6. Laki-laki Idaman

Assalamu'alaikum sahabat pembaca ☺
Alhamdulillah aku bawa part baru nih.
Maaf ya agak ngaret dikit.
Nggak molor amat kan ya.😁

Jangan lupa vote dulu yak.
Tekan bintang di pojok kiri bawah

Happy reading

🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎀🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎗
Apapun kondisinya, berusahalah dan tetaplah mencari jalan halal.
Jangan berputus asa dan mengandalkan khilaf.

(BANG RAIHAN)

🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎀🎗🎗🎗🎗🎗🎗

Sreeeeeeng
Bunyi benda yang masuk penggorengan cukup nyaring terdengar sampai ke dalam ruang kamar Zainab yang memang dekat dengan dapur.

Zainab yang baru saja usai melaksankan salat Duha, segera menghampiri pelaku yang pasti sudah berlaga di dapurnya.

"Shobahul khoir, Ummi," ucap laki-laki yang menyadari kedatangan wanita yang melahirkannya itu.

"Zainab tersenyum, Shobahun nur, Nak. Masak apa kamu pagi ini? Kok nggak nungguin Ummi dulu."

"Hehe, masak tempe goreng plus nasi goreng kesukaan Ummi, pakek sayur dan orek-orek telur." Raihan menoleh sebentar, lalu kembali melihat ke arah penggorengan--engecek tempenya agar tak gosong.

"Ummi istirahat aja, biar Raihan masak sendiri pagi ini. Katanya semalam pusing, kan?" ujarnya saat melihat sang ummi mendekatinya dan hendak meraih pisau.

"Itu kan semalam, Nak. Sekarang Ummi udah sehat kok," ucapnya.

Raihan hanya bisa menghela napas, melihat umminya tak akan bisa dicegah lagi, jika sudah terlanjur memegang pisau dan langsung mengiris tipis bawang merah di hadapannya.

"Biar Raihan yang goreng ya, Ummiku Sayang," ucap Raihan berusaha lagi mencegah dengan lembut tangan Zainab yang hendak mengambil spatula.

Zainab tak bisa membantah lagi, ia tersenyum lalu mengangguk. Ia pasrah saja saat Raihan menuntunnya untuk duduk di kursi dekat meja makan.

Zainab tampak menghela napas, kemudian menatap putra bungsunya itu kini berkutat dengan lihai.

Memang, sejak datang dari Kairo. Raihan sangat banyak perubahan, kemandirian begitu tampak darinya.
Apalagi kasih sayang dan perhatian terhadap umminya, tampak begitu tercurah penuh ketulusan.

Beberapa menit berlalu, Raihan membawa dua piring dan meletakkannya di meja.
Ia duduk di kursi samping Zainab.

"Coba Ummi cicipin nasi goreng buatan, Rai. Pasti enak," ujarnya dengan bangga seraya tangannya menyodorkan piring yang telah berisi nasi goreng dan satu mangkok kecil, untuk umminya cuci tangan.

"Bismillahirrohmanirrohim." Kalimat basmalah tak lupa Zainab lafalkan sebelum menyuapkan nasi itu ke mulutnya. Ia kunyah perlahan dalam geming, tampak dahinya berkerut dan berhenti mengunyah.

Raihan yang sejak tadi menatap sang ummi heran. "Kenapa Mi, nggak enak ya?" tanya Raihan akhirnya melihat ekspresi aneh dari Umminya.

"Hmmm, enaaaakkk banget," ucap Zainab langsung menyodorkan dua jempolnya sekaligus.

Senyum dari bibir Raihan langsung merekah, merasa senang jika masakannya disukai sang ummi. Kalimat tahmid akhirnya terucap lirih dari lisannya.

Dalam hening keduanya menyantap sarapan pagi bersama. Momen indah yang hampir setiap pagi keduanya lewati bersama, kecuali jika Raihan sedang keluar kota.

"Umur kamu sekarang berapa, Nak?" tanya Zainab begitu usai mencuci tangannya.

Raihan yang baru saja usai minum langsung menatap Umminya. "Dua puluh sembilan, Mi. Kenapa?" tanyanya heran. Tumben-tumbenan nih Umminya menanyakan umurnya.

"Nggak terasa ya, kamu udah umur 29 aja. Berarti Ummi makin tua ini," ucap Zainab lalu terkekeh.

"Siapa bilang? Umminya Raihan tetap cantik gini kok."

"Alah, kamu sok gombalin Ummi, kulit Ummi udah keriput gini kok dibilang cantik." Zainab memegang kulit tangannya sendiri dan memperlihatkannya kepada sang anak.

Raihan terkekeh melihat tingkah sang ummi lalu meraih tangan beliau. "Meski keriput, tapi dari tangan inilah banyak mengalir pahala untuk Ummi. Tangan ini yang telah merawat Raihan, dari Raihan masih bayi sampai segede sekarang. Tangan ini yang selalu mengajari Raihan untuk banyak bersedekah dan berbuat kebaikan. Tangan ini pula yang terus menengadah saat mendoakan kebaikan buat Raihan kan, Mi?" Raihan tampak berkaca-kaca dengan ucapannya sendiri.

Ia begitu sayang kepada Ummimya, telah banyak sekali yang telah Umminya lakukan untuknya. Namun, apa balasannya? Ia tak akan pernah mampu membalas segala kebaikan sang ummi meski ia selalu berusaha berbakti kepadanya.

Ia sadar, kasih sayang ibu sepanjang masa, tulus dan ikhlas tanpa pamrih sedikit pun. Ketulusan dan keikhlasan inilah yang paling sulit untuk bisa dibalas oleh kita sebagai anak.

"Iya, Sayang. Semua itu Ummi lakukan karena Ummi sayang sama anak-anak Ummi. Apalagi kamu ini, udah usia hampir kepala tiga. Belum juga memberi Ummi seorang menantu," ucap Zainab dengan sengaja menggoda sang anak agar tak ikut terharu dengan apa yang tadi diucapkan Raihan.

"Aish. Ummi nih, yang diomongin apa, kok nyambarnya ke menantu," Raihan tampak sedikit kesal, tetapi bibirnya tetap tersenyum menatap Zainab.

"Hehehe, memangnya kamu nggak ada niatan buat nikah dalam waktu dekat ini, Nak? Mau nunggu umur berapa?" Zainab makin jadi menggoda sang anak, membuat Raihan bangkit setelah mengambil dua piring yang sudah ia tumpuk.

"Kalau hati Raihan sudah menemukan yang cocok. Pasti Raihan nikah kok, Mi," ucapnya sebelum mengambil langkah menuju tempat cuci piring yang masih dalam satu ruangan itu.

"Memangnya kamu mau cari yang seperti apa? Kamu ini udah ganteng, kerjaan udah tetap, saleh lagi. Ummi yakin, diluaran sana pasti banyak kan cewek yang ngejar-ngejar kamu?" Zainab melanjutkan introgasinya kepada sang anak. Tangannya mulai bergerak mengambil buah apel yang tak jauh dari hadapannya.

"Hehe, emang sih, Mi. Ada beberapa cewek yang deketin Raihan. Tapi hati Raihan nggak ada getaran sedikit pun. Mau gimana lagi coba? Cinta kan nggak bisa dipaksain, Mi," ucap Raihan sembari menyalakan kran untuk membilas piring yang sudah ia sabun dengan bersih.

"Iya-iya. Ummi nggak maksa kok. Cuman nih, ya. Ummi kasih tau, cari jodoh jangan nunggu cinta datang dulu. Yang penting dia wanita salihah, akhlaknya baik, ibadahnya rajin. Coba deketin, ta'aruf. Siapa tau aja kan, nanti akan tumbuh itu benih-benih cinta."

"Ecieeee, so sweet banget sih Ummi. Pengalaman sama Abi dulu gitu ya? Hayoo ngaku," tanggap Raihan sekembalinya ia dari mencuci piring langsung duduk di hadapan umminya.

Zainab yang baru saja mengunyah apel di mulutnya sempat terpaku sejenak.

"Tuh kan, muka Ummi memerah, ngaku aja deh, Mi." Raihan tampak tak menyerah menggoda sang ibunya yang kalah telak.

Tok tok tok ... tok tok tok
"Assalamu'alaikum, Bang Rai."

Suara ketokan pintu yang begitu menggebu terdengar.
"Wa'alaikumsalam warohmatulloh," ucap keduanya serempak.

"Itu suara Maira, kan?"

"Iya, Rai. Samperin, gih. Kok kayaknya ada yang nggak beres."
Raihan mengangguk lalu beranjak, berjalan agak cepat menuju pintu.

Begitu pintu terbuka, terlihat wajah Maira panik dan sedikit pucat.
"Ada apa, Mai?" tanya Raihan penasaran.

"Bang Rai, i-itu tolongin Mas Alvin pingsan," kata Humaira terlihat begitu bingung sampai omongannya sedikit terbata.

Raihan tampak terkejut, detik kemudian dia langsung menganggukkan kepala dan mengikuti langkah perempuan yang merupakan Adik Alvin itu.

---***---

Setibanya di rumah sakit, Alvin langsung dibawa ke ruang IGD.
Raihan dan Maira menunggu di bangku yang tak jauh dari pintu ruangan itu.

"Kok bisa sih, Mir. Alvin tiba-tiba pingsan?"

"Sepertinya terlalu lemas dan kurang cairan deh, Bang. Dari semalam bolak balik BE-A-BE. Katanya habis makan ayam geprek level 30 waktu pulang kerja. padahal udah minum obat, tapi tetap aja diarenya nggak berhenti."

"Ha !!! Ya ampun, tuh anak. Nekat banget. Udah tau kalau kepedesan suka sakit perut. Ini malah cari penyakit."

"Katanya taruhan sama temannya, Bang. Biar dapat duit."

"Astaghfirullahal'adhzim," ujar Raihan sembari meraup mukanya. Tak habis pikir saja, bisa-bisanya si Alvin yang paham agama. Untuk apa ikut taruhan, itu kan sama aja dengan judi? Mana lagi ini kan dholim sama dirinya sendiri dengan nyakitin diri sendiri.

Pintu ruang IGD pun terbuka, menampilkan sosok laki-laki berjas putih dengan stetoskop yang dipegang di tangannya.

"Gimana keadaan kakak saya, Dok?" tanya Maira yang lebih dulu sampai menghampiri sang dokter, Raihan ikut berdiri di belakang.

"Alhamdulillah. Pasien sudah sadar, tadi kondisinya sangat lemah akibat sangat kurang cairan. Jadi masih harus dirawat inap."

Kalimat tahmid kemudian terdengar dari lisan keduanya saat ucapan 'sadar' terucap dari lisan dokter itu.

"Aku heran aja sama kamu, kenapa nggak terus terang aja kalau lagi butuh duit. Kenapa harus dengan jalan haram kayak gitu?"

Raihan seakan masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Alvin. Padahal sudah jelas dalam Al Quran Allah Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan"
(QS. Al Maidah: 90)

"Iya-iya, Bos Bro, maafin. Gue khilaf," ucap Alvin yang kini telah dipindahkan di ruang rawat tampak menunduk dan merasa bersalah.

"Ngapain kamu minta maaf ke aku?kamu berdosa bukan sama aku, tapi sama Allah."

"Astaghfirullahal'adhzim. Ampuni hambamu ini ya Allah. Hamba benar-benar khilaf. Aamiin." Alvin langsung mengusap wajahnya usai berdoa.

Raihan hampir saja tertawa melihat tingkah Alvin yang seperti anak kecil saja menurutnya. Namun, ia tahan karena masih jengkel jika mengingat apa yang telah Alvin lakukan.

"Ya sudah aku pamit, harus buru-buru ke kantor, sudah siang banget ini," ujar Raihan setelah menengok jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka sembilan.

"Iya, Bro. Thanks banget, ya. Sorry udah ngerepotin."

Tanpa kata Raihan menyodorkan jempolnya seraya tersenyum.

"Ya udah. Abang pulang dulu, Mai. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan telepon Abang," ucap Raihan begitu ia keluar ruangan dan Maira mengikuti di belakangnya.

"Iya, Bang. Jazakallah khoir," ucap Maira tersenyum, terlihat binaran bahagia dan kelegaan dari manik matanya.

Ia begitu bersyukur bisa kenal dan dekat dengan laki-laki yang sangat baik seperti Raihan.
Ia menjawab salam Raihan dengan tatapan yang sama sekali tak lepas dari punggung Raihan yang akhirnya semakin menjauh.

---***---

Roda mobil yang dikemudi Raihan bergulir begitu cepat, jalanan lengang dan waktu yang semakin siang membuat Raihan sedikit terburu-buru untuk segera sampai di kantor.

Memang sih, dia tadi sudah izin telat dan menelepon Pak Ilyas.
Namun, sebagai atasan yang bertanggung jawab. Tetap saja ia merasa segan jika keterlambatannya semakin terlambat lagi jika ia tak bersegera tiba di kantor.

Tampak Raihan fokus, berhati-hati dalam berkendara tetap ia jadikan prinsip apa pun keadaannya saat mengemudi.

Sampai akhirnya di sebuah jalan.
Ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiittttt
Ia langsung menginjak rem dengan cepat, saat melihat seorang perempuan dan laki-laki bergandengan dengan santai dan seenaknya akan melintas di depannya.

Untung saja Raihan menginjak rem tepat waktu, ia hela napas lega saat melihat dua orang di depannya tak sampai tercium mobilnya.

Belum usai degupan jantungnya yang memompa cepat. Tiba-tiba terdengar bunyi ketokan yang membabi-buta di kaca pintu sampingnya.

Segera ia menoleh saat mendengar ocehan perempuan di luar mobilnya, seketika matanya terbuka lebar. Terkejut dengan apa yang ia lihat sekarang.

Ia membuka pintu lalu turun dari mobil.
"Hei ... turun lo! Kalau bawa mobil hati-hati dong. Main ngebut aja, emang ini jalanan punya nenek mo--"
Mulut perempuan ini langsung tertutup sempurna sana Raihan berdiri tepat di hadapannya.

"Kenapa? Kaget liat aku yang bawa mobil?"

"Hmmm Lo. Shhtt," ucap perempuan itu dan mengalihkan tudingannya seraya mengumpat kesal.

"Yang harusnya marah itu bukan kamu. Tapi saya, karena kamu dan--" Raihan menghentikkan ucapannya saat menoleh ke samping wanita itu berdiri seorang laki-laki.

"Cowok kamu ini menyebrang sembarangan," ujar Raihan dengan tenang menuding laki-laki yang sejak tadi diam itu mulai menatapnya garang.

"Kenapa? Memang faktanya gitu, kan? Untungnya Allah masih memberi kesempatan kalian untuk bertobat," ucap Raihan tegas, sesaat netranya mendapati tangan wanita dan laki-laki itu saling menggenggam.

Raihan yang merasa tak ada urusan lagi. Berniat akan masuk kembali ke mobilnya.
Tapi laki-laki yang masih berseragam SMA itu tak tinggal diam, ia memegang pundak Raihan dan dengan cepat membalik tubuh Raihan. Karena laki-laki itu merasa tersinggung dengan omongan Raihan.

Bugh ...
Sebuah bogeman mendarat tepat di pipi Raihan dengan keras.

.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.

Bagaimana dengan Part ini?
Terharu?
Nyebelin?
Baper?
Bikin tegang?

Ada yang tau siapa wanita dan laki-laki itu?
Penasaran nggak?

Ditunggu komennya ya 😊

Oh iya yang mau peluk salah satu karyaku yuk.
Harganya mumer lo ☺☺☺

Ada yg masih PO nih. 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top