Let It Be (Sequel of "Whose Fault?")

Genre: Romance, Family (aniki!Izuki x imouto!reader)
Rate: T

Yak! Ini request dari rosenamikaze
Maap baru buat :"
Semoga dirimu suka ya, nak, ya ( ̄∀ ̄)
Author note selengkapnya ada di bagian akhir part ini XD

  Malam itu (Your name) sedang duduk sendirian di depan TV. Kedua orangtuanya tidak pulang selama tiga hari kedepan karena memiliki urusan lain dengan pekerjaan. Sedangkan kakaknya... Ugh. Shun bilang akan menyatakan perasaannya ke Aida Riko malam ini.

  Bicara soal Shun, pemuda itulah alasan mengapa si Izuki muda sekarang tengah duduk sendiri ditemani film horor dengan satu mangkuk besar es krim, snacks dan sekotak tisu. Gadis manis itu sedang patah hati tentunya. Dan begitulah cara melampiaskan rasa patah hati ala seorang (Your name).

  Disaat kebanyakan orang memilih untuk menonton komedi, (Your name) adalah satu dari sekian populasi manusia di dunia yang lebih memilih horor untuk mengalihkan rasa sakit hatinya. Jika ditanya mengapa, gadis itu bilang ia merasakan kebahagiaan sendiri melihat tokoh-tokoh di film menjerit ketakutan saat si setan menampakkan wujudnya. Dan jika kebanyakan orang kehilangan nafsu makan ketika patah hati, maka (Your name) ialah gadis yang akan melampiaskan sakit hatinya dengan makan. Terutama yang manis-manis.

Kriet...

  "Hiks... kenapa nii-san tidak peka, ya Tuhan?" (Your name) mulai mengis sambil menyuapkan sesendok es krim ke mulut.

Kyaaaaa...

  "Huaaa.... Ini tidak adil! Nyam... nyam..." es krim di dalam mulut kemudian ditelan. "Yang selalu ada untuk nii-san itu aku! Kenapa nii-san menyatakan perasaannya ke Aida-senpai?! Huee.... nyam... nyam..." sesendok es krim kembali masuk ke mulut.

  Ditengah kesibukan yang tidak berfaedah itupun (Your name) sayup-sayup mendengar suara pintu dibuka. Tidak. Kali ini bukan suara dari film yang ia tonton. Tapi pintu asli di rumahnya. Karena setelah bunyi pintu yang dibuka, (Your name) kemudian mendengar suara familiar sang kakak.

  "(Your name)? Kau di rumah?"

  Bruk. Sraak. Sraak.

  Sontak (Your name) langsung jungkir balik guna membereskan semuanya. Bungkus snacks dan bekas tisu segera ia masukkan ke tempat sampah terdekat. Dan yang jelas, membuat airmatanya tidak begitu kelihatan serta membuat semuanya terlihat natural. Tak ada acara menangis diam-diam di balik punggung Shun.

  "I-iya! Aku di ruang TV, nii-san!"

  Setelahnya (Your name) mendengar langkah kaki yang mendekati ruang TV di rumah. Semua sudah beres. (Your name) duduk santai di sofa dengan mangkuk es krim di pangkuan ditemani film horor yang masih tayang di televisi.

  "(First name)?"

  Yang dipanggil pun menengok.

  "I-iya?"

  Shun heran. Mengapa hidung adiknya merah dan matanya sembab? Apakah adiknya itu baru saja menangis?

  "K-kau menangis? Kenapa?" Tanya sang kakak panik. Langsung saja Shun mendudukkan diri di samping sang adik. Ia pegang kedua sisi wajah (Your name), membuat gadis itu menghadap ke arahnya.

  Ditatap seperti itu membuat (Your name) yang tadinya sudah panik menjadi semakin panik saja. Dilepasnya pegangan kedua tangan Shun di wajahnya lalu tersenyum senatural mungkin.

  "E-eh? A-aku hanya... Ah iya! Sedih karena film! Hehehe..."

Kyaaaa...

Tap. Tap. Tap.

Aaargh...

  Dalam hati (Your name) mengutuk film yang ia tonton karena mengeluarkan suara yang tidak mendukung. Membuat alasannya terlewat masuk akal.

  "K-kau yakin?" Tanya Shun ragu, jelas-jelas tidak percaya.

  "Um!" Tapi (Your name) masih setia pada alasannya yang terlampau masuk akal. Ia kemudian kembali mengalihkan perhatian ke acara televisi.

  Shun tersenyum. Ia tahu adiknya berbohong. Karena (Your name) pasti akan menatap lawan bicaranya jika ia jujur. Namun Shun tak mengambil pusing hal itu. Mungkin adiknya tidak mau membicarakannya.

  "Baiklah. Nii-san ke kamar dulu," ujarnya kemudian bangkit berdiri lalu berjalan ke kamar.

  (Your name) yang melihat Shun berjalan ke kamar tiba-tiba berseru. Ia baru ingat bahwa sang kakak baru saja pulang dari acara menyatakan perasaannya ke Aida Riko. Jadi, gadis itupun memutuskan untuk bertanya. Yah, walaupun sakit hati tapi karena rasa penasarannya terlalu tinggi alhasil ia pun bertanya juga.

  "Nii-san!" Seru (Your name), membuat langkah Shun terhenti dan menengokkan kepala ke arah sang adik. "Um... Ano... bagaimana... hasilnya?"

  Shun mengerutkan dahi bingung. Awalnya ia tak paham dengan maksud pertanyaan adiknya. Kemudian setelah ia mengetahui maksudnya, senyum hambar pun terpampang.

  "Gagal," balasnya singkat lalu kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke kamar.

  Mendengar jawaban sang kakak membuat (Your name) hanya berdiam diri di sofa dengan kedua bola mata membulat tak percaya. Gagal? Maksudnya... Shun ditolak?

  Kini (Your name) sukses merasa dilema. Di satu sisi ia senang karena kakaknya tidak menjadi kekasih sang coach. Si lain sisi (Your name) juga sedih mendengar jawaban Shun tadi. Apalagi jika melihat senyum dipaksakan dan tatapan yang menyimpan perasaan sedih milik sang kakak. Alhasil, (Your name) memutuskan untuk melanjutkan acara menontonnya saja. Walaupun ia tidak yakin jika setelah itu bisa fokus dengan apa yang ditontonnya

.

  (Your name) berjalan menuju ke kamar Shun. Ia tidak tahan jika harus memilih untuk melanjutkan acara menonton filmnya seolah tak ada apa-apa padahal ia baru saja melihat raut sedih sang kakak secara live di depan mata. Jadi, ia putuskan saja untuk mendatangi Shun dan menghiburnya—kalau bisa.

  Tok. Tok.

  (Your name) mengetuk pintu kamar sang kakak, menunggu izin dari si empunya kamar untuk masuk. Dan memastikan apakah yang bersangkutan mau diganggu atau tidak.

  "Masuk," suara Shun dari dalam terdengar.

  Setelah mendapatkan izin, (Your name) langsung saja membuka pintu, memasuki kamar milik sang kakak. Di dalam kamar, Shun tampak tengah duduk di kasur dengan punggung yang bersandar pada kepala ranjang. Ekpresi ceria yang biasa terpampang di wajahnya kini memudar berganti raut muram.

  "Nii-san," (Your name) segera mendatangi sang kakak dan mendudukkan diri di pinggir kasur. "J-jangan terlalu dipikirkan," diraihnya tangan Shun sambil diberi usapan pelan untuk menenangkan.

  Tidak mudah berusaha menghibur seseorang yang bersedih disaat kita sendiri sebenarnya merasa bahagia saat itu. Tapi tak mudah juga merayakan kebahagiaan disaat orang yang kita sayang tengah bersedih akibat hal yang membuat kita bahagia. Sekali lagi, (Your name) kembali merasakan dilema.

  "A-aku selalu ada di sisi nii-san jika nii-san butuh tempat untuk bercerita. Mungkin aku tidak akan banyak membantu. Tapi setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik untuk nii-san," (Your name) tersenyum tipis ke arah Shun.

  Jujur, (Your name) memang tidak pernah suka ketika sang kakak bersama coach basketnya. Tetapi dia lebih tidak suka lagi apabila harus melihat kakaknya bersedih. Seandainya (Your name) bisa membantu sang kakak agar bisa bersama Aida Riko, (Your name) pasti sudah melakukannya.

  Oh, iya! Buat Aida Riko suka kakaknya sehingga mereka bersama!

  "Nii-san! Bagaimana jika aku membantu nii-san agar nii-san bisa bersama Aida-senpai?! Aku akan membuat senpai menyukai nii-san!" Usul (Your name) antusias. Yah, walaupun dalam hati ada sakit-sakitnya juga.

  Shun yang sejak tadi hanya menjadi pendengar pun mau tak mau tersenyum tipis. Dengan perlahan ia menepuk kepala adiknya.

  "Tidak perlu. Dia sudah menyukai orang lain, (First name)," ujar Shun pelan. Lagipula jika seandainya Aida Riko tidak menyukai siapapun pun Shun tak akan mengizinkan adiknya membantu. Yang benar saja. Dengan senyuman yang dipaksakan seperti tadi (Your name) mau membantunya? Lebih baik Shun tidak menerima bantuan si adik jika yang bersangkutan melakukannya dengan terpaksa.

  "E-eh?"

  Shun menolak bantuannya? Apakah ia tahu kalau (Your name) akan melakukannya dengan terpaksa?

  Sebenarnya (Your name) sah-sah saja Shun menolak bantuannya. Kalau boleh jujur, ia juga senang. Tapi, astaga, Tuhan... Buatlah Shun berhenti menampilkan senyum sendu itu! Demi pun buatan kakaknya yang seringkali hambar, (Your name) mulai benci dengan senyuman terpaksa buatan kakaknya.

  "Nii-san... maafkan aku yang tidak bisa membantu. T-tapi tolong nii-san jangan bersedih lagi! Berhenti tersenyum seperti itu! Perempuan bukan hanya Aida-senpai saja! J-jadi kumohon nii-san berhenti tersenyum hambar seperti itu lagi!" Seru (Your name) tanpa sedikitpun menurunkan nada bicara. Biar saja tetangga sebelah mendengar. Masa bodoh. Ia sudah terlanjur jengkel.

  Shun langsung memeluk sang adik, membuat kepala gadis itu bersandar di dadanya. Walaupun nada bicaranya meledak-ledak seperti barusan, namun jangan dikira Shun tidak melihat mata berkaca-kaca milik sang adik. Shun tahu adiknya merasa jengkel. Shun juga tahu kalau adiknya sudah terlewat jengkel, ia akan menangis. Dan benar saja. Setelah dipeluk seperti itu tangis (Your name) pecah seketika.

  "Hiks... berhenti sok kuat, nii-san! Aku tahu nii-san sakit hati! Jadi berhenti—hiks—tersenyum seperti itu! Kalau nii-san sedih karena Aida-senpai ya behenti memikirkannya! Hiks... memangnya Aida-senpai satu-satunya gadis di dunia ini yang bisa nii-san suka?!" Racau (Your name) sambil menangis.

  Ugh, saat ini (Your name) benar-benar kacau. Semua perasaan jadi satu di hatinya. Kesal karena sikap sang kakak. Sedih karena senyuman dipaksakan dari Shun. Malu akan sikapnya sendiri—karena disaat seharusnya ia yang menghibur Shun, tapi sekarang yang ada justru Shun yang menenangkan tangisnya. Dan bahagia karena Shun tidak jadi dengan Aida Riko.

  Lama-lama gadis itu lelah batin juga.

  "Ssh... aku tak apa, (First name)... Nii-san sedih bukan karena itu."

  Ups.

  Kalimat yang tidak ingin Shun katakan tanpa dikehendaki keluar begitu saja.

  Bisa dipastikan setelah ini (Your name) pasti akan bertanya.

  "L-lalu karena apa?"

  Deshou?

  Shun kembali memeluk adiknya, membuat kepala (Your name) kembali berada di dadanya. Kali ini ia membiarkan kepalanya bersandar di atas kepala sang adik. Sebenarnya pelukan itu hanya kedok supaya sang adik melupakan pertanyaannya tadi. Tidak mungkin Shun bilang kalau yang membuatnya sedih itu sebenarnya sang adik, 'kan?

  Bukan penolakan dari Aida Riko yang membuatnya sedih.

  Tapi karena Aida Riko menolaknya sehingga tidak ada orang lain lagi yang bisa mengalihkan perasaan sukanya dari sang adik. Nah, hal itulah yang membuatnya sedih.

  Ya, seorang Izuki Shun menyukai adiknya sendiri. Shun menyukai (Your name). Dia bukan tidak peka. Ia tahu (Your name) juga menyukainya bukan sebagai saudara. Maka dari itu Shun berpura-pura tidak peka karena ia tahu perasaan mereka salah. Sehingga hal itu membuat Shun berusaha menyukai orang lain dengan harapan supaya perasaan terlarangnya kepada sang adik menghilang. Dan Aida Riko menjadi pilihannya. Mengingat ia bisa dibilang juga dekat dengan coach tim basketnya itu.

  Namun sayang semua tak berjalan seperti apa yang ia harapkan.

  Shun memang sempat menyukai Riko. Tetapi hal itu tak membuat perasaannya kepada (Your name) menghilang. Bahkan memudar pun tidak. Dan dengan penolakan yang ia terima, Shun semakin gagal menghilangkan perasaan terlarangnya.

  "Nii-san."

  Disaat Shun tengah larut dengan pikirannya sendiri, sang adik memanggilnya pelan. Masih dalam dekapan sang kakak, gadis itu mendongakkan kepala menatap yang lebih tua.

  "Ya?" Balas Shun sembari menundukkan kepala menatap sang adik.

  Tampak keraguan di wajah manis (Your name). Gadis itu kelihatan bimbang apakah benar-benar akan mengatakan hal yang ada di benaknya atau tidak. Setelah jeda sejenak, akhirnya (Your name) memutuskan untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya.

  "Aku... Aku mencintaimu, nii-san," ujar (Your name) tiba-tiba tanpa berani menatap lawan bicaranya.

  Shun mematung. Mulai meragukan pendengarannya.

  "Hah?" Responnya begitu saja. Adiknya ini kenapa? Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba menyatakan perasaan begitu saja.

  "Aku mencintaimu, Izuki Shun!" Ulang (Your name). Kali ini dengan wajah yang ditenggelamkan ke dada Shun. Walaupun begitu, Shun bisa mendengarnya dengan jelas. Dan hal itu sukses membuatnya speechless.

  Keheningan pun memenuhi kamar Shun.

  (Your name) semakin mengeratkan pelukannya kepada sang kakak, menyembunyikan rasa malunya karena sang kakak yang tak kunjung berbicara.

  Grab. Bruk.

  "N-nii-san?"

  (Your name) bisa merasakan wajahnya semakin memerah sekarang. Siapa sangka seorang Izuki Shun bisa menjadi seperti ini? Siapa kira Shun berani mendorong adiknya hingga terbaring di kasur dan mengunci kedua tangannya di samping seperti sekarang ini? Oh, jangan lupakan tatapan intens yang tertuju ke manik (Eyes colour) miliknya.

  Selama beberapa saat mereka terus berada dalam posisi seperti itu. Shun masih diam. Batinnya tengah berperang kala itu. Pernyataan cinta dari sang adik membuatnya dilema. Shun tahu betul perasaan mereka salah. Tapi tak bisa dipungkiri ia juga merasa bahagia karena kesalahan tersebut. Mengabaikan hal yang benar, untuk kali ini biarkan ia bahagia karena kesalahan yang mereka lakukan.

  Shun mendekatkan wajahnya ke arah sang adik.

  "Aku juga."

  Dan menghapus jarak antara keduanya.

.

Gimana, readertachi?
Saya gak kuat bikin incest Orz
Maapkeun kalau Izuki Shun OOC disini. Semoga readertachi—khususnya yang request—suka 〒▽〒
Btw, karena besok sudah Idul Fitri, saya selaku author ini buku minta maaf sebesar-besarnya atas segala kesalahan, kealayan, kenistaan dan ketidakhaqiqian saya selama ini (?)
Love you, minna ヾ(*´∀`*)ノ
Saa, jaa mata, readertachi!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top