07

DISCLAIMER

Beberapa hal yang penting untuk diperhatikan sebelum menyelam lebih jauh dalam cerita ini:

1. Kedua tokoh utama BEDA AGAMA.

Satunya Islam, satunya Katolik. "Kenapa nggak dibikin sama, sih, Kak? Sengaja mau adu domba, kah? Karena ini happy ending, berarti salah satu bakal convert."

(dan pembaca MBAK/Sakura Kiss pasti tahu siapa yang bakal convert di sini 😅)

Jawabanku: karena itu LOGIS. Karena LOGIS kalau mereka beda agama.

Justru kalau di awal keduanya sudah sama-sama Islam jadi CACAT LOGIKA. Sejak awal, si male lead ini turunan bule murni. Nggak ada mix manapun dan nggak pernah bersentuhan dengan budaya ketimuran, apalagi Islam. Dia baru mengenal teman-teman muslimnya pertama kali di Indonesia. Jadi, kalau dia sudah Islam sejak awal, itu biggest plot hole.

Kalau sejak awal agama mereka sama, tandanya aku penulis yang males putar otak, pengin cari aman tapi mengesampingkan logika cerita.

2. Ini BUKAN cerita religi.

Genre utamanya romansa dan keluarga. Pembahasan religi harus ada karena itu bagian dari konflik romansanya. Meskipun salah satu bakal convert, aku tidak mendiskreditkan agamanya yang lama. Juga tidak mengglorifikasi agama yang baru seolah yang ini lebih baik (dibanding yang itu). Keduanya akan kutulis secara berimbang. Caranya? Baca aja dulu, nanti tahu.

Ini bukan cerita tentang pencarian eksistensi Tuhan. Ini tentang pasangan dengan jurang gap yang sangaaaaaat besar dan dalam. Tentang kompromi yang mereka lakukan untuk menjembatani gap itu supaya bisa bersama. Nggak cuma yang convert yang berkompromi besar-besaran, sementara yang satunya berleha-leha sambil ngucap syukur. GAK GITU PAK EKO 😭 Yang satunya pun akan jor-joran membersamai yang convert dalam proses adaptasinya. Mereka itu sama. ❤️

3. Convert karena bucin.

Iya. Enggak usah munafik dan bukalah mata baik-baik. Faktanya, mereka yang convert hampir semua karena pasangan. Demi pasangan. Bukan 100% panggilan dari lubuk sanubari terdalam untuk mengimani Tuhan dari agamanya yang baru.

Pada awalnya begitu.

Sisanya tinggal bagaimana si converts ini menekuni agama barunya. Golongan mbelgedes yang ibadah ogah-ogahan ada, golongan lurus yang akhirnya kebawa pasangan jadi beneran taat juga ada. Iman manusia dalam beragama itu naik-turun. Jadi, proses menuju taat pun nggak mungkin instan. Karena yang instan-instan itu nggak sehat, yagesya.

Yang udah baca MBAK/Sakura Kiss, menurut kalian si converts di cerita ini masuk golongan yang manakah?

Kalau menurut Hansel, "Golongan yang mandi sebelum subuh kecuali Mama mens."

4. Happy ending.

Jelas happy ending, wong sudah ada di MBAK/Sakura Kiss.

Sejujurnya, dari sekian romansa (fiksi) yang kubaca, yang mengusung tema serupa, pasti berakhir sad. Dalam artian mereka pisah. Itu nggak salah, memang masuk akal. Tapi kenapa nggak ada yang mau coba buat happy ending berakhir bersama gitu, sih? Takut pro-kontra kah? Atau aku yang mainnya kurang jauh? 🥲

Padahal, di lapangan, banyak juga kok pasangan beda agama dan akhirnya bisa menua bersama. Entah dengan pernikahan beda agama atau salah satu convert dulu. Untuk opsi pernikahan beda agama bakal menimbulkan pro-kontra tentang keabsahannya, dan materi itu di luar kapasitasku, jadi aku nggak mau.

5. Trivia.

Hampir semua tulisanku terinspirasi dari hal-hal di dekatku. Untuk MBAK, inspirasinya dari kultur pernikahan anak di desa tempat tinggalku sekarang. Untuk Sakura Kiss, itu pengalaman ngebolangku selama tinggal di Jepang. Dan untuk Kurirasa... well... andaikan dulu salah seorang dalam keluarga intiku ini nggak convert, nggak akan ada bocil 8 tahun yang biasa aku ceritakan di Instagram story. 😉

Sekian.

.

Terima kasih dan selamat membaca 💕

💌

MAS BAGUS memberikan ketiga madu mongso itu kepada sahabatnya. Pastinya begitu.

Namun, terlalu dini untuk melabeli lelaki itu sebagai pembohong. Madu mongso itu cukup besar, berukuran sekitar ibu jari Wening. Bukan tidak mungkin Mas Bagus membaginya dengan orang lain. Manisan tapai ketan hitam itu pasti asing bagi Mas Bagus, menimbulkan kecurigaan, jadi dia meminta orang lain mencicipi terlebih dahulu. Beberapa orang memiliki kecenderungan seperti itu.

Namun lagi, sahabat Mas Bagus itu berterima kasih dengan penuh kesungguhan, seolah dialah si penerima ketiga madu mongso itu, bukan sekadar mencicipi. Kalau Mas Bagus tidak berbohong, Wening justru makin gagal mengerti. Bagian mana yang salah dia pahami?

"Kenapa, Dik? Kok tiba-tiba diam?"

Teguran Mas Jaka yang duduk di depannya menarik Wening kembali dari lamunan. Dua mangkuk soto ambengan di antara mereka sudah kosong. Secangkir kopi hitam Mas Jaka sudah menyisakan ampas, dan segelas jeruk hangat Wening masih terisi setengah. Entah sudah berapa lama dia terdiam menggigiti sedotan.

"Ngapunten, Mas, saya agak ngantuk." Wening meringis dan menegakkan duduknya kembali.

"Bosen, ya, sama saya?"

Gadis itu terkesiap lantas menggeleng cepat. "Ah, mboten, Mas. Saya... semalam saya bergadang... maaf." Sungkan rasanya mengatakan hal ini ketika sebenarnya Wening tahu bahwa pagi ini dia harus pergi menemani seseorang. Seharusnya, dia mempersiapkan fisik.

"Belajar, ya?"

"Inggih, Mas. Besok ada UTS. Sehari-hari sudah saya cicil juga, tapi rasanya masih kurang puas saja, terutama soal kasus-kasus pasien, analisis saya masih kurang mendalam."

Mas Jaka tersenyum dan melipat kedua tangan di meja. "Belajar memang harus seperti itu, jangan cepat merasa puas, selalu haus itu bagus." Setelah Wening membalas senyuman itu, Mas Jaka melanjutkan, "Dik, boleh saya bertanya sesuatu yang serius?"

Sedikitnya, Wening bisa menerka pertanyaan apa yang mungkin dilontarkan lelaki ini. Wening juga sudah mempersiapkan kata-kata santun untuk membalasnya, jadi dia mengangguk siap.

"Monggo, Mas."

Lelaki di hadapannya terlihat menahan napas. "Bismillahirrahmanirrahim. Sebelumnya, saya perlu menyampaikan dulu bahwa saya punya perasaan untuk Dik Wening. Perasaan yang sudah menjadi fitrah bagi laki-laki untuk perempuan, atau sebaliknya. Saya sayang sama kamu, Dik."

Ini bukan pertama kalinya Wening menerima pernyataan perasaan dari lelaki, tetapi tetap saja, jantungnya sulit untuk tidak berdebar kencang saat melihat tekad kuat di mata Mas Jaka.

"Boleh saya tahu, apa Dik Wening punya perasaan yang sama untuk saya?"

Meski jelas-jelas menggeleng, Wening tersenyum sopan. "Mohon maaf, Mas."

"Tidak sedikit pun?"

Wening mengangguk. "Mboten, sedikit pun. Buat saya, dari kecil, panjengan adalah sosok yang saya hormati, Mas. Seperti kakak jauh yang harus saya hormati. Jadi, untuk perasaan yang selain itu, ndak ada bahkan ndak pernah kepikiran sama saya."

Mas Jaka kembali bergeming, mencerna kata-kata Wening. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi tertentu, meski ada sedikit kekecewaan di situ, tetapi Wening tahu jawabannya sudah tersampaikan dengan jelas.

"Kalau begitu, apa Dik Wening mau kasih saya kesempatan untuk menumbuhkan perasaan itu?" tanya Mas Jaka, belum menyerah.

"Mohon maaf, saya ndak bisa juga, Mas. Saya mau menyelesaikan kuliah dulu."

"Saya janji ndak akan mengganggu kuliahmu, Dik."

"Bukan perkara itu, Mas, tapi..."

"... karena Mas Bagus?"

Kali ini Wening yang berhenti napas. Intonasi Mas Jaka mulai terdengar agak menuntut. Mengapa tiba-tiba menyebutkan satu nama yang sama sekali tidak berkaitan?

Mas Jaka melempar lirikan sekilas ke arah meja kosong yang sebelumnya ditempati sahabat Mas Bagus. "Dia yang namanya Bagus? Yang tadi diperdebatkan Yasmin dan Yusuf di mobil?"

Wening yang terkesiap segera menggeleng. "Bukan. Bukan, itu temannya..."

"Jadi yang di sana?" Mata Mas Jaka memicing tajam ke arah sebaliknya di depan alun-alun, di mana seorang lelaki besar yang berkaus hitam dan celana training abu-abu masih menikmati isapan rokoknya.

Itu benar, tapi Wening memilih bungkam. Mas Jaka mengembalikan perhatiannya kepada Wening.

Lelaki itu menggeleng lemah bersama tatapan prihatin. "Astagfirullahal 'adzim... buka matamu, Dik..."

Wening mengernyit tak paham. "Apa maksud Mas Jaka?"

"Dik..." Mas Jaka membuka kedua lengannya, "dia perokok, Dik. Wallahi, demi Allah, dokter macam apa yang merokok? Maaf, mohon maaf sekali saya memang cuma lulusan madrasah, tapi sejak lahir saya dibesarkan di lingkungan yang bersih dari rokok. Saya paham bahaya rokok dan karena itu saya sama sekali ndak menyentuh rokok. Dalam hal kesehatan dia jauh lebih berilmu daripada saya, Dik, tapi kamu lihat sendiri, kan?"

"Mas, tolong..." Wening melenguh, ingin sekali rasanya dia mengatakan bahwa dokter merokok bukanlah fenomena yang aneh. Memang kontradiksi dengan profesi tenaga medis, memang terdengar salah, tapi mereka mengabaikannya. Namun, menjelaskan ini sekarang justru akan membuat Mas Jaka makin sentimen terhadap dokter.

"Dan--naudzubillahi min dzalik--miras? Minuman keras beralkohol? Itu jauh lebih berbahaya daripada rokok, Dik! Saking bahayanya, Allah mengharamkan minuman itu karena racunnya bisa merusak otak saat itu juga, Dik! Oh... tapi percuma." Mas Jaka menggeleng, lantas menyeringai hambar. "Agamanya ndak mengatur fikih halal dan haram untuk kebaikan umat. Patung gereja saja disembah--"

BRAK.

Sepasang mangkuk dan gelas kosong di meja berderak dan bergeser beberapa mili. Keheningan menyergap akibat kepalan tangan Wening menggebrak meja.

"Waktu kecil saya pernah ikut kajian Abah Rusno, bapak panjenengan, Mas. Abah mengutip, wala antum 'abiduna ma a'bud. Ayat ketiga dan kelima surat Al-Kafirun yang artinya, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Ayat yang sama persis diulang dua kali, tapi tafsirnya sedikit berbeda. Yang pertama menjelaskan kita dan mereka menyembah Tuhan yang berbeda. Yang kedua adalah penegasan, karena menyembah Tuhan yang berbeda, kita dan mereka punya tata cara beribadah yang berbeda. Lakum dinukum waliyadin. Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Bukan tugas kita mengomentari hubungan mereka dan Tuhan mereka, karena itu ndak akan mengubah apapun. Ndak pula jadi kebaikan buat kita. Percuma."

Mas Jaka mengatup mulut. Dengan cepat wajahnya menjadi merah padam.

"Saya seneng ikut kajiannya Abah." Wening tersenyum kecil. "Abah orangnya ramai, pokoknya asik ndak membosankan. Abah ilmunya tinggi, tapi ndak pernah merendahkan siapapun yang berseberangan sama beliau. Abah malah pernah bilang, ndak apa-apa kita masuk lihat-lihat gereja, pura, vihara, atau tempat ibadah lain. Ndak apa-apa kita baca alkitab, weda, tripitaka, atau kitab lainnya. Ndak apa-apa kita ngobrol sama pastor, biarawati, biksu, atau pemuka agama lain. Itu ndak menjadikan kita murtad karena kita cuma belajar memahami mereka, menambah wawasan kita tentang mereka, bukan mengimani keyakinan mereka. Pun sebaliknya, mereka yang penasaran ingin 'kenalan' sama keyakinan kita ndak otomatis menjadikan mereka mualaf. Semua boleh mengenal satu sama lain supaya rukun."

Mas Jaka mengerjap dan mengerang gelisah. "Dik, astagfirullah, maksud saya ndak seperti itu. Saya cuma mengingatkan urusan memilih pasangan, pilihlah yang seiman dan sekufu. Kenapa bahasanmu kejauhan, Dik?"

"Karena Mas Jaka yang duluan membahas Mas Bagus," jawab Wening, menjaga intonasinya setenang mungkin. "Kalau Mas Jaka mau tahu, itu betul, Mas Bagus ndak sama dengan kita. Tuhan Mas Bagus ndak melarang rokok dan miras. Tapi selama rokok dan mirasnya ndak mencelakai orang lain, Mas Bagus bukan penjahat. Kode etik kedokteran pun ndak pernah melarang dokter merokok dan minum miras, hanya mengatur, supaya kami ndak melakukannya dalam seragam profesi yang bersentuhan dengan pasien. Dokter yang masih di bawah pengaruh alkohol juga dilarang menyentuh pasien, dan Mas Bagus sudah mematuhi itu."

"Apa yang kamu lihat dari dia sampai kamu bela seperti ini, Dik? Karena dia bule? Atau wajahnya se-bagus namanya? Atau hartanya ndak habis tujuh turunan?"

Wening menggeleng pelan tapi jelas. "Mas Jaka, ngapunten, saya bukan membela Mas Bagus. Saya malah ndak kenal sama Mas Bagus kecuali namanya saja. Apa yang saya katakan soal Mas Bagus barusan sebatas apa yang bisa amati secara objektif. Saya ndak memasukkan pendapat pribadi, karena saya sadar, tahu apa saya ini tentang Mas Bagus? Ndak ada. Sebaiknya Mas Jaka juga berhati-hati, karena saya merasa ndak nyaman bersama orang yang cepat berprasangka buruk terhadap apa yang belum dia ketahui."

Kebisuan kembali menyelimuti atmosfer di meja ini.

Meski dari luar Wening menampilkan ketenangan, tetapi kepalanya dipenuhi kepanikan. Apa kata-katanya sudah sopan? Apa argumennya tidak berlebihan? Bagaimana kalau Mas Jaka merasa tidak dihargai? Bagaimana kalau Mas Jaka tersinggung? Bagaimana kalau Mas Jaka menceritakan semuanya kepada Abah Rusno dan hubungan baik keluarga mereka retak?

Wening bukan khawatir dimarahi. Dia takut mengecewakan Bapak dan Ibu...

Mas Jaka terkekeh dan menyandarkan punggung kembali. "Sekarang Dik Wening juga pintar berdebat, ya," gumamnya. "Kalau nanti jadi istri, wajib menurut sama suaminya, lho, ya?"

Sedikit lega, Wening membalas tawa itu. Sepertinya bisa disimpulkan bahwa Mas Jaka tidak tersinggung. Aman.

"Saya ini penurut, kok, Mas, asalkan suaminya juga mau nurutin manja sama rewelnya saya. Biar adil."

"Oh, bisa manja sama rewel juga, toh?" Kedua alis Mas Jaka naik bersamaan. "Sini, Dik, hari ini saya turutin manja sama rewelnya. Mau keliling pasar kaget di sana, cuci mata sekalian menurunkan isi perut? Kalau ada yang Dik Wening mau bilang saja, saya belikan untuk tanda terima kasih karena sudah mau menemani saya."

"Boleh, Mas, ayo cuci mata!" Wening tersenyum semringah sambil mencangklong tas di bahunya, lalu beranjak untuk memunguti plastik bungkus kerupuk di meja. "Sekedap nggih [Tunggu sebentar ya], Mas, saya buang ini dulu."

Tong sampah terdekat berada di depan jalan masuk tenda-tenda kuliner, di dekat sebuah tenda yang menjajakan aneka bubur. Setelah membuang sampah, Wening menyadari tempat Mas Bagus duduk-duduk berjarak kurang dari 10 meter dari posisinya berdiri. Lelaki itu masih saja merokok entah sudah batang keberapa. Wening menghampiri lelaki tua penjual bubur di depannya.

"Bapak, nunsewu, bubur ayam apa masih ada?" tanyanya. "Sama wedang jahe, nggih."

💌

Makin penasaran apa udah bosen?

Dipersilakan yang mau mengkritisi/mempertakonkan apapun di sini 👉🏻

Malang, 20 Juli 2023.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top