19. Jalan Keluar

Assalamualaikum sahabat pembaca

Alhamdulillah akhirnya nambah part lagi nih dari sekian lama hehehe

Yuk yuk baca.

Jangan lupa vote dulu ya. 😀

Happy reading

💕💕💕💕💕💕💕

Saat kegelisahan mendera bersamaan dengan kebingungan, pikiran seakan buntu untuk menemukan ide untuk jalan keluar.

💕💕💕💕💕💕💕💕

"Qobiltu nikahaha watazwijaha bimahril madzkur." Dengan lantang dan lancar sosok laki-laki yang berkemeja putih dan berpeci hitam melafalkan lafal qobul pernikahan.

"Alhamdulillah." Gema tahmid terdengar dari orang-orang yang berada di dalam ruang rawat Aisyah.

Ilyas, paman Aisyah dengan lancar membacakan doa untuk pernikahan dadakan keponakannya. Sedangkan yang lain, tampak khusyu' mengamini dengan tengadah tangan penuh harap terijabahnya doa tersebut.

Raihan langsung bangkit selepas doa dibacakan. Ia berjalan dengan kepala menunduk karena benar-benar gugup untuk bertemu sang istri. Kedua tangannya tampak gelisah--bergerak tak beraturan di bagian samping tubuhnya. Debaran hatinya semakin menggila seirama dengan deguban jantungnya yang kian bermaraton.

Raihan dan Aisyah kini telah sah menjadi suami istri. Aisyah yang masih terbaring lemah tampak cantik meski wajahnya hanya dipoles sederhana dan natural oleh sang bibi.

Wanita itu tampak tersenyum membalas senyum Raihan yang kini berdiri tepat di sampingnya. Gadis itu tampak ingin bangkit, tetapi Raihan dengan cepat mencegah. "Nggak usah bangun, istriku. Entar pusing lagi."

Aisyah pun tersenyum malu-malu lalu menganggukkan kepala. Raihan yang melihat pipi Aisyah merona menyungging senyum bahagia.

"Salim dulu, Sayang." Laila yang hanya melihat sepasang pengantin itu saling terdiam akhirnya menyuruh Aisyah untuk menyalami sang suami.

Aisyah pun patuh. Ia raih tangan sang suami dan mencium punggung tangannya. Raihan pun menengadahkan tangan kirinya dan tangan kanan ia letakkan di atas pucuk kepala Aisyah. Selepas membaca doa, ia pun memajukan kepalanya ke depan.

Awalnya memang tampak ragu-ragu karena menahan rasa malu karena kini dirinya menjadi pusat perhatian. Namun, sekarang bukan saat yang tepat untuk mengulur-ngulur waktu. Raihan pun berusaha menampik rasa malu dan kegugupan itu, kemudian langsung mengecup kening Aisyah beberapa detik.

Raihan tak menyangka, secepat ini ia akhirnya memperistri Aisyah. Wanita yang ia cintai akhirnya terjalin halal oleh tali pernikahan seperti yang ia harapkan. Meski dengan persiapan mendadak dan dikejar waktu. Namun, berkat kerja sama yang baik dari keluarga kedua belah pihak membagi tugas. Akhirnya pernikahan sederhana ini terlaksana dengan baik dan lancar.

Flashback on

Kabar yang disampaikan Ilyas benar-benar membuat Raihan semakin bingung harus berbuat apa. Raihan sudah siap kembali ke rumah sakit tanpa peduli malam yang semakin sunyi.

Saat dirinya baru saja sampai di ruang tengah. Saking terburu-burunya ia melangkah, hingga tak sengaja menabrak meja dan menjatuhkan sesuatu, hingga menimbulkan bunyi cukup keras.

Raihan yang terkejut, akhirnya mencari keberadaan sakelar dan langsung menyalakan lampu begitu menemukannya. Bersamaan dengan lampu yang menyala, pintu kamar sang Ummi terbuka.

"Raihan." Raihan pun berbalik dan menatap Ummi dengan rasa bersalah.

"Astaghfirullah ... maafin Raihan, Um. Gara-gara Raihan ceroboh. Istirahat Ummi terganggu."
Ummi Zainab tersenyum seraya menghampiri anak laki-lakinya itu.

"Kamu mau ke mana? Ini baru lewat tengah malam."

"Raihan mau ke rumah sakit, Mi. Aisyah sadar, Mi. Tapi keadaannya sangat lemah dan sempat muntah-muntah." Raihan menceritakan keadaan Aisyah dengan hati yang begitu pilu.

"Ummi ikut ya."

Raihan terperangah dan menatap Umminya lamat-lamat.
"Apa Ummi nggak sebaiknya istirahat di rumah dulu? Ummi kan dari kemarin, seharian di rumah sakit. Raihan khawatir Ummi kelelahan." Raihan menatap wanita tercintanya penuh kekhawatiran, ia benar-benar tak mau sang Ummi sakit gara-gara bolak balik ke rumah sakit.

"Tenang saja, Rai. Ummi baik-baik saja kok. Tadi juga sudah tidur nyenyak. Ummi ikut ya. Ummi kangen Aisyah." Raihan pun tak bisa lagi membantah. Kata kangen, membuatnya tak tega untuk melarang sang Ummi untuk bertemu dengan sosok yang dirindukan.

Setelah menunggu beberapa menit di ruang tamu. Zainab tampak keluar dengan tas jinjing dan Raihan pun langsung bangkit, berjalan mengiringi sang ummi keluar rumah lalu bergegas ke dalam mobil.

"Bismillahirrohmanirrohim," ucap Raihan sebelum memutar kunci mobilnya, diikuti kemudian suara sang Ummi mengucapkan kalimat basmalah juga.

Ditengah kenikmatan orang-orang dalam lelapnya mengelana ke dunia mimpi, Raihan malah sama sekali tak merasakan kantuk karena isi pikirannya mengingat gadis yang berada di rumah sakit. Lalu lalang kendaraan di jalan raya saat ini sangatlah sepi. Hanya sesekali saja ada mobil atau motor yang melintas. Hingga Raihan semakin menambah kecepatan laju mobilnya.

Hanya dalam waktu dua puluh menit, mobil Raihan telah berbelok masuk ke parkir rumah sakit. Dini hari seperti ini, bukan berarti Raihan bebas masuk ke rumah sakit. Saat dirinya baru saja memasuki pintu utama. Sempat dirinya ditanya oleh security. Namun, dengan alasan keadaan gawat dan permintaan keluarga pasien yang Raihan utarakan. Raihan dan Umminya boleh masuk dengan syarat tertib, tak membuat gaduh.

Raihan dan Zainab tampak jalan beriringan menuju kamar rawat Aisyah. Begitu keduanya telah berada di ambang pintu yang terbuka. Sontak kaki Raihan terhenti, membuat langkah Zainab juga ikut berhenti.

Sayup-sayup terdengar teriakan Aisyah yang meracau tak jelas dari dalam. Saat Raihan ingin bergegas masuk, langkahnya terhenti lagi karena perawat datang dan hendak masuk ke ruangan.

Raihan dan sang Ummi pun urung masuk. Menahan rasa khawatir dan penasaran ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Aisyah. Tak lama kedunya berdiri, tampak Ilyas keluar dengan wajah kusut dan penampilan yang cukup berantakan.

"Assalamualaikum, Pak. Ada apa sebenarnya Pak? Bagaimana keadaan Aisyah sekarang, Pak?" Saking cemasnya Raihan, tanpa segan ia mencecar pertanyaan kepada atasannnya itu.

Ilyas tampak menghela napas cukup panjang kemudian menjawab salam. "Ayo duduk dulu, Rai saya akan jelaskan. Mari Bu Zainab," ajak Ilyas yang langsung dituruti oleh keduanya.

Sebelum Ilyas mengeluarkan suara, tampak ia menghela napas begitu dalam. Guratan kekhawatiran dan kegelisahan begitu jelas terlihat dari raut wajahnya.

"Bertepatan saat Aisyah tadi sadar, Dokter datang menvonis cidera kepala cukup parah dan memberitahukan bahwa terjadi pendarahan dalam otak Aisyah. Makanya dokter memberi saran agar secepatnya melakukan operasi." Ilyas menjeda penuturannya dengan kembali menghela napas.

"Saya benar-benar bingung, Rai harus bagaimana. Aisyah harus segera di operasi. Bapak Mertua saya juga sekarang sedang kritis, saya dan istri saya belum ke sana sampai sekarang. Apakah lebih baik Aisyah operasi di sini saja. Tapi ... saya sangat-sangat khawatir." Ilyas menunduk, kegundahan dan kebingungan ia luapkan dengan embusan napas kasar yang entah sudah berapa kali ia lakukan.

Raihan yang mendengarkan, ikut berpikir keras. Ingin sekali membantu, tetapi ia tak pantas melakukan hal itu, karena Aisyah sudah jelas bukanlah mahramnya.

"Oh iya. Apakah nggak sebaiknya Ahsan saja yang menemani Aisyah, Pak?" usul Raihan saat mengingat Ahsan dan Aisyah tak hanya sepupu, tetapi juga saudara sepersusuan dan berarti keduanya mahram.

"Nggak bisa, Rai. Istrinya lagi hamil besar dan PHL nya kata dokter dua hari lagi. Itu berarti ia tak mungkin bepergian jauh. Belum lagi, Ahsan harus menggantikan saya mengurus perusahaan."

Raihan pun akhirnya menghela napas cukup panjang, berusaha mencari jalan keluar lagi.

"Biar, Raihan saja yang menemani Aisyah, Pak Ilyas." Raihan dan Ilyas langsung menoleh ke arah Zainab. Cukup terkejut dengan penuturan wanita paruh baya itu.

"Raihan mencintai Aisyah, begitupun sebaliknya. Kita nikahkan mereka, sebelum berangkat ke singapura," jelas Zainab yang mengerti tatapan dua laki-laki itu. Karena pasti yang mereka pikirkan Raihan dan Aisyah bukan mahram untuk pergi berdua saja.

"Tapi Aisyah masih sekolah, Mi," ucap Raihan.

Ilyas yang tadi juga sempat terkejut akhirnya terbuka pikirannya. "Kamu serius ada niatan untuk menikahi Aisyah, Rai?"

Raihan semakin terkejut akibat Ilyas yang juga membahas pernikahan, laki-laki itu sempat terdiam seraya mengerjap-ngerjapkan matanya.

"Yakin, Rai?" tanya Ilyas lagi karena Raihan belum juga menjawab.

"Em, sebenarnya kalau niatan memang ada, Pak. Tapi saya masih memikirkan Aisyah yang masih sekolah."

"Itu nggak penting sekarang, Rai. Soal sekolah Aisyah kita pikirkan belakangan. Yang penting, Aisyah sembuh dulu. Karena saya nggak mungkin membiarkan Aisyah ditemani laki-laki bukan mahramnya."

Raihan pun setuju dengan ucapan Ilyas dan akhirnya ia tak keberatan untuk menikahi Aisyah hari ini juga.

Flashback off

"Au!" teriak Aisyah, membuat Raihan sadar dari lamunannya dan langsung mendekati istrinya.

"Kenapa, Syah?"

"Auuu ... sh ... sh ... kepa-laku sakiiit," rintih Aisyah sembari memegangi kepalanya begitu erat.

Raihan tampak panik, begitu pun yang lain. "Syah ... sabar ya, Syah."

"Biar aku panggilin dokter." Seseorang yang berdiri di belakang Raihan langsung lari.

"Aaaa!" teriak Aisyah semakin keras. Tubuh Aisyah sempat kejang dan kemudian tak sadarkan diri.

"Aisyah!"

.
.
.
.
.
.
Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top