Care (Izuki x Reader)

Genre: Romance, Hurt/Comfort (?) (Izuki x Antisocial!Reader)
Rate: T

Saya bawa request dari FukuzawaAmanda atau @FlowerStarButterfly
Maap update-nya luama buanget. Malah sampe berdebu ini file di laptop orz
Yak! Semoga suka saja lah!
Selamat menikmati!
Saa, jaa mata, readertachi!

  (Your name) merupakan siswi kelewat tak acuh. Dia memang pandai—cerdas kalau boleh jujur. IQ-nya tinggi namun nilai sosialnya rendah. Ia cenderung menghindari segala kontak dengan murid yang lain. Jikalau memang harus melakukan komunikasi, mungkin tak lebih dari obrolan singkat seputar tugas sekolah.

  Pagi itu pelajaran baru saja dimulai. Tetapi (Your name) sudah memangku dagu dan menatap keluar jendela dengan datar. Materi yang diberikan pagi itu sudah ia pelajari kemarin. Jadi tak memperhatikan pun tak akan masalah baginya. Kalau memang harus mendapatkan teguran, tegur saja. Lagipula tak akan ada yang peduli dengannya.

.

  (Your name) sempat mendengar gurunya kala itu membahas mengenai tugas sebelum kemudian bel istirahat berbunyi. (Your name) tak begitu ambil pusing. Toh deadlinenya juga masih lama. Ia pun memilih untuk segera ke kantin. Perutnya sudah meraung minta diisi sejak tadi.

  Bola mata (Your name) membulat kaget untuk sesaat ketika baru saja ia membalikkan badan dan mendapati sesosok pemuda berambut hitam berdiri tepat di depannya. Sepersekian detik kemudian ekspresinya telah kembali seperti biasa.

  "Ada apa?" Tanya (Your name) tanpa basa-basi.

  "Ah. Aku hanya ingin memastikan. Kita satu kelompok di tugas yang sensei berikan tadi," pemuda itu—Izuki Shun namanya—menjelaskan.

  (Your name) hanya menatap Izuki datar selama beberapa saat.  Yang ditatap lama-kelamaan menjadi gugup sendiri.

  "(L-Last name)?"

  "Oh. Baiklah," ujar (Your name) akhirnya lalu melewati Izuki dan berjalan ke kantin.

  Izuki bengong.

  Ia tahu kalau (Your name) merupakan tipe yang acuh tak acuh. Ia juga tahu kalau (Your name) bukanlah tipe yang suka banyak bicara. Tapi Izuki tak tahu kalau (Your name) sebegitu antisosialnya sampai-sampai sangat hemat kata.

.

  Bel pulang sekolah berbunyi. (Your name) masih mengemasi barang-barangnya ketika murid-murid lain telah pulang.Tak lama kemudian (Your name) pun menyusul, berjalan keluar dari kelas.

  "(Last name)!"

  Belum begitu jauh (Your name) berjalan keluar kelas, namanya sudah dipanggil. Gadis itu berhenti kemudian menengokkan kepala ke belakang. Rupanya di belakang Izuki tampak tengah berjalan cepat ke arahnya.

  "Kapan kita akan mengerjakan tugas?" Pemuda bersurai hitam itu bertanya ketika ia telah sampai di hadapan (Your name).

  Yang ditanya justru menatap pemuda itu dalam diam.

  (Your name) tidak salah dengar, 'kan? Biasanya setiap ada tugas kelompok dengannya tak akan ada satu anggota pun yang peduli. Pasti mereka hanya akan membiarkan (Your name) mengerjakan tugas itu sendirian sedangkan anggota yang lain hanya menumpang nama.

  "Terserah."

  Akhirnya setelah beberapa sekon terlewat dalam keheningan, (Your name) pun angkat suara. Sebuah kata singkat, padat, namun tidak jelas yang mengakhiri kontak mata mereka berdua karena setelah berkata demikian (Your name) berbalik pergi.

  Sekali lagi Izuki dibuat sweatdrop karena jawaban (Your name).

  "Bagaimana kalau setelah ini? Tapi aku masih harus berlatih basket terlebih dahulu."

  Kalimat Izuki membuat langkah (Your name) terhenti di tengah jalan.

  "Baiklah," jawab gadis itu tanpa membalikkan badannya kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

  Melihat itu Izuki benar-benar merasa ingin membenturkan kepalanya ke dinding terdekat. Kenapa gadis itu sangat hemat bicara sekali?!

  Hingga saking hematnya Izuki bahkan menggunakan kalimat yang tidak efektif.

.

  (Your name) berjalan dengan santai menuju gymnasium sekolah, tanpa sedikitpun memedulikan tatapan heran dari murid-murid lain ketika melihatnya. Sepertinya memang sesuatu yang patut diherankan jika siswi seperti (Your name) mau ke gymnasium. Apalagi jika itu untuk kegiatan olahraga.

   Pintu gym (Your name) buka. Dengan santai ia berjalan menuju bench, ke arah sahabatnya yang tengah mengawasi latihan tim basket putra berlatih.

  "Riko," panggil (Your name).

  Yang dipanggil pun menengok. "(First name)?! Kenapa kau disini?!"

  "Aku menunggu Izuki. Kami mau mengerjakan tugas bersama."

  "Oh. Kalau begitu tunggu saja. Latihan akan selesai sebentar lagi."

  Tak ada jawaban dalam bentuk kata. (Your name) hanya mengangguk sembari menatap tanpa minat ke arah lapangan. Ia tak menyadari jika kala itu gadis disampingnya tengah memberikan pandangan penuh rasa sedih.

  Mengapa (Your name) jadi seperti ini?

  Beberapa menit berlalu hingga waktu latihan pun akhirnya selesai. Bunyi peluit dari Riko terdengar. Para anggota segera merapat ke sisi lapangan tempat sang coach dan sahabatnya berdiri, mengambil handuk untuk menyeka keringat lalu bersiap pergi ke ruang loker untuk ganti.

  "Oh, (Last name). Kau tunggu saja di gerbang. Aku akan segera menyusul," ujar Izuki lalu menyusul teman-temannya ke ruang loker.

  Seperti yang diperintahkan, gadis itupun keluar dari gym setelah sebelumnya berpamitan kepada Riko. Beruntung ketika di gerbang ia tak perlu menunggu waktu lama hingga Izuki datang.

  "Ikuzo, (Last name)!"

.

  "Coach."

  Izuki memanggil Riko yang tengah duduk di bench. Kala itu mereka sedang dalam jam istirahat. Anggota lain sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dan Izuki memiiih untuk duduk di samping coach-nya, bersiap menginterogasi gadis itu dengan beberapa pertanyaan.

  "Ada apa?"

  "Kau dekat dengan (Last name), 'kan?"

  Pertanyaan singkat itu membuat Riko kaget.

  "Begitulah," jawabnya sembari memandang lapangan.

  "Bolehkah aku bertanya?" Izuki tampak ragu. "Ini soal (Last name)."

  Sejenak Riko terdiam. Tapi kemudian mengangguk

  “Kenapa dia begitu pendiam? Dia sangat menutup diri. Apakah ia seorang yang antisosial? Kau tahu penyebabnya?”

  Riko menghela nafas. “Dia dulu tidak seperti ini. Kau tak akan percaya jika dulu ia adalah gadis yang murah senyum.”

  “Dulu?”

  Gadis bersurai coklat itu tampak ragu sejenak hingga kemudian ia memutuskan untuk menceritakan masa lalu (Your name).

  Sebagai sahabat ia tak salah, ‘kan?

  “Seperti itulah. Pada intinya (First name) sangat peduli kepada kekasihnya saat itu namun kepeduliannya hanya dianggap angin lalu. Si bedebah itu bahkan menolak rasa peduli (First name) mentah-mentah!” ujar Riko diakhir ceritanya dengan geram.

  Izuki yang mendengar cerita gadis itupun mau tak mau ikut jengkel. Menjadi kekasih seseorang hanya demi ketenaran saja? Dimana perasaan laki-laki brengsek itu? Bagaimana bisa ia dengan santainya menyakiti seseorang seperti (Your name) yang notabene—seperti yang Riko ceritakan—dulunya sangat penyayang, manis dan ekspresif?

  Andaikan mengutuk seseorang cukup dengan perkataan, Izuki bisa menjamin mantan kekasih (Your name) itu sudah hidup sengsara sekarang.

  ‘Dasar pemuda sialan macam kotoran yang baiknya masuk selokan! Kitako—tunggu! Itu bukan pun yang bagus!’

  “Jadi seperti itu…” balas Izuki pelan, padahal hatinya sudah sibuk mengeluarkan umpatan. “Nee, Riko.”

  Gadis di sampingnya menengokkan kepala.

  “Kau tahu cara membuat (Last name) kembali seperti dulu lagi?”

  ‘Kira-kira bagaimana ya wajah (Last name) ketika tersenyum?’

.

  “Menunggu lama?”

  Izuki menghampiri (Your name) yang tengah duduk di bangku taman. Siang itu mereka berjanji untuk pergi keluar bersama. Tepatnya Izuki yang mengajak (Your name) untuk pergi bersama. Untuk sekedar refreshing dari tugas katanya. Dan mengapa (Your name) mau? Simple saja. Gadis itu tak tahan dengan ajakan terus-terusan dari sang pemilik Eagle’s Eyes.

  “Tidak.”

  “Kalau begitu ayo!” Izuki mengulurkan tangannya. “(Last name)? Kau tak mau pergi?” tanyanya ketika mendapati (Your name) yang tak kunjung berdiri.

  (Your name) masih diam. Setia menatap uluran tangan itu tanpa ekspresi.

  “Kenapa?”

  “Kenapa?” ulang Izuki tak paham.

  “Kenapa kau bersikeras mendekatiku padahal yang lainnya tak mau repot-repot memedulikanku? Jangan bilang semua ini karena tugas. Aku tidak sebodoh itu untuk kau bohongi, Izuki,” manik (Eyes colour) itu mendongak menatap pemuda di depannya. “Kau kasihan padaku yang sendirian ini?”

  Izuki terdiam. Dalam hati tak percaya. Sampai detik ini kalimat tadi merupakan perkataan paling panjang yang pernah ia dengar keluar dari mulut (Your name).

  “Tidak. Aku tidak kasihan. Aku melakukannya karena peduli,” jawab Izuki serius. “Kau bersikap seperti ini bukan karena kau tidak mau berteman. Kau hanya takut kepedulianmu tak dihiraukan lagi. Bukan begitu?”

  Bola mata (Eyes colour) itu membola.

  “B-bagaimana—“

  “Aku benar, ‘kan?” tanya pemuda penyuka pun itu sambil berlutut di depan (Your name) yang masih duduk di bangku.

  (Your name) diam. Sama sekali tak berani menatap manik hitam milik Izuki. Mengapa jantungnya berdegup secepat ini? Apakah karena jaraknya dengan Izuki yang cukup dekat?

  “Kalau kau takut kepedulianmu tak dihiraukan, tak masalah. Tapi mulai sekarang aku akan peduli padamu. Terserah kau akan melakukan yang sama atau tidak. Yang jelas aku akan tetap memedulikanmu. Tak apa, ‘kan?”

  (Your name) tertegun. Padahal ia sudah bersikap sedingin mungkin kepada siapapun. Tapi mengapa pemuda di hadapannya ini tak merasa bermasalah sedikitpun dan justru mendekatinya? Alih-alih mengatakan peduli padanya.

  Tidak.

  Bagaimana jika Izuki hanya berbohong?

  Ia tak mau dibohongi lagi.

  “Tidak… Kau berbohong. Kau pasti berbohong, ‘kan? Akhirnya kau pasti akan sama dengannya,” lirih gadis itu sambil menatap Izuki dingin.

  Sayangnya Izuki cukup tahu bahwa tatapan dingin itu hanyalah dinding untuk menutupi ketakutannya. Ketakutan akan hal yang dulu pernah terjadi padanya—seperti apa yang Riko ceritakan tempo hari—akan terulang lagi.

  Entah sadar atau tidak, Izuki dengan lembut menggenggam tangan (Your name).

  “Aku jujur. Aku peduli karena kupikir—tidak, karena aku memang menyukaimu. Tapi tenang saja, kau tak harus membalasnya. Pun percaya jika aku peduli padamu. Hanya saja aku akan tetap peduli baik itu dengan atau tanpa kepercayaanmu,” Izuki pun berdiri. “Nah, ayo? Bukankah tujuan kita hari ini untuk bepergian?” lagi, Izuki mengulurkan tangannya.

  Kali ini uluran tangan itu diterima, walaupun sebelumnya sempat ada jeda sejenak.

  “Ada apa?” Izuki menengok kearah (Your name) yang masih bergeming di tempatnya berdiri.

  “Maaf,” gadis itu menunduk. “Aku masih takut untuk peduli lagi. Tapi aku sangat berterimakasih karena kau mau peduli kepadaku. Itu… membuatku bahagia, Izuki,” perlahan (Your name) mendongak menatap pemuda di depannya.

  Dan tanpa Izuki duga, apa yang ingin ia lihat selama ini pun ditunjukkan oleh gadis di depannya.

  (Your name) tersenyum lembut.

  Kala itu Izuki merasa waktu berhenti untuk beberapa saat.

  Lalu kembali bergerak tatkala (Your name) menariknya untuk berjalan.

  “Ayo, Izuki.”

  “A-aa.

  Pemuda itu mulai mengimbangi langkah gadis yang tengah menggandeng tangannya. Satu tangan balas menggenggam tangan (Your name), dan satunya lagi ia letakkan didepan dada.

  Padahal siang itu matahari tak tampak.

  Lalu mengapa dadanya terasa hangat?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top