08
Terima kasih dan selamat membaca 💕
💌
"KENAPA MAS JAKA ndak menghubungi kita lagi, ya, Dik? Keluarga Abah Rusno juga ndak mengabari apapun."
"Mungkin sibuk, sudah kembali ngurus pesantren di Jombang. Lha, memangnya kenapa mereka harus menghubungi kita, Mas?"
"Ya tentang Wening itu, gimana kelanjutannya? Kan Abah sendiri yang kemarin ngomong katanya Mas Jaka seneng sama Wening. Kalau bisa mau dirabi secepatnya."
"Hmm... kalau ndak ada kabar, ya, berarti ndak ada kelanjutannya, Mas."
"Ma-maksudnya?"
"Ya sudah, selesai. Abah juga ndak ada bilang mau mengabari apa-apa, tho? Cuma bilang anaknya seneng sama anak kita, cuma tanya anak kita sudah dipinang apa belum, terus kelanjutannya ya diserahkan ke anak-anak saja. Toh sudah pada besar."
"Iya, ya... artinya ndak lanjut?"
"Ndak lanjut yo ndak apa-apa, Mas. Namanya ndak jodoh."
"Tapi kok rasane eman, Dik..."
"Eman kenapa, Mas?"
"Anak kita perempuan semua, Dik. Sebagai bapaknya, aku ini kepingin anakku dapat jodoh yang ndak cuma seiman, tapi juga lebih baik daripada aku. Ndak cuma soal finansial, tapi juga akidahnya, akhlaknya, syariahnya... semuanya. Alhamdulillah, Yasmin berjodoh sama Yusuf yang sekufu. Waktu Abah Rusno ke sini, aku seneng, Dik. Wening Mas Jaka itu anak kyai besar, dia jelas-jelas memenuhi semuanya itu."
"Iya, sih... tapi kalau dari hati anaknya sendiri yang ndak sreg, ya gimana lagi, Mas?"
"Tapi, Dik, di mana lagi ada laki-laki sebaik Mas Jaka itu, yang mau sama anak kita?"
"Oalah, Mas, Wening itu ndak cuma ayu di luarnya saja. Pembawaan dalamnya juga menarik untuk laki-laki. Masih banyak sekali yang seneng sama dia, ndak usah khawatir."
"Justru karena dia banyak yang seneng itu aku takut, Dik. Aku takut suatu saat anakku kepincut wong lanang yang ndak bener, ndak tahu apa itu salat, mengaji, puasa. Sehari-hari kalau ndak ngerokok ya minum. Apa wong lanang seperti itu bisa diharapkan untuk jadi imam? Ora mungkin. Ngerumat awake dewe ae ora becus, opo maneh keluargane [Mengurus diri sendiri saja nggak becus, apalagi keluarganya]."
"Astagfirullah, Mas, Wening ndak sebodoh itu sampai mau-maunya memilih laki-laki seperti itu untuk jadi imamnya! Kenapa sulit sekali percaya sama anak sendiri, toh?!"
💌
Tadinya, Wening hanya mengantarkan sepiring singkong goreng dan dua gelas teh panas untuk Bapak dan Ibu yang sedang mengobrol di teras malam ini. Wening tidak tahu apa yang dibahas orang tuanya, sampai dia kembali masuk ke rumah dan sayup-sayup mendengar namanya disebut. Dia berhenti untuk mendengarkan semuanya dari balik pintu, tapi rasanya cukup sampai di sini saja.
Wening enggan membebani suasana hatinya lebih dari ini, jadi dia memaksa kakinya kembali ke kamar. Yasmin menodongnya dengan pertanyaan bahkan sebelum dia menutup pintu.
"Enam menurun, udara, bahasa Inggris... apa, Mbak?"
"Air?" jawab Wening, lalu duduk bersama adiknya di ranjang. "A, i, er."
Yasmin menurunkan potlot yang digigitnya. "Mbak, itu banyu [air]. Ini bahasa Inggris, Mbak..."
"Iya, udara itu air. Tiga kotak, bukan? A, i, er."
Yasmin menunduk menatap TTS yang terbuka di pangkuannya. "Iya, ya?" gumamnya, sambil menggaruk pelipis dengan ujung potlot. "Ya wis, aku manut."
"Kamu ndak mau telepon Yusuf, Yas?" Wening meraih diktat yang tadi dia tinggalkan di atas bantal, lalu mencari halaman prosedur pemeriksaan paru. "Saaken ojobmu kuwi [Kasihan suamimu itu]. Masak perkara botol sampo lupa dibalik thok kamu marah-marah sampai minggat? Yusuf kan juragan muda, mungkin dia ndak pernah mbalik botol sampo seperti kita ini."
"Tapi jadinya aku yang susah, Mbak. Mau sampoan nunggu samponya turun dari dasar botol itu luama, aku kedinginan!"
"Kan tinggal diisi air terus dikocok?"
"Aku pernah begitu, tapi Mas Yusuf yang protes! Katanya, kenapa samponya jadi cair? Makanya tak suruh dia balik botolnya!"
"Sebelum sampo habis ambil stok dulu dari swalayannya Yusuf, Yas. Percuma kamu jadi istri juragan swalayan kalau botol sampo masih dibalik."
"Tapi emaaan, Mbak! Masio [Meskipun] sedikit, buang-buang sampo itu sama dengan buang-buang uang! Mubazir!"
Berdasarkan pengalaman Wening, berdebat dengan Yasmin itu sulit dan percuma. Terutama ketika anak itu masih di puncak emosi. Solusi terbaiknya adalah diamkan saja, sampai emosi Yasmin melandai dan tiba waktunya dia bisa berpikir lebih jernih.
Wening mengembalikan fokusnya pada soal-soal skenario pemeriksaan paru, sambil sesekali menjawab pertanyaan TTS dari Yasmin. Lima belas menit selanjutnya, Wening sudah menguap tiga kali. Setengah jam kemudian, kantuk hebat menyerang kepalanya. Dia menutup dan mengembalikan diktatnya ke meja, lalu menyetel jam beker kotak agar berdering satu jam kemudian.
Wening membanting tubuhnya di ranjang sambil menarik selimut jarik. "Mbak tidur duluan, Yas. Kalau kamu belum tidur bangunin sejam lagi, ya." Gadis itu meringkuk membelakangi adiknya.
"Eh, Mbak," terdengar gerakan Yasmin mengubah posisi duduknya, "Mbak, sepurane, yo. Maafin aku..."
"Sepurane kenapa?" gumam Wening pelan, dia sudah menutup mata.
"Mas Jaka ndak ngabari apa-apa lagi ke keluarga kita, pasti gara-gara waktu itu aku keceplosan menyebutkan Mas Bagus. Mungkin dia marah..."
Wening menguap lebar. "Biar saja. Mas Jaka ndak melanjutkan bukan karena Mas Bagus. Mas Jaka dan Mbak berbeda pandangan dalam beberapa hal yang cukup serius."
"Ya sudah, alhamdulillah! Aku juga ndak terlalu suka Mbak jadian sama anak kyai itu, kurang seru." Yasmin tertawa lebar lantas memukul bokong kakaknya. "Kayaknya Mas Bagus lebih seru. Lebih apa, ya? Mbois lah pokoknya!"
Wening meringis tanpa membuka mata. "Mas Bagus justru terlalu berbeda dari Mbak, Yas. Juga dari kamu, dan keluarga kita."
"Maksudnya?"
Wening mendesah berat. "Dia Katolik..." dan dia orang Barat, berbicara dengan aksen dan bahasa sebagaimana orang Barat, serta menganut nilai-nilai kehidupan liberal khas orang Barat. Ditambah dia aneh, membingungkan, menyebalkan, mencurigakan, sekaligus menakutkan... meskipun mungkin bukan orang jahat.
Di titik ini, Wening mulai tidak yakin apakah 'Raden Bagus' memang nama sebenarnya atau hanya rekayasa.
"Tapi... pemerintah kita ndak melarang pernikahan beda agama, kan, Mbak?" gumam Yasmin ragu-ragu.
"Untuk apa sah di mata negara tapi haram di mata Allah, Yas? Sama saja berzina."
"Kalau begitu, salah satu harus pindah..."
"Atau ndak perlu ada yang pindah kedua-duanya, karena Mbak ndak pernah bilang mau rabi sama dia, dan... Mbak rasa, dia juga ndak serius sama Mbak. Dia ndak berminat sampai ke pernikahan, cuma buat main-main."
"Jadi dia playstation?!" Intonasi Yasmin menukik tinggi.
"Playboy," koreksi Wening. "Intine, dia ndak serius dan ndak bisa diharapkan."
"... Wening itu ndak cuma ayu di luarnya saja. Pembawaan dalamnya juga menarik untuk laki-laki. Masih banyak sekali yang seneng sama dia, ndak usah khawatir."
"Justru karena dia banyak yang seneng itu aku takut, Dik. Aku takut suatu saat anakku kepincut wong lanang yang ndak bener..."
Kalimat Ibu dan Bapak kembali terngiang di telinga Wening. Begitukah? Karena dirinya memang menarik di mata lelaki, jadi baik yang serius seperti Mas Jaka, ataupun yang hanya ingin bermain seperti Mas Bagus--atau siapapun itu--mengincarnya?
Jika Mas Bagus benar-benar seburuk dugaannya, Wening tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin dia perlu menggali lebih dalam untuk membuktikan sesuatu? Atau langsung diusir saja? Bagaimana kalau Mas Bagus tidak menyerah juga? Seperti kata Yasmin, Mas Bagus itu tipe yang lebih 'seru', yang dalam kacamata Wening berarti tidak mudah ditolak baik-baik seperti Mas Jaka.
"Mbak, sebentar lagi kamu mau dijodohkan lagi, lho."
Kalimat Yasmin memancing Wening untuk berbalik. Dia mengernyit.
"Ngerti dari mana?"
"Aku nguping pas Kakung sama Uti ke sini, ngobrol sama Bapak, salah satunya tentang samean, Mbak. Samean tau kenapa waktu itu Abah Rusno ke sini? Karena Kakung yang bilang sama beliau, katanya samean lagi nyari suami."
Ranjang berderak begitu Wening melompat terduduk.
"HAH?!"
"Tenan, Mbak. Sumpah demi Allah!" Yasmin mengacungkan jari membentuk V. "Mereka mbahas daftar calon suami potensial buat samean, dan salah satunya ada nama Mas Jaka itu. Yang lain aku ndak inget siapa saja. Sebentar lagi pasti ada Mas Jaka-Mas Jaka yang lain."
"Ta-tapi kenapa harus begini, toh? Memangnya kapan aku pernah bilang kepingin rabi? Wong kuliahku durung mari [belum selesai/lulus]!"
"Makanya ituuu!" Yasmin mendesis di antara gertakan giginya. "Gara-gara kemarin samean mau-maunya disuruh ritual nyokot [menggigit] janur lah, dipecut janur lah, keluarga kita berkesimpulan samean kepingin cepetan rabi karena dilangkahi aku. Mereka juga takut samean susah nemu jodoh karena sibuk kuliah terus, Mbak. Terutama keluarga Bapak!"
"Uh..."
Bahu Wening melorot lemas. Keluarga dari pihak Bapak selalu saja begitu, sudah jadi tradisi untuk menarik kesimpulan sepihak dan bergerak tanpa diminta. Apalagi perihal para cucu yang meskipun sudah dewasa, sudah memiliki KTP maupun SIM, bahkan setengahnya sudah berkeluarga, terkadang masih saja dianggap sebagai bocah. Dipandang sebagai kasta terbawah dalam silsilah keluarga besar.
Wening memijati pelipisnya yang berkedut nyeri, kemudian kembali merebahkan diri. Dipikir nanti saja, prioritas saat ini adalah tidur dulu.
💌
"Shin, Rin, Yem!"
Melihat Shinta, Ririn, dan Ngatiyem berkumpul di perbatasan parkiran motor dan sepeda, Wening berseru sambil melambaikan tangan. Gadis itu buru-buru memarkirkan sepedanya, kemudian berlari menyusul ketiga temannya yang menunggunya.
"Ayo--"
"Eh, Ning," Shinta menghentikan langkah Wening dengan menahan lengannya, "itu mobilnya Dokter Item. Dia pasti lagi ngenteni [menunggu] kamu di depan kelas."
"Ha? Mana?" Wening celingukan melihat parkiran mobil, mencari sedan hitam model aneh yang terakhir kali dia lihat dikendarai Mas Bagus. "Ndak ada mobilnya."
"Ituuu, Mercedes!" Ngatiyem menunjuk sebuah sedan putih yang modelnya juga tidak kalah aneh. "Tadi orangnya turun dari situ, pakai kemeja pas di badan, dimasukkan rapi ke celana, lengan kemejane digulung sesiku, rambutnya disisir rapi, terus mukanya buersih seger kayak baru cukuran... duh Gusti, mumet sirahku, ngguantenge ora karuan [pusing kepalaku, gantengnya nggak karuan]!"
Wening tertawa kecil. Memang masuk akal jika Mas Bagus menyimpan lebih dari satu mobil impor di garasinya, mengingat lelaki itu tinggal di kawasan Jalan Besar Ijen yang setiap rumahnya mempunyai luas tanah sedikitnya 10 are.
"Tahu dari mana baru cukuran?" gumam Ririn. Keempatnya berjalan menuju pintu masuk gedung utama fakultas, dengan Ngatiyem dan Shinta di tengah-tengah.
"Oh, iyo, kemarin aku nemenin Kakung kontrol lagi ke Prof. Hadi. Pacarmu ada di ruang sebelah, Ning, masih brewok dikit belum cukuran waktu itu," jelas Ngatiyem.
Wening menggepuk punggung Ngatiyem. "Heh, lambemu."
"Tak aminkan paling kenceng!" seru Shinta.
"Terus, piye? Kamu cuma lewat ruangannya? Wis gitu thok, ndak nemu info apa-apa?" selidik Ririn, satu-satunya yang serius di sini.
"Ada lagi! Terakhir kali aku ke sana belum ada, tapi pas kemarin itu di depan ruangannya sudah dipasang..."
Tidak ingin melewatkan satu kata pun, Wening menyimak semua yang disampaikan Ngatiyem sepanjang jalan menuju kelas. Meskipun dirinya yang jadi objek pembicaraan di sini, Wening memilih pasif mendengarkan ketiga temannya yang saling menyahuti. Sesekali Wening menjawab hanya jika ditanya, sebab, saat ini otaknya lah yang bekerja lebih keras mencerna beberapa informasi baru.
Wening harus memisahkan mana yang fakta, mana yang sebatas opini, dan mana yang prediksi. Salah satu prediksi teman-temannya menjadi fakta ketika mereka mencapai lantai dua. Dari puncak tangga di mana Wening berdiri, dia mendapati lelaki yang jadi bahan pembicaraan mereka sedang duduk di lobi.
Empat sekawan itu terdiam ketika Mas Bagus berpaling menatap mereka--atau lebih tepatnya hanya satu gadis yang benar-benar ditatapnya. Saat lelaki itu beranjak, Wening mendapati punggungnya didorong serempak oleh ketiga temannya hingga kakinya otomatis maju beberapa langkah.
"Apa--"
"Kita duluan, Ning!" dan ketiga teman laknatnya kabur menapaki tangga menuju lantai tiga sebelum Wening sempat memprotes.
Wening menghela napas dalam-dalam. Belum reda kekesalannya, ketika dia berpaling, Mas Bagus sudah berada di hadapannya dan mengangsurkan sekotak hadiah. Mungkin kali ini bukan kotak, sebab bentuknya lingkaran, lebih menyerupai kaleng kukis mini.
"Terima ka--"
"Terima kasih." Lelaki itu memotong dengan aksen kentalnya. Wening mengernyit ragu-ragu. "Terima kasih... bubur dan wedang jahenya."
Kejadian itu sudah seminggu yang lalu. Wening sudah meminta pedagang bubur ayam itu merahasiakan identitasnya, tetapi mungkin Mas Bagus mengetahuinya dari sahabatnya yang sempat bertemu Wening.
"Apa Mas baik-baik saja?"
"Ya," lelaki itu mengangguk bingung, "Ya, of course, saya baik-baik saja. Kenapa kamu bertanya?"
"Saya dengar beberapa orang cenderung berusaha melupakan masalah dengan minum-minum alkohol. Ah, tapi--" Wening memejam singkat dan menyesali kata-katanya. Dia hanya mendengar cerita Mas Bagus minum-minum dari sahabatnya, bukan dari orangnya langsung. "Ngapunten. Saya ndak bermaksud ikut campur."
Tampaknya Mas Bagus tidak tersinggung karena dia justru tersenyum kecil. Lelaki itu merogoh saku kiri celananya. "I've got something for you."
Sesuatu diletakkannya di atas kotak pemberian di tangan Wening. Sebuah pita merah jambu dengan panjang sekitar 30 cm. Wening menyentuhnya untuk memperhatikan bordiran benang emas yang membentuk kalimat di tengah pita.
"Be prepared, for love and happiness are getting closer to you. Warmest hug, Thomas and Emily Browne," ejanya, kemudian kembali menengadah kepada si pemberi. "Apa ini?"
"Dari tossa..." Entah apa yang dikatakan Mas Bagus, Wening tidak mendengar dengan jelas.
"Tossa-apa?"
"Toss the bouquet," ulangnya perlahan, "dari upacara pernikahan teman yang saya hadiri minggu lalu di London. Maksud saya, toss the bouquet adalah tradisi ketika pengantin perempuan melempar buket bunganya ke para tamu. Entah bagaimana buket itu terlempar jauh dan mengenai saya, sementara saya tidak ikut berkumpul di sekitar pengantinnya."
"Ah." Wening mengerjap. Rasanya dia pernah membaca yang seperti itu dari salah satu majalah Gadis. "Tapi ini pita, bukan buket bunga."
"Bunganya saya buang karena mati dalam penerbangan London-Jakarta. Hanya pita pengikatnya yang bertahan hidup. I'm sorry."
Wening memajukan bibir. Ya, tentu saja pita ini bertahan hidup karena sudah mati sejak awal.
"Akan saya carikan buket bunga penggantinya, sore ini atau besok, tidak apa-apa? Ada bunga tertentu yang kamu inginkan?"
"Ah, ndak perlu," tolak Wening segera," terima kasih, Mas, tapi ndak perlu. Saya cuma... agak bingung."
"What's wrong?"
"Setahu saya, ada kepercayaan tentang orang yang menerima buket hasil lemparan akan jadi yang menikah selanjutnya. Kenapa ini diberikan untuk saya?"
"I just--"
Mas Bagus memutus kalimatnya. Tatapan Wening masih menuntut jawaban, dan ketika mata mereka bertemu, lawan bicaranya berpaling hingga Wening bisa melihat di pipi lelaki itu muncul rona kemerahan yang kontras dengan kulit pucatnya.
Beberapa tokoh lelaki di film romansa melakukan ini. Memberikan buket bunga hasil lemparan pengantin kepada gadis yang diinginkannya, mungkin sebagai kode atau hanya sebatas menggoda. Wening bukannya tidak tahu soal ini, tetapi lelaki di hadapannya ini perlu diuji.
"Itu... bagaimana, ya?" Mas Bagus mendesah pelan, sedikit ragu-ragu, kemudian melirik Wening kembali. "Saya dengar, kamu ingin menikah secepatnya?"
Kedua alis Wening terangkat. "Maksudnya? Dengar dari mana?"
"Ritual menggigit janur dan dicambuk janur waktu itu, di upacara pernikahan adikmu. Saya khawatir kamu kesakitan atau terluka tapi seseorang memberitahu saya bahwa itu cuma formalitas, tujuannya supaya kamu didekatkan dengan jodoh. Apa itu benar? Artinya kamu ingin menikah secepatnya, bukan?"
"Hmph!"
Wening tersedak tawa. Tangannya segera membekap mulut kuat-kuat. Andai ini bukan di kampus, pasti dia sudah mengakak selepas-lepasnya.
"A-apa... saya salah?" Mas Bagus terbata-bata, wajahnya makin merah luar biasa. "Saya pikir buket hasil toss the bouquet juga mempunyai filosofi yang mirip, jadi... ah... tapi sepertinya saya salah menarik kesimpulan sendiri, ya?"
Wening menurunkan tangan, bibirnya masih tersenyum lebar karena menahan geli. Rupanya bukan hanya keluarga besarnya yang berpikir dia ingin cepat-cepat menikah karena ritual itu, bahkan Mas Bagus juga. Atau siapapun nama sebenarnya lelaki ini.
"Ndak salah, sih, Mas." Sebisa mungkin Wening menahan agar tidak terkekeh. "Itu memang ritual supaya didekatkan dengan jodoh, tapi... bukan berarti saya kepingin menikah secepatnya. Saya melakukan ritual itupun cuma untuk memenuhi persyaratan dari keluarga. Kalau saya sendiri, saya ndak berharap apapun dari ritual itu. Termasuk perkara jodoh. Toh semua sudah diatur sama Gusti Allah, ndak perlu khawatir."
Mas Bagus tersenyum lega. "Good faith." Kemudian lelaki itu tertawa kecil sambil mengusap satu sudut matanya. "Sekarang naiklah sebelum teman-temanmu yang manis itu makin bersemangat karena kita mengobrol lebih lama dari biasanya."
"Ap-apa?"
Wening menganga. Dia menengadah dan menemukan kepala Shinta, Ririn, dan Ngatiyem menyembul dari pinggiran puncak tangga di lantai tiga. Ketiganya langsung kalang-kabut melarikan diri setelah ketahuan.
Mas Bagus terkekeh sambil melalui Wening. "Till next time, Wening."
Wening terdiam di tempatnya. Jadi, lelaki ini tahu. Lelaki ini paham bahwa kedatangannya selalu jadi pembicaraan panas di antara teman-teman Wening. Dan lelaki ini tidak keberatan sama sekali. Bisa dibilang justru menikmati.
Wening segera berbalik. "Mas Bagus. Tunggu."
Yang dipanggil menghentikan langkah kakinya di pertengahan tangga menuju lantai satu. Lelaki itu menoleh Wening yang berdiri di puncak anak tangga. Wening menahan napas, mengumpulkan semua nyali yang dimilikinya untuk bertanya.
"Kenapa pita ini panjenengan berikan langsung ke saya? Bando, gelang, kalung, bros, jepit rambut, selama ini semuanya selalu diberikan ke saya dalam kotak bingkisan. Kenapa cuma pita ini yang diberikan begitu saja?"
Yang ditanya tidak bisa menjawab apapun, meskipun mulutnya terbuka dan kedua mata birunya membesar.
Terlanjur basah, Wening melanjutkan tanpa banyak berpikir, "Dua minggu lalu saya memberikan madu mongso untuk panjenengan. Panjenengan berterima kasih lewat surat. Kemarin saya membelikan bubur ayam dan wedang jahe untuk panjenengan. Kenapa berterima kasihnya secara langsung, bukan lewat surat juga?"
Yang ditanya tetap bergeming tanpa ekspresi yang bisa terbaca.
Jika lelaki ini masih enggan menjawab pertanyaan terakhirnya, Wening akan mundur teratur. "Kenapa rasanya Mas Bagus si-penulis-surat berbeda sekali dengan Mas Bagus si-kurir-surat? Yang mana Mas Bagus yang sebenarnya?"
Barulah lelaki itu merespons dengan kernyitan di dahi.
"I didn't get you, Wening. Dua-duanya itu saya, di mana bedanya?"
"Mas Bagus si-penulis-surat..." Wening menjeda untuk memilih kata-kata, "pemalu, manis, dan lembut."
"Dan saya yang ini?"
"Ehm... megelno?"
"Apa itu?"
"Menyebalkan. Panjenengan yang ini menyebalkan."
Alih-alih tersinggung, Mas Bagus justru tertawa. Tawa segar dan menyenangkan yang baru pertama kali Wening dapati dari lelaki ini.
"But which one do you prefer?"
"Eh?"
Mas Bagus menapaki selangkah anak tangga di atasnya. "Mana yang Dik Wening suka?" dan selangkah lagi, "Mas Bagus si-penulis-surat yang pemalu, manis, dan lembut?" dan selangkah lagi, "Atau," dan selangkah terakhir hingga lelaki itu kini menjulang tepat di hadapan Wening. "Mas Bagus si-kurir-surat yang menyebalkan ini?"
Rasa panas yang menyengat wajah membuat Wening mengerjap cepat.
"Yang mana Mas Bagus yang sebenarnya?"
"Sama saja, dua-duanya saya." Senyuman hangat sekaligus jahil menghiasi hingga ke mata lelaki itu. "Saya bisa menyesuaikan diri jadi yang manapun yang kamu suka. Asalkan Dik Wening bilang suka."
Wening menggigit bibir bawah dengan malu-malu, sesekali melirik lelaki yang terlihat antusias mengharapkan jawaban darinya itu.
Ibu berkata, "Wening itu ndak cuma ayu di luarnya saja. Pembawaan dalamnya juga menarik untuk laki-laki." Jika benar begitu, mengapa Wening tidak memanfaatkan bakat alami ini semaksimal mungkin untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya?
Wening membasahi bibir sekilas, "Saya suka..." dan sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi lawan bicara.
"Which one? Yang mana?"
Dengan gerakan perlahan, Wening mengembalikan pita merah muda itu ke tangan Mas Bagus. "Saya suka bunga tulip biru muda, merah muda, ungu muda, dan putih. Warna-warna pastel seperti baju yang saya pakai sehari-hari. Tolong diingat baik-baik, Mas."
Mas Bagus termangu. Tanpa menunggu lebih lama, Wening berpamitan undur diri karena sesaat lagi kelas akan dimulai.
Gadis itu mengambil seribu langkah menaiki tangga menuju lantai tiga. Dari puncak anak tangga, ketika Wening menjulurkan kepala, dia mendapati Mas Bagus belum beranjak dari posisinya. Kepala lelaki itu menengadah, kedua matanya mengawasi lekat pada Wening di ketinggian.
Wening tersenyum puas. Umpan pertamanya telah dimakan.
💌
Di bibirmu mengandung umpan
Di pipimu mengandung umpan
Di rambutmu mengandung umpan
Di pinggulmu mengandung umpan
Di tubuhmuuuu... hey!!!
Mengandung umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan umpan (terusin sampai pilpres mendatang)
Yang excited menanti Pakde-Bude saling mempermainkan semangatin dulu sebelah sini 🔥🔥🔥 >>>>>
Malang, 1 Agustus 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top