16. Salah Paham
Assalamualaikum sahabat pembaca 😀
Tak terasa udah masuk malam ke 13 Ramadhan ya.
Gimana puasanya nih?
Udah bolong berapa? 😁
Alhamdulillah malam ini aku bawa part baru lagi nih.
Cepet kan?
Seneng nggak?
Boleh baca WP, tapi jangan sampai lupa baca Al Qurannya lebih dibanyakin ya.
Yuk semangat tadarus.
Baca WP 5 menit, tadarusnya harus lebih dari itu. Oke. 😉
Jangan lupa vote dulu yok.
💦💗💦💗💦💗💦💗💦💗💦
Adakalanya, terkadang cinta bisa merusak persahabatan. Itulah yang namanya cinta berselimut ambisi.
Sehingga egois tak pedulikan apapun, selain bagaimana pun caranya agar bisa memiliki.
💦💦💦💦💦💦💦💦💦
Pikiran yang sibuk dengan hal lain, memang berakibat pada ketidakfokusan saat mengerjakan sesuatu. Apa yang dikatakan Alvin tadi, kini benar-benar menyita pikiran Raihan. Kegelisahan menerpa hatinya.
Kerjanya jadi tak fokus. Mengetik satu laporan saja, salah berkali-kali dan tak kunjung selesai. Padahal waktu jam makan siang setengah jam lagi.
Biasanya, jika ia bisa fokus, Raihan akan dengan cepat bisa menyelesaikan tiga laporan sekaligus sebelum waktu jam makan siang tiba.
"Astaghfirullahal'adzhim," ujar Raihan mengacak-acak rambutnya sendiri lalu mengusap wajah kasar.
Ia tak habis pikir, gara-gara kemarin bersama Aisyah. Dua sahabatnya marah dan enggan mendengarkan penjelasannya tadi pagi.
Padahal, bersama Aisyah kemarin bukanlah keinginanku. Itu murni perintah dari pak bos. Kenapa susah sekali, sih membuat mereka percaya, batin Raihan sembari mendongak. Pikirannya kembali mengingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.
Flashback on
"Halah ... bilang aja lo mencari kesempatan berduaan dengan tuh ponakan bos, biar bisa gebet dia kan? Secara, gue kemarin lihat dengan mata kepala gue sendiri. Kalian duduk berdua di depan. Bukannya lo paling anti ngizinin cewek duduk di samping kemudi?"
"Itu semua terjadi juga terpaksa kali, Vin." Raihan terus berusaha menjelaskan.
"Udahlah ... Pak Raihan yang terhormat. Orang yang jatuh cinta itu pasti punya seribu alasan untuk menggaet si dia." Alvin langsung meninggalkan Raihan yang berdiri di depan meja kerjanya sejak tadi. Mau tak mau Raihan pun kembali ke ruangannya dengan gundah gulana dan segera bekerja.
Flashback off
Waktu jam istirahat pun tiba. Raihan sengaja bangkit dan keluar dari ruangannya.
"Vin ... Din. Yuk makan siang bareng," ajak Raihan dengan ramah seperti biasa. Seakan tak terjadi apa-apa di antara mereka.
Keduanya memang sempat menoleh. Namun, detik kemudian kembali menunduk. "Maaf masih sibuk," ujar Dini ketus.
"Gue kenyang," ucap Alvin tak kalah ketus. Namun, bukannya ia bertahan di tempat duduk. Alvin bangkit dan menghampiri Raihan.
Saat posisi keduanya berdekatan, Alvin lantas berbisik. "Kenyang dengan kebohongan, Lo."
Tampak Alvin yang langsung berlalu dari hadapan Raihan. Sangat terlihat dari sorot mata dan nada bicaranya, jika ia begitu marah kepadanya.
"Astaghfirullahal'adhzim," ucap Raihan kembali mengusap wajahnya kasar.
Melihat Alvin yang tak nampak lagi, Raihan pun menghampiri Dini. "Please, Din. Percayalah sama aku. Aku duduk berdua dengan Aisyah itu karena ada Syifa yang tidur di belakang."
Dini tetap membisu, tetapi jemarinya terus dengan lihai menari di atas keyboard. Netranya sesekali menoleh ke arah laporan di meja, lalu ke laptop di hadapannya.
"Din," ucap Raihan lirih dengan nada memohon.
Dini yang merasa tak tega pun akhirnya menoleh. "Kamu percaya kan sama, Aku," tanya Raihan lagi saat mendapat respon baik dari wanita itu.
Dini pun tersenyum lalu berucap, "Dini percaya, kok. Tapi boleh kan Dini cemburu."
Hati Raihan sontak terketuk rasa bersalah. Namun, apa boleh buat, ia sendiri pun tak bisa memaksakan cinta kepada siapa yang bisa mengetuk pintu hatinya.
"Itu hak kamu, Din. Thank's for wanting to believe and sorry for making you jealous." Raihan pun mempersembahkan senyum, kemudian hendak berlalu setelah mendapat anggukan dari Dini.
Namun, baru beberapa ia melangkah, tiba-tiba wanita berkerudung pasmina itu pun angkat suara. "Bang Rai." Secara otomatis langkah Raihan pun terhenti diikuti kepalanya yang menoleh "Iya?" Dini pun langsung menghampiri. "Bang Rai. Sebenarnya Dini butuh bantuan Bang Raihan. Bisa nggak?"
"Bantuan apa?"
"Kita bicara di kantin aja ya, sekalian makan siang," pinta Dini. Karena menurutnya, kurang enak aja jika harus bercerita dalam posisi berdiri di jalan seperti ini.
"Hanya berdua?" tanya Raihan yang pasti keberatan jika jawabannya iya.
"Gampang ... entar Dini paksa Alvin biar gabung sama kita. Dini tahu kok. Gimana cara tuh anak biar nggak marah mulu."
"Oke," ucap Raihan, akhirnya ia bisa bernapas lega sekarang.
---***---
Jarum jam terus berdetak. Memutar sang waktu dengan teratur tanpa jeda sesaat pun. Tepat pukul empat sore, semua karyawan kantor tampak berbondong-bondong keluar. Waktu yang paling menyenangkan bagi mereka, bisa lepas dari kepenatan bekerja seharian.
Begitu pun tiga serangkai yang memang setiap harinya lebih sering keluar bareng. Alvin tak marah lagi ke Raihan setelah tadi ditraktir makan dua porsi jumbo waktu makan siang.
Alvin sebenarnya tipikel orang yang gampang marah, namun mudah memaafkan. Hanya saja, jika ia sedang marah. Maka perlu waktu untuk membiarkannya sendiri dulu. Barulah setelah emosinya tampak reda, penjelasan dari kesalahpahaman yang terjadi akan diterima.
"Gimana, Bang? Jadi, kan?" tanya Dini saat keduanya telah berada di parkiran.
Alvin pulang lebih dulu dengan motornya.
"Iya," ucap Raihan tersenyum menoleh ke arah Dini. Ia hendak membantu wanita itu, bertemu orang tuanya di sebuah restoran. Untuk menjelaskan bahwa Dini tak mau dijodohkan dengan Farhan.
Tak membutuhkan waktu lama--hanya sepuluh menit berselang--keduanya kini telah sampai di tempat tujuan. Dini dan Raihan menaiki mobilnya masing-masing.
"Assalamu'alaikum, Ma, Pa," ucap Dini menghampiri sosok laki-laki dan perempuan yang kini hanya berdua di meja yang sama.
Raihan, hanya mengikuti langkahnya di belakang. Setelah Dini bersalaman. "Kenalin, Pa, Ma. Ini Raihan." Raihan pun tersenyum menyapa keduanya lalu menjabat tangan Papa Dini.
Kedua orang tua Dini pun ramah menyambut kedatangan Raihan, lalu mempersilakan duduk.
Baru saja Papa Dini melontarkan satu pertanyaan ke Raihan. Tiba-tiba terdengar ucapan salam dari seorang laki-laki. Mereka menoleh, Papa Dini pun langsung tampak semringah dan menyambut laki-laki itu tak kalah ramah.
"Oh ... Nak Farhan, akhirnya datang juga. Ayo-ayo sini langsung duduk saja," ujar Papa Dini sembari menyerahkan punggung tangannya untuk dicium laki-laki itu.
Setelah semuanya memesan makanan dan minuman. Obrolan pun dibuka oleh Papa Dini. "Ehm. Gimana, Din? Apakah kamu mau ngomong sesuatu dulu sebelum papa yang ngomong?" Pak Burhan langsung melempar tanya kepada putrinya yang duduk di sisi kanan.
Dini tampak menghela napas sejenak lalu berucap, "Dini hanya mau bilang, kalau Dini tetap nggak mau, Pa dijodohin sama Farhan."
"Apakah karena Raihan kamu menolak perjodohan ini?" tanya sang papa dan langsung mendapat anggukan Dini.
"Iya, Pa. Dini cintanya sama Bang Raihan, dan nggak cinta lagi sama Farhan."
"Tapi, Din. Aku masih sayang dan cinta banget sama kamu, Din," sanggah Farhan langsung menerobos obrolan antara anak dan orang tuanya itu.
Dini sempat menatap Farhan sinis, ia merasa jengah. Melihat laki-laki itu saja membuatnya kesal. Bagaimana mau nikah, kan?
"Gimana, Din? Apakah kamu sama sekali nggak mau memberikan kesempatan kedua buat, Nak Farhan?"
"Untuk apalagi, Pa. Dini kan udah nggak cinta lagi sama dia. Dini cintanya ke Bang Raihan," ucap Dini kekeh dengan penolakannya.
"Apakah kamu yakin, perasaan itu bukan bentuk pelarian hati kamu, Nak?" Popi--Mama Dini--akhirnya ikut membuka suara. Dini langsung menggeleng dan menatap Raihan yang hanya menyimak sejak tadi.
"Mohon maaf sebelumnya, Tante, Om. Bukannya saya sok menggurui atau apa. Hanya saja yang saya tahu. Perasaan seorang wanita jika terlanjur disakiti sebab adanya penghiatan, biasanya memang sangat susah untuk memaafkan dan mengembalikan rasa yang sama. Jadi ... menurut saya. Alangkah lebih baiknya, jika Om dan Tante tak memaksakan perjodohan yang tak diinginkan oleh putri Tante dan Om ini," tutur Raihan cukup panjang, berusaha bijak menjadi penengah dari perseteruan antara anak dan kedua orang tuanya ini.
"Lantas. Apakah itu berarti kamu mencintai putri saya dan mau menikahi dia?"
Hati Raihan serasa terhantam mendengar pertanyaan yang benar-benar menyudutkan dirinya saat ini. Raihan diam membisu, bingung harus menjawab apa. Jika ia menjawab tidak, pasti kedua orang tua Dini menganggap tak ada gunanya ia ikut campur. Namun, jika ia menjawab iya, Raihan tak mau membohongi hatinya sendiri yang tak ingin.
"Iya, Pa. Bang Raihan bakal nikahin Dini, meski tidak untuk sekarang. Iya, kan, Bang?"
Semua mata, kini tampak melihat ke arah Raihan, menunggu-nunggu jawaban laki-laki itu.
Belum juga Raihan membuka mulut, tiba-tiba terdengar suara sesuatu yang pecah.
Sontak, Raihan pun ikut menoleh ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia, saat netranya menangkap sosok wanita berhijab yang sempat juga melihat ke arahnya. Wanita itu tampak kemudian melengos, berjalan cepat dan tak pedulikan sekitar, sehingga sesekali menabrak seseorang.
"Aisyah," ucap Raihan lirih. Ia benar-benar tak menyangka jika Aisyah berada di tempat ini dan pasti telah mendengar obrolan tadi.
Tak berpikir lebih panjang lagi. Raihan pun bangkit. "Maaf semuanya, saya harus pergi sekarang," ucapnya dengan cepat. Tak pedulikan suara Dini yang terus memanggilnya. Ia tak mau, gadis itu salah paham.
.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung
12 Ramadhan 1442 H
Gimana dengan Part ini ?
Yuk komentarin.
Biar lebih semangat.
Kalau perlu spam komen juga boleh lo 😀
Oh iya.
Aku juga publish cerita baru nih.
Cerita tentang ABG bandel pecinta cogan.
Mau tau gimana keseruannya?
Yuk mampir.
Cerita teenlite, tersirat religi juga lo🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top