Promises and Seasons (Takao x Reader)

Genre: Angst
Rate: T

  Hola, readertachi~ Malming-malming begini malah publish angst. Maklumlah... Namanya juga jomblo... *plak*
Well, ini request dari TsukiKuromeChan . Semoga sesuai yang diharapkan, ya! Dan semoga saya berhasil bikin nangis readertachi! *evil laugh*
Oh iya, yang saya italic itu berarti flashback, ok?
Saa, jaa mata, readertachi!

  Beberapa figur berbalut pakaian serba hitam berdiri bersama di sebuah pemakaman, tepatnya di depan sebuah batu nisan dimana terukir sebuah nama yang sangat mereka kenal.

  '(Last name) (First name)'

  Nama yang indah yang terukir dengan indahnya pula. Sayangnya mau seindah apapun bentuk tulisan itu, jika terukir di atas sebuah batu nisan tetap saja hanya akan mendatangkan duka.

  "Takao, kami akan pulang. Kau masih ingin disini?" Suara tegas seorang pemuda tinggi berambut cepak terdengar. Tapi, jika kita mendengarnya dengan seksama maka akan terdengar setitik rasa sedih didalamnya.

  Pemuda yang tadi dipanggil Takao itu hanya terdiam. Kepalanya tertunduk lemas. Bunga krisan putih masih berada di genggaman tangannya. Disaat yang lain telah menaruh bunga sejak tadi, pemuda itu bahkan baru berani berdiri di depan nisan ketika kebanyakan orang yang berkabung sudah pulang.

  "Aku masih ingin disini." Jawaban singkat dengan suara lirih keluar dari mulut Takao.

  "Baiklah. Kami pulang dulu. Jangan terlalu larut dalam kesedihan, Takao. Aku yakin (Last name) tak aku senang melihatmu seperti ini."

  Mengiyakan kalimat dari adik kelasnya, Ootsubo—si pemuda tinggi berambut cepak—segera berjalan kembali ke arah rekan-rekan tim basketnya berdiri. Setelah itu beberapa pemuda yang berdiri di belakang Takao sejak tadi mulai beranjak dari area pemakaman. Sekarang tinggal Takao yang berada di sana. Masih dengan kepala tertunduk dan bunga dalam genggaman.

  "Hei, (First name)-chan. Kenapa kau kejam sekali?" Monolog Takao dengan tatapan tertuju ke arah tanah yang ia pijak. Kedua iris sewarna jelaga itu menyiratkan perasaan sedih dan kehilangan yang begitu dalam.

  "Jadi, kau akan mengingkari janji-janjimu selama ini?"

  "Jadi, kau meninggalkanku sendiri saat hari jadi kita yang pertama hampir tiba?"

  Takao terus berbicara kepada angin. Genggaman pada bunga krisan di tangannya mengerat, menyalurkan perasaan sedih yang menyesakkan dada sejak pertama menginjakkan kaki di pemakaman.

  "Hei, (First name)-chan... Jawab aku..."

  Pemuda berambut hitam itu masih saja menunduk. Ia tak sanggup menatap batu nisan di hadapannya. Apalagi membaca nama yang terukir indah di sana. Hatinya tak sanggup. Ingin sekali ia menyangkal semua peristiwa yang terjadi. Kematian kekasihnya benar-benar sebuah mimpi buruk yang tak ingin ia hadapi. Walaupun sebenarnya ia akan sangat bersyukur jika kejadian hari ini benar-benar hanyalah sebuah mimpi. Karena jika benar begitu, ia hanya perlu bangun dari tidur dan melupakan semuanya. Bukan berdiri di depan nisan dengan rasa sedih yang menyesakkan dada.

  "(First name)-chan. Apakah kau ingat saat aku memintamu menjadi kekasihku di musim semi tahun lalu?" Tanya Takao dengan senyum tipis di wajah. Senyuman yang ia paksakan demi menguatkan diri sendiri.

.

  "Takao-kun, ada apa? Kenapa masih disini? Bukankah yang lainnya sudah pulang?"

  Seorang gadis bersurai (Hair colour) bertanya ketika ia mendapati point guard tim basket sekolahnya masih berdiri di depan pintu gymnasium ketika latihan telah usai sejak beberapa saat lalu. Dan orang yang ditanyai hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil tertawa gugup.

  "Aku menunggumu, (Last name)-chan. Sebenarnya ada yang ingin kutanyakan padamu."

  "Oh... Lalu, hal apa yang ingin kau tanyakan? Apakah mengenai pelajaran? Atau basket?"

  Pertanyaan dari manager tim basketnya itu membuat Takao tertawa. Syukurlah berkat hal itu rasa gugupnya sedikit hilang.

  "Sebenarnya aku ingin bertanya," Takao menatap manik (Eyes Colour) di hadapannya. "Apakah kau mau menjadi kekasihku?"

  Hening.

  Tapi detik berikutnya tawa manis terdengar disusul jawaban yang sukses membuat Takao berjingkrak kegirangan seketika.

  "Tentu aku mau, Kazu-kun."

.

  Pikirannya membuat Takao tertawa hambar. Mengingat kenangan manis bersama orang yang sudah tidak ada tentu membuatnya dilema. Ia bahagia dengan pikirannya dan di satu sisi ia merasa sangat sedih karena semua memori itu kini hanya sebuah khayalan belaka.

  "Lalu bagaimana dengan janjimu untuk melihat kembang api bersama di musim panas tahun ini?" Lirih Takao sendu.

  Bunga krisan putih yang sejak tadi berada di tangannya kini perlahan ia taruh di atas batu nisan. Setelah sekian menit ia hanya menunduk akhirnya pemuda itu berani mengangkat pandangannya. Walau dengan begitu ia sama saja memperlebar luka di hatinya yang sudah menganga.

.

  "Waaah! Cantik sekali! Ini kali pertama aku datang ke festival, Kazu-kun! Kembang api benar-benar indah!"

  Seruan penuh rasa bahagia dari gadis di sampingnya membuat Takao ikut senang. Tangannya perlahan mengusap puncak kepala kekasihnya itu.

  "Syukurlah kalau begitu! Aku ikut senang, (First name)-chan!" Takao menggantungkan kalimatnya. "Walau sebenarnya aku tidak sepenuhnya setuju dengan kalimatmu barusan."

  "Huh? Yang mana?" Gadis itu mengalihkan pandangan dari taburan kembang api di langit ke arah pemuda di sampingnya.

  "Karena menurutku (First name)-chan lah yang paling cantik!" Pujian yang terlontar mengundang semburat merah tipis di wajah kekasihnya.

  "Dasar Kazu-kun!" Takao mendapatkan pukulan ringan di lengan. "Nee, nee, Kazu-kun. Tahun depan kita mengikuti festival ini lagi, ya?" Tawaran terlontar seiring dengan pandangan yang kembali mendongak ke langit.

.

  Seusai menaruh bunga, Takao seketika jatuh berlutut di hadapan makam kekasihnya. Kakinya tak sanggup lagi bahkan hanya untuk menopang berat tubuhnya sendiri. Kesedihan yang dirasakan membuat energinya menguap entah kemana.

  Sekarang kepalanya kembali tertunduk. Seiring pikirannya yang melayang menguak kenangan-kenangan yang pernah dilewatinya bersama sang kekasih dulu, rasa sesak juga semakin memenuhi dadanya. Tangan yang biasa memegang bola basket itu kini meremas kuat dada kirinya seolah berusaha mengurangi rasa nyeri yang menyiksa.

  "Kau juga masih ingat, 'kan? Saat kita memanen buah-buahan di rumah kakek-nenekmu musim gugur kemarin? Kau... berjanji akan mengajakku lagi tahun depan... Nee, (First name)-chan..."

  Suara Takao tercekat. Kata-kata yang ingin diucapkannya tak bisa keluar dengan mulus. Beberapa tertahan di tenggorokan, membuat kalimatnya terdengar patah-patah.

.

  "Kakek dan nenek pasti senang karena ada tambahan tenaga disini," disusul tawa senang. "Kazu-kun tak masalah 'kan jadi pekerja di kebun kakek dan nenek?" Tawa kembali terdengar.

  "Aku tak masalah asalkan ada (First name)-chan!" Balas Takao dan ikut tertawa. Sebuah apel berada di tangannya yang kemudian ia masukkan ke keranjang.

  "Kalau begitu musim gugur tahun depan aku akan mengajakmu lagi, Kazu-kun! Bersiap-siaplah menjadi pekerja kakek dan nenek lagi!" Dan tawa kembali terdengar. "Aku mencintaimu, Kazu-kun~" kemudian memeluk erat kekasihnya hingga terjungkal, membuat keranjang berisikan apel di sampingnya tumpah.

.

  "Dan... bagaimana dengan janji kita untuk membuat pohon natal sendiri? Kau bilang... Kau ingin mengganti bintang di puncak pohon itu... dengan matahari, 'kan, (First name)... -chan?"

  Takao tak sanggup lagi menahan kesedihannya. Ia pun mulai menangis. Kedua bola matanya mengalirkan sungai kecil hingga ke dagu. Ia tak peduli lagi jika seandainya ada yang melihatnya menangis. Persetan dengan itu semua. Yang diinginkan Takao sekarang hanyalah meluapkan perasaan sedihnya yang menyiksa jiwa.

.

  "Selamat natal, minna!"

  "Selamat natal, (First name)-chan!"

"Selamat natal, nanodayo."

  Ungkapan selamat natal memenuhi gymnasium SMA Shuutoku, dimana di sana terdapat anggota tim basket yang tengah merayakan natal bersama. Hadiah diberikan secara langsung kepada masing-masing anggota. Sementara itu, di saat anggota yang lain sibuk membagikan hadiah, sepasang kekasih tampak tengah berbisik-bisik di samping pohon natal yang dibuat anggota tim basket.

  "Ssstt, Kazu-kun. Tahun depan kita membuat pohon natal sendiri, ok? Buat yang anti mainstream. Kita taruh hiasan matahari di atasnya. Bukan bintang." Si gadis berbisik ke pada pemuda di sampingnya. Membuat pemuda itu terkikik geli namun mengiyakan juga pada akhirnya. "Aku mencintaimu sampai akhir hidupku, Kazu-kun." lirih gadis itu sambil tersenyum tanpa berhasil tertangkap indra pendengar kekasihnya.

.

  Takao menggigit bibir bawah guna meredam suara tangisnya supaya tak semakin menjadi. Kenangan yang menyeruak dalam benaknya benar-benar menyiksa. Tak kuat lagi berlutut, akhirnya Takao jatuh bersimpuh. Tangannya kini memukul keras tanah di depannya.

  "Kenapa kau pergi begitu saja, (First name)-chan?! Kenapa kau ceroboh?! Kenapa... Kenapa kau tidak mendengarkanku? Hiks... Kenapa?"

.

  "Kalian semua lambat! Hei, ayo kejar aku! Kazu-kun! Shin-chan! Senpaitachi!" Kemudian gadis itu tertawa senang sambil berlari menjauhi teman-temannya dan sang kekasih, bersiap menyeberangi jalan raya di sampingnya.

  "(Last name)! Berhenti!" Sosok yang paling tinggi di antara mereka berseru panik.

  "(First name)-chan!" Takao ikut berseru sembari tangannya terulur untuk menggapai lengan sang kekasih.

  Namun semuanya terlambat. Lampu pejalan kaki sudah berganti warna terlebih dulu, menandakan bahwa sekarang giliran para pengendara bermotor yang berjalan. Sementara itu, si gadis yang tadi diserukan namanya baru sampai di tengah jalan. Padahal dari arah disampingnya tampak sebuah mobil yang melaju kencang.

  Akhirnya suara benturan antara mobil dengan tubuh kecil seorang gadis pun terdengar. Kecelakaan terjadi, membuat tubuh ramping itu terjatuh dengan darah yang mulai menggenanginya. Sementara itu si pengemudi terus melanjutkan perjalanan, meninggalkan tubuh si gadis dengan tidak bertanggung jawab.

  Semua orang membatu. Para pejalan kaki di trotoar termasuk pemuda-pemuda yang tadi bersama gadis itu hanya berdiri di tempat masing-masing. Mematung seolah kaki mereka sudah terpaku di aspal. Butuh beberapa detik hingga salah satu dari mereka ada yang bergerak. Takao lah orang yang pertama kali tersadar dan segera berlari ke arah tubuh bersimbah darah kekasihnya.

  "(First name)-chan! Bertahanlah! Senpai! Shin-chan! Panggil ambulans! Cepatlah!" Takao berseru panik sambil memeluk kekasihnya hati-hati. Namun berkat hal itu kawan-kawannya tadi ikut tersadar dan segera memanggil ambulans.

  "Kazu... -kun..."

  "Diam, (First name)-chan! Ambulans akan segera datang! Kumohon..." suara Takao melirih seiring dengan airmata yang mengalir semakin deras.

  "Sst... Jangan menangis... Kazu... uhuk... -kun..." darah keluar ketika gadis itu terbatuk. "Berjanjilah... Jangan... Ugh... mena... ngis... lagi... ok?" Dan kedua manik warna (Eyes colour) itu tersembunyi dibalik kelopak matanya. Tangan yang tadinya akan menggapai wajah sang kekasih kini terkulai lemas tak berdaya

  "(F-First name)-chan... (First name)-chan! Bertahanlah! (First name)-chaaan!"

  Seruan penuh keputusasaan terdengar bertepatan dengan datangnya ambulan.

.

  "Kau sudah... hiks... meninggalkanku sekarang... Kau mengabaikan ucapanmu selama ini... hiks... Jadi... Maaf... Kali ini biarkan aku yang melanggar ucapanmu... Maaf, (First name)-chan... Maaf... Aku tidak... Aku tidak bisa menahan tangisku lagi..."

  Takao semakin tak dapat menahan tangisnya. Bahunya kini terguncang berkat tangis yang semakin menjadi. Tangannya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya terpejam dan dadanya serasa semakin sesak karena perasaan sedih dan tangisannya sendiri.

  "Seandainya aku dulu lebih cepat menggapaimu... seandainya aku dulu langsung berlari menyusulmu... seandainya... hiks... seandainya saja semua ini hanya mimpi..." berbagai kata penuh penyesalan terdengar. "Kau pasti masih berada disisiku sekarang... (First name)-chan..."

  Bertepatan dengan Takao yang masih menangis dan meratapi semua, perlahan langit diatasnya yang semula berwarna biru cerah kini menjadi kelabu. Dan secara pasti rintik hujan mulai turun membasahi tanah pemakaman itu seolah ikut berduka atas kesedihan yang Takao rasa.

  Namun dalam hati Takao bersyukur. Setidaknya dengan begini tak akan ada yang melihat tangisnya jika seandainya ada orang lain yang datang ke pemakaman. Tapi, siapa yang mau repot-repot berziarah ke makam di saat hujan seperti ini? Tak ada.

  Setidaknya begitulah yang Takao tahu. Sampai detik ini ia menganggap bahwa hanya dirinya sendirilah yang berada di pemakaman. Karena ia tak melihat sosok transparan di belakangnya yang tengah berdiri sambil tersenyum sendu.

  'Setidaknya aku telah memenuhi janjiku untuk selalu mencintaimu sampai akhir hidupku, Kazu-kun...'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top