25 - So Sweet

💗💗💗

Kunci rumah tangga agar harmonis, salah satunya adalah saling menghargai satu sama lain, terkadang dengan cara mengesampingkan ego.

💗💗💗

Setelah Raihan berdiri tepat di samping ranjang. Ia mengambil air minum lalu duduk, meneguknya setelah membaca basmalah.

"Udah jam segini belum bangun nih, Istri. Apa dibangunin aja ya?" gerutu Raihan ikut bersandiwara sembari menatap Aisyah yang masih terpejam.

Melihat Aisyah meski sebentar, Raihan selalu saja terpana melihat wajah cantik itu, hatinya kembali berdesir. "Inikah yang dinamakan indahnya cinta? Memandang yang dicinta, hati damai dan bahagia." Raihan tersenyum  menatap Aisyah.

"Terimakasih ya, Sayang. Sudah mau jadi istriku," ucap Raihan tanpa ragu  mengecup kening sang istri.
Tidak hanya sebentar Raihan melakukan itu, hingga ia bisa merasakan Aisyah yang kulit wajahnya semakin menegang.

Raihan tersenyum lalu melepas kecupannya. "Kapan ya kira-kira kamu siap untuk menjadi istriku seutuhnya?" ucap Raihan sembari mengelus-elus pipi Aisyah. "Pasti seneng banget kalau kita nanti punya anak banyak yang lucu-lucu." Elusan tangan Raihan kini berada di bibir sang istri.

Raihan menatap Aisyah begitu lekat, kepalanya pun perlahan semakin mendekat. Namun,  belum juga dua wajah itu bersentuhan. Aisyah langsung melotot saat merasakan embusan napas Raihan  menerpa wajahnya. "Stop. Kamu mau ngapain?" ucap Aisyah sembari mendorong tubuh Raihan.

Bukannya marah dengan sikap sang istri yang sedikit kasar. Raihan langsung tertawa.

Aisyah mengerutkan kening, heran melihat suaminya tiba-tiba tertawa.
"Aku tau kok ada yang pura-pura tidur."

Degh, hati Aisyah tersentil, terkejut jika aksinya ketahuan. "Siapa?"

"Istri aku." Raihan menaik turunkan alisnya, lalu memutar tubuhnya. Kemudian berjalan menjauh dari ranjang dengan gaya khasnya, memasukkan kedua tangan di saku celana.

"Apakah selama ini kamu sering ...."
Raihan yang tadinya melangkah perlahan nan santai, langsung berhenti saat Aisyah tak kunjung melanjutkan kalimatnya.

"Sering apa, Syah?" tanya Raihan saat mendapati sang istri kini menunduk, menatap kedua tangannya sendiri yang sedang memilin pinggiran selimut.

"Sering apa, Istriku?"

"Emm enggak-enggak. Enggak jadi." Aisyah menggingit bibir bawahnya setelah berucap, tampak salah tingkah.

Raihan menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum.
"Mau makan buah apa? Biar aku ambilin."

Aisyah langsung menoleh ke arah meja, menelisik buah apa yang ada di sana. "Apel," jawabnya singkat.

Selang hanya beberapa detik, Raihan kini kembali duduk di samping Aisyah dengan membawa nampan kecil yang berisi apel dan pisau.

Hening, tak ada obrolan dari keduanya saat Raihan mengupas buah permintaan sang istri. Raihan baru tahu dua hari yang lalu, jika Aisyah tidak suka makan apel berkulit. Beda dengan dirinya yang lebih suka sebaliknya.

Setelah memotong apel menjadi empat bagian. Raihan memotongnya lagi lalu menyodorkan irisan itu ke Aisyah. Namun, belum juga Aisyah berhasil menyentuh apel itu. Raihan kembali menarik tangannya. "Eits. Jawab dulu, tadi maksudnya sering apa?"

Aisyah tampak kesal lalu bertanya, "Penasaran?"
Raihan mengangguk.

"Eng-enggak penting, kok."

"Enggak penting kok gugup gitu."

"Hemm ya udah nggak usah sok ngupasin kalau ujung-ujungnya nggak ngasih." Aisyah mendengus kesal.

"Ye malah ngambek. Nih."

Aisyah tetap diam meski Raihan menyodorkan irisan apel tadi.

"Mau disuapin?"

Aisyah tetap diam.

"Atau mau lanjutin yang tadi? Yang sering aku lakuin saat kamu belum sadar."

Gadis di hadapan Raihan itu tetap saja bergeming. Namun, kali ini tampak menegang. Sepertinya efek dari hatinya yang tiba-tiba berdebar kencang.

"Diam berarti iya, lo."

"Ish, apaan, sih." Aisyah langsung menyambar irisan apel di tangan Raihan. Melahapnya dengan rakus, tanpa peduli reaksi terkejut Raihan yang menatapnya intens.

Raihan tak tahu saja, jika apa yang dilakukan Aisyah adalah cara untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Santai aja, Syah. Aku nggak akan melakukan hal itu kalau kamu nggak izinin. Tapi kamu nggak masalah kan jika di sini?" tanya Raihan sembari menunjuk keningnya sendiri.

Aisyah pun tampak bernapas lega lalu mengangguk perlahan. Dalam hatinya sangat bahagia, karena sang suami selalu menghargai dan memberi ia kenyamanan saat bersama seperti ini.

Kunci rumah tangga agar harmonis, salah satunya adalah saling menghargai satu sama lain, terkadang dengan cara mengesampingkan ego.

---***---

Selepas salat Maghrib berjemaah dengan Aisyah. Raihan duduk di samping sang istri, lalu membaca Al Qur'an. Seperti apa yang dibaca seperti sebelum-sebelumnya, surat Ar Rohman lah yang menjadi pilihan lantunan suara merdu Raihan.

Aisyah terdiam, mendengarkan suara sang suami dengan binar bahagia, tampak begitu menikmati ketenangan hati saat mendengar ayat suci itu.

Apalagi ketika Raihan membaca "Fabiayyi aalaai robbikumaa tukadzdzibaan."
Diam-diam Aisyah menirukan kalimat itu, seraya dalam hati ia sangat bersyukur atas nikmat yang Allah anugerahkan untuknya.

Kesehatan yang berangsur membaik, mempunyai suami salih yang ia cintai, dan rasa syukur yang mampu menenangkan hati. "Terima kasih ya Allah, atas hadirnya ia sebagai pelita dalam hidupku. Maafkan hamba yang selama ini kurang bersyukur dan selalu menyalahkan takdir-Mu. Ampuni hamba yaa Robb." Tak terasa, Aisyah yang terjerumus dalam penghayatan nasib hidupnya, kini menitikkan air mata. Ia tak menyadari jika sang suami telah usai mengaji.

Aisyah pun terkejut, saat tiba-tiba merasakan sentuhan di pipinya. Ia menoleh dan mendapati Raihan menatapnya intens. "Kenapa nangis?" tanya laki-laki itu tampak khawatir.

Aisyah menggenggam tangan Raihan yang baru saja usai mengusap cairan bening yang membasahi pipinya. "Jangan khawatir, ini air mata syukur, kok," ucap Aisyah lalu mencium punggung tangan Raihan.

"Terima kasih, telah mau menghalalkan cintaku dan mau hidup bersama diriku yang banyak kekurangan ini."

Bagai setetes embun menyejukkan hati yang gersang. Padahal tak ada angin, tak ada hujan, Raihan tak menyangka jika Aisyah tiba-tiba mengatakan sesuatu yang demi apa pun so sweet-nya kebangetan. Tak hanya melelehkan hati Raihan, tetapi juga membuat gunung di kutub utara seakan mencair.

Biarlah kata orang ini berlebihan, tetapi menurut Raihan ini adalah hal spesial yang meluluhlantakkan hatinya, hingga BAPER tingkat dewa.

Aisyah yang biasanya jutek, gengsi, malu dan menyembunyikan segala rasanya. Kini dengan terang-terangan mengungkap rasa terdalam dari hatinya. Raihan tersenyum lalu mengangguk, ia balas genggaman tangan sang istri dengan tangan kirinya kini ikut menggenggam. "Akulah yang seharusnya terima kasih, Syah. Kamu sudah mau menjadi permaisuriku dan menjadi tambahan kebahagiaan dalam hidupku, serta hadir sebagai penggenap agamaku."

Suasana romantis dengan pandang-memandang dan saling melempar senyuman itu pun sontak ambyar saat ketukan pintu mendadak terdengar.

"Eh, ada orang." Aisyah tampak gugup.

Raihan pun tersenyum lalu mengangguk. "Aku buka pintu dulu, ya."

Aisyah mengangguk.

Baru beberapa langkah Raihan meninggalkan Aisyah. Laki-laki itu tiba-tiba berhenti dan kembali menoleh.

Aisyah yang mendapati hal tersebut, menatap Raihan dengan tatapan heran seakan bertanya ada apa?

"Kamu jangan rindu, biar aku aja, ya," bisik Raihan lalu dengan cepat meneruskan langkah.

Pipi Aisyah sontak menghangat, senyum di bibirnya merekah. Lalu diikuti gelengan kepalanya, tak menyangka jika laki-laki itu bisa juga bucin ala anak muda.

"Ass-Assalamu'alaikum, Bang Rai," ucap sosok perempuan agak gugup begitu Raihan membuka pintu.

"Di-Dini," jawab Raihan cukup terkejut lalu menjawab salam.

.
.
.
.

Bersambung

Alhamdulillah akhirnya cerita ini ada kelanjutannya.

Yuk yuk ramein 😃


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top