7. Rasa yang terungkap
Assalamu'alaikum sahabat pembaca ☺
Alhamdulillah aku bawa part baru nih.
Maaf ya ngaret banget 😣
Entah knpa mood nulis akhir-akhir ini down 😭
Ada yang mau nyemangatin nggak nih? 🤓🤓🤓
Udah ah yuk
Jangan lupa vote dulu yak.
Tekan bintang di pojok kiri bawah
Happy reading
🌼🌼🌼🌼🌼🌼💝🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Pantaskah cinta ini datang lagi disaat ada kesempatan? Padahal ia belum pernah tumbuh mekar dan telah lama tenggelam, bahkan menghilang.
(Suara hati Raihan 😄)
🌻🌻🌻🌻🌻🌻💚🌻🌻🌻🌻🌻🌻
Raihan yang merasa tak ada urusan lagi, berniat akan masuk kembali ke mobilnya.
Namun, laki-laki yang masih berseragam SMA itu tak tinggal diam. Ia memegang pundak Raihan dan dengan cepat membalik tubuh Raihan. Emosinya memuncak akibat tersinggung dengan omongan Raihan.
Bugh, sebuah bogeman mendarat tepat di pipi Raihan dengan keras.
Pipi Raihan seketika memerah, ia kembali bangkit dan langsung menangkis tangan yang melayangkan bogeman kedua terhadap dirinya.
Raihan mengepalkan tangan kanannya lalu dengan gesit hendak memukul balik laki-laki di hadapannya itu. Tanggannya sudah menggenggam erat, emosinya tanpak tersulut.
"Aaa!!! Pak Satpam tolong!"
Suara jeritan dari wanita di sampingnya terdengar memekik, membuat Raihan sadar akan emosi yang telah menguasai dirinya.
Tangannya sontak terhenti, padahal sedikit lagi tangan itu akan berhasil menyentuh pipi laki-laki yang memejamkan mata.
Raihan langsung menghela napas dalam. Kemudian tangannya yang telah mengepal tadi, perlahan mengurai.
"Astaghfirullohal'adhzim," ucapnya lirih seraya menundukkan kepala.
"Huffft, hampir saja." Tangan Raihan mengelus dadanya sendiri, kemudian ia kembali membuka mata yang tadi sempat terpejam. Ia teringat sebuah hadits yang bunyinya : وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
Artinya : "Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah."
(HR. Ahmad)
"Ada apa ini, Dek?" ucap seorang laki-laki gagah dengan seragam security-nya.
"Ini, Pak. Laki-laki songong ini mau mukul teman saya," ucap Aisyah menggebu, mengadukan suatu hal yang belum sempat Raihan lakukan.
Raihan menatap Aisyah dengan kesal. Kembali ia menghela napas dalam, kemudian berucap, "Maaf, Pak. Dia yang tadi mukul saya duluan. Ini buktinya." Raihan langsung menunjukkan pipinya yang tampak makin memar.
"Tapi dia yang cari gara-gara duluan, Pak," ujar laki-laki di samping Aisyah itu tak terima.
"Iya, Pak. Dia yang hampir nabrak kita tadi," sambung Aisyah lagi.
"Eh, enak aja, kalian yang nyebrangnya sembarangan," tuding Raihan.
Pak satpam yang pusing dengan perdebatan mereka. Langsung menjerit. "Stooop!"
Semuanya langsung terdiam. "Kalau kalian masih mau meneruskan debat dan tak ada yang mau mengalah, mari ikut saya ke kantor."
"Oke, oke, Pak. Saya yang mengalah, soalnya Saya buru-buru ini mau kerja," ujar Raihan lalu menyalami Pak satpam itu, kemudian segera berlalu dari hadapan mereka tanpa pedulikan senyuman picik--ejekan dari Aisyah dan pacarnya itu.
---***---
Raihan menengok jam di pergelangan tangan, sebelum keluar dari mobilnya.
Pukul 10 lewat 15 menit, mulutnya sedikit berdecak kesal.
Gara-gara Aisyah, aku makin siang sampai kantor, batinnya
Buru-buru ia turun dengan tangannya yang kini telah menenteng tas kerja.
Kantor nampak sepi, jam segini pasti para karyawan sibuk masing-masing dengan pekerjaannya.
"Bang Rai. Eh maksudnya Pak Raihan," ucap seorang wanita berjilbab yang berjalan semakin dekat ke arahnya.
"Eh kamu, Din."
"Loh! itu kenapa pipi Bang Rai kok lebam?" tanya Dini, tampak panik saat ia berdiri tepat di hadapan Raihan dan melihat pipi Raihan yang memar.
Sontak tangan Raihan langsung memegang pipinya yang memang cukup nyeri itu.
"Biasalah, ada sedikit insiden tadi di jalan. Aku masuk ke ruangan dulu ya. Sudah telat banget, nih."
"Tapi, Bang. Nggak dikompres dulu, tuh luka?"
"Nggak usah, Din. Memar dikit doang gini kok."
"Eits, nggak boleh gitu dong, Bang. Nanti biar Dini kompres ya jam istirahat siang."
"Nggak ada penolakan," ujar Dini lagi saat terlihat Raihan akan membantah lagi.
Raihan akhirnya hanya bisa menghela napas pasrah. Sahabatnya yang satu ini kalau sudah berkata demikian, tak bisa dibantah lagi. "Nanti bawakan saja ke ruanganku, biar aku kompres sendiri," ucapnya tegas dan segera berlalu meninggalkan Dini yang masih terpaku.
"Aish, susah banget sih dideketin dan diperhatiin," ujar Dini lirih dan tampak sedikit kesal
---***---
"Thank's ya, Din," ujar Raihan saat Dini meletakkan mangkok yang berisi air es dan sehelai handuk.
"Beneran nih, Bang. Nggak mau Dini kompresin."
"Nggak usah Dini. Makasih, nggak baik kalau kita berduaan di ruangan ini lama-lama," ujar Raihan lalu duduk dan mulai mengompres pipinya yang makin tampak lebam itu.
Dini yang sangat paham maksud ucapan Raihan, akhirnya segera pamit diri. Raihan memang tipikel cowok yang pandai menjaga dirinya sendiri dan begitu menghormati wanita.
Aturan agama begitu ia junjung tinggi untuk berusaha terus diterapkan kapan pun dan di mana pun itu.
Apalagi jika berkenaan dengan lawan jenis, ia akan benar-benar membatasi interaksinya. Karena ia tahu, wanita adalah fitnah terbesar bagi laki-laki.
Raihan berulang kali meringis nyeri, saat handuk basah itu menempel di pipinya untuk kesekian kalinya.
Sejenak, tatapannya lurus ke depan. Mengingat kejadian tadi yang membuat ia kesal kembali.
"Dasar cewek cerewet kayak donal bebek," gerutu Raihan yang langsung membekap mulutnya sendiri.
Entah mengapa, setiap mengingat Aisyah bawaannya selalu kesal. Bertemu dengan gadis itu selalu menghadirkan masalah untuknya.
Namun, rasa bersalah tiba-tiba mengetuk pintu hatinya saat mengingat kejadian tempo lalu yang ia telah kelewatan saat mencacinya.
Astaghfirullohal'adhim. Kayaknya kalau ketemu Aisyah. Aku harus pandai-pandai nih ngatur emosi. Kunci aja nih mulut, biar nggak keluar kata-kata yang seharusnya tak terlontar.
----***----
Tepat pukul 4 lebih 30 menit, mobil Raihan memasuki area parkir rumah sakit. Kali ini ia tak datang seorang diri untuk menjenguk Alvin.
Ia datang bersama teman-teman kantornya langsung sepulang kantor tadi.
Ruang rawat Alvin yang tadinya sunyi senyap berubah drastis. Gelak tawa akibat lontaran canda dari mereka berlima memenuhi ruangan. Untung saja ruangan ini hanya dihuni olehnya, ranjang sebelah yang seharusnya menjadi teman rawat alvin masih kosong.
"Makanya, Lo jangan sok-sokan makan pedas yang tingkat super kayak gitu. Sudah terjamin itu cari penyakit," ujar Dinda yang duduk di kursi sebelah kiri ranjang, tempat Alvin kini berbaring.
"Nah bener tuh, jadi sekarang siapa yang rugi? Lo sendiri kan? Gue aja nih yang penyuka pedas. Paling tahan tingkat 20. Lah ini, lo tingkat 30. Buset dah. Hebat juga lo," celetuk Udin, salah satu teman karyawan yang sama bagiannya dengan Alvin.
"Iya, Tong. Jadi nggak ketemu pujaan hati kan tadi." Semua mata kini tertuju ke arah Ali, penasaran dengan apa yang baru saja ia lontarkan.
Alvin tampak mendelik, ia tak mau rahasianya terbongkar.
"Memang siapa tuh pujaan hatinya Alvin?" tanya Dini yang tak mampu menahan rasa penasaran.
"Mbok Juminem. Hahahaha," jawab Ali lalu dengan tawanya.
"Oooh yang katanya janda bercucu lima ya?" sambung Udin yang membuat semuanya kompak tertawa.
Alvin yang ikut tertawa tampak meringis seraya mengusap perutnya.
"Orang makan tuh, jangan hanya cari yang halal. Tapi juga yang thoyyib," ujar Raihan kemudian saat tawa mereka reda.
"Apaan tuh thoyyib? bang thoyyib yang nggak pulang tiga kali lebaran ya?"
"Hahahaha."
"Aish, dasar lu. Thoyyib itu artinya Baik. iya kan Bang?" jawab Dinda yang mendapat anggukan dari Raihan.
"Jadi baiknya itu termasuk baik untuk kesehatan kita."
"Bentar, ya. Aku ke toilet dulu," pamit Raihan lalu segera beranjak.
***
"Bang Rai, ke kantin dulu, yuk!" ajak Dini yang memang sengaja ia tunggu laki-laki itu keluar dari toilet.
Raihan yang tampak sedikit terkesiap mengerutkan keningnya. Kenapa tiba-tiba nih anak ngajakin ke kantin?
batinnya.
"Ada yang mau Dini omongin bentar, Bang. Penting."
Mau tak mau akhirnya Raihan menyetujui ajakan wanita berkerudung warna cokelat itu.
Setibanya di kantin, Dini memesankan minum untuk dirinya dan Raihan. Setelah itu duduk di seberang kursi yang diduduki Raihan.
"Bang, menurut Abang perjodohan itu gimana? Setuju nggak, sih? Jadi kayak zaman siti nurbaya, kan ya?"
Raihan yang sejak tadi fokus dengan benda pipih di tangannya itu langsung mendongak. "Kenapa kamu ini tiba-tiba nanyain soal perjodohan?"
Apa Dini tau soal perjodohan yang diajukan Pak Ustaz tempo lalu?batinnya.
"Jawab dong, Bang. Kok malah nanya balik, sih?"
"Hmmm oke-oke. Perjodohan ya?"
Dini mengangguk.
"Ya nggak apa-apa. Perjodohan itu bukan sebuah masalah juga, kan. Selama kedua belah pihak sama-sama setuju, ya tinggal lanjut nikah aja. Fine-fine aja, tuh."
"Kalau pihak yang satunya nggak mau gimana?"
"Yaudah nggak usah dilanjutin. Simpel kan."
"Tapi masalahnya orang tuaku maksa banget," ucap Dini mulai merengek. Ia langsung menutup mulutnya saat menyadari lisannya keceplosan.
"Oooohh, jadi ceritanya kamu mau dijodohin?"
"Eh eh itu teman aku Bang yang mau dijodohin," ucap Dini lalu cengengesan.
Raihan tampak menggeleg-gelengkan kepalanya. " Dini, Dini, kamu nggak bakat bohongin aku, Din."
"Hehe."
"Terus gimana dong, Bang. Dini nggak mau dijodohin sama laki-laki itu."
"Kenapa nggak mau?"
"Dini benci sama dia."
"Emang kamu kenal sama dia?"
Dini mengangguk dan berucap, "Iya. Dia Farhan, Bang."
"Mantan pacar kamu?"
Dini kembali mengangguk seraya menunduk, tangannya memilin ujung jilbab sejak tadi.
"Dini masih tak habis pikir, setelah beberapa bulan ini laki-laki itu menghilang tanpa kabar dan langsung mutusin aku tanpa sebab apa pun. Dia kemarin datang tiba-tiba dengan dalih perjodohan ini. Bukankah hati yang telah terlanjur mencinta tak mudah berbalik kayak tempe yang digoreng, tinggal balik biar nggak gosong.Tapi butuh berbagai upaya, membalik hati yang cinta menjadi tak cinta, susah banget moven on-nya. Lagian hati Dini saat ini sudah beralih," ucapnya malu-malu dia terkekeh sendiri mengingat ungkapan perumpamaannya yang mungkin tak nyambung.
Raihan sempat ikut terkekeh sebelum mengerutkan kening, penasaran dengan ucapan wanita yang dulu sempat mengetuk hatinya itu. Siapakah gerangan laki-laki yang ia cintai saat ini.
Ya, awal perjumpaan mereka dulu. Dini sosok wanita yang cantik, baik dan pemalu itu mampu mengetuk hati Raihan.
Sempat juga rasa simpati dan suka menyergap hatinya.
Namun, itu semua tidak bertahan lama, karena setelah beberapa pekan kenal dengannya. Sebuah fakta Raihan ketahui, jika Dini mempunyai pacar. Dan fakta itu langsung memusnahkan segala rasa yang mengusik hatinya. Hingga lambat laun, rasa itu musnah tak tersisa dan yang ada saat ini hanyalah sebuah rasa sayang seperti kepada adik sendiri.
"Kenapa kamu nggak bilang terus terang sama orang tua kamu?"
"Aku takut, Bang. Karena orang tuaku sudah tau kalau Farhan itu pernah pacaran sama aku dan mereka pikir aku masih mencintainya. Selain itu, Aku juga takut, kalau laki-laki yang saat ini kucintai kenyataannya tak mempunyai rasa yang sama. Percuma dong, semisal nanti aku perjuangin, ternyata dia nggak cinta sama aku."
"Memangnya siapa laki-laki yang kamu cintai itu?"
"Bang Raihan. Ups," Tangan Dini sontak menutup mulutnya.
Raihan terdiam menatap perempuan di hadapannya yang kini langsung menundukkan kepala.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Bagaimana dengan cerita ini?
Maafin ya kalau absurd. 😭
Jangan lupa baca Alquran tiap hari ya. 😉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top