sekali mempertemukan dahinya dengan tembok terdekat.

“Itu berarti aku masih harus mencari soulmate ku yang satunya agar aku dapat melihat dunia penuh warna yang kuidamkan?!”

“Begitulah. Jika tidak, jangan harap kau bisa melihat warna selain hitam dan putih,” lanjut sang ayah dengan santainya. “Sekarang semuanya sudah jelas, bukan? Pulanglah, nak. Kau sudah tahu permasalahannya,” tambah pria itu kepada Aomine.

Wajah Aomine tertekuk. “Baiklah. Aku pamit pulang,” ujarnya tanpa niat sembari bangkit berdiri. “Terimakasih atas penjelasannya.”

Baru beberapa langkah yang Aomine ambil, pemuda navy itu berhenti akibat panggilan dari sang kepala keluarga.

“Nak.”

Aomine menengok dengan enggan.

“Tak usah khawatir. Kau mendapat restu kami, Daiki.”

Aomine tersenyum sedikit.

Yah, ia memang mendapat restu. Tapi tetap saja. Siapa yang mau soulmate-nya memiliki soulmate lain? No way. Aomine tak pernah mau dimadu.

Bersamaan dengan langkah kakinya yang menjauh dari ruang tamu, otaknya penuh dengan berbagai kata umpatan entah untuk siapa.

.

Pagi itu langit tampak cerah. Hamparan warna biru terlihat jelas di atas sana menjadikannya waktu yang tepat untuk melakukan jogging. Maka dari itu, (Your name) bersama Aomine memutuskan untuk berjalan-jalan santai di daerah taman dekat rumahnya.

“Bagaimana rasanya melihat warna selain hitam dan putih?” tanya (Your name) membuka pembicaraan sambil berjalan di samping sang soulmate berkulit kecoklatan.

“Luar biasa. Dengan begini aku bisa tahu warna bola matamu yang indah itu,” jawab Aomine tanpa sedikitpun merubah ekspresi acuh tak acuhnya.

Seketika raut muka (Your name) tertekuk. Dengan langkah cepat ia berjalan lebih dulu di depan sang soulmate. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Kau sengaja? Membuatku iri dan tersipu secara bersamaan supaya aku tak marah padamu, hah?” ujarnya kesal sembari terus berjalan mundur.

Hah? Tidak. Kau pikir aku akan takut jika kau marah?”

“Jadi kau tidak takut? Awas sa—“

Bruk.

Ouch...”

(Your name) terjatuh. Kedua lututnya sukses menghantam tanah lebih dulu meninggalkan sedikit luka kemerahan di kulitnya. Salahkan dirinya sendiri yang masih saja berjalan mundur tanpa melihat ke depan. Alhasil ia pun tak bisa mengetahui jika ada orang lain yang tengah berjalan ke arahnya. Atau mungkin ia harus menyalahkan pemuda bertubuh jangkung yang secara tak sengaja telah menabrak pundak kecilnya hingga ia terjatuh?

Ah, maaf. Kau ti—dak apa?”

Kalimat pertanyaan dari pemuda yang tadi telah menabrak (Your name) itu terdengar menggantung. Sama halnya dengan uluran tangan yang ia maksudkan untuk membantu (Your name) berdiri. Bukan bermaksud terdengar mesum atau apa. Tapi semua itu akibat pundak (Your name) yang terekspos karena jaket olahraga yang ia kenakan tersibak, menampakan tato di lengan bagian atasnya yang tak tertutup apapun.

“M-maaf. Aku tak apa. Ini salah—ku...?”

(Your name) mendongakan kepala berniat menatap orang yang telah menabraknya. Namun ia justru terpana tatkala ia melihatnya. Bukan karena paras tampan si penabrak. Melainkan karena tato yang ada di bagian lengan pemuda itu. Tato yang sama persis seperti miliknya sendiri. Dan yang lebih membuat ia terpana adalah ketika ia sadar bahwa ia bisa melihat warna rambut pemuda itu dengan jelas—kuning keemasan.

Mereka berdua sama-sama hanya diam tanpa kata. Sibuk mencerna peristiwa yang tengah terjadi.

Oi, (First name)! Kau tak apa?” pertanyaan dari Aomine yang mulai khawatir pun memecah keheningan.

“Daiki! Dia soulmate ku!” seru (Your name) tanpa menjawab pertanyaan si navy blue sambil berdiri dan menunjuk si rambut keemasan.

Dan Aomine pun kehilangan kata. Bingung harus bereaksi bagaimana. Pemuda kuning itu soulmate (Your name)?! Gold Nash Junior yang merupakan murid Jabberwock adalah soulmate (Full name) yang notabene juga soulmate-nya?! Tidak mungkin! Tak ada sejarah di mana Jabberwock dan Vorpal Sword bisa bersatu! Terlebih lagi Gold itu baru saja ia lawan bersama teman-temannya di turnamen basket bulan lalu!

Hah?! Mana mungkin?!” seru Aomine tanpa bisa sedikitpun percaya.

Sebagai respon, (Your name) dengan santai menunjuk tato yang terukir di pundak Gold lalu menunjukkan tato yang ada di pundaknya sendiri.

“Tentu saja mungkin. Lihat saja tato di pundak nona manis ini,” Gold buka suara tak lupa menatap Aomine dengan pandangan mengejek sekaligus meremehkan miliknya. “Mirip dengan milikku, ‘kan?” lanjut pemuda itu lalu memamerkan tato di pundaknya.

Geraman kesal pun keluar dari mulut si pemuda berkulit tan.

“Jadi, aku Gold Nash Junior. Siapa namamu, nona?” tanya Gold sembari mengulurkan tangan ke (Your name) sekaligus melemparkan seringai mengejek kepada Aomine—yang dibalas dengan tatapan jijik oleh yang bersangkutan.

(Your name) dengan ragu membalas uluran tangan itu. “(F-Full name),” ujarnya pelan.

Aomine menepuk dahinya setelah melihat (Your name) yang tampak biasa saja menyikapi aksi Gold. Ia menatap soulmate-nya tak percaya. “Oh, ayolah, (First name)... kau pasti bercanda. Mana mungkin anak Vorpal Sword seperti kita bersama Jabberwock?”

Dan yang Aomine dapatkan hanyalah tatapan tak paham nan polos dari (Your name) yang membuatnya ingin menghantamkan kepala ke tembok terdekat.

“Memangnya ada aturan dimana Vorpal Sword tak boleh bersama Jabberwock?” tanya Gold sedikit kesal—alisnya terangkat sebelah karena heran. “Lagipula walaupun aku anak Jabberwock, aku sama baiknya sepertimu—bahkan lebih baik,” ujarnya dengan nada sedikit pelan di tiga kata terakhir.

“Apa katamu?! Aku bisa mendengar itu, sialan!”

“D-Daiki, sudah!”

Oh... kau bisa mendengarnya? Kukira kau tuli.”

“G-Gold!”

Dan akhirnya pagi itu hampir saja terjadi aksi tinju meninju yang akan menjadi tontonan gratis di taman seandainya (Your name) tak menjadi penengah antara dua soulmate-nya yang seperti anjing dan kucing jika bersama.

.

“Jujur saja...”

(Your name) menatap si navy blue yang baru saja berbicara.

“Aku masih tidak rela kalau satu soulmate mu itu ternyata dia,” Aomine yang masih merangkul (Your name) menunjuk Gold dengan satu tangannya yang tak digunakan untuk merangkul sang gadis.

“Jujur saja...”

Kini (Your name) menatap Gold.

“Aku mencari kemanapun... ke kamar tidur milik (Your name), ke kamar mandi, dapur, bahkan halaman depan rumah—“ Gold melemparkan pandangan menantang ke Aomine. “Tapi tak kutemukan satupun yang meminta pendapatmu, MONYET.”

“APA KATAMU, BANGSAT?!”

Dan lagi, entah untuk keberapa kalinya (Your name) harus menjadi penengah bagi kedua soulmate-nya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top