11. Debaran Hati

Assalamu'alaikum sahabat.
Alhamdulillah akhirnya bisa nambah part baru nih 😃

Doakan ide yang manfaatnya lancar ya.
Biar bisa lebih cepat up nya. 😁

Yuk vote dlu sebelum baca. Biar nggak lupa 😄

Happy reading. 🙂

🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🌹🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋

Hati-hati dengan hati.
Karena perhatian dan kepedulian,
bisa menjadi sumber cinta yang terkadang tak disadari.

🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐹🐰🐰🐰🐰🐰🐰🐰

Brak!

"Astaga, waduh duh. Maaf-maaf ya, Mbak. Eh."

"Lo kalo jalan liat-liat, dong. Seenaknya aja nabrak, mata lo ke manain, sih? Untung aja nih kue nggak jatuh. Kalo ampek jatuh, awas aja. Gue minta ganti sepuluh kali lipat."

Oh my god. Mimpi apa gue semalam. Sore-sore gini ketemu bidadari? Syet ... dah. Cantik amat, batin laki-laki di hadapan Aisyah yang malah terpesona. Sama sekali tak menggubris omelan Aisyah yang cukup kasar.

"Apa, lo senyum-senyum!?" bentak Aisyah mendapati laki-laki yang badannya cukup berisi itu terlihat mengukir senyuman.

"Vin." Tiba-tiba datang laki-laki dari belakangnya menepuk pundak Alvin.
Alvin yang terpanggil langsung menoleh dan langsung nyengir.

"Syah. Kenapa?" tanya Ilyas yang tadi datang bersama seorangaki-laki.

"Ini, Om. Cowok itu nabrak Aisyah. Untung aja kuenya nggak jatuh. Kalo sampai jatuh kan berabe. Harus beli lagi dan makin lama lagi kita ke rumah nenek."

Ilyas menggeleng-gelengkan kepala mendengar ocehan keponakannya yang cukup panjang itu. "Tapi nggak jatuh, kan?"

Aisyah menggelengkan kepala. "Ya udah, kamu duduk di belakang, ya."

"Loh, bu--"

"Om yang akan duduk di depan. Raihan yang akan mengemudi mobil. Atau kamu mau--" potong Ilyas sebelum Aisyah protes lebih panjang lagi.

Belum juga Ilyas menyelesaikan pertanyaannya. Aisyah langsung menggelengkan kepala seraya melangkahkan kaki ke pintu belakang.

Iya, laki-laki yang bersama Ilyas tadi adalah Raihan, laki-laki yang  menyebalkan menurut Aisyah.

Ketika keluar dari toilet tadi, Ilyas bertemu dengan Raihan. Keduanya jalan beriringan dengan obrolan ringan. Saat itulah terbesit di pikiran Ilyas untuk minta bantuan Raihan mengemudi mobilnya ke rumah mertuanya untuk menjemput sang istri, karena mendadak kepalanya merasa pusing.

Raihan yang kebetulan tak ada acara apa pun, akhirnya mengiyakan setelah ia menghubungi Umminya terlebih dahulu.

Toh, ini bukan pertama kalinya Raihan ke tempat Zaki--ibu mertuanya Ilyas. Ia sudah beberapa kali ke sana. Selain memang mengantar keluarga Ilyas, ia juga kerap singgah saat main ke rumah Nisa--keponakannya--yang memang dilewatinya.

"Tolong, bawa mobilku dulu ya, Vin. Ada tugas dari Pak Bos," ucap Raihan menyerahkan kunci ke Alvin saat Ilyas dan Aisyah telah masuk ke mobil.

"Boleh, tapi ada syaratnya."

"Ish ... dasar kamu, nih. Apaan? Oleh-oleh?"

Dahi Raihan langsung berkerut saat mendapati gelengan kepala Alvin atas pertanyaannya. Tumben nih anak nggak mau oleh-oleh. Biasanya juga setiap ke mana pun mintanya itu, batin Raihan.

Tak ingin mengulur waktu lebih lama akhirnya Raihan bertanya, "Titip apaan sih, cepet. Pak Ilyas nungguin, tuh."

"Titip salam buat neng gelis yang di dalam ya," bisik Alvin yang langsung mendapat pelototan karena Raihan sungguh terkejut.

"Udah sono jangan lupa, ya. Seriusan nih gue. Pak Bos nungguin, tuh." Alvin mendorong ke depan sambil memegang pundak Raihan.

"Okelah in syaa Allah. Seperti biasa ya, titip. Ummi."

"Sip. Brother."

Raihan akhirnya memamerkan jempolnya, saat tak sengaja menangkap tatapan Ilyas ke arahnya. Tak menunggu waktu lebih lama, ia pun bergegas mengambil langkah ke pintu kanan mobil.

---***---

Tepat saat kumandang azan magrib mereka tiba di rumah Zaki. Setelah bersalaman, semuanya bersiap ke masjid kecuali Aisyah, karena baru saja ia datang bulan.

Aisyah pun memilih tiduran di ruang tamu. Memutar lagu india dan ia tampak menikmatinya sembari memejamkan mata.

Baru dua lagu yang ia putar. Tiba-tiba terdengar deritan pintu yang terbuka, membuat Aisyah membuka mata dan buru-buru merubah posisinya menjadi duduk. Tangannya pun sibuk memperbaiki jilbab yang tadi sedikit berantakan.

"Enggak salat?" tanya laki-laki yang baru saja masuk.

Aisyah menggeleng. "Halangan."

"Oh." Raihan pun langsung berlalu.

Setelah beberapa menit berlalu, Raihan kembali melintas dengan membawa sebuah Al Qur'an di dekapannya. Saat mendengar suara nyanyian india belum juga usai. Raihan pun menghampiri Aisyah yang duduk termangu.

"Ehm."

Aisyah menoleh.
Raihan menyodorkan sebuah gelang seperti tasbih. Gelang kokka namanya.

"Buat Zikir, nenangin hati."
Aisyah yang awalnya bingung, langsung mengambil gelang itu tanpa bisa menolak lagi saat mendengar ucapan Raihan barusan.

Raihan tersenyum, sedangkan Aisyah masih tertegun menatap gelang yang tampak sedikit mengkilap itu.

Raihan pun kembali melangkah, tetapi saat kakinya akan melewati pintu. Kakinya terhenti dan menengok lagi ke arah Aisyah.

"Syah."
Aisyah menoleh.

"Jangan melamun." Bibir Raihan mempersembahkan senyum setelah dua kata itu terucap.
Tanpa menunggu respon Aisyah. Raihan telah keluar dan menutup pintu.
Ia tak tahu saja, jika telah melewati momen pipi Aisyah yang merona. Desiran kesejukan dalam hati, Aisyah rasakan saat itu juga.

----***----

Dersik angin menelisik ke setiap rongga pori-pori kulit. Dingin, lembut membelai kulit yang tak tertutup helai kain.

Malam ini, langit indah ditemani sang purnama. Bintang gemintang pun tak ketinggalan menambah keindahan gulitanya malam.

Seorang gadis kini tampak menikmati pemandangan itu. Kepalanya mendongak, sesekali memandang penuh takjub atas pemandangan karya Sang Ilahi.

Namun, siapa yang mengira. Jika dibalik senyuman bibirnya saat ini menyimpan perih luka akibat terhimpit rasa rindu yang semakin mencekam.

Ia merasa rindu dengan orang-orang yang dicintai. Rindu kedua orang tuanya, juga rindu kepada sosok sahabat yang baru kemarin telah meninggalkannya.

"Mama, Papa, Aisyah kangen.
Ola, gue kangen lo juga, La."
Cairan bening tak kuasa ia cegah lagi. Bersamaan dengan suara lirih itu, air mata itu mencelos, menganak sungai di dua pipinya.

Kelebat bayangan masa lalu bersama kedua orang tua dan sahabatnya seakan terlihat jelas tampak di langit yang ia tatap.

Canda tawa itu, kasih sayang itu, keakraban itu, kemanjaan itu, kekompakan itu, kebahagiaan atau bahkan kesedihan yang pernah dilewati bersama, masih sangat melekat di ingatannya.

"Ehm." Suara deheman mengagetkan Aisyah. Tangannya dengan sigap langsung mengusap pipinya yang terlanjur basah.

"Dipanggil Pak Ilyas, disuruh masuk."

Aisyah menoleh sebentar lalu kembali pandangannya ke arah semula. Tampak ia begitu enggan memenuhi perintah sang paman dan juga tak menggubris sama sekali ucapan Raihan yang berdiri tak jauh darinya.

Melihat tak ada respon, Raihan kembali berucap saat mengingat sesuatu di pikirannya.
"Oh iya, ada salam dari cowok yang tadi." Laki-laki itu masih tetap dengan posisi berdiri, tangannya telah berada di dalam saku celana dan tatapan mata lurus ke arah langit yang memang tampak begitu indah.

"Cowok? Siapa?" tanya Aisyah dengan kening yang mulai berkerut, tetapi tak menolehkan kepala.

"Temen aku yang tadi sempet cekcok sama kamu."

"Oh, cowok gendut dan ngeselin itu. Ogah, gue nggak terima."

"Kenapa?"

"Nggak mau aja?"

"Kalau aku yang kirim salam?"

Aisyah sontak menoleh. Hanya sebentar, setelah itu kepalanya kembali menatap ke depan. Ia hanya sempat melihat senyum tipis dari bibir Raihan.

"Nggak lucu," ucap Aisyah mulai bangkit.

"Hehe, bercanda. Seriusannya, ada salam dari Ummi. Katanya suruh main ke rumah kalau ada waktu."

"Emmm iya iya. Wa'alaikumsalam."

"Loh, kok gitu jawabnya."

"Emang salah?"

Raihan mengangguk.

"Yang bener?"

"'Alaika wa 'alaihassalam. Kepadamu dan kepadanya keselamatan."

Aisyah mengangguk-anggukkan kepala lalu menirukan perkataan Raihan barusan.

Saat Aisyah mulai melangkah dan akan melewati Raihan. "Eh, mau ke mana?"

"Katanya tadi di suruh masuk."

"Hmm bentar." Raihan tampak menunduk, mengambil ponselnya. Mengusap-usap layar itu sebentar, lalu menyodorkan ke arah Aisyah.

"Ummi minta nomer hape kamu."

Bukannya langsung mengambil ponsel itu, Aisyah menatap Raihan dengan tatapan curiga.
"Ummi?" tanya Aisyah akhirnya.

"Iya, emang kenapa?"

"Bukan, Lo?"

"Ish, PD bener. Ya udah kalau enggak mau. Tinggal bilang aja ke Ummi."

Aisyah langsung sigap menahan lengan Raihan. Untung saja saat ini Raihan menggunakan kemeja berlengan panjang, sehingga kulit keduanya tak bersentuhan.

"Eits, sorry," ujar Aisyah sembari mengambil ponsel itu dari tangan Raihan.

Bibir Raihan pun akhirnya mengukir senyum, karena ini memang permintaan sang ummi. Bukankah seorang anak akan selalu bahagia, jika ia bisa mewujudkan permintaan seorang wanita tercintanya?

Selang beberapa waktu, Aisyah pun menyerahkan ponsel itu kembali ke pemiliknya. Tanpa kata, ia langsung bergegas meninggalkan Raihan yang mengecek nomor ponsel yang telah tersimpan itu

Bibir Raihan semakin merekahkan senyuman, kepalanya tampak menggeleng-geleng saat membaca sebuah nama kontak ~SAYANG UMMI~, Aisyah sendiri yang mengetik di ponselnya.

Apakah suatu hari nanti namaku akan terselip di antara nama itu? batin Raihan, sekali lagi ia menatap langit malam yang indah. Namun, ada bayangan yang lebih indah di sana. Wajah cantik Aisyah yang terbalut jilbab tampak seakan tersenyum ke arahnya saat ini.

"Astaghfirullahal'adzhim." Raihan langsung membalikkan tubuh saat merasakan debaran dalam hatinya. Lalu ia pun berjalan ke arah ruang tengah untuk ikut berkumpul dengan keluarga besar Ilyas di sana.

.
.
.
.
.
.
Bersambung

Gimana dengan part ini Kawan?
Yuk ramein dengan komentar kalian. Biar akunya makin semangat.

Semangatku nulis lagi down nih. 😭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top