22. PHP


Assalamualaikum sahabat pembaca.
🙈🙈🙈🙈🙈
Malu nih.
Udah berapa lama ya gk muncul.

Apa kabar semua?
Semoga sehat semua ya.

Boleh curhat dulu nggak.
Entah kenapa, susah amat ya bikin lanjutan cerita ini.
Ada yg tau nggak kenapa tuh.
Hadeh ...
Kok jadi nggak jelas gini ya.
Yaudah lah.

Jangan lupa vote dulu ya.
Happy reading 🙂🙂🙂

💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕

Tak ada ujian yang Allah berikan kepada hambanya yang melebihi batas kemampuan.
Jangan lupa terus bersyukur atas segala nikmat-Nya. Sabar dan ikhlas atas ujian-Nya.

💖💖💖💖💖💖💖💖

Di saat dua wanita yang paling dicintai mengalami sakit bersamaan. Namun, keadaan memaksa untuk memilih keberadaan diri agar bisa di dekatnya. Sebab, tak bisa menemani keduanya secara bersamaan akibat jarak yang memisahkan cukup jauh. Saat itulah keputusan cukup sulit yang harus Raihan pilih.

Tepat dua pekan dirinya berada di singapura, wajah Umminya terlihat pucat. Meski wanita paruh baya itu menyangkal, Raihan yang menangkap raut wajah pucat itu pun sangat tahu, jika sang ummi tidak dalam keadaan sehat.

"Ummi nggak apa-apa, Nak. Cuma pusing sedikit, kok."

"Tapi itu udah pucat gitu, Ummi. Pasti demam juga, kan? Udah minum obat?"
Tampak Zainab menggeleng. Raihan yang hanya bisa menatap wajah sang Ummi lewat ponsel milik Maira tampak khawatir.

"Tenang saja, Nak. Nisa katanya mau ke sini, kok hari ini dan Ummi udah titip obat ke dia tadi. InsyaAllah Ummi nggak akan kenapa-kenapa. Kamu fokus saja merawat istrimu di sana, ya."
Mendengar kata 'istri', sontak hati Raihan berdesir. Ia masih sering tak menyangka, jika dirinya saat ini telah beristri.

"Ya sudah, nanti kalau Nisa sudah datang. Ummi langsung minum obatnya, ya. Jangan lupa makan dulu dan segera istirahat, Mi." Raihan mempersembahkan senyum tulusnya, menyembunyikan kekhawatiran yang bisa saja nanti menjadi beban buat sang Ummi.

Tak ada orang tua yang mau merepotkan dan menjadi beban buat sang anak. Ummi selalu mengalah, saat ia lapar, rela bilang kenyang saat anak merasa lapar. Saat ia sakit, rela tak menggubris rasa itu agar anak tak memandangnya khawatir.

Oh Ibu ... sungguh pengorbananmu setulus hati dan tak kenal masa.

---***---

Hari demi hari dilalui Raihan masih di singapura. Tiada yang bisa dilakukan saat ini selain melambungkan pinta tiada bosan dan harap yang terus terpatri kepada Sang Maha Penyembuh.

Purnama hampir berganti nama. Tiga hari lagi, iya, tiga hari lagi genap satu bulan dia bersama sang istri di rumah sakit ini. Apakah Raihan tak bosan hanya berdiam diri menemani Aisyah? Jawabannya sama sekali tidak. Meski Aisyah masih setia dengan pejaman mata, Raihan hampir setiap waktu menyapa sang istri saat dirinya berada di waktu senggang.

Di era canggih pada zaman modern ini. Jarak bukanlah menjadi penghalang untuk aktivitas manusia. Kata orang, jaraknya jauh, tetapi serasa dekat saat bisa melakukan interaksi yang tersambung meski beda negara. Seperti yang Raihan lakukan saat ini, Raihan masih tetap bekerja sesuai dengan jabatannya di perusahaan Ilyas. Jam kerja dan istirahat, juga disamakan dengan di kantor.

Untuk mengobati rindu kepada sang Ummi, Raihan bisa video call. Sehingga bisa melihat wajah sang Ummi dengan jelas dan memastikan langsung bagaimana kondisi wanita paruh baya yang sangat ia cintai itu. Ia pun kini tenang melihat sang Ummi telah sehat.

Langit negara yang dijuluki negeri singa karena kata Singapura berasal dari bahasa Sansekerta ‘Singhapura’ yang berarti negeri para singa, sore ini tampak cerah, Raihan yang baru saja usai salat Asar tampak takjub dengan indahnya warna langit berselimutkan awan putih yang bergumpal-gumpal kecil.

Langkah kakinya pun terhenti, ia memilih berdiri di pagar pembatas teras kamar rawat inap Aisyah.
"Maasyaaallah ... aku jadi rindu tanah air. Ingin segera berkumpul dengan keluarga. Apalagi mengingat statusku yang kini telah berubah. Aku sudah punya istri. Seorang wanita yang kucintai yang berhasil kuikat dengan akad sakral penyempurna agama. Alhamdulillah ... terima kasih ya, Allah," ucap Raihan kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan masuk ke ruang Aisyah.

"Assalamualaikum, istriku," ucap Raihan sembari menghampiri wanita yang kini masih di posisi yang sama sebelum tadi ia keluar.

Tampak laki-laki berkemeja warna biru muda itu mengecup kening sang istri cukup lama. "Bangun, Syah. Tak rindukah kamu kepadaku?" Raihan menatap wajah pucat itu lamat-lamat. Penuh harap dalam hati agar Allah segera memulihkan keadaan sang istri.

Raihan pun duduk, menggenggam tangan Aisyah sembari bibirnya terus membacakan sholawat syifa.

Begitulah setiap waktu berlalu, di saat dirinya menyelesaikan pekerjaannya. Raihan seakan tak pernah dihampiri kata bosan mendampingi Aisyah seorang diri.

Biasanya setiap selesai salat Maghrib ia membaca Al Quran di samping Aisyah, baru setelah salat Isya' ia banyak bercerita mengenai hal kesukaannya atau membahas mengenai pertemuan-pertemuan yang pernah dilalui keduanya.

Tak jarang ia merasa sedih, bukan karena setiap perkataannya tak digubris. Namun, melihat Aisyah yang tampak pucat dan tubuhnya semakin kurus, ia benar-benar merasa tak tega melihat itu semua. Apalagi jika sekelebat pikiran buruk yang tiba-tiba muncul, rasa tak ingin kehilangan menusuk ke hati dan memenuhi sesak di dadanya. Hingga tak dapat dibendung lagi, air mata tiba-tiba mencelos dengan lancang.

"Syah ... aku kangen sama cerewetnya kamu. Aku kangen ngerjain kamu, bikin kesel kamu. Aku kangen liat kamu cemberut gara-gara aku. Aku kangen ingin bercanda sama kamu, Syah. Segera sadar ya. Apa kamu nggak pingin mengisi waktu bersama denganku? Kita udah jadi suami istri lo sekarang. Atau ... kamu takut buat sadar karena takut aku menuntut hak kepadamu? Aku janji, Syah. Sebelum kamu lulus sekolah atau sebelum kamu belum mengizinkan dengan suka rela, aku nggak akan meminta hak-ku, kok. Jadi sadar, ya. Jangan takut."

Akibat tak pernah ada jawaban, berbagai asumsi muncul di pikiran Raihan. Apalah yang bisa Raihan selain  menyalurkan segala unek-unek dalam hati.

Azan maghrib terdengar berkumandang. Memanggil para muslim-muslimah untuk beribadah kepada Sang Maha Pencipta. "Aku, salat dulu ya, Syah. Semoga malam ini kamu memberi kejutan bahagia buatku." Raihan bangkit kemudian mencium kening Aisyah lagi sebelum keluar dari kamar inap.

Memang begitulah yang senantiasa Raihan lakukan semenjak Aisyah menjadi istrinya.
Mencium kening sang istri menjadi candu dan juga obat rindu. Setiap akan keluar dan masuk lagi ke kamar, ia selalu melakukan hal itu. Entahlah, sepertinya dengan mencium kening wanita itu, ia semakin jatuh cinta kepadanya.

---***----

Seperti malam-malam yang terlewati selama dirinya di ruang rawat Aisyah. Usai membaca zikir-zikir di masjid. Raihan membaca mushaf kecil yang memang selalu dibawanya ke mana pun ia pergi.

Hari ke 27 di singapura, itu berarti tepat di bagian juz 27 yang akan ia baca malam ini. Suara merdu mulai terdengar dari lisan Raihan.
Tepat di pertengahan juz itu, Raihan tersenyum lalu menatap wajah sang istri.

"Kamu inget nggak, Syah? Surat Ar-Rahman ini adalah saksi pertemuan pertama kita di mobil waktu itu. Aku bacain ya, Syah."

بسم الله الرحمن الرحيم

ٱلرَّحْمَٰنُ

عَلَّمَ ٱلْقُرْءَانَ

خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ

عَلَّمَهُ ٱلْبَيَانَ

عَلَّمَهُ ٱلْبَيَانَ


Tepat di ayat yang kelima dibacakan, Raihan yang berhenti sejenak mengambil napas. Tidak sengaja netranya menatap ke arah jari tangan Aisyah yang bergerak.

"Ya Allah ... Syah!" ucap Raihan terkesiap. Memandang jari itu lebih fokus, memastikan bahwa dirinya tak salah lihat. Benar saja, jari itu kembali bergerak.

"Syah, kamu sadar, Syah?" Raihan langsung bangkit dan meletakkan mushafnya di meja setelah mencium kitab suci itu.

Dada Raihan bergemuruh, rasa panas campur aduk dengan dingin pada aliran darah dalam tubuhnya. Kepanikan mendera, terselip pula rasa bahagia mendapati respon Aisyah yang selama ini ia tunggu.

"Syah," ucap Raihan lagi dengan suara lembut dengan terus menatap wajah Aisyah. Sangat berharap kedua mata itu akan terbuka, diikuti bibirnya mengukir senyum.

Namun, harapan manusia hanyalah seperti sebuah khayalan. Tak ada yang mampu mewujudkannya selain Sang MahaKuasa.

Selang beberapa menit berlalu, harapan Raihan tak kunjung mewujudkan hasil. Aisyah masih dengan erat memejamkan mata. Tangannya tak ada lagi respon bergerak sedikit pun.

"Aisyah," ucap Raihan lirih seraya menundukkan kepala dan kembali duduk. Tampak wajah yang tadi sempat cerah, kini berubah sendu. Laki-laki itu menghela napas panjang, merasa kecewa dan patah dengan apa yang ia harapkan.

Raihan kemudian meraih tangan Aisyah, memainkan jari-jari wanita itu yang tadi sempat bergerak. "Kenapa nggak bergerak lagi, Syah?" bisik Raihan dengan wajah memelasnya menatap Aisyah.

Hatinya seakan tercubit dalam kubangan kesedihan akibat rindu yang tak kunjung sampai dalam pengharapan dan keinginan yang juga belum menjadi nyata.

Padahal, melihat kejadian tadi. Hatinya seakan telah melambung begitu tinggi dalam harapannya bahwa Aisyah akan segera sadar dan akan segera menyapanya dengan kebahagiaan. Namun, apa yang terjadi? Ia seakan dipermainkan oleh Aisyah, di PHP-in oleh istrinya sendiri.

Ya Allah ... kenapa Engkau belum juga mengembalikan ia agar hadir dalam kehidupanku. Masihkah kurang lama waktu hampir satu bulan ini aku diam sendiri di sini tanpa sedikit pun ia bersua, tanpa sedikit pun ia tersenyum melihatku, tanpa sedikit pun ia melihat diriku tersenyum bahagia telah menjadi suaminya. Ya Allah ... sampai kapan? Sampai kapan keadaan ini akan terus begini? Aku rindu dia ya Allah. Aku benar-benar merindukannya.

Kumandang azan Isya menyadarkan Raihan dalam raungan hati yang benar-benar kacau. "Astaghfirullahal'adzhim." Kepala Raihan langsung bangkit dari tangan Aisyah, dengan cepat ia mengusap air mata yang membasahi wajahnya tanpa ia sadari tadi.

Kembali laki-laki itu menghela napas cukup dalam. "Astaghfirullah ya Allah." Raihan meraup wajahnya kasar lalu bangkit. Ia merasa berdosa telah protes dengan ketentuan-Nya. "Astaghfirullah ... ampuni hati hamba yang meracau sesat, ini yaa Rob." Raihan mendongak, lalu sekali lagi meraup wajahnya. Ia benar-benar menyesal atas apa yang diutarakan tadi dalam hatinya.

"Aku salat dulu ya, Syah. Aku tak akan menyerah meminta kepada-Nya. Agar kamu segera kembali membuka mata dan hidup bahagia denganku." Raihan mencium kening Aisyah lalu keluar menuju masjid.

Waktu terus berputar. Tak terasa hampir satu jam Raihan mendekam di dalam masjid. Buliran tasbih terus bergulir di antara jemarinya. Lafal istighfar terus membasahi bibir. Dengan mata terpejam, hatinya seakan menangis tersedu, meminta ampunan kepada Sang Pemilik Jiwa.

"Kamu harus sabar ya, Nak. Tak ada ujian yang Allah berikan kepada hambanya yang melebihi batas kemampuan. Allah Maha Tahu apa yang terbaik buat kalian. Jangan lupa terus bersyukur atas segala nikmat-Nya. Sabar dan ikhlas atas ujian-Nya." 

Nasihat sang Ummi kembali terngiang pada indera pendengarnya. Raihan kembali merasa berdosa, merasa sangat bersalah atas apa yang di pikirannya tadi.

Raihan yang hanyut dalam zikirnya, langsung terkesiap saat merasakan bahunya dipegang seseorang. "Dokter Irwan"

Laki-laki yang namanya terpanggil tampak tersenyum lalu menganggukkan kepala. "Maaf mengganggu, boleh bicara di luar sebentar?"

Raihan pun tanpa ragu menganggukkan kepala. Ia bangkit lalu mengekori langkah sang dokter.

"Maaf ya, jadi ganggu zikirnya. Soalnya ada hal penting yang akan saya sampaikan sebelum saya pulang," ucap Dokter Irwan setibanya di teras masjid.

"Iya, nggak apa-apa, Dok. Ada apa ya, Dok? Apakah ini tentang kondisi Aisyah, Dok?" Keduanya duduk berdampingan.

Dokter Irwan tersenyum lalu mulai berkata, "Sebenarnya Aisyah pernah mengalami koma seperti ini. Namun, setiap penyakit serupa yang berulang atau mengalami kekambuhan. Maka  sudah pasti sakit kedua inilah yang lebih parah. Jadi kamu harus sabar dan perbanyak doa ya. Karena kesembuhan  manusia bukan dari dokter, tapi murni kuasa Sang Maha Pencipta."

"Apakah itu berarti Aisyah akan lebih lama komanya dari yang dulu, Dok?" tanya Raihan dengan guratan pilu.

Dokter Irwan menggeleng."Belum tentu, Rai. Dokter tak bisa memprediksi berapa lama koma yang dialami pasien. Dokter hanya berperan dalam usahanya memberi pengobatan terbaik untuk pasiennya. Selebihnya, kembali kepada qodarullah. Sabar ya, pasti saya bantu doa yang terbaik. Oh iya, sebenarnya saya kemari bukan untuk membahas hal ini. Sebenarnya, saya mau memberitahukan ke kamu, bahwa  Aisyah bisa pindah rawat di rumah secara intensif sesuai permintaan Ilyas. Karena kebetulan, putri saya dua hari lagi akan praktek di salah satu rumah sakit Indonesia dan biar dia yang menangani Aisyah di sana. Gimana?"

Seakan mentari muncul dengan membawa sinar cerah, bibir Raihan tersenyum merekah--bahagia--atas apa yang didengarnya.
"Alhamdulillah ... akhirnya. Saya setuju sekali, Dok. Biar Aisyah juga dekat dengan keluarganya di sana."

"Iya, benar. Mudah-mudahan dengan begitu, Aisyah dapat segera sadar dan pulih kembali."

"Aamiin ya Allah ya Mujibassailin." Raihan tampak meraup kedua wajahnya, penuh harap doa sang dokter diijabah oleh-Nya.

"Sebenarnya tadinya saya mau mengubungi Ilyas. Tapi nomernya nggak aktif. Ini udah malam juga, pasti mereka sudah istirahat."

"Iya, Dok. Besok pagi insyaallah saya kabarin keluarga. Terimakasih atas info dan bantuannya." Raihan membenarkan ucapan Dokter Irwan, mengingat kini waktu menunjukkan pukul sembilan malam, itu berarti di indonesia pukul sepuluh malam.

"Sama-sama. Kalau gitu, saya pamit. Assalamualaikum."

Raihan membalas jabatan tangan dokter Irwan sembari menjawab salam, diikuti seulas senyum penuh kebahagiaan terpancar di wajahnya.

"Oh iya, Dok. Maaf, hampir lupa saya mau ngasih tahu dokter. Tadi tangan Aisyah sempat bergerak, Dok."

"Oh iya? Ya sudah. Saya cek dulu keadaannya sekarang."

Raihan mengangguk kemudian keduanya berjalan beriringan menuju kamar Aisyah.
Tapak demi setapak keduanya lalui dengan langkah santai tapi pasti. Tak ada obrolan, keduanya sepertinya lebih memilih sibuk dengan pikiran masing-masing.

Tepat saat Dr Irwan yang lebih dulu sampai, laki-laki itu berteriak, "Aisyah!"
Raihan yang berada di belakangnya terkejut, ia mempercepat langkah mengikuti sang dokter.

.
.
.
.
.
.

Bersambung.

Gimana dengan part ini menurut kalian?
Cerita ini enaknya dilanjutin nggak ya? 🤧🤧🤧

Butuh asupan energi penyemangat nih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top