13. Unik dan Apa Adanya
Assalamu'alaikum sahabat pembaca 🙂🙂🙂
Alhamdulillah aku bawa part baru nih.
Maaf baru sempet dan muncul ide hehe.
Yuk vote dulu biar nggak lupa. 🙂
Happy reading 🙂
🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀🎀
Cinta itu tak memiliki makna.
Namun, hanya sebuah rasa rindu, ingin dan takut.
Rindu jika tak bertemu.
Ingin selalu bersama.
Takut untuk ditinggalkan.
🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎗🎗
Dalam diam, ketika menatap Aisyah yang sedang mengobrol lewat telepon itu dari kaca spion. Raihan tiba-tiba teringat kata-kata Alvin tadi pagi saat berangkat kerja."Eh, Bro. Aisyah kalau sama gue pantes 'kan ya? Kalo sama lo, sih ... kayaknya kemudaan, deh. Jadi dia jatah gue, dong"
Raihan tampak menghela napas. Menormalkan detak jantung yang sejak tadi berdegup abnormal. Mungkin bener kata Alvin. Aisyah pasti saat ini masih berusia belasan tahun. Sedangkan aku, menjelang kepala tiga. Aku harus bisa menetralkan rasa ini, meski aku sendiri pun tak yakin jika ini adalah cinta, batinnya sembari mengembuskan napas tampak berat.
Raihan sendiri pun sebenarnya bingung dengan apa yang dirasakan hatinya saat ini. Semenjak seringnya bertemu di rumah sakit dan sikap Aisyah yang lambat laun berubah sedikit demi sedikit mengurangi sikap juteknya. Hati Raihan sering berdebar dan hampir setiap kali bertemu Aisyah debaran itu muncul. Bayangnya sering muncul di pelupuk mata, sehingga tak terasa bibirnya mengukir senyum saat mengingat tingkah apa adanya gadis itu.
Bagi Raihan, Aisyah gadis manja dan apa adanya--tidak sok jaga image, terutama jika di hadapan laki-laki. Karena itu dia terkadang bingung dengan apa yang dirasakan hati, apakah itu sayang ataukah cinta?
---***----
Rumah Makan Kuningan, di sinilah Raihan dan Aisyah berada sesuai perintah Ilyas.
"Kamu pesen apa?" tanya Raihan langsung menyodorkan buku menu ke arah Aisyah yang duduk di seberangnya.
Setelah sekian detik membolak balik buku menu itu Aisyah mendongak. Ide licik muncul di pikirannya.
"Mi Udang ekstra pedas sama jus apel," kata Aisyah sembari melirik ke arah Raihan.
Raihan hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengar menu yang Aisyah sebutkan.
"Lo, bukan cowok pengecut yang takut sama pedas, kan?" tanya Aisyah tersenyum meremehkan.
"Ha! takut? Ya enggak lah," jawab Raihan tanpa ragu, tampak ia menyandarkan punggungnya agar lebih rileks.
"Bagus, kalau gitu, gue tantangin lo makan menu sama dengan yang gue pilih barusan. Berani?"
"Oke, siapa takut," ucap Raihan lalu menulis pesanan itu dengan cepat. Kemudian menyerahkan ke waiter yang setia menunggu.
"Kalau lo menang. Besok gue traktir lo makan sepuasnya sesuai tempat yang lo mau. Tapi, kalau gue yang menang, lo yang teraktir gue. Gimana?"
Raihan menggeleng. "Itu namanya taruhan, sama aja dengan judi. Dosa," jawab Raihan tegas, lalu sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Orang cuman buat seru-seruan, doang. Serius amat. Dasar," gerutu Aisyah tampak bersungut-sungut.
"Emang dosa bisa ditawar dengan hanya dalih seru-seruan?"
Aisyah pun bungkam, lalu merogoh tas--berniat ikut menyibukkan diri dengan ponsel pintarnya. Namun, Aisyah tak menemukan hal yang menarik dari sosmed yang ia buka. Satu chat-pun tak ada di whatsapp.
Aisyah mendengus kesal, lalu meletakkan ponsel di tempat semula.
Jemarinya bergerak-gerak mengetuk meja sembari kepalanya menoleh ke sekitar.
Melihat Raihan yang baru saja meletakkan ponsel di saku bajunya. Aisyah membuka pertanyaan.
"Kamu suka makanan pedas?"
Raihan menjawab,"Emmm. Lumayan."
Baru saja keduanya terlibat dalam obrolan, tiba-tiba terdengar ucapan salam dari orang yang baru saja datang. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh." Aisyah dan Raihan menjawab salam dengan kompak.
"Tante Ica!" teriak bocah cilik melambaikan tangan menyapa Aisyah. Satu tangan lainnya masih setia digandeng sang kakek.
"Eh, princes cifa ikutan. Sini, Sayang," sapa Aisyah dengan riang. Syifa yang memang sangat akrab dengan tantenya itu, langsung menghampiri.
Aisyah berdiri, lalu membantu Syifa untuk duduk.
Ilyas pun, langsung duduk di kursi kosong tepat di samping Raihan.
"Mau pesan makanan dan minuman, Om?" tanya Aisyah ramah.
"Minum aja, Syah. Om tadi sudah makan siang sebelum kemari."
Aisyah tampak mengangguk-angguk, lalu perhatian beralih ke arah gadis mungil di sampingnya.
"Kalau Cifa mau minum apa?"
"Es klim," ucap Syifa yang memang masih cadel di usia lima tahunnya saat ini.
"Mas!" teriak Aisyah memanggil waiters.
Selang beberapa menit, setelah memesan kopi gula aren dan es krim. Pesanan Raihan dan Aisyah datang. "Ini pesanannya Mbak, Mas. Selamat menikmati." Dengan ramah pelayan laki-laki itu berceloteh, sembari menyajikan makanan dan minuman yang ia bawa tadi.
"Es klim Cifa mana, Tante?"
"Bentar lagi ya, Sayang. Tunggu dulu. Atau kamu mau jus apel?"
Syifa tampak menggeleng. "Cifa kebelet pipis," bisik Syifa ke arah Aisyah.
"Ya sudah, yuk. Kita ke toilet dulu," ajak Aisyah lalu bangkit hendak menggandeng tangan Syifa.
Raihan di seberang keduanya yang sempat mengobrol tampak berucap, "Makan dulu ya, Pak."
"Iya iya, Rai. Silakan," ucap Ilyas tersenyum ke arah Raihan.
"Mau ke mana, Syah?" tanya Ilyas saat mendapati dua perempuan itu bangkit.
"Ini Syifa mau ke toilet, Om."
"Emm ya udah sini. Biar sama Om aja. Ini makanan kamu juga udah siap. Enggak enak keburu lembek."
Aisyah pun mengangguk patuh sembari tersenyum. Setelah tangan Syifa beralih gandengan. Ia puk duduk kembali ke tempat semula.
"Bismillahirrahmanirrahim," ucap Raihan lirih kemudian menyuapkan sesendok mi ke mulutnya.
Baru saja mi itu menempel ke lidah, mata Raihan sedikit membeliak. Kaget dengan sebuah rasa yang cukup dahsyat menurutnya. Namun, saat netranya menangkap gadis di depannya itu kini sedang menatapnya. Sontak Raihan merubah mimik wajahnya biasa saja. Menahan gejolak rasa pedas yang seakan membakar lidahnya.
Astaga, nih anak ya. Gila bener selera pedasnya, rutuk Raihan dalam hati. Untung saja dia juga penyuka pedas, jadi ia tak ragu menerima tantangan gadis jutek tapi cantik itu. Eh.
"Kok udangnya diminggirin?" tanya Aisyah saat melihat Raihan tak memakan udang sebagai campuran itu.
"Alergi," ucap Raihan singkat.
Aisyah pun mengangkat mangkoknya, lalu menyodorkan ke arah Raihan. Dahi laki-laki itu sontak mengerut.
"Biar nggak mubadzir." Raihan baru paham, saat Aisyah mengatakan kata 'mubazir'. Desiran halus seketika mengguyur hati Raihan, jantungnya pun tiba-tiba berdetak lebih cepat. "Astaga nih, anak. Benar-benar unik dan sederhana. Tipikal istri hemat dan sederhana," batin Raihan dan menuruti apa maunya-- memindahkan udang ke mangkok Aisyah.
"Maaf, ya. Aku nggak tahu kalau kamu alergi udang."
Raihan mengangguk. Padahal itu sama sekali bukan kesalahan Aisyah. Dia sendiri yang memilih menerima tantangan itu.
"Permisi," ucap pelayan laki-laki, lalu meletakkan secangkir kopi dan semangkuk es krim.
"Makasih," jawab Raihan dan mendapat anggukan dari laki-laki itu.
Raihan lebih dulu selesai makan. Mulutnya sesekali mendesis dan meminum jus apel di hadapannya.
"Pak Ilyas kok lama ya?" tanya Raihan sembari menengok jam di pergelangan tangannya. Lima belas menit lagi, waktu makan siang kantor habis dan ia harus kembali kerja.
"Munnggkkiin. Ki ..."
"Selesaiin dulu ngunyahnya baru ngomong," tegur Raihan. Aisyah langsung menutup mulut dan matanya menyipit--efek nyengir.
"Sshhhh, hhùufftt," desis Aisyah saat menandaskan porsi makananya dengan cepat. Tampak wajahnya memerah menahan pedas, bulir keringat ikut membasahi.
Raihan yang melihat tingkah Aisyah hanya menggeleng-gelengkan kepala. Lalu senyum-senyum saat mendapati bibir Aisyah yang comot dan ada sisa potongan kecil dari mi menempel di pipi kanannya.
Aisyah yang melihat ekspresi Raihan sontak bertanya, "Kenapa?"
"Kalau makan kayak anak kecil."
Aisyah sontak menarik tisu dan mengelap bibirnya yang pasti makin memerah. Ia ambil lagi tisu dan mengusap di bagian wajahnya.
"Puas ya makannya?"
"He'em. Mantap, kan?"
"Tapi ada yang mubadzir tuh."
"Apa?"
"Tuh, mi nya masih nempel di pipi."
Tangan Aisyah meraba pipi lalu mengusapnya, tetapi tak sesuai target. Potongan kecil mi itu masih menempel.
Raihan yang melihat usaha Aisyah tak kunjung membuahkan hasil. Akhirnya tangan laki-laki itu meraih tisu, lalu menyingkirkan serpihan mi itu.
Aisyah membeku, tak menyangka jika laki-laki menyebalkan tapi ganteng itu. Eh. Bisa melakukan hal ini.
Posisi keduanya begitu dekat. Saat tangannya telah berhasil menyingkirkan benda itu, netra Raihan menangkap tatapan Aisyah, sehingga keduanya bersilih pandang sekian detik.
Desiran hati keduanya sama-sama bergemuruh tanpa saling tahu. Raihan langsung memutus kontak mata itu dan langsung duduk kembali menyembunyikan dirinya yang salah tingkah.
Tepat saat keduanya saling canggung. Ilyas dan Syifa datang.
"Cifa lama amat di toilet?" tanya Aisyah berusaha menghilangkan kecanggungan.
"Biasalah, habis depan keluar. Eh yang belakang nyusul."
Aisyah dan Raihan kompak terkekeh. Namun langsung merapatkan bibir, saat netra keduanya tak sengaja dengan kompak saling pandang.
"Eh, ini es krim udah siap lo," ujar Aisyah kini menatap Syifa yang telah duduk di sampingnya.
"Asiiikkk."
Raihan menyembunyikan senyumnya. Hatinya terbesit rasa kagum melihat Aisyah yang terlihat keibuan jika bersama Syifa.
Baru beberapa sesap Ilyas menikmati kopinya, terdengar nada dering panggilan dari ponsel yang berada di saku, membuat perhatian Raihan beralih dan baru ingat jika harus segera pamit untuk kembali ke kantor. Namun, itu semua tak bisa segera. Mau tak mau, ia harus menunggu Ilyas menyelesaikan obrolannya terlebih dahulu.
Selang beberapa menit berlalu, Ilyas tampak usai dengan obrolannya.
"Rai, setelah ini kamu balik ke kantor? Tadi dari meeting kan?"
Raihan langsung mengangukkan kepala. "Iya, Pak. Ini saya mau pamit sekarang."
"Boleh saya minta tolong?"
Raihan menatap Ilyas lalu kembali mengangguk.
"Kamu temani Aisyah dan Syifa ke mall ya. Ini, saya ada meeting mendadak dengan klien penting yang diajukan sebentar lagi."
Raihan menatap Ilyas bingung, bagaimana dengan kerjaannya di kantor? batinnya.
Seakan paham dengan apa yang dipikiran Raihan, Ilyas langsung berucap, "Kerjaan kamu biar di handle Alvin sama Dinda aja dulu, bisa kan?"
Raihan tak bisa menolak perintah atasannya. Toh, memang sejak ia meeting, pekerjaannya memang di handle oleh kedua sahabatnya itu.
"Oh iya, Syah. Tadi tante kamu nitipin baju ganti buat kamu. Sambil nunggu Syifa ngabisin es krimnya. Kamu ikut Om ambil di mobil ya. Biar Om sekalian jalan."
"I-iya, Om," ucap Aisyah sedikit gugup. Tak menyangka jika waktu bersama laki-laki itu diperpanjang.
"Saya berangkat dulu ya, Ray. Titip Aisyah dan Syifa. Maaf jadi ngerepotin."
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
Gimana dengan part ini?
Komenin yang banyak ya.
Ajak juga teman-teman kalian, sapa tau juga suka sama cerita ini 🙂🙂
Yuk ... mampir juga ke cerita baruku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top