3. Persahabatan

Assalamu'alaikum sahabat pembaca ☺
Part kali ini membahas persahabatan ya.

Kalian punya sahabat nggak?
Sahabat versi kalian seperti apa sih?

Hayuk yang makin penasaran sama cerita ini.
Komenin yang buaaaanyak ya.
Biar aku makin semangat Up nya. 😁

Buat pembaca baru, jangan lupa Follow ya 😉

Tekan bintang di pojokan bawah dulu yok sebelum baca. Biar gk kelupaan.🌟

Happy Reading

🐨🐨🐨🐨🐨🐨🐻🐨🐨🐨🐨🐨🐨🐨

Sahabat terbaik adalah mereka yang menunjukkanmu pada jalan kebaikan (maqalah)

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌱🌷🌷🌷🌷🌷

Sekitar pukul empat sore, kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya tampak padat merayap.
Begitulah yang dialami Raihan setiap harinya, berteman kesepian dengan sedikit frustasi karena harus menahan sabar untuk menunda waktu istirahat--melepas lelah.

Namun, untuk hari ini berbeda. Ia yang biasanya hanya seorang diri. Kali ini bersama kedua sahabatnya, Alvin dan Dini.
Alvin menemaninya duduk di samping kemudi, sedangkan Dini duduk di belakang.

"Mumpung kita bertiga pulang barengan, makan-makan dulu yok, Bos," ajak Alvin sembari menampakkan giginya menatap Raihan. Panggilan Bos selalu Alvin lontarkan saat ada maunya dari Raihan.

Saat mobil terhenti akibat mobil di depan juga berhenti, Raihan menoleh.
"Boleh, kamu yang traktir, kan?" ucapnya sambil tersenyum.

Alvin langsung melengos dan mendengus kesal, kemudian menoleh lagi.
"Tega banget dirimu padaku," ujarnya dengan muka melas dan nada merengek lebay penuh drama.

"Dasar, lu." Dini langsung melempar gulungan tisu di tangannya ke arah Alvin karena merasa geli saat Alvin mulai ber-akting penuh drama seperti itu.

Alvin yang mendapat serangan itu, langsung kelabakan menjinjing tisu yang mendarat di pangkuannya, dengan cepat membuangnya sembari berekspresi jijik ke arah Dini lagi.
"Idiiiihhh !!! Jorok banget sih lo, Din. Bekas ingus lo lempar ke gue."

Dini tertawa lalu melemparnya kembali. Tejadilah aksi saling lempar antara keduanya. Raihan hanya tersenyum melihat Alvin dan Dini. Ia pun kembali fokus mengemudi, saat melihat mobil di depannya mulai menelurusi jalanan sedikit cepat.

Belum juga usai aksi saling melemparnya. Tiba-tiba kaki Raihan menginjak gas mendadak.

Bugh, tubuh Alvin yang lumayan berisi itu tak bisa menyeimbangkan diri, sehingga terhantam pada dashboard mobil.

"Aduh, yang bener dong, Bro kalau nyetir," ucap Alvin bersungut-sungut menatap tajam ke arah Raihan.

"Hehe Sorry, Vin. Kasian kucingnya tuh nyebrang belum bisa caranya, main nyelonong aja," tudingnya ke arah hewan berkaki empat yang tampak lari ke seberang jalan itu.

"Hahaha syukurin lo, emang enak," cibir Dini setelah tawanya puas.

Canda tawa memang tak pernah terlewatkan saat ketiganya berkumpul seperti ini.
Persahabatan tiga serangkai yang terbentuk sejak Dini masuk kerja ini, memang selalu tampak keakraban dan keharmonisannya sejak dulu.

Dini yang memang orang baru saat itu, mempunyai karakter tak banyak cakap serta pemalu, agak kesulitan baginya mendapatkan teman di kantornya.

Beruntungnya sikap humoris Alvin yang awalnya sekedar iseng dengan berbagai kata banyolannya, bisa menghibur Dini dalam kesendiriannya. Jadilah ia berteman pertama kali dengan Alvin saat itu.

Berkat Alvin jualah sampai saat ini ia bisa dekat dan bersahabat dengan Raihan.
Padahal, dengan cewek-cewek lain di kantor. Tak ada satu pun yang bisa menarik Raihan untuk bisa akrab. Meski pada kenyataannya, tak sedikit cewek-cewek cantik yang mendekatinya sejak dulu.

Raihan yang cuek dan tegas serta memegang teguh prinsip agama, tak mudah luluh dengan rayuan gombal para cewek di sekitarnya. Apalagi hanya berbekal cantik fisik tanpa adanya balutan kecantikan akhlak, sama sekali ia enggan melirik.

---***---

15 menit berlalu.
Mobil yang dikemudi Raihan masuk area parkir kafe yang menjadi langganan ketiganya ketika jalan bareng kayak gini.

"Kalian duluan saja, ya. Aku mau ke toilet," ujar Raihan begitu ketiganya turun dari mobil menuju pintu kafe.

Alvin dan Dini mengangguk, meneruskan langkah memasuki kafe yang cukup ramai dengan pengunjungnya.

Usai dari toilet, Raihan mengambil langkah menyusul kedua sahabatnya tadi. Namun, baru saja kakinya melewati pintu kafe dan menyapa ramah seorang yang menyambut kedatangannya. Terdengar bunyi ponsel berdering, segera ia merogoh saku celananya dan memilih berdiri minggir di dekat pintu menghadap ke arah luar, sehingga ia bisa melihat pemandangan luar yang memang gedung kafe ini hanya terhalang oleh kaca yang menjulang cukup tinggi.

Belum juga obrolannya usai, rungunya mendengar suara ribut di belakang. Ia menoleh dan buru-buru mengusaikan obrolan, lalu dengan cepat ia menghampiri keributan yang terjadi.

"Maaf ada apa ini?" tanyanya membelah kerumunan itu, tak ada seorang pun yang menyahuti.

Ia sempat terkejut saat melihat seorang ibu-ibu yang berusaha menenangkan anaknya yang menangis cukup keras.
Belum juga caci maki dari seorang wanita remaja dengan lantang dan tanpa sopan santun kata-katanya mengalir, menuding-nuding kepada sang ibu paru bayah di depannya.

"Maaf ini sebenarnya ada apa, ya?" Raihan langsung berdiri di tengah-tengah keduanya dan menghadap ke arah ibu-ibu itu.

"Hei, Lo siapa? Jangan sok ikut campur deh!" teriak remaja itu memukul punggung Raihan.

Raihan yang merasa terpanggil langsung membalikkan badan.
Betapa terkesiapnya Raihan, saat melihat wajah wanita remaja di depannya yang masih menggunakan seragam SMA itu.

"Ka-mu?"
"Lo?"

Keduanya dengan kompak saling menuding satu sama lain.

"Oooh, emang dasar ya kamu, enggak punya sopan santun. Kemarin kamu dengan seenaknya masuk ke mobilku. Sekarang, dengan teganya kamu memaki-maki ibu-ibu ini? Pakai nuding-nuding lagi.
Hati kamu ini ke mana? Memangnya kamu enggak punya ibu? Sampai dengan teganya kamu membentak-bentak Ibu-ibu ini? Kamu Enggak bisa apa, bicara kalem, selayak fitrahnya seorang wanita?"

Cewek cantik yang berseragam SMA di depannya menatap Raihan intens dengan tatapan seperti tersinggung. Mendengar kata-katanya yang menyentil hati, membuat matanya secara otomatis berkaca-kaca.
Tanpa kata lagi, ia mengambil langkah dan berlalu dari hadapan Raihan.

Sepeninggal wanita itu, Raihan tak ambil pusing dengan berlalunya dia dengan wajah yang seperti menahan kesal terhadapnya.
Dengan ramah nan lemah lembut ia menyapa ibu-ibu tadi dan segera pamit setelah keadaan mulai tenang.

Raihan langsung menuju ke meja yang menjadi tempat Alvin dan Dini sejak tadi menunggunya. Ia pun menghela napas, setelah berhasil duduk dan bersandar dengan posisi me-rileks-kan diri.

"Udah pada pesen?" tanyanya menatap ke arah Alvin dan Dini bergantian.

Keduanya menggeleng, membuat Raihan langsung mengangkat tangannya memanggil pelayan.

Setelah beberapa menit berselang, sembari menunggu pesanan datang, ketiganya memilih mulai mengobrol.

"Bang, kayaknya kamu kelewatan, deh. Ngingetin, tuh cewek tadi." Dini membuka suara, mengeluarkan unek-uneknya yang sempat ia simpan sejak tadi.

"Iya, Rai. Sampai mau nangis gitu, tuh cewek," dukung Alvin sembari menatap Raihan.

"Ah masak, sih?"

"Iya, Bang. Kamu tadi keliatan emosi banget gitu maki-maki dia. Tumben banget sih kamu bersikap kayak gitu? biasanya juga lembut gitu kalau nasihatin orang lain."

"Astaghfirullahaladzhim, mungkin gegara aku kelewat kesel lihat dia lagi. Jadinya aku enggak bisa ngontrol emosi."

"Lagi? Emang dia pernah bikin gara-gara sama lo sebelum ini?" Alvin mulai kepo.

Raihan menganggukkan kepala, lalu menceritakan kejadian dua hari yang lalu, saat cewek itu dengan seenaknya masuk ke dalam mobil.

"Lah, emang pintu mobil Abang enggak dikunci?" tanya Dini yang sedari tadi menyimak cerita Raihan dengan khidmat. Ia heran saja, bagaimana bisa ada orang lain masuk ke dalam saat posisinya berada di mobil kalau pintu dikunci.

Raihan langsung menampakkan gigi putihnya seraya menggaruk bagian belakang kepalanya. "Hehe."

"Lo, sih. Teledornya kumat mulu, terus lo turunin di mana tuh cewek?" ucap Alvin menyikut lengan Raihan.

"Langsung aku turunin dia di depan halte, setelah aku pesenin dia taksi. Aku masih punya hati lah, buat nurunin cewek menjelang petang di sembarang tempat."

"Wah, wah, emang sohib gue satu ini, pecinta wanita ya."

"Ha?"

"Penjaga wanita maksudnya. Hahaha."

"Jujur nih, Bang. Sesama wanita, aku tuh kurang setuju kalau Abang memperlakukan dia kayak tadi," ujar Dini tampak serius, tak terpengaruh ucapan konyol Alvin.

"Aku kan niatnya juga nasihatin dia, Din. Biar dia lebih jaga sopan santun."

"Iya sih, tapi menasihati seseorang di depan umum itu kan nggak baik, Bang. Apalagi kasar kayak tadi ucapan Abang ke dia. Abang juga pernah bilang ini dulu ke Dini kan? Saat Dini maki-maki orang di depan umum."

"Astaghfirullahal'adhzim. Iya Din, Kamu benar. Kenapa aku nggak kepikiran hal ini ya," ucapnya seraya mengusap wajahnya kasar, mulai tampak di wajahnya raut penyesalan. Ia jadi teringat kalam Imam Syafi'i yang bunyinya :
Berilah nasihat kepadaku ketika aku sendiri. Jauhilah memberikan nasihat di tengah-tengah keramaian.
Sesungguhnya nasihat di tengah-tengah manusia itu termasuk sesuatu
pelecehan yang aku tidak suka mendengarkannya.
Jika engkau menyelisihi dan menolak saranku, maka janganlah engkau marah jika kata-katamu tidak aku turuti.

"Thanks, Din ... udah ngingetin," ucapnya menatap Dini sebentar dengan senyumnya.
Dini pun menganggukkan kepala seraya membalas senyumnya dengan hal serupa.

Aku akan minta maaf nanti kalau ketemu dia lagi. Eh ... kenapa aku jadi berharap ketemu lagi dengan cewek macam dia? batinnya mulai berkecamuk.

.
.
.
.
.
.
.
Bersambung

Gimana dengan Part ini?

Bikin nagih ingin baca lagi?

Penasaran dengan kelanjutannya?

Ngebosenin dan kurang seru?

Kurang puas dan kurang banyak?

😂😂😂
Tunjukin perasaan mu setelah baca part ini dong.

Mau cepat Up lagi?
Kalau komentarnya tembus 100 komen.
Dan votenya 50 😂😂😂
In syaa Allah akan Up ya ☺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top