3. Keputusan Sera
“Sayang, kenapa Sera tidak kamu larang pergi? Ini sudah malam,” ujar Joya pada suaminya. Tuan Mus diam saja, lalu berjalan mendekati ranjang tempat istrinya terbaring lemah. “Aku sangat lelah, Joya. Rasanya aku tidak sanggup harus bekerja hanya untuk bayar utang,” ujar Tuan Mus dengan suara berbisik. Joya terdiam, lalu dengan tubuh lemahnya, Joya mengambil tangan suaminya, mengecupnya dengan hikmat.
“Maafkan, ini semua karena aku,” ujar Joya dengan air mata yang sudah tumpah ruah.
“Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Anak itu tidak akan pernah mengerti dan selalu saja egois. Dia tidak pernah ingat, saat dia sakit, saat pakaiannya kotor dan harus dicuci, saat dia harus operasi ….”
“Sudah, jangan diungkit! Saya akan sembuh dan membantu kamu untuk membayar utang kita. Biarkan Sera sekolah dengan tenang. Lihat, betapa ia perhatian pada adiknya! Sera hanya butuh waktu lebih panjang saja untuk bisa menerima saya sebagai ibu sambungnya.” Joya tersenyum begitu hangat pada suaminya sambil mengusap rambut lelaki itu yang sudah mulai memutih.
“Kenapa kamu tidak mandi saja? malam ini aku ingin tidur memelukmu dan tidak mau terganggu dengan bau tembakau yang meenmpel pada baju dan juga tubuhmu,” ujar Joya sambil mendorong tubuh besar sang suami menjauh.
Sera mempercepat langkahnya menuju rumah Amanda. Yah, hanya gadis itulah yang mungkin saat ini bisa membantunya dalam kesulitan ekonomi. Semoga saja Manda belum berangkat ke club Nyonya Flora. Kota kecil Ojai yang terletak di Ventura Country adalah kota kecil yang cantik dan damai. Hiruk-pikuk kendaran bermotor tidak terlalu ramai sehingga kota ini cukup dikenal dengan ketenangannya. Bila akhir pekan tiba, penduduk Los Angeles pasti menjadikan Kota Ojai sebagai salah satu destinasi untuk berlibur. Besok adalah akhir pekan dan ini saat yang tepat untuk gadis cantik seperti dirinya menerima tawaran dari temannya.
Kakinya melambat saat memasuki pekarang rumah Manda yang asri. Rumput hijau sedikit basah berada di bawah kakinya, membuat jalannya semakin melambat. Hal bodoh yang ia lakukan saat ini adalah ia mengenakan celana pendek berwarna putih. Tentu saja Sera tidak ingin cipratan air mengotori pakaiannya.
Lampu di rumah Amanda masih menyala dengan terang. Ia yakin Amanda masih di dalam. Sera berusaha mengatur napasnya berulangkali untuk mengusir rasa gugup yang tiba-tiba mendera. Tangannya mengepal sipa untuk mengetuk pintu.
Cklek
“Ya ampun, kamu mengagetkanku, Manda,” seru Sera sambil mengusap dadanya yang terlonjak saat tiba-tiba saja Manda sudah membuka pintu rumahnya. Gadis itu tertawa melihat ekspresi kaget Sera.
“Kau tahu, aku seperti punya insting yang mengatakan bahwa malam ini kau akan mengunjungiku dan lihatlah, aku benar!” Amanda tampak sangat senang dengan kehadiran Sera. Gadis itu membuka lebar pintu rumahnya memberikan ruang agar Sera bisa segera masuk. Sebelum menutup pintu rumahnya, Amanda menyempatkan diri untuk memeriksa keadaan sekitar rumahnya dengan menolh ke kanan dan ke kiri.
Blam!
Pintu tertutup rapat dan Amanda berjalan sambil menarik Sera untuk duduk di kursi mini bar.
“Apa di rumahmu tidak ada orang?” tanya Sera sambil mengedarkan pandangannya ke sana-kemari. Amanda menuangkan jus jeruk ke dalam gelas tinggi, lalu ia berikan pada Sera.
“Minumlah! Paling tidak bibir padatmu itu harus sedikit manis saat berbicara nanti.” Manda mengangkat gelas, sebagai kode cheers. Ia tersenyum sangat senang. Sera masih belum mengeluarkan kata-kata apapun. Bibirnya masih saja bungkam, sambil terus bertanya pada dirinya sendiri. Apakah yang dilakukannya ini sudah benar? Apakah nanti tidak akan apa-apa?
“Kau tahu apa yang membuatmu tampak lemah? Yaitu terlalu banyak berpikir. Ayolah, Sera. Ini pasti akan sangat mengasikkan. Kau tahu, aku dapat hadiah laptop terbaru dari teman bincangku. Yah, walau sesekali ia mencium bibirku hingga membengkak, tapi aku tidak masalah.” Amanda menceritakan itu seakan tanpa beban. Sera tersenyum canggung sambil menggigit bibirnya. Sudah sampai di sini dan dia tidak akan mundur.
“Baiklah.” Sera mengangkat gelas jus itu, lalu meneguknya sampai habis. Benar seperti yang dikatakan Amanda, jika ia terlalu banyak berpikir, maka orang tuanya akan semakin sering berutang pada si Tuan rentenir Eras.
Amanda meminjamkan dressnya pada Sera, karena tidak mungkin masuk ke club dengan celana pendek, bisa-bisa langsung dijadikan santapan para lelaki hidung belang di sana. sera bercermin dan sangat takjub dengan penampilannya saat ini. Apakah ini dirinya? Rambut panjang hitamnya begitu sanga mempesona setelah dirapikan oleh Manda. Hiasan pada wajahnya juga sangat tipis, sehingga riasan itu nampak natural. Bibirnya yang kering kerontang bak bulu domba, kini sedikit basah dan berwarna. Manda mengoleskan tipis madu pada bibirnya, lalu dibiarkan kering sebentar sebelum diberi pemerah bibir berwarna merah muda.
“Kamu cantik sekali, Sera. Aku yakin, malam ini akan banyak lelaki yang ingin berbincang denganmu.” Manda merasa puas dengan cipta karyanya merias Sera. Tikus kampung menjadi rubah betina yang sangat mempesona.
Pandangan Nyonya Flora membuat Sera benar-benar kekurangan oksigen. Tajam dan begitu jeli memperhatikan dirinya dari ujung rambut sampai ujung sepatu flat yang ia kenakan. Tangan wanita setengah baya itu bertumpu pada lengan kursi, dengan jari telunjuk bermain di bibirnya.
“Apakah dia sangat miskin sampai-sampai dia harus meminjam semua pakaianmu?” tanya Nyonya Flora pada Manda yang tengah berdiri di sampingnya. Sedangkan Sera berdiri mematung di depan kedua wanita itu.
“Aku tidak mungkin membawanya bermain ke tempat ini, jika dia mampu membeli baju sepertiku, Nyonya. Kau tahu’kan maksudku?” Manda memutar bola mata malasnya. Nyonya Flora takkan banyak protes, Manda tahu itu, karena Manda adalah salah satu gadis yang menyumbangkan begitu banyak pada clubnya, walau hanya sekedar berbicara dan yah … saling raba mungkin. Sera masih saja bungkam sambil meremas jari-jemarinya sendiri. Kepalanya masih menunduk, tidak berani untuk melihat tatapan tajam Nyonya Flora.
“Baiklah. Selamat bergabung di Vellos. Ada tamu yang sepertinya cocok untuk pendatang baru sepertimu. Tunggu, kamu masih perawan, bukan?” tanya Nyonya Flora saat berdiri begitu denkat dengan Sera. Gadis itu mengangguk kaku. Tawa renyah dari wanita bernama Flora terdengar sangat riang. Sera menelan salivanya. Apakah ini bagian dari ancaman?
“Ini, pakailah!” Nyonya Flora memberikan topeng pada Sera dan membantu wanita itu memakainya dengan cepat. “Ini juga.” Nyonya Flora memakaikan jam tangan pada pergelangan ta ngan kurus Sera.
“A-apa ini, Nyonya?” tanya Sera gugup bercampur tak paham.
“Semua tamu tidak diperkenankan untuk melihat wajah asli wanita penghibur di sini. Mereka juga mengenakan topeng yang sama. Aku tidak mau sampai Sherif Frans menanyaiku dengan cerewet saat tahu aku memperkerjakan siswi seperti kalian. Bersiaplah. Kamu juga Amanda. Anak muda yang kemarn datang lagi dan sepertinya ia ingin kembali membuat bibirmu bengkak,” ujar Nyonya Flora sambil tertawa renyah.
“Jam di tanganmu ada tombol merahnya. Jika tamu nanti berani meminta lebih dari ciuman, kamu cukup tekan saja tombolnya, maka nanti akan ada yang datang menyelamatkanmu. Semua tamu di sini sudah paham aturan Vellos. Selamat bekerja dan semoga tamu kita puas dengan anak-anak menggemaskan seperti kalian berdua.”
“T-terima kasih atas kebaikan Nyonya,” ucap Sera yang terdengar begitu formal. Amanda sampai menutup mulut menahan tawanya agar tidak pecah . Sera benar-benar sangat polos. Tidak mungkin menyerahkan diri ke serigala adalah sebuah kebaikan sehingga wajar saat mengucapkan terima kasih.
“Sebelah sini Nona ….”
“Sera,” jawab Sera pada pelayan lelaki yang mengantarnya ke lorong sebelah kanan. Sedangkan Amanda berada di lorong kiri.
Gadis itu merasa bagai tengah berjalan di atas kutub es, beku dan tak berasa apapun. Ia sendiri ragu apakah saat ini kakinya menapak tanah dengan benar, atau sedang terbang seperti hantu? Mereka sampai di ujung lorong dengan pencahayaan begitu remang. Bau tembakau dan minuman beralkohol begitu menusuk hidungnya sehingga membuat perutnya sedikit tidak nyaman. Namun ia harus bertahan, tidak mungkin ia muntah di hari pertama ia bekerja, bukan?
“Selamat malam, Tuan. Nona Sera siap menemani Anda,” sapa ramah pelayan yang mengantarkan dirinya ke dalam sebuah ruangan private yang sama remangnya dengan pechayaan di lorong tadi. Sera berdiri mematung. Ia tidak yakin berjalan maju adalah pilihan yang benar, mau mundur apalagi, pasti sangat salah. Kepalanya menunduk dan hanya mampu melihat ujung sepatu pria yang begitu lancip bak sepatu Aladin.
“Halo, kenapa kamu masih mematung di situ? Kemarilah!” suara bariton yang begitu seksi di depannya membuat seluruh persendiannya seakan meleleh. Apakah lelaki ini pangeran Turki? atau mungkin anak bangsawan? Kenapa suaranya begitu indah?
“Sera, itu’kan namamu? Ayolah, sini temani aku berbincang. Tidak perlu takut,” kata lelaki itu lagi diikuti tawanya yang renyah. Sera memberanikan diri untuk berjalan beberapa langkah sampai tepat di depan tamunya.
“Di sini.” Sera merasa tubuhnya melayang dan jatuh di pangkuan lelaki itu. Gadis itu yakin sekali jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa saat. Tangan kekar pria itu masih berada di pinggangnya dan membuat Sera tidak bisa untuk menahan gugup.
“T-tuan … a-apakah duduk di p-pangkuan t-tamu, s-sudah s-sesuai prosedur yang d-diperbolehkan?” lelaki itu mengerutkan kening dengan dalam saat mendengar ucapan Sera yang terputus-putus. “Apakah kamu gagap?”
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top