15. Kegamangan Hati
Assalamu'alaikum sahabat pembaca 🙂🙂🙂
Alhamdulillah setelah beberapa pekan.
Akhirnya aku bawa part baru nih.
Maafkan atas kemacetan ide yang terjadi ya.
Semoga masih ada yg setia menunggu 😁😁
Yuk vote dulu biar nggak lupa. 🙂
Happy reading 🙂
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
Saat kegamangan melanda.
Jangan ragu untuk melakukan salat Istikharah.
Karena hanya Allahlah penentu kemantapan hati setiap hamba-Nya.
💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
Terik mentari tak terasa lagi menyengat kulit. Cahayanya pun tak menyilaukan kala indera penglihatan ini memandang. Keberadaannya di sebelah barat dengan cahayanya yang teduh, seakan hendak berpamit untuk segera kembali ke peraduannya.
Tepat pukul lima sore, mobil Raihan memasuki pekarangan rumah. Senyum semringah sejak tadi tak luntur dari bibir merahnya.
"Assalamu'alaikum, Ummi," ucap Raihan dengan tas yang dijinjing menghampiri wanita paruh baya yang kini tengah duduk bersama kitab suci digenggamannya.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah. Tumben jam segini baru pulang?" tanya Zainab bangkit dan menerima uluran tangan putra bungsunya itu.
"Iya, Mi. Tadi ada tugas tambahan dari Pak Bos."
"Sudah salat Asar, kan?" tanya sang Ummi memastikan agar putranya itu tak melalaikan kewajiban, meski kesibukan dunia menyita waktu.
"Alhamdulillah sudah, Mi. Raihan ke kamar dulu, ya."
Setelah mendapat anggukan dari wanita yang menatapnya dengan senyum ketenangan. Raihan pun segera mengambil langkah menuju kamar.
---***---
"Oh iya, Mi. Tadi Raihan ketemu Aisyah. Katanya besok sepulang sekolah insyaAllah mau mampir ke sini," ujar Raihan yang baru menyelesaikan makan malamnya bersama sang Ummi.
"Iya? Alhamdulillah," kata Zainab antusias--raut wajahnya benar-benar tampak guratan bahagia.
"Entah kenapa ya. Lama nggak ketemu Aisyah, bawaannya kangen. Apalagi semenjak Ummi tahu masa lalunya. Ummi jadi semakin sayang, berasa ke anak Ummi sendiri."
Dada Raihan sontak seperti terhantam, diikuti debaran hati yang mulai tak beraturan. Apakah ini sebuah kode? batin Raihan.
Melihat Raihan yang malah melamun, Zainab sontak bertanya,"Kamu kenapa, Nak. Kok malah melamun."
"Eh, nggak apa-apa kok, Mi," ucap Raihan lalu nyengir dan menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Gimana?"
"Gimana apanya, Mi?" tanya Raihan, tampak bingung dengan pertanyaan sang ummi.
"Udah nemu calon, belum?"
Raihan tampak terkejut, pasalnya setelah membahas Aisyah, kenapa sang ummi tiba-tiba beralih membahas calon.
"Melihat gelagat kamu, kok kayaknya Ummi merasa diam-diam kamu punya target ya. Bener itu, Rai?" tanya Ummi akhirnya ingin memastikan kecurigaannya atas gelagat tak biasa yang muncul dari putranya itu.
Raihan tampak menghela napas, ia merasa tak punya pilihan lain. Ia juga merasa butuh mengkonsultasikan kegelisahan hatinya akhir-akhir ini kepada sang ummi.
"Boleh Raihan tanya sesuatu, Mi?"
Zainab dengan mantap menganggukkan kepala, senyum di bibir dan tatapan cintanya tak luntur sejak tadi kepada anak laki-lakinya itu.
"Bagaimana menurut Ummi, tentang menikah dengan beda usia yang cukup jauh?"
Zainab langsung mengerutkan kening. Hanya sejenak berpikir, ia langsung bisa menebak apa yang Raihan pikirkan saat ini.
"Apakah kamu mencintai Aisyah?" tanya Zainab langsung.
Senapan pertanyaan sang ummi benar-benar tepat sasaran. "Kenapa Ummi jadi nyimpulin gitu, sih. Kan Raihan cuman nanya, Mi," kilah Raihan, masih ingin menyembunyikan rasa dalam hatinya. Karena jujur, ia sendiri masih bingung dengan rasa apa yang sebenarnya bersemayam kini di hatinya itu.
"Loh, Ummi kan hanya tanya, Nak. Kenapa kamu jadi panik gitu. Ummi jadi tahu jawaban pertanyaan Ummi sendiri tanpa kamu jawab."
"Aish, Ummi. Tolonglah, jangan bikin Raihan merasa terpojok kayak gini."
Ummi Zainab sontak terkekeh. Lucu saja melihat putra semata wayangnya itu jadi salah tingkah seperti ini. Pasalnya, jarang sekali Raihan bergelagat seperti ini karena dia memang merupakan sosok laki-laki setia dan tak gampang jatuh cinta.
"Baiklah, sekarang kamu harus cerita dulu ke Ummi. Sebenarnya apa yang hati kamu rasakan?" Ummi Zainab menatap teduh sang anak, seakan siap menjadi pendengar terbaiknya.
Seorang ibu, selalu berusaha menjadi peran ternyaman buat anaknya. Apalagi jika takdir menghendakinya untuk menjadi single parents. Ia harus pandai memainkan banyak peran.
Seperti Zainab saat ini, ia harus menjadi sosok peran sahabat untuk putranya. Karena kali ini, Raihan menjadikan dirinya sebagai tempat curhat masalah hati.
"Sebenarnya Raihan masih bingung, Mi. Apa yang dirasakan hati Raihan kepada gadis itu. Antara hanya sekedar sayang layaknya kepada seorang adik, atau malah cinta yang bersemayam di hati Raihan?"
Zainab tersenyum, tangannya mengelus lengan Raihan.
"Apakah yang kamu maksud gadis itu adalah Aisyah?"
Raihan mengangguk malu-malu.
Senyum Zainab semakin merekah kemudian kembali melontar tanya, "Apakah kamu sayang sama Maira?"
Dahi Raihan sontak melipat, menatap sang ummi dengan keheranan. "Kok ...."
"Jawab aja," sanggah Zainab memotong Raihan yang akan protes.
"Ya sayang, sih. Cuman hanya kayak ke adik Raihan gitulah, Mi."
"Kalau ke Aisyah? Bedanya apa yang kamu rasakan saat bersama Maira?"
Raihan terdiam, berpikir sejenak.
"Kamu nggak deg-degan kan kalau dekat sama Maira?" tebak Zainab saat melihat Raihan tak kunjung menjawab.
Mendengar pertanyaan sang ummi, Raihan pun sontak mengangguk mantap.
"Itu, namanya cinta, Nak," ujar Ummi Zainab sembari mengelus-elus lengan Raihan yang menatapnya terpaku.
"Jadi, Raihan harus gimana, Mi? Raihan merasa tak pantas memiliki rasa ini ke Aisyah. Selisih umur kita sangat jauh," ujar Raihan menatap sang ummi sendu.
Entahlah, rasa ini membuat hati Raihan galau. Lebih galau lagi saat mencari bagaimana caranya ia bisa melupakan sebuah rasa yang telah terlanjur merasuk ke dalam hati.
"Istikharah, Nak. Karena jodoh tak pernah memandang selisih usia, kan?"
----***----
Pagi cerah, sang bagaskara bercahaya terang menyinari bumi. Seakan memberikan semangat kepada para penghuni bumi untuk segera beraktivitas.
"Ummi, Raihan berangkat, ya," ujar laki-laki yang kini telah berpenampilan rapi dan menjinjing tas kerjanya di tangan kiri.
Sang ummi yang baru saja usai membersihkan meja makan tampak tersenyum menatap anak laki-lakinya.
"Iya, Nak. Hati-hati ya. Semoga mendapat rezeki yang halal dan berkah."
"Aamiin. Assalamu'alaikum," ucap Raihan setelah mencium punggung tangan Umminya takzim.
Setelah mendengar jawaban salam Ummi Zainab, Raihan pun langsung berlalu dari hadapannya.
Setibanya di luar, tangannya memencet remot alarm mobil. Ia letakkan tas di dalam, lalu melangkah menuju ke sebelah rumahnya setelah menutup pintu mobil.
Raihan pun mengetok pintu seraya berucap salam setibanya di depan rumah Alvin. Tak menunggu lama, knop pintu berputar dan memunculkan sosok gadis cantik menjawab salamnya.
"Eh, Bang Raihan. Mas Alvin udah berangkat, Bang."
Kening Raihan sontak melipat, heran dan bingung dengan apa yang ia dengar. "Alvin berangkat duluan?" tanya Raihan lagi untuk memastikan bahwa ia tak salah dengar. Maira tanpa ragu menganggukkan kepala.
"Oh, ya udah kalau gitu. Abang berangkat juga kalau gitu."
"Emang Mas Alvin nggak bilang ke Bang Rai?"
"Kayaknya nggak, tapi Abang sedari pagi belum cek HP sih. Ya udah, Abang permisi ya, Mai. Assalamu'alaikum." Raihan langsung berjalan menuju mobilnya dengan rasa penasaran.
Tumben tuh anak berangkat kerja nggak barengan, batin Raihan.
Setelah sampai di mobil, Raihan mengambil ponsel di tasnya. Mengecek chat atau panggilan dari Alvin, tetapi hasilnya nihil. Tak ada satu notif-pun yang muncul atas nama Alvin di benda pipih itu.
"Apa dia ada keperluan mendadak kali ya. Sampai lupa nggak ada kabar sama sekali," tebak Raihan bermonolog dengan dirinya sendiri, agar tetap berprasangka baik.
Tak mau lanjut dengan berbagai prasangka, Raihan pun segera mengemudikan mobilnya menuju kantor.
Jalan raya tampak padat merayap. Pagi ini ia tak menemui gejala kemacetan. Tak sampai tiga puluh menit, akhirnya Raihan menghela napas lega yang diiringi hamdalah saat mematikan mesin mobil, begitu sampai di parkiran kantor.
Dengan wajah cerah ceria, ia menyapa ramah rekan yang kebetulan juga baru datang. Saat langkah kakinya baru saja akan memasuki lift, netranya melihat Alvin berjalan tampak baru saja datang.
Netra Raihan memicing dengan dahi yang berkerut. Tadi berangkat duluan, tapi kok baru sampai? batin Raihan.
Langkahnya urung memasuki lift, ia pun berjalan menghampiri sahabatnya.
"Vin, kamu dari mana?" tanya Raihan saat keduanya kini berdiri berhadapan.
"Dari rumah," jawab Alvin singkat lalu berjalan melewati Raihan yang masih terdiam. Namun, detik kemudian Raihan ikut mengambil langkah dan mengiringinya.
"Kenapa nggak bareng aku tadi?"
"Lagi pengen sendiri," ujar Alvin semakin ketus, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Raihan.
"Kamu kenapa, sih. Lagi PMS ya?" tanya Raihan penasaran, pasalnya sikap Alvin pagi ini tak seperti biasanya.
"Itu tahu. Udah sono, mungkin mau izin lagi entar?" Raihan terdiam, langkahnya terhenti mendengar pertanyaan Alvin dan mencoba mencerna apa maksud Alvin berucap demikian.
Tak perlu waktu lama, detik kemudian Alvin langsung paham dan segera mengejar langkah Alvin yanh telah masuk lift.
"Astagfirullahal'adzhim, kamu marah gegara kemarin aku izin seharian?" tanya Raihan ingin memastikan.
"Modus," ucap Alvin lirih dengan nada mencibir.
Untungnya di dalam lif hanya mereka berdua, membuat Raihan leluasa meminta penjelasan dari perkataan Alvin barusan. "Modus? Maksud kamu apa, Vin?"
"Udahlah, Rai. Enggak usah bohongin gue sama Dini lagi. Gue kira lo ini beneran alim dan anti pacaran. Tapi apa? Buktinya kemarin, lo jalan berdua sama Aisyah, kan? Parah lo, gue bener-bener nggak nyangka, lo tega menusuk gue dari belakang!" cerca Alvin membabi buta, tampak ia tersulut emosi. Begitu usai dengan perkataannya, Alvin langsung meninggalkan Raihan yang mematung begitu pintu lif terbuka.
.
.
.
.
.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top