01
Kemarin saking excitednya mau publish jadi lupa mau nulis kata pengantar, muhehe.
Untuk pembaca MBAK, MAS, dan Sakura Kiss pasti tahu ini cerita siapa. Trope-nya juga sudah ketebak di prolog. Ending-nya apalagi, udah jelas sejelas-jelasnya wkwk. Jadiii kalau Teman-teman berharap Kurirasa ini ceritanya bakal surprise gimana, enggak, mohon maaf enggak. Ini tuh sama kayak tiga cerita sebelumnya yang membawakan vibes santaaay... tanpa mengurangi makna yang ingin kusampaikan juga tentunya.
Konflik pasti ada, dan akan diselesaikan dengan kepala dingin saja. Karena para lakon di sini udah pada dewasa juga kan ya, meskipun mereka tidak menyediakan adegan dewasa.
Terima kasih dan selamat membaca 💕
💌
"INI UNTUK Dik Wening. Tolong diterima."
Gadis berparas Jawa dengan potongan rambut bob dan poni tipis itu berhenti melangkah. Di belakangnya, dua gadis lain saling berbisik, "Mas Londo teko maneh [Mas Bule datang lagi]," dan menimpali, "Duh Gusti, bagus tenan [Ya Tuhan, tampan sekali]," tetapi cukup nyaring untuk Wening dengar. Wening tidak yakin wajah siapa yang lebih merah sekarang, dirinya atau lelaki kaukasoid yang sedang menyodorkan kotak bingkisan berpita di hadapannya ini.
Seperti biasa, Wening menerimanya bersama senyuman. Dia bermaksud berterima kasih, tetapi seperti biasa, mata lelaki itu menghindari Wening. Dan seperti biasa, si pemberi langsung berbalik mengambil seribu langkah hingga Wening hanya dapat memandang punggung besarnya menjauh.
Ya, seperti biasa, dimulai sejak tiga bulan yang lalu.
"Ning, mbok dikejar masnya, ojo malah diem thok," sindir Shinta yang sudah maju menyenggol lengan kanan Wening.
Lain lagi dengan Ririn yang menahan lengan kiri Wening. "Hush, ndak usah. Perempuan kok ngejar laki-laki? Ndak ilok [Tidak pantas], tah."
"Haduh, Rin, bukan perkara ilok atau ndak ilok. Itu Mas Londo sudah ngasih kode buat Wening selama tiga bulan, dia nunggu reaksine Wening. Kamu ndak penasaran, tah, Ning?"
"Biarpun penasaran tapi harus bisa menahan diri. Jadi perempuan mbok ya jual mahal, gitu. Perempuan harus punya malu. Kalau kegatelan nanti masnya--"
"--tak kasih Salep 88. Panu, kadas, kurap, kutu air, oleskan saja--" serobot Shinta, otomatis punggungnya mendapat gepukan keras dari Ririn.
"Rek, wis tah berhenti." Setengah tertawa, Wening menengahi kedua sahabatnya, lalu memasukkan kotak kecilnya ke dalam tas di bahu. "Aku ini penasaran, tapi kalau disuruh ngejar masnya, aku emoh [tidak mau]."
Ririn tersenyum penuh kemenangan melihat Shinta yang memberengut. Ketiganya berjalan menyusuri koridor panjang yang mengarah ke pintu utama gedung kuliah Fakultas Kedokteran.
"Bukane aku menahan diri atau jual mahal," lanjut Wening lagi, "cuman ndak kepingin saja."
"Yakin kamu ndak mau? Jarang-jarang, lho, pemuda bule totok bisa tertarik sama kita-kita gadis pribumi. Mana ngganteng pol persis Tom Cruise! Mas itu rejekimu, Ning, ndak boleh disia-siakan!" Shinta mengompori berapi-api.
"Lho, kenapa toh kesannya derajat orang Barat itu mulia banget, lebih tinggi daripada kita orang pribumi?" Wening mengernyit, menoleh pada sahabatnya. "Memangnya kalau jodoh sesama asli pribumi bukan rejeki? Biar bule se-ngganteng apapun, kalau dia pikir dia lebih tinggi daripada orang pribumi, aku ndak mau. Suatu hari bisa jadi dia juga merendahkan aku. Daripada sama bule totok tapi makan hati, mendingan aku sendiri."
"Duh, Gusti, iki lho kancaku sing paling mbois [ini lho temanku yang paling keren]!" Ririn memeluk Wening dari samping erat-erat sampai sesak. "Aku setuju, mas tadi memang bagus tenan, tapi kita belum tahu sifatnya piye. Lagian apa toh kelebihan bule totok? Paling cuman manuke [burungnya] yang besar itu. Percuma besar tapi belum disunat."
Ririn lari pontang-panting menghindari dua sahabatnya yang berusaha menjitak kepalanya. Memangnya siapa tadi yang bilang perempuan harus punya malu?
💌
Bila malam, malam Minggu tiba
Anak muda mengatur rencana
Pacar yang mana, yang mana mana
Giliran jumpa...
Seingat Wening, pagi ini ketika dia berangkat ke kampus, halaman rumahnya masih kosong. Hanya ada pohon mangga sebagai satu-satunya tanaman yang paling mencolok. Kijang Super hitam milik Bapak dan Astrea Star merah milik Ibu yang biasa menempati garasi beratapkan seng pun sudah raib.
Keluarga mereka bukannya kemalingan. Mungkin dua kendaraan itu sedang diungsikan ke tempat lain, sebab tenda biru sudah berdiri di halaman, lengkap dengan janur, penjor, dan tentu saja panggung pelaminan. Sudah ada sofa beludru merah untuk dua orang di sana. Ditambah latar belakang gebyok kayu jati berukiran bunga dan sulur, yang dipermanis ronce kembang kantil, melati, dan mawar, membuat senyum Wening mengembang.
Dan jangan lupa dua pasang sound system hitam sebesar kulkas yang memutar salah satu dangdut andalan Bapak. Tentu saja dengan bas berkekuatan tinggi yang mengguncang tanah di bawah kaki Wening.
Wakuncar ... waktu kunjung pacar ...
Wakuncar ... cari-cari pacar ...
Wakuncar ... oo ooh!
Wakuncar ... o ooo oooh!
"Cah Ayu, sudah pulang, tah?" seruan Pakde Bambang, tetangganya, membuat Wening menuntun sepedanya mendekati beliau. Wening menyalami dan mencium punggung tangan lelaki tua itu. "Yang lain pada jumatan, Pakde mbenerin panggung sek." Pakde Bambang menunjuk beberapa anak tangga yang belum terpasang.
"Oalah, nggih, Pakde." Wening mengangguk. Sebagai satu-satunya rewang bapak-bapak yang nonmuslim, tentu saja beliau bertugas menunggu di sini. "Pakde Bambang, nunsewu [permisi]. Pakde bisa mengatur sound system mboten [tidak], nggih?"
"Waduh, Pakde ndak paham. Yang ngatur tadi ikut jumatan. Kenapa, Nduk?"
"Terlalu kenceng, Pakde. Ini tadi kedengeran sampai masjid pas Wening lewat. Pak Khotib jadi agak teriak-teriak, kasihan, Pakde. Barang kali bisa dikecilin suaranya."
"Oalah, sek, ya." Pakde Bambang mendekati sekumpulan kabel yang terlihat rumit, mencabut satu yang terhubung ke semua kabel lain, dan seketika jedag-jedug musik menghilang. "Pakde ndak bisa ngatur. Tapi kalau cuman matiin, guampang itu."
Wening tertawa lebar. "Pakde memang joss!" Gadis itu mengacungkan satu jempol tinggi-tinggi, kemudian mengambil keresek kecil berisi dua bungkusan daun dari keranjang depan sepedanya. Dia menaruhnya di satu meja kecil di dekat kaki. "Tadi Wening jajan arem-arem di kampus, tapi buat Pakde sajalah, Wening mau makan di dalam."
Setelah melambai berpamitan, Wening menuntun sepedanya ke samping rumah dan memarkirkannya tidak jauh dari pawon [dapur tradisional]. Pintu samping pawon yang terbuka menguarkan aroma rempah kuat yang menggugah nafsu makan, dibarengi keramaian para ibu rewang yang mengobrol dalam Bahasa Jawa. Sebagian dari mereka menoleh untuk menjawab salam yang diucapkan Wening.
"Sini, Ning, sini!" Bude Lastri melambaikan tangan dengan semangat, mengabaikan hawa panas menyengat. "Ada cenil sama sawut kesenenganmu!"
"Purun [Mau], Bude!" sahut Wening, kemudian dia membungkuk-bungkuk saat melewati dan menyapa para rewang lain yang sedang sibuk, sebelum akhirnya sampai lantas berjongkok di samping Bude Lastri. Wanita berumur itu sudah siap dengan piring keramik dilapisi daun pisang di tangannya.
"Mau yang mana, Nduk? Separuh-separuh?"
"Boleh, Bude." Wening mengangguk, matanya mengabsen semua jajanan pasar yang terhampar di nampan rotan sebelum menambahkan lagi, "sama lupisnya boleh, Bude? Yasmin seneng lupis."
Bude Lastri bertanya sedikit mengenai kuliah Wening, sementara tangan beliau dengan terampil menata cenil, sawut, dan lupis di atas daun. Tidak lupa membalurkan kelapa parut secara merata untuk memberi variasi rasa gurih. Kemudian diakhiri dengan siraman gula aren murni hitam nan kental di atas cenil dan lupis.
"Eh, Arum akad bulan depan?" gumam Wening, ketika Bude Lastri menceritakan putri bungsunya yang berusia di bawah Wening. "Alhamdulillah, semoga lancar. Nanti Ibu dikabarin, ya, Bude. Kalau pas kosong Wening mau ikut rewang--"
Tawa wanita tua itu memutus ucapan Wening. "Suwun, Nduk, tapi ndak usah. Wong Bude juga ndak mampu mengadakan acara gede seperti bapakmu ini. Bude ndak ada duitnya. Cuman akad di rumah, terus pengajian kecil, wis gitu thok cukup. Bude masih nabung buat kadonya Arum, dia pernah bilang kepingin punya satu kebaya putih yang cantik. Nanti Bude kasih kejutan."
Perasaan Wening menghangat mendengar ketulusan rendah hati Bude Lastri. Senyum gadis itu mengembang sempurna. "Bismillah, ya, Bude. Mudah-mudahan dipermudah Gusti--"
"Ndak bisa, Bu! POKOKNYA, YASMIN NDAK MAU ADA PROSESI NDAK JELAS SEPERTI ITU!"
Jeritan kencang dari dalam rumah menghentikan semua aktivitas di pawon. Termasuk Wening yang senyumnya langsung hilang karena menyadari itu suara adiknya.
"INI ACARAKU! AKU BILANG ENDAK, YA ENDAK!" Makian Yasmin terdengar lagi.
Wening berpamitan lantas beranjak membawa sepiring camilannya. Dia bergegas menuju ruang keluarga di mana sumber keributan berasal. Hanya ada Ibu yang tampak kebingungan dan Yasmin yang wajahnya merah padam, nyaris menangis.
"Kenapa teriak-teriak? Ini kedengeran sampai pawon, lho." Wening mendesis gemas.
"IBU BILANG--"
"Yasmin, suaramu!"
Bentakan kakaknya membuat Yasmin memejamkan mata rapat-rapat. Setelah cukup lama menahan napas, gadis itu mengembus panjang dan lelah. Ibu mereka mendekat lantas mengusap punggung keduanya.
"Kata Kanjeng Nabi, bila salah satu di antara kalian marah saat berdiri, maka duduklah. Ayo, Nduk, sebaiknya kita semua duduk dulu."
💌
Ibu memilih kamar Wening sebagai tempat bicara, ketiganya duduk di atas tikar bambu. Wening menyalakan kipas angin kotaknya untuk mencari kesejukan. Mulanya Wening bingung mengapa dia harus ikut di sini, tetapi setelah mengetahui perkaranya dari Ibu, Wening ditimpa pusing dalam sekejap.
Semua bermula ketika Bapak berkunjung ke kediaman Uti--nenek Wening dan Yasmin dari pihak bapak. Tujuan Bapak ke sana untuk menjenguk Uti sekaligus mengundang beliau hadir pada prosesi siraman dan midodareni Yasmin hari ini. Namun, dua jam yang lalu, Ibu menerima telepon dari Bapak. Bapak menyampaikan pesan dari Uti yang meminta prosesi tambahan berupa sungkeman, dari Yasmin kepada Wening, sebagai bentuk penghormatan kepada kakak karena adik akan menikah lebih dulu.
"Uti minta supaya kamu dikasih seserahan yang sama dengan adikmu. Habis jumatan di tempat Uti, bapakmu mau keliling nyari seserahan," jelas Ibu, yang membuat Wening seketika menganga.
"Ta-tapi ngapunten, Bu, Wening ndak butuh semua itu." Wening mengerjap sambil memikirkan kata-kata yang tepat. "Wening ndak butuh seserahan, juga ndak butuh Yasmin sungkem ke Wening seperti itu. Jangan khawatir Wening ndak ikhlas dilangkahi Yasmin. Wening ndak peduli siapa yang menikah duluan. Lillahi ta'ala Wening rida, Bu."
Yasmin mencondongkan diri pada ibu dan kakaknya. "Nah, Yasmin bilang apa tadi? Mbak Ning ndak akan peduli sama yang beginian, Bu. Yasmin juga sudah ngobrol sama Mbak Ning jauh-jauh hari sebelumnya!"
Wening mengangguk membenarkan adiknya.
"Tapi Kakungmu, Utimu, dan keluarga besar kita ndak berpikiran seperti kalian, Nduk." Ibu menatap putrinya satu-persatu dengan prihatin.
"Yasmin ndak peduli sama pandangan keluarga besar! Buat apa Yasmin sungkem berlutut di kaki Mbak Ning terus dijadikan tontonan semua orang?! Biar apa, Bu?! Biar semua orang kasihan sama Mbak Ning karena belum ketemu jodoh?! Buat mempermalukan Mbak Ning?! Atau biar semua orang berpikir Yasmin ini adik yang kurang ajar?!"
"Yas, ditahan dulu. Sing sabar." Wening merangkul lantas menepuk-nepuk bahu adiknya dengan satu lengan. "Ndak apik calon manten kok ngamuk-ngamuk. Wis diem dulu, kamu makan itu ada lupis."
Masih sambil menggerutu, Yasmin menuruti kakaknya dan menarik sepiring camilan di tengah, lalu mulai makan dengan tidak sabaran. Marah-marah pastilah menguras banyak energi.
"Wening, Yasmin, Ibu juga ndak peduli siapa di antara kalian yang rabi [menikah] duluan." Ibu mengembuskan napas lelah, menatap putrinya satu-persatu dengan prihatin. "Ibu kepingin kalian bahagia dengan pilihan masing-masing asalkan itu baik. Wening mau sekolah dulu, boleh. Yasmin mau rabi dulu, boleh. Tapi Ibu juga ndak boleh menentang suami Ibu. Ibu ndak boleh melawan Bapak kecuali dalam keburukan. Bapak mendengarkan Uti. Bapak setuju semata-mata supaya pernikahan Yasmin direstui penuh oleh keluarga, dan untuk kebaikan citra Yasmin ke depannya dalam keluarga besar kita."
Baik Wening maupun Yasmin sama-sama menundukkan kepala. Yang dikatakan Ibu ada benarnya, sebab keluarga besar ini memang memiliki kedekatan yang sangat erat sejak dulu. Pada dasarnya keluarga ini berisi orang-orang baik, hanya saja, terkadang kedekatan bisa menjadi pondasi untuk mempengaruhi satu sama lain.
Namun, Wening belum menyerah. Tidak adil jika si pengantin harus menjalani ritual yang memberatkan hatinya.
"Bu, nanti kalau Bapak sudah pulang atau Bapak telepon lagi, biar Wening coba bicara dulu sama Bapak, ya?"
💌
Wening yakin Bapak pasti pulang karena harus hadir pada prosesi siraman siang ini. Sementara itu, dia sendiri bersiap-siap di kamar. Selesai mandi dan salat, Wening memilih satu setel kebaya dan kemban kuning gading, beserta bawahan jarik dari dalam lemari kayu merantinya untuk dikenakan. Gadis itu berputar dua kali di depan cermin besar yang menyatu dengan daun pintu lemari untuk memastikan kerapiannya.
Wening belum memutuskan akan mengenakan aksesori apa, tetapi yang pasti harus sederhana dan tidak semenarik calon pengantinnya. Wening bukan kolektor aksesori, hanya saja, belakangan ini dia menerima banyak aksesori dari seseorang. Semuanya dikumpulkan jadi satu di sebuah kotak bekas sepatu yang diamankan di dalam lemari.
Ketika Wening mengangkatnya keluar dan meletakkannya di atas ranjang, dia baru menyadari bobot kotak sepatu itu sudah semakin berat. Isinya pun semakin penuh, dan akan bertambah (lagi) karena hari ini lelaki itu datang memberinya sebuah bingkisan (lagi).
Ah, ya, Wening segera mengeluarkan si kotak kecil dari tasnya di meja belajar. Benda itu terselip di antara tabloid TTS dan diktat patologi kardiovaskular. Saat Wening menarik tali pengikatnya, wajah putih kemerahan lelaki itu muncul di benaknya.
"Ini untuk Dik Wening. Tolong diterima."
Wening tersenyum kecil. Bukan kalimat itu yang menarik, tetapi pelafalannya yang menggelitik. Lelaki itu menggunakan bahasa Indonesia beraksen Inggris. Wening bukan pakar bahasa, tetapi aksen Inggris lelaki itu memang terasa janggal. Setiap kata diberi penekanan berat pada huruf vokal, terutama 'o' dari 'tolong' yang berasal dari suara dalam, dan mempunyai 't' yang tegas. Berlawanan dengan itu, 't' pada 'diterima' justru lebih terdengar seperti 'decherima'. Jika Wening boleh mengibaratkan dengan aksen Jawa, maka aksen Inggris kental lelaki itu pantas disebut ... medok. Wening yakin di Barat sana pasti ada jenis logat Inggris medok.
Namun, lelaki itu mampu mengucapkan 'Wening' dengan bersih dan tepat, jadi Wening tersenyum lagi.
Seperti biasa, bingkisan itu berisi satu barang dan selembar surat kecil. Kali ini Wening menemukan sebuah gelang batu hijau pupus. Saat terkena cahaya, potongan batu-batu itu memantulkan kemilau kecil yang berkelip. Satu lagi perhiasan menawan yang tidak Wening tahu berapa harganya.
Wening menaruh gelang itu kembali, mengambil suratnya, dan membaca baris pertama yang tertulis di sana dalam hati.
💌
Kalau di MBAK ada Sri yang bisa English tapi pronunciation Jawa medok, maka di sini kita punya mas-mas misterius yang ngomong Indonesia dengan pronunciation English medok (kata Wening, wkwk).
Medoknya gimana? Emphasise (penekanan) huruf vokal sana-sini. Suka menghilangkan 'r' di akhir kata. Suka meleburkan 2 konsonan, tapi di beberapa konsonan tertentu malah kuat. Sengau, suaranya keluar dari langit-langit mulut. Kadang malah kayak kumur-kumur.
Makhraj macam apa ini, Dik Wening pusing.
Untuk gambaran lebih jelas logat si mas-mas ini, bisa dengarkan Benedict Curcuma dari serial Sherlock Holmes, atau serial Hawi Potah.
Bayangkan dia ngomong Indonesia, gimana Dik Wening gak yang ... "Pelan-pelan pak sopir astagfirullah ambulans Nabi Adam."
Tapi memangnya mas-mas itu sudah sunat kah?
Malang, 10 Juni 2023.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top