18. Harapan dan Doa

Assalamualaikum sahabat pembaca

Alhamdulillah akhirnya nambah part lagi nih dari sekian lama hehehe

Yuk yuk baca.

Jangan lupa vote dulu ya. 😀

Happy reading

💕💕💕💕💕💕💕

Jangan banyak ngelamun
Banyak-banyak zikir, agar hati kamu tenang. Diam-mu jangan dibikin mikir yang buruk-buruk, tetapi berdoalah dengan kesungguhan. Karena doa adalah senjata orang islam untuk segala pengharapan.

💕💕💕💕💕💕

Langit cerah pagi ini, tetapi tak mampu mencerahkan hati Raihan yang digelapi oleh kepilaun. Raut mukanya tampak lusuh, tak bersemangat sama sekali untuk bekerja hari ini. Semalam ia baru pulang hampir tengah malam, sampai di rumah pun tak bisa terlelap tidur karena pikirannya dipenuhi dengan bayang-bayang Aisyah.

"Ummi jadi ikut nengokin Aisyah ke rumah sakit?" tanya Raihan yang baru saja duduk di ruang makan. Iya, semalam dirinya sampai di rumah, sang Ummi terbangun dan menanyakan apa yang terjadi sampai-sampai pulang larut malam. Jadilah, Raihan menjelaskan runtut peristiwa yang terjadi secara detail. Mengenai pengutaraan rasa hati itu pun Raihan tak luput diceritakan kepada sang ummi.

"Iya, Nak. Ummi juga sangat ingin melihat keadaan calon menantu Ummi." Raihan sontak menatap ke arah Umminya saat mendengar kata menantu.

Zainab pun tersenyum simpul, sebenarnya ia berkata demikian hanya ingin membuat Raihan tersingkir sejenak dari rasa takut dan kekhawatirannya akan kehilangan Aisyah.

Benar saja, kini Raihan tampak tersipu malu-malu menunduk, tak berani menatap sang ummi. "Ah, Ummi bisa saja," ucap laki-laki itu salah tingkah.q

"Kamu ada niatan serius mau menghalalkan Aisyah, kan, Rai? Jangan malah ngajak dia pacaran lo."

"Ya enggak lah, Mi. Kalau saja boleh, Raihan maunya nikahin Aisyah secepatnya, Mi. Tapi Raihan nggak boleh egois, sih. Aisyah kan masih sekolah."

"Iya juga, ya. Ya udah kita sarapan dulu, biar nggak kesiangan berangkatnya." Raihan mengangguk setuju, kemudian keduanya makan bersama dalam keheningan.

---***---

Setelah mengantar sang ummi tadi ke rumah sakit. Raihan langsung ke kantor. Meski sebenarnya ia ingin menemani Aisyah di rumah sakit, ia harus sadar diri. Ia bukan siapa-siapanya Aisyah dan masih mempunyai kewajiban bekerja hari ini.

Tubuh Raihan memang berada di kantor, tetapi pikiran dan hatinya seakan tertinggal di rumah sakit. Selama kerja, ia benar-benar tak fokus. Apalagi tadi pagi saat dirinya melihat tubuh Aisyah yang terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang menempel di tubuhnya. Ia benar-benar tak tega, ingin rasanya menggantikan posisi Aisyah saja.

"Rai."

Raihan bergeming. Netranya memang menatap layar laptop yang menyala, tetapi tatapan itu seakan kosong dengan pikiran tak fokus pada pekerjaan.

"Raihan," panggil suara berat itu lagi. Namun, Raihan tetap bergeming seakan tuli.

Laki-laki yang berdiri di depan Raihan itu pun tampak menggeleng-geleng. "Raihan!" panggilnya lagi dengan suara lebih lantang seraya tangannya memukul lengan Raihan.

Raihan langsung terkesiap. Ia tampak kelabakan dan langsung menoleh ke arah laki-laki yang kini berdiri tegap di dekatnya.

"Eh, Pak Ilyas. Ada apa ya, Pak?" tanya Raihan dengan sedikit tegopoh-gopoh langsung bangkit dari duduknya.

"Rai, Rai. Udah siang gini masih ngelamun aja. Mikirin apa? Sampai-sampai aku panggil berulang kali kamu nggak denger."

Raihan tampak salah tingkah, terlalu malu tertangkap basah saat melamun. Ia hanya bisa nyengir di hadapan atasannya itu.

"Atau kamu lagi mikirin Aisyah ya?"

Raihan sontak terkejut menatap Ilyas yang ternyata tebakannya sama sekali tak salah.

"Eh ... i-itu, Pak." Raihan tampak gugup ingin mencari alasan lain. Namun, pikirannya seakan buntu dari ide yang ia butuhkan sekarang juga.

Ilyas yang dulu pernah muda pun sangat paham dengan gelagat Raihan. "Nggak usah ngelak, Saya tahu kok, yang kamu rasakan saat ini bukan hanya rasa bersalah atas apa yang menimpa Aisyah," ucap Ilyas menepuk pundak Raihan dua kali, kemudian berniat berlalu dari hadapan laki-laki yang kini mukanya memerah karena ketahuan.

"Oh iya, Rai. Ada kabar baik dari istri saya. Aisyah tadi sempat sadar, katanya nyariin kamu. Nanti sepulang kerja kamu baru boleh mengunjungi Aisyah, dengan syarat pekerjaanmu benar-benar beres untuk hari ini. Jangan banyak ngelamun, sampai hasil laporan kamu berantakan kayak tadi ya."

Hati Raihan seakan tersiram oleh salju yang begitu menyejukkan. Sungguh, kabar Aisyah sadar merupakan kabar yang sangat membahagiakan hatinya. Memang ia sempat malu akibat keteledorannya dalam pekerjaan sempat berantakan. Namun, rasa malu itu terkalahkan oleh kabar gembira tentang Aisyah.

"Baik, Pak. Maaf jika pekerjaan saya agak berantakan hari ini. Setelah ini saya akan usahakan pekerjaan selesai dengan baik dan secepatnya."

"Semangat yang bagus," ucap Ilyas dengan tegas memuji Raihan. Namun, setelah itu gerutuannya juga didengar oelah rungu Raihan, "Dasar anak muda yang terbuai asmara." Ilyas meninggalkan Raihan yang sempat terpaku dengan gelengan kepala dan bibir yang tak henti tersenyum.

---***---

Tepat pukul 16.00 WIB. Raihan dengan semangat empat lima, mengemudikan mobilnya dengan raut wajah berseri oleh kebahagiaan. Ia begitu senang dan merasa tak sabar ingin bertemu dengan wanita yang ia cintai.

"Ah ... cinta ini benar-benar membuatku gila. Bibirku jadi ingin terus tersenyum, padahal tak ada yang lucu di sini," batin Raihan yang sejak tadi memang bibirnya tak lepas dari ukiran senyum semringah. Laki-laki ini benar-benar dimabuk asmara tanpa ia sadari.

Saat sibuk dengan kebahagiaan hatinya yang tiada henti mengingat Aisyah. Tiba-tiba terbesit ide di pikirannya untuk memberikan bunga untuk gadisnya. "Pasti Aisyah bakal suka," batin Raihan segera memarkirkan mobilnya di toko bunga.


Setelah berhasil membawa sebuket mawar putih, Raihan bergegas kembali ke mobil dan mengemudi dengan kecepatam sedang menuju ke rumah sakit yang jaraknya sudah dekat.

Hanya lima menit waktu yang dibutuhkan Raihan untuk sampai. Setelah memarkirkan mobil, kaki jenjangnya melangkah lebar menuju kamar rawat Aisyah. Hatinya tiba-tiba berdebar cukup kencang saat mengingat sebentar lagi akan melihat Aisyah yang katanya sudah sadar. Tak sabar rasanya, membuat bibir terus mengulum senyum dan memompa semangat kakinya untuk melangkah lebih cepat.

"Syah ... Abang datang," batin Raihan dengan wajah semringah dan menyembunyikan buket bunganya di balik punggung.

Saat langkahnya hanya beberapa meter lagi, netranya kini menangkap beberapa orang berdiri di depan kamar Aisyah. Hatinya semakin berdebar, melihat pintu kamarnya saja membuat debaran ini kencang. Bagaimana jika bertemu nanti? Ah ... baru kali ini Raihan gugup luar biasa. Bertemu Aisyah dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya benar-benar membuat hati menggila.

Apa yang dirasakan Raihan ini tak berangsur lama, karena saat langkahnya semakin mendekat, netranya menangkap pemandangan yang tak biasa. Ia sempat menghentikan langkah, bingung melihat Ahsan yang memeluk bundanya yang sedang menangis.

Raihan pun mengedarkan pandangan ke samping dua orang itu. Tampak Umminya sedang duduk di sana dengan air mata yang juga berderai.

"Astaghfirullah ... ada apa ini?" batin Raihan mulai heran dengan debaran hati berbeda dari yang semula.

Air mata mereka tampak menggambarkan kabar buruk. Aisyah, Aisyah kenapa? Pikiran Raihan semakin kalut dan mulai mencerna sebuah kejanggalan yang menyebabkan kegelisahan.

Tak mau berlarut-larut dalam tanya dan rekaan yang lebih aneh-aneh. Raihan pun melanjutkan langkah. Zainab yang menyadari kedatangan Raihan langsung beranjak berdiri dan menghampiri anak laki-lakinya yang semakin mendekat.

Air mata Zainab kembali tak terbendung menganak sungai di pipi. Pikiran Raihan semakin berprasangka buruk. "Kenapa Ummi nangis?" Raihan langsung bertanya saat dirinya berdiri tepat di hadapan sang ummi.

Zainab hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari menutup mulutnya. Sepertinya wanita itu tak kuasa mengeluarkan satu kata pun.

"Aisyah, Mi? Aisyah kenapa?" tanya Raihan tampak sedikit panik saat tangan Zainab sempat menunjuk ke arah ruang rawat Aisyah.

"Ummi ... tolong jawab, Mi. Apa yang terjadi sama Aisyah, Mi?" Raihan yang belum juga mendapat jawaban tampak semakin panik dan tak sabar ingin segera tahu.

"A-Aisyah semakin drop, Rai. Sekarang kritis."

Seakan benda berat menghantam begitu keras ke ulu hati Raihan saat ini. Mendengar kabar buruk itu benar-benar menyesakkan dada dan terasa menyayat di hatinya. Tubuhnya seakan lemas, kehilangan tenaga untuk menopang dirinya untuk tetap berdiri.

Tangan yang sejak tadi menggenggam erat buket bunga itu langsung lemas. Bunga itu pun jatuh tanpa ia sadari, kakinya melangkah lunglai berjalan dengan pandangan lurus ke depan. Matanya seketika berkaca-kaca dan langsung luruh tanpa bisa dicegah.

Ia pun menuju ke arah sebuah kaca yang tembus pandang, melihat gadis pucat di balik ruangan itu. "Syah ... kenapa kamu nggak nunggu aku dulu sebelum memejamkan mata lagi? Tak rindukah kamu padaku, Syah?" batin Raihan dengan tangan mengusap kaca yang mampu menampakkan wajah Aisyah yang semakin pucat.

"Gimana, Mas?"
Mendengar suara perempuan di belakangnya, Raihan ikut menoleh.

Ia dapati Ilyas yang baru saja datang.
"Aisyah harus segera di operasi, Bun, karena luka di kepalanya semakin parah setelah terjatuh tadi. Apalagi mengingat ia pernah mengalami luka yang sama di masa lalu. Dokter menyarankan agar Aisyah kembali operasi di Singapura. Sekarang juga aku akan mempersiapkan semua keperluannya."

Melihat Raihan yang berdiri tak jauh darinya. "Kamu ikut saya ya, Rai. Ahsan temani Bunda dan Ibunya Raihan di sini."

"Baik, Pak."

"Iya, Yah."

Raihan dan Ahsan dengan kompak menjawab perintah Ilyas.

"Sabar, Rai. Banyakin doa buat Aisyah ya. Kata dokter keadaan Aisyah saat ini semakin memburuk," ucap Ilyas saat langkahnya beriringan dengan laki-laki yang ternyata mencintai keponakannya.

Bagaimana pun keadaannya. Laki-laki itu harus tahu dan harus siap dengan segala kemungkinannya, meski itu adalah kemungkinan terburuk.

"Ya Allah ... berilah kesembuhan untuknya ya Allah," ucap Raihan dalam hati penuh pengharapan.

Tepat pukul jam 20.00 Raihan dan Ilyas kembali ke ruang rawat Aisyah. Raihan langsung menghampiri sang ummi, sedangkan Ilyas menghampiri sang istri.
"Gimana, Mas?" tanya Laila saat sang suami menghampirinya.

"InsyaAllah besok pagi, Ayah berangkat, Bun." Saat keduanya saling menguatkan satu sama lain, Laila menyandar di bahu Ilyas. Tiba-tiba Ahsan menghampiri keduanya. "Ayah, Bun. Ahsan pulang dulu ya. Hana barusan telepon katanya ia mendadak kurang enak badan."

"Ya sudah ... hati-hati ya, San." Ahsan mengangguk kemudian mencium punggung tangan kedua orang tuanya bergantian. Sebelum langkahnya pergi untuk pulang, tak lupa ia pun berpamitan ke Raihan dan Umminya.

---***---

Malam kian beranjak semakin larut. Namun, mata Raihan masih saja enggan untuk bisa terlelap. Pikirannya sibuk dengan rasa takut dan khawatir akan keadaan gadis yang kini terkulai lemas di rumah sakit.

"Jangan banyak ngelamun, Rai. Banyak-banyak zikir, agar hati kamu tenang. Diam-mu jangan dibikin mikir yang buruk-buruk, tetapi berdoalah dengan kesungguhan. Karena doa adalah senjata orang islam untuk segala pengharapan."

Tak mau berlama-lama dengan hanya memikirkan yang tidak-tidak. Raihan pun akhirnya bangkit, memilih untuk berwudlu dan bermunajat kepada Sang Maha Penyembuh segala penyakit.

Sebenarnya Raihan tadi ingin menjaga Aisyah dan menginap di rumah sakit, enggan untuk meninggalkan gadis itu. Ia ingin terus menemani Aisyah di dekatnya. Namun, dengan desakan Ilyas yang mempertimbangkan wajah letih sang ummi. Ia tak tega dan hanya memikirkan keegoisan hatinya. Hingga akhirnya ia pun pulang bersama Zainab dengan berat hati.

Setelah menunaikan dua rakaat salat Hajat. Raihan tampak menengadahkan kedua tangannya.
"Ya Allah ... hanya Engkaulah yang kuasa memberi penyakit. Dan Engkau pulalah kuasa menyembuhkannya.
Ya ilahi ... berilah kesembuhan untuk Aisyah. Angkatlah penyakitnya. Berilah jalan kemudahan dan kelancaran untuknya berobat agar ia kembali pulih. Aamiin."

Setelah bermunajat dengan kesungguhan hati, Raihan tak lantas beranjak. Ia tetap duduk menghadap kiblat dengan terus menggulir tasbih seiring zikir yang ia lafalkan dari lisannya.

Tak terasa hampir satu jam ia larut dalam zikirnya. Namun, tiba-tiba terusik oleh bunyi nada dering yang terdengar dari gawainya.

Raihan pun bangkit dan menghampiri keberadaan benda pipih yang kini berada di atas nakas. Sontak keningnya berkerut saat melihat nama Ilyas-lah yang memanggil.

"Malam-malam gini, Pak Ilyas menelepon? Ada apa ya?" batin Raihan tak langsung menjawab panggilan itu.

Degup jantungnya seketika berdenyut dengan cepat. Hatinya berdebar hebat saat terlintas dalam pikirannya menerka suatu hal buruk yang sama sskali tak diinginkan.

"Nggak ... nggak. Aku nggak boleh berprasangka buruk," ucap Raihan lirih sembari menggeleng-gelengkan kepala. Lebih tepatnya, ia menghibur hatinya sendiri dari pikiran buruk yang kini memenuhi prasangkanya.

.
.
.
.
.

Bersambung

Gimana perasaan kalian saat membaca part ini?

Aku tegang dan deg deg an lo.🤧

Yuk komenin 😁

Maunya up lagi kapan nih?

Yang nunggu acungkan tangan yuk.
Semakin banyak yg nunggu.
InsyaAllah semakin cepat up nya 😁
Mumpung sekolah pagi liburan 😃










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top