Misunderstanding (Sequel of "Wish")

Genre: Romance, Drama(?)
Rate: T

Yup yup. Saya balik, readertachi. Setelah sekian minggu tidak muncul, akhirnya saya kembali dengan request-an dari Yoshikuni_Asuka
Semoga suka! Ah, iya. Ini sepenuhnya dari sudut pandang Niji.
Saa, jaa matta readertachi~!

  "Kondisi anda telah membaik, Nijimura Shuuzou-san. Anda bisa menggunakan kursi roda untuk bepergian jika mau", tutur dokter yang entah sudah merawatku selama berapa lama ini dengan lembut.

  "Ya. Terimakasih, dokter", jawabku singkat balas tersenyum.

  Aku tak tahu sekarang minggu keberapa setelah kecelakaan yang membuatku dirawat disini, rumah sakit. Namun akhirnya, aku bisa juga keluar, setidaknya pergi dari ranjang putih ini.

  "Shuuzou?"

  Setelah dokter yang tadi memberitahuku pergi, kini sesosok gadis manis bersurai (Hair colour) memasuki ruangan tempat aku dirawat. Ia sedang sibuk mendorong sebuah kursi roda sambil bersenandung kecil.

  "Ada apa, (First name)?", balasku sembari tersenyum lembut.

  "Aku sudah tahu apa yang dokter katakan", ucapnya bangga. "Mau jalan-jalan? Berhubung suasana pagi ini cerah", tawarnya dengan senyuman lembut.

  "Aku tidak bisa menolak tawaran darimu. Ditambah lagi kau mengucapkannya sambil tersenyum", ujarku seraya menatapnya. "Tolong bantu aku"

  Semburat merah tipis sempat menghiasi wajahnya sesaat sebelum kemudian ia membantuku duduk di kursi roda. Sedikit heran juga karena dengan badannya yang bisa dibilang kecil, ia sanggup membantuku pindah dari kasur.

  "Terimakasih", ucapku tersenyum tipis.

  "Sama-sama", balasnya tak lupa ikut tersenyum. "Kau mau kemana, Shuuzou?", tanyanya kemudian sambil mendorongku keluar.

  "Terserah. Kaulah supir disini"

  (First name) tertawa kecil. "Baiklah. Kalau begitu ayo ke taman di rumah sakit"

  Hanya gumaman yang keluar dari mulutku. Setelah itu ia segera membawaku pergi ke taman di rumah sakit. Taman itu bisa dibilang indah. Tempatnya luas, tanamannya pun dirawat dengan baik. Tak heran jika banyak pasien yang menyukainya.

.

  "Apakah kau bisa?"

  "Maaf, Shuuzou. Siang nanti aku ada urusan. Mungkin aku akan ke rumahmu malam hari. Maaf"

  Aku menghela nafas. Padahal siang ini aku ingin mengajaknya membeli beberapa hal untuk pernikahan kami. Tapi yah, jika dia bilang tidak bisa, akupun tidak bisa memaksanya 'kan? Mungkin dia memiliki urusan yang lebih penting.

  "Kalau begitu kutunggu nanti malam"

  "O-oh, baiklah. Sekali lagi aku minta maaf, Shuuzou"

  "Kau tak perlu minta maaf. Santai saja", ucapku menenangkan. "Sampai jumpa", tambahku lalu memutuskan sambungan kami.

  Sekali lagi helaan nafas keluar dari mulutku. Sekarang masih ada banyak waktu hingga nanti malam. Lebih baik aku pergi saja, mungkin membeli beberapa makanan kesukaannya untuk nanti tidaklah buruk.

.

  Sekarang apa yang harus kulakukan? Aku sudah membeli snack yang disukai (First name). Bahkan aku juga sudah membeli sedikit untukku. Sepertinya aku terlalu berlebihan ya?

  "Segera jalan. Kita pulang", titahku kepada supir pribadiku.

  Gara-gara kakiku ini ayah dan ibu mencari supir pribadi untukku. Mau tak mau akupun menyetujuinya. Padahal jujur saja, aku sangat tidak suka jika harus diantar untuk pergi kemanapun.
  Dengan bosan aku memandang keluar lewat jendela di kursi belakang. Kepalaku kusandarkan ke jendela, terlalu malas bahkan hanya untuk berdiri tegak. Karena rasa bosanku, bahkan perjalanan menuju rumah saja terasa begitu lama. Biasanya di jam-jam ini (First name) sibuk bercerita denganku. Atau setidaknya melakukan hal-hal tidak jelas yang menurut kami menyenangkan.

  "(First name)?"

  Tunggu sebentar. Mataku tidak salah lihat 'kan? Apa maksud semua ini?

  "Berhenti!"

  Seketika mobil yang kunaiki berhenti. Kaca di kursi belakang kuturunkan supaya aku bisa melihat semuanya dengan lebih jelas. Gadis yang kulihat benar-benar (First name), calon istriku. Tapi siapa laki-laki berambut merah yang sedang bersamanya?

  "Ada apa, tuan?"

  Pertanyaan dari supirku kuabaikan. Semua fokusku tertuju pada pemandangan tak terduga ini. (First name) sedang berjalan bersama laki-laki lain. Mereka tampak begitu akrab. Bahkan sesekali (First name) mengacak-acak rambut laki-laki itu selayaknya sepasang kekasih.
  Melihat semua pemandangan tak sedap ini seketika membuat amarahku memuncak. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Jadi (First name) tidak bisa kuajak pergi karena ini? Demi laki-laki lain ia menolak ajakanku?

  "Tidak. Bukan apa-apa. Jalan"

  Dengan amarah yang menyesakan dada akupun melanjutkan perjalanan ke rumah. Sial. Tahu seperti ini aku tidak akan menyuruh supirku untuk memberhentikan mobil.

.

  "Shuuzou? Boleh aku masuk?"

  Suara (First name) terdengar dari balik pintu kamarku. Sekarang sudah malam, dan seperti apa yang ia katakan tadi, dia benar-benar datang. Mendengar suaranya membuatku seketika mengingat kejadian tadi siang. Kusandarkan punggungku ke kepala ranjang lalu kualihkan pandanganku ke jendela.

  "Tidak", jawabku ketus.

  "Eh? Jangan seperti itu, Shuuzou. Aku masuk, ok?"

  Dan tanpa menunggu balasan lebih lanjut dariku (First name) pun dengan santainya masuk ke kamarku.

  "Sudah kubilang kau tidak boleh masuk", tuturku tanpa menatapnya sedikitpun.

  "Tapi kenapa? Kau marah denganku?", tanyanya mulai khawatir.

  "Siapa yang tidak marah melihat calon istrinya mendua?", tukasku masih tak ingin menatapnya.

  (First name) terdiam. Apa pernyataanku benar?

  "Apa maksudmu?", tanyanya lagi sambil mendudukan diri di pinggir ranjangku.

  "Kau pikir aku tidak tahu? Bukankah siang tadi kau bersama laki-laki lain? Jangan kau kira aku tidak melihat kedekatan kalian"

  Sial. Mengingat kejadian tadi saja sudah membuat amarahku naik lagi.

  "Tunggu dulu, Shuuzou. Aku masih tidak mengerti"

  Decakan kesal keluar dari mulutku. Apakah (First name) pura-pura tidak tahu?

  "Tadi siang aku melihatmu bersama laki-laki berambut merah. Kulihat kalian sedang berjalan di trotoar lalu memasuki sebuah restoran. Jangan lupa aku juga melihatmu mengacak rambutnya", ujarku kemudian tertawa hambar. "Kalian tampak serasi sekali"

  "Laki-laki berambut merah?", (First name) mengulangi ucapanku. "Astaga, Shuuzou! Kau salah paham! Dia—"

  "Ya, (First name). Aku salah paham. Lagipula tidak ada penjahat yang langsung mengakui kesalahannya", potongku penuh sarkasme.

  Kulihat kedua bola mata (First name) membulat tak percaya. Ia tampak akan menyangkal ucapanku lagi namun niatnya diurungkan. Sebagai gantinya dia justru menghela nafas, helaan nafas lelah.

  "Sudah kubilang kau salah paham, Shuuzou. Percayalah"

  "Sekalipun aku tidak salah paham hal itu juga tak masalah. Aku sadar, (First name). Siapa yang mau menikahi lelaki lumpuh seperti aku disaat ada banyak laki-laki normal yang jauh lebih baik diluar sana?", ucapku lalu kembali tertawa hambar. "Kuharap kalian bahagia", tambahku lalu mengambil handphone, bersiap menghubungi kedua orangtuaku.

  "Tidak, Shuuzou! Apa yang akan kau lakukan?!", tanyanya panik sembari menghentikan tanganku yang sudah menggenggam ponsel.

  "Meminta kedua orangtuaku untuk membatalkan pernikahan kita", jawabku ringan.

  "Apa?! Jangan, Shuuzo! Percayalah padaku! Kau salah paham!", dan air mata pun mulai memenuhi pelupuk matanya.

  Aku hanya menatapnya datar walau sebenarnya dadaku sesak. Sesak karena amarah dan rasa sedih melihatnya mulai menangis. Jangan kau pikir aku juga mau membatalkan pernikahan kita, (First name). Tapi apa yang bisa kulakukan setelah mengetahui semua ini? Tentu saja kau memiliki kemungkinan bahagia lebih besar jika bersama lelaki yang tidak cacat sepertiku 'kan? Maka dari itu, aku lebih mengedepankankan kebahagiaanmu.

  "Sudahlah, (First name). Kau akan lebih bahagia jika bersama orang normal"

  "Sudah kubilang tidak! Aku hanya mau bersamamu!", (First name) langsung berdiri tegap di samping ranjang.

  "Apa kau bodoh? Disaat ada orang lain yang jauh lebih baik dariku, kau justru masih mau bersama laki-laki lumpuh ini?", tanyaku menatapnya datar.

  Dan inilah hal yang paling kubenci. Tangisan (First name). Setiap isakan yang keluar darinya membuat dadaku semakin sesak, seperti jarum-jarum yang senantiasa ditusukkan ke jantungku.

  "Tidak... Berapa kali harus kubilang? Kau salah paham... percayalah padaku... hiks... jangan batalkan pernikahan kita...", lirihnya sambil berlutut di sampingku, kedua tangannya sibuk mengusap mata yang masih mengeluarkan cairan bening itu pelan. (First name) terus menggeleng, bersikeras tidak mau menyetujui apa yang kukatakan.

  Di saat situasi yang tidak mengenakan ini, pintu kamarku tiba-tiba saja terbuka. Seorang pemuda berambut merah dengan manik beda warna berjalan santai memasuki kamarku. Tunggu dulu. Bukannya dia laki-laki yang tadi siang bersama (First name)?!

  "Maaf. Apakah aku datang di situasi yang tidak tepat?", tanyanya dengan ekspresi datar. "Aku kemari karena permintaan (First name)"

  Siapa dia? Kenapa dia bisa dengan seenaknya berkata seperti itu? Tapi sepertinya aku mengenal laki-laki ini. Bukankah dia adik kelasku saat SMP?

  "Hiks... Sei... Bantu aku..."

  (First name) tiba-tiba saja bangkit lalu memeluk pemuda itu. Tangisnya pecah seketika itu juga. Hei, jangan acuhkan aku! Pemandangan ini membuatku semakin geram.

  "Apakah acara bermesraan kalian sudah selesai? Kalau begitu bisakah kalian pergi?", tanyaku berusaha 'sesopan mungkin'.

  Pemuda berambut merah itu melepas pelukan (First name) lalu menatapku tanpa emosi.

  "Apa yang sudah kau lakukan ke sepupuku?", tanyanya dengan nada mengintimidasi.

  "Kau tanya saja— tunggu. Apa kau bilang? Sepupu?!"

  (First name) menghapus jejak arimatanya lalu menatapku dengan pandangan memohon. Aku tidak tahu apa maksudnya kali ini.

  "Aku Akashi Seijuurou. Sepupu (Full name)", ucap pemuda bermanik dwiwarna itu memperkenalkan diri.

  "Kumohon, Shuuzou... Percayalah... Sei adalah sepupu jauhku. Dia baru saja datang dari Kyoto. Dan karena ia tahu banyak hal, aku memintanya untuk memberi pendapat tentang persiapan pernikahan kita. Maka dari itu ia kuminta untuk datang kemari", jelas (First name) lirih seraya mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

  Seketika aku mematung. Aku tidak tahu harus berkata apa atau bahkan melakukan apa. Jadi, pemuda ini, laki-laki yang kulihat tadi siang, adalah sepupu jauh calon istriku? Dan aku salah sangka, mengiranya selingkuh? Aargh... Tuhan. Aku jadi ingin mengubur diriku hidup-hidup sekarang.

  "Shuuzou?"

  Aku tidak menjawab. Rasanya benar-benar menyebalkan. Aku malu. Aku ingin tenggelam sekarang juga. Aku ingin menghilang. Seandainya saja aku memiliki hawa keberadaan tipis seperti salah satu adik kelasku di SMP, hal itu pasti jauh lebih baik.

  "S-Shuuzou. Mukamu merah. Apa kau baik-baik saja?", tanya (First name) mulai khawatir dan mendekatkan dirinya ke arahku.

  Cukup. Aku tidak sanggup lagi dengan semua ini. Tanpa menjawab sepatah katapun aku langsung membaringkan diri lalu menutupi wajahku dengan bantal, menolak untuk berbicara dengan kedua orang sepupu jauh itu.

  'Untung saja aku belum sempat meminta ayah dan ibu untuk membatalkan pernikahan kita'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top