23. Kegelisahan Raihan

💗💗💗

Jangan lelah untuk selalu berdoa, minta sungguh-sungguh pada Allah. Karena Allah tak akan pernah menyia-nyiakan hambanya yang meminta kepada-Nya.

💗💗💗


Raihan juga ikut panik, melihat Aisyah kejang-kejang. Dr. Irwan langsung memencet tombol pemanggil dokter agar Aisyah mendapat penanganan lebih lanjut.

"Syah, tenang, Syah. Kamu harus kuat ya, Syah." Raihan menggenggam erat tangan Aisyah yang terus memberontak. Namun, gerakan Aisyah semakin melemah. Tubuh gadis itu tiba-tiba terkulai lemah.

"Astaghfirullah ... denyut nadi Aisyah semakin melemah." Netra Raihan sontak membeliak saat mendengar ucapan Dr. Irwan.

"Ya Allah, Dok. Tolong Aisyah, Dok. Saya mohon cepat lakukan sesuatu untuk Aisyah, Dok." Raihan menatap sendu ke arah Dokter Irwan, ia begitu tampak memohon dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.

Belum lagi Dr. Irwan membuka suara, tiba-tiba seorang dokter beserta seorang perawat datang.

"Sorry please come out, Sir." Raihan pun keluar dengan langkah gontai. Sebenarnya ia ingin menolak karena ingin menemani sang istri. Namun, apalah daya. Sudah menjadi aturan rumah sakit, agar keluarga keluar ruangan saat dilakukan pemeriksaan. Tujuannya agar dokter tak terganggu dan bisa leluasa melakukan penanganan.

"Ya Allah ... tolong berilah kesembuhan untuk istri hamba. Jangan dulu ambil dia ya Allah," ucap Raihan dalam hati. Tampak ia kemudian meraup wajah, tepat bersamaan air mata yang mulai mengalir.

Detik-detik menegangkan bagi Raihan. Ia sama sekali belum siap dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Ia begitu mendamba dalam harap agar suatu waktu bisa hidup berbahagia bersama Aisyah setelah jalinan halal terikat.

Tak Ayal, sebagai laki-laki yang sudah lama memimpikan sebuah pernikahan. Raihan pun sering membayangkan bagaimana dia merasakan kebahagian hidup bersama sang istri. Hari-harinya akan berlalu begitu indah karena bisa setiap saat melihat Aisyah tanpa takut berdosa lagi. Bisa salat dan mengaji bersama Aisyah. Bangun tidur, melihat Aisyah dan apa pun keperluaannya akan disediakan oleh Aisyah. Ia pun pasti akan selalu bahagia bisa melewati waktu santai bersama Aisyah.

Ya Allah ... Syah, kamu harus kuat, ya. Jangan pernah tinggalin aku. Kita belum merasakan kebahagiaan hidup bersama layaknya pengantin baru lainnya. Tak inginkah kamu melewati hidup bersama denganku? Ya Allah ... tolong sembuhkanlah Aisyah, ya Allah. Hati Raihan terus meracau dan memohon. Karena ia tahu, tak ada yang kuasa menyembuhkan selain Sang Maha Pencipta.

Tampak Raihan sangat gelisah. Ia tak bisa duduk tenang menunggu, alhasil ia terus berjalan mondar-mandir di depan ruang rawat Aisyah.

Waktu yang terus melaju seakan berputar begitu lambat bagi Raihan. Laki-laki itu tak bosan menatap pintu kamar Aisyah berulang kali. Berharap Dokter akan memberikan kabar baik mengenai kondisi Aisyah saat ini. Namun tak bisa dipungkiri, jika hatinya saat ini benar-benar merasa cemas dan takut akan ada kabar buruk yang malah tersampaikan. Apalagi mengingat kata dokter Irwan tadi, jantung Aisyah semakin lemah.

"Enggak, enggak. Aisyah pasti sembuh, Aisyah pasti sembuh." Raihan terus berusaha mengenyahkan pikiran buruk yang terus bergelayut di benaknya. Ia harus positif thinking atas setiap takdir-Nya. Mungkin lebih tepatnya saat ini Raihan sedang menghibur diri sendiri atas ketakutan yang melanda hatinya.

Waktu terus bergulir, hampir setengah jam berlalu. Namun, pemeriksaan belum juga usai. Bibir Raihan tak hentinya melafalkan zikir, agar hatinya lebih tenang.

"Allah, Allah, Allah. Hanya Engkau Maha Menyembuhkan segala penyakit. Berilah Aisyah kesembuhan, ya Allah."

Raihan tak bisa membayangkan bagaimana keluarganya di tanah air jika sampai terjadi hal buruk pada Aisyah. Padahal, beberapa menit yang lalu hatinya terasa lega dan tak sabar ingin mengabari Aisyah yang akan dipindah di Indonesia. Ia juga sempat membayangkan bagaimana senyum sang Ummi dan keluarga Aisyah.

Karena ia tahu, semuanya sudah pasti rindu dengan keduanya. Meski komunikasi rutin setiap hari lewat video call dan hanya bisa melihat wajah Aisyah yang selalu saja terpejam. Keluarga di negara seberang sana bisa merasakan secercah kelegaan dari kerinduan yang semakin menumpuk.

Namun, sekarang. Keadaan Aisyah betul-betul mengkhawatirkan. Entah sudah berapa kali Raihan menghela napas cukup panjang. Air matanya kembali menggenang, membuat laki-laki itu mendongak seraya membaca, "Ya Allah ... Allāhumma rabban nāsi, adzhibil ba'sa. Isyfi. Antas syāfi. Lā syāfiya illā anta syifā'an lā yughādiru saqaman."

Doa yang artinya Tuhanku, Tuhan manusia, hilangkanlah penyakit. Berikanlah kesembuhan karena Kau adalah penyembuh. Tiada yang dapat menyembuhkan penyakit kecuali Kau dengan kesembuhan yang tidak menyisakan rasa nyeri, terus bergumam di bibir Raihan yang sesekali tampak gemetar. Tangannya menengadah dengan tatapan begitu memohon agar Allah mengabulkan doa yang ia panjatkan.

Suami mana yang tak takut kehilangan, jika melihat istrinya tadi semakin melemah. Pikiran buruk pun selalu menghantui, sehingga kegelisahan terus merongrong hati.

Tak siap ditinggalkan. Iya, itulah yang dirasakan Raihan. saat ini. Rasa takut pun menjalar, lebih mendominasi dalam hatinya yang juga merasakan kekhawatiran.

Raihan sedikit terhenyak saat mendengar dering ponsel di sakunya. Ia pun meraih benda pipih itu dan langsung mengeryitkan dahi saat mengetahui jika Umminya lah yang menelepon. "Tumben Ummi telepon malam-malam gini," gumam Raihan lalu menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya ia menerima panggilan.

"Assalamualaikum. Gimana kabar Aisyah, Rai? Dia nggak apa-apa, kan?"

Degh. Raihan cukup terkejut dengan pertanyaan sang ummi. "Ya Allah, kenapa malah Ummi yang jauh di sana seakan bisa merasakan apa yang terjadi di sini?"

"Rai ... Raihan kamu masih di sana kan, Nak?"

"Eh, em i-iya Ummi." Raihan meraup mukanya sendiri, berniat mengenyahkan kegugupan yang tiba-tiba menyergap.

"Gimana Aisyah, Nak?"

Sungguh, Raihan bingung harus menjawab apa. Ia diam beberapa detik, hingga akhirnya berucap, "Doain Aisyah segera kembali kumpul dengan keluarga di sana ya, Mi. Karena tadi dokter Irwan bilang ke Raihan, kalau Aisyah bisa segera pindah di rawat secara intensif di rumah."

"Alhamdulillah ... Ummi senang sekali mendengarnya, Nak. Ummi sudah sangat merindukan menantu cantik Ummi. Terus siapa yang akan menangani Aisyah di sini, Nak? Apa Dokter Irwan akan pindah tugas juga?"

"Bukan Ummi. Bukan Dokter Irwan, tapi puteri beliau."

"Alhamdulillah kalau gitu."

"Jadi, Ummi hanya kangen Aisyah, nih? Sama anak kandung Ummi ini enggak?" Raihan pura-pura berintonasi merajuk, setidaknya dengan begini hatinya juga teralihkan oleh kegelisahan dan ketakutan yang sejak tadi berkemelut dalam hatinya.

"Raihan, Raihan. Kamu ini ada-ada aja. Bikin Ummi pengin jewer. Sudah pastilah ... ummi juga kangen sama anak ummi yang paling ganteng."

"Hehehe iya, iya Ummi Raihan percaya, kok. Ya sudah, ini sudah malem Ummi. Ummi lanjut istirahat, ya. Nggak usah khawatir lagi."

"Iya, iya, Nak. Jaga diri baik-baik ya di sana. Jangan lelah untuk selalu berdoa, minta sungguh-sungguh pada Allah. Karena Allah tak akan pernah menyia-nyiakan hambanya yang meminta dengan merintih. Semoga Aisyah lekas sadar dan kalian hidup bahagia bersama. Aamiin."

"Aamiin ya Allah. Aamiin." Dengan penuh harap Raihan mengamini doa sang Ummi. Air matanya pun tiba-tiba menetes saat mengingat kondisi Aisyah, ketakutan kembali memenuhi hatinya.

Tepat saat Raihan menjawab salam sang Ummi. Knop pintu ruangan Aisyah berputar, Raihan pun segera menghampiri.

"Bagaimana keadaan Aisyah, Dok?"

.
.
.
.
.
Bersambung

Alhamdulillah akhirnya cerita ini bisa lanjut lagi.

Apa kabar sahabat pembaca?
Adakah yang merindukan aku?
Eh. Merindukan Raihan dan Aisyah?

Yuk, Ramein.
Vomen kalian salah satu penyemangatku untuk melanjutkan cerita ini lo. 😉


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top