17. Cemburu
Assalamualaikum sahabat pembaca 😀
Tak terasa udah masuk malam ke 10 Syawwal ya.
Selamat hari raya idul fitri ya sahabat.
Minal aidin wal faizin
Mohon maaf lahir batin
Maaf juga, hampir sebulan baru munculin next partnya.
Jangan lupa vote dulu yok.
🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋
Saat cinta melanda, laki-laki salih itu akan mengutarakan niat menghalalkan.
Bukan mengajak pacaran.
💞💞💞💞
Rasa cemburu memang terkadang memberikan efek buru-buru dengan sebuah praduga yang cenderung ke arah su'uzon. Ingin marah, tetapi hanya bisa tertahan karena merasa tak pantas.
Begitulah yang dirasakan Aisyah saat ini. Hatinya berdesir hebat berefek pada darah yang mengalir dalam tubuhnya seakan mendidih. Tampak kini gadis berjilbab warna coklat itu napasnya menggebu-gebu.
'Bang Raihan bakal nikahin Dini'
Kalimat itu terus terngiang di rungu Aisyah, membuat hati nyeri dan emosinya seakan semakin memuncak.
"Ya Allah ... kenapa dengan hati ini? Mendengar ia akan mengkhitbah wanita lain, nyeri, panas, dan tiba-tiba bikin emosi," batin Aisyah yang kini terus berlari sekuat tenaga agar laki-laki yang terus memanggilnya itu tak berhasil mengejarnya.
"Syah, tunggu, Syah," ucap Raihan yang semakin dekat dan akhirnya bisa memegang lengan Aisyah. Tangan Raihan langsung menahan wanita itu agar tak terus berlari.
"Mau ngapain, sih!" ujar Aisyah langsung membentak sembari terus menghempas-hempaskan lengannya, agar bisa terlepas dari genggaman tangan Raihan yang cukup erat.
"Apa yang kamu lihat dan kamu dengar tak seperti yang kamu kira," jelas Raihan menatap Aisyah yang masih terus memberontak.
"Lantas apa urusannya sama, gue? LEPASIN!" teriak Aisyah yang membuat Raihan seketika membeku. Kepalan tangannya otomatis merenggang dan dengan mudah Aisyah menghempaskan tangan Raihan dari lengannya.
Kerja otak Raihan seakan terhenti sejenak. Ia seakan baru sadar, untuk apa dirinya mengejar Aisyah dan menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
Benar kata Aisyah 'apa pun yang ia lakukan bukan urusan Aisyah, tapi kenapa Aisyah langsung lari?' pikiran Raihan pun dengan cepat menerka sesuatu. Lantas ia pun dengan percaya diri langsung berucap. "Aku tahu, kok. Kamu cemburu, kan?
Aisyah memang berniat meninggalkan Raihan saat laki-laki itu terdiam. Namun, langkahnya langsung terhenti saat mendengar kalimat yang terlontar dari Raihan, karena merasa kalah telak dan tepat sasaran.
Tampak gadis itu menghela napas sejenak, lalu membalikkan tubuh. "Kenapa lo PD banget dengan ucapan lo itu!?" tanya Aisyah dengan kasar penuh penekanan. Berusaha menyembunyikan kebenaran yang ada.
"Karena ... aku akan menghalalkan cinta ini, jika kamu merasakan hal yang sama," ujar Raihan dengan nada lembut tetapi serius, tak membalas sama sekali kekasaran lontaran Aisyah.
Netra Aisyah semakin melebar menatap laki-laki yang melontar kalimat yang begitu mengejutkan. Raihan menatap gadis itu seakan tanpa kedip, ingin menunjukkan bahwa dirinya serius dengan kalimat singkat yang penuh arti itu.
Degup jantung Aisyah sampai-sampai seakan berhenti sejenak saking kagetnya. Namun, detik kemudian degub jantungnya berubah dengan cepat seperti usai lari maraton.
"Syah," panggil Raihan yang melihat gadis di hadapannya hanya diam membisu.
Raihan tak tahu saja, jika hati gadis itu seakan meleleh akibat baper tingkat tinggi. Namun, bukan Aisyah namanya jika tak mampu menyembunyikan apa yang di dera dalam hatinya sendiri.
"Eh, nggak lucu sama sekali becandaan, lo. Udahlah ... gue mau pu ...." ucapan Aisyah sontak terhenti, saat netranya melihat sebuah motor yang melaju sangat kencang dan oleng tepat di belakang Raihan.
"Awas!" teriak Aisyah langsung menarik tubuh Raihan dengan cepat. Berusaha menolong laki-laki itu agar tubuhnya tak terhantam oleh motor yang pengemudinya seperti kehilangan kendali.
Raihan yang ditarik secara mendadak tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya langsung terjatuh. Ia lolos dari serempetan motor itu, tetapi tidak dengan Aisyah.
Bagian samping kanan tubuh Aisyah terserempet motor yang sepertinya sempat berusaha menghindar. Namun tetap saja, tubuh Aisyah akhirnya terpental cukup jauh, hingga kepalanya membentur bagian tepi trotoar cukup keras.
Raihan yang melihat Aisyah terjatuh lebih parah darinya, langsung bangkit dan berteriak, "Aisyah!"
Kaki Raihan dengan cepat menghampiri Aisyah. Tanpa ragu, ia mengangkat kepala Aisyah yang terlihat sedikit berlumuran darah.
"Syah ... Syah ... kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Raihan tampak panik dan langsung menyandarkan kepala Aisyah di lengan kanannya.
Aisyah tampak meringis dan tangannya bergerak memegang kepalanya.
"Tahan ya, Syah. Aku akan bawa kamu ke rumah sakit," ucap Raihan yang sangat paham gerak gerik kesakitan Aisyah.
Tampak Raihan semakin panik dan berniat akan membopong tubuh Aisyah. "B-bang Rai," ucap Aisyah lirih dan terbata.
Gerak Raihan pun akhirnya terhenti. Kini netranya menatap Aisyah intens seakan bertanya apa?
"Ai-isyah juga cin-cinta sa-sama B- ang Rai." Aisyah langsung tak sadarkan diri setelah menyelesaikan kalimat ungkapan hatinya.
"Syah ... Syah." Akibat kepanikan yang melanda, membuat tangan Raihan tanpa sadar menepuk-nepuk pipi Aisyah agar wanita itu kembali sadarkan diri.
Hatinya memang bahagia saat mendengar Aisyah mengutarakan rasa hati yang sama dengan apa yang ia rasa. Namun, saat ini kepanikan dan ketakutan lebih dominan memenuhi ruang hati Raihan.
Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, Raihan pun langsung mengangkat tubuh Aisyah. Menggendong Aisyah ala bride style dan segera membawanya ke dalam mobil.
Meski kegelisahan dan kepanikan begitu melanda hati Raihan saat ini. Ia terus berusaha untuk tenang dan berhati-hati saat mengemudi. Apalagi, kali ini ia harus melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Jadi ia harus benar-benar fokus.
"Syah ... aku mohon, Syah. Kamu harus kuat ya, Syah," ucap Raihan sembari melongok ke belakang. Mau tak mau ia harus berhenti melaju, saat lampu lalu lintas yang menyala berwarna merah.
Melihat wajah Aisyah yang tampak semakin pucat, membuat level kekhawatirannya semakin meningkat. Raihan tampak tak sabar menunggu lampu itu agar segera berubah warna hijau.
Perjalanan yang seharusnya membutuhkan waktu hampir setengah jam saat dilalui dengan laju kendaraan normal. Saat ini Raihan bisa hanya lima belas menit waktu yang ia terobos untuk bisa sampai di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Raihan dengan cepat membawa Aisyah ke brangkar dan langsung disambut petugas rumah sakit, dengan cepat pula Aisyah dimasukkan ke ruang UGD.
Raihan tampak frustasi. Pikirannya benar-benar kalang kabut. Ketakutan akan kehilangan Aisyah benar-benar menyelimuti hatinya saat ini.
"Ya Allah ... berilah kesembuhan untuk Aisyah. Angkatlah penyakitnya yaa Robb," pinta Raihan penuh harap dengan posisi kepalanya mendongak, menatap langit-langit rumah sakit seorang diri.
Dalam kesendiriannya menunggu, pikirannya yang sejak tadi melalang buana, tiba-tiba ingat jika dirinya belum mengabari keluarga Aisyah mengenai apa yang terjadi. Raihan pun segera mengambil ponsel di saku dan men-dial nomor Pak Ilyas.
Selang hampir dua puluh menit, pintu UGD akhirnya terbuka. Ilyas beserta keluarganya langsung bangkit menghampiri sosok laki-laki berjas putih yang kini berada di depan pintu.
Raihan tak ketinggalan ikut di antara mereka.
"Bagaimana keadaan keponakan saya, Dok?" tanya Ilyas dengan penuh kekhawatiran. Raut wajah orang-orang yang mengerumun itu tampak tegang dan penasaran atas hasil pemeriksaan yang memakan waktu lumayan lama menurut mereka.
Tampak laki-laki yang memegang stetoskopnya itu menghela napas cukup panjang. "Cidera di kepala pasien cukup berat sehingga darah sulit untuk dihentikan. Dan sampai saat ini ... pasien belum sadarkan diri. Setelah ini kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Banyak-banyaklah berdoa ya Pak, Buk atas keselamatan pasien. Saya permisi."
Sepeninggal dokter itu dari hadapan mereka. Wajah Ilyas, Laila, Hana dan Ahsan tampak lesu. Tak ketinggal Raihan, ia langsung terduduk lemas. Tangannya sedikit menjambak rambutnya kasar, merasa sangat bersalah atas apa yang menimpa Aisyah.
Bayangan kejadian tadi kembali berkelebat di pikiran Raihan. Membuat penyesalan dan rasa bersalah dalam hatihya kembali merongrong.
Kumandang azan sayup-sayup terdengar, Ilyas menyuruh anggota keluarganya untuk salat lebih dulu, agar mereka bisa berjaga dengan bergantian.
Ilyas yang menyadari Raihan yang terlihat terpukul, akhirnya menghampiri dan memegang bahu laki-laki itu.
Raihan yang terkejut langsung mendongak, ia tak bisa menyembunyikan kekalutan hatinya.
"Maafin Raihan, Pak. Aisyah begini gara-gara saya," ucap Raihan penuh penyesalan.
Ilyas menggelengkan kepala. "Qodarullah wama sya-a fa'ala. Ini adalah takdir Allah, apa yang Allah kehendaki Allah perbuat. Saya sama sekali tak akan pernah menyalahkan kamu, Rai."
Raihan pun mengangguk lemah. "Ayo duduk di sana," ajak Ilyas menuju bangku panjang tempatnya tadi menunggu hasil pemeriksaan.
"Sebenarnya saya sangat-sangat khawatir dengan keadaan Aisyah, karena sebelum ini Aisyah pernah mengalami trauma dan juga sempat koma. Jika memang nanti hasilnya harus operasi, saya akan bawa Aisyah ke singapura untuk pengobatan terbaik di sana seperti yang dulu."
"Jadi ... dulu Aisyah berobatnya di singapura, Pak?"
Ilyas mengangguk, "Iya, Rai. Di rumah sakit sana, salah satu dokternya adalah sahabat saya."
Raihan pun mengangguk-anggukkan kepala berulang kali. Setitik celah kelegaan terbuka dalam hatinya. Ia tahu, cidera di kepala itu sangatlah berbahaya. Apalagi jika dinyatakan cukup berat, Raihan semakin takut akan kehilangan Aisyah.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top