10. Pelajaran Hidup
Assalamu'alaikum sahabat pembaca. 😃
Gimana kabarnya nih?
Maaf banget ya. Lama banget nggak up cerita ini. Cukup banyak kesibukan di dunia nyata akhir-akhir ini.
Dukung crita ini dg vote dan komen yang banyak ya.
Biar aku nulisnya lebih semangat.😃
Rekomenasikan juga ke teman-temanmu jika memang cerita ini ada manfaatnya dan seru oke. ,😄
Happy reading 😉
🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬🐬
Pelajaran hidup tak hanya dari pengalaman diri sendiri.
Tapi kita bisa juga memetik kejadian sekitar atau pengalaman orang lain
🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠🐠
Hum Tere Bin Ab Reh Nahi Sakte
(Aku tanpamu kini tak dapat hidup)
Tere Bina Kya Wajood Mera
(Tanpamu apalah arti keberadaanku)
Hum Tere Bin Ab Reh Nahi Sakte
(Aku tanpamu kini tak dapat hidup)
Tere Bina Kya Wajood Mera
(Tanpamu apalah arti keberadaanku)
Lagu india berjudul Tum Hi Ho, kini menggema cukup nyaring di kamar Aisyah. Menemani dirinya yang asyik berebahan sembari menutup mata.
Sesekali gadis pecinta film dan lagu india itu ikut menyanyi. Suaranya yang memang merdu ikut menyemarakkan melodi indahnya lagu yang ia nyanyikan.
Saking asyiknya dia berdendang, sampai-sampai ia tak menyadari jika kini tengah berdiri sang Om sembari menggeleng-gelengkan kepala menatapnya. "Pantesan aja sampai pegel ngetuk pintu, dia enggak denger sama sekali," gerutu Ilyas sembari mengambil langkah masuk dan langsung ke arah sound kecil, kemudian memutar volumenya agar lebih mengecil.
Aisyah yang menyadari perubahan volume, langsung membuka mata. "Eh ... ada, Om. Hehe," ucapnya cengengesan lalu beranjak duduk.
"Kamu ini demen banget sih nyanyian kayak gitu? Emang kamu tahu artinya?"
"Ya tau dong, Om. Lagu cinta-cintaan. Hehehe."
Ilyas menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menengok beberapa kaset VCD yang sebagian masih tertata rapi dan sebagian lagi sedikit berantakan.
"Kaset selawatan yang om beliin masih bagus ya, Syah? Nggak pernah kamu stel?"
"Eh ... pernah kok, Om."
"Meski hanya satu kali doang." Aisyah melanjutkan kalimatnya dalam hati.
"Syukurlah, semoga suatu saat nanti. Kamu jadi lebih suka selawatan ya."
Aisyah hanya mengangguk seraya tersenyum. Tak lupa mengamininya dalam hati.
"Oh iya. Besok mau enggak ikut Om?" tanya Ilyas yang kini duduk di samping Aisyah.
"Ke mana, Om?"
"Ke rumah Opa. Sekalian Om mau jemput tante kamu."
"Memangnya Oma sudah sembuh?"
"Alhamdulillah sudah."
"Boleh nanti sebelum pulang, mampir dulu ke makam mama papa? Aisyah kangen," pinta Aisyah dengan mata berkaca-kaca. Kebetulan makam Papa dan Mama Aisyah memang searah dan terletak di antara arah ke rumah Nenek dan Om-nya ini.
"Iya boleh banget, Sayang." Ilyas membelai kepala Aisyah penuh kasih sayang. Wajah Ilyas ikut berubah sendu, setiap kali Aisyah mengingat papa dan mamanya. Selalu saja keponakannya itu menitikkan air mata.
Bunyi nada dering dari ponsel Aisyah mengalihkan obrolan keduanya. Aisyah mengusap cairan bening yang baru saja mencelos. "Bentar ya, Om. Isyah angkat telepon dulu."
Setelah mendapat anggukan dari Ilyas, Aisyah pun menjawab panggilan suara itu.
Baru beberapa detik obrolan terjadi. Tampak Aisyah terkejut lalu berucap, "Innalillahi wainna ilaihi roji'un, Ola." Aisyah membungkam mulut, cairan bening dengan cepat menerobos keluar dari kelopak matanya.
"Iya, iya, gue bakal segera ke sana." Setelah mengeluarkan kalimat itu dari lisannya, Aisyah menekan mematikan panggilan.
"Sahabat Aisyah meninggal, Om. Aisyah pamit langsung ke sana ya."
"Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Biar Om anter, Syah."
Aisyah tak menolak, toh ia juga merasa tak aman jika harus menyetir sendiri saat hatinya terguncang seperti ini.
Ya Tuhan, kenapa Kau ambil dia secepat ini?
___***___
Keesokan harinya.
Sang mentari baru saja menampakkan sinarnya. Selepas salat Subuh tadi, Aisyah masih setia duduk termangu dengan banyak pikiran dalam otaknya.
Layar ponsel di tangannya masih menyala, sejak tadi ia melihat isi galeri foto yang ada. Kelebat masa-masa indah bersama sang sahabat. Masih terekam sangat jelas.
"Ola, gue masih nggak percaya kalau lo udah pergi untuk selamanya. Sama siapa gue akan berbagi bakso semangkok lagi? Siapa lagi yang bakal ngehibur gue, saat gue lagi sedih? Siapa lagi yang bakal ngeredam emosi gue saat gue marah, La? Lo tega ya, ninggalin gue sendirian." Dengan masih menatap layar ponsel yang menampakkan foto sang sahabat, tangan Aisyah mengelus-elus foto itu seraya air mata yang kembali menganak sungai di pipi.
Aisyah kembali tergugu, hatinya sesak. Apalagi mengingat cerita Ibu Ola kemarin. "Tadi pagi, Ola sudah memantapkan diri untuk berhijab. Dia sengaja akan ke rumah kamu setelah ke rumah Bu Dhe Hani mengambil jahitan gamis miliknya. Namun, qodarullah. Takdir Allah berkata lain, dia kecelakaan sebelum sampai ke tempat Bu Dhe-nya dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Keadaannya kritis dan beberapa jam kemudian dia benar-benar tak tertolong, Ola ninggalin kita semua, Nak."
Isakan tangis itu seakan masih terekam jelas di rungu Aisyah. Membuat air matanya mengalir semakin deras. "Ola, lo sahabat terbaik gue. Gue janji, La. Mulai hari ini gue akan berhijab seperti yang kita cita-citakan bersama. Semoga lo bahagia di sana, La. Dan tak pernah menyesal mempunyai sahabat macam gue."
Cukup kematian sahabat, sebagai penasihatku untuk tak mengulur waktu untuk berubah menjadi lebih baik, batin Aisyah mantap.
Iya, diam-diam dibalik sikap keras kepala Aisyah yang jarang menuruti nasihat Om-nya. Aisyah dan Ola sesekali ikut mendengarkan kajian di rumah Ola yang sepekan sekali diadakan.
Bukankah kita tak pernah tahu hidayah akan muncul kapan dan di mana?
Asalkan hati ada keinginan menjadi hamba Allah yang baik. Pasti Allah akan memberikan jalan.
Saat Aisyah masih hanyut dengan lamunannya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Entah sudah ketukan ke berapa kali baru ia menyadari. Langsung saja ia bangkit dan membuka pintu.
"Aisyah jadi kan ikut, Om?"
Aisyah terdiam sejenak, enggan sebenarnya untuk ke mana-mana saat keadaan hati pilu seperti ini.
Namun Aisyah sadar, jika ia tak boleh terus terpuruk dan mengurung diri.
Aisyah pun akhirnya menganggukkan kepala mantap. Apalagi saat ingat ia begitu rindu dengan mama dan papanya.
"Sekarang kamu siap-siap, ya. Om tunggu di depan."
Aisyah mengangguk lagi, kemudian menutup pintu saat Ilyas menghilang dari hadapannya.
15 menit berselang.
Aisyah tampak ragu-ragu hendak keluar kamar. Berkali-kali ia menatap dirinya di depan cermin. Memastikan penampilannya kini tak terlalu aneh dengan sesuatu yang berbeda dari biasanya.
"Semoga Om Ilyas nggak ngeledek Isyah," gumamnya sendiri, lalu segera mengambil tas kecil dan menyelempangkan di pundaknya.
Saat akan sampai di ruang tamu. Aisyah bisa melihat punggung Ilyas, tampak laki-laki itu sedang duduk dengan kepala sedikit menunduk.
"Fiuuhhh." Aisyah menghela napas, berusaha mengusir kegugupan yang tiba-tiba mendera.
Perlahan, langkah demi langkah kaki Aisyah mengayun tanpa terdengar bunyi derap sedikit pun. Sehingga Ilyas yang fokus membaca buku tak menyadari jika Aisyah tiba-tiba telah berada di sampingnya.
"O-om," panggil Aisyah ragu-ragu. Ia begitu gugup, tampak tangannya memilin ujung jilbab.
Ilyas yang merasa terpanggil sontak menoleh. Saat melihat ke arah Aisyah, netranya membeliak.
"Aisyah?" tanyanya sedikit memekik.
Aisyah yang sejak tadi menggigit bibir bawah, langsung menampakkan gigi putihnya, nyengir.
"Hehe, Aisyah kelihatan aneh ya pakai ginian? Kayak emak-emak? Kampungan ya, Om?" cecar Aisyah menatap dirinya sendiri dari bawah.
"Siapa bilang? Kamu makin cantik, lo. Papa Mamamu pasti saat ini sedang tersenyum melihat putrinya mau menutup aurat. Semoga bisa istiqomah ya, Sayang."
Mata Aisyah langsung berkaca-kaca. Dalam hatinya ia berkata, maafin Isyah, Pa, Ma.
"Ya udah yuk berangkat, biar kita enggak kemalaman sampai di sana."
Aisyah mengangguk dan mengikuti langkah sang om.
Saat keduanya berada di mobil. Hening, tak ada obrolan. Ilyas fokus mengemudi, sedangkan Aisyah menikmati pikirannya yang mulai melalang buana memundurkan sang waktu.
Mengingat kejadian keseruannya bersama Ola. Bercanda bersama, makan semangkuk bakso berdua, saling pinjam sepatu dan tas. Keduanya begitu akrab dan kompak, sampai-sampai keduanya menganggap barang Ola juga milik Aisyah. Begitupun sebaliknya.
"Jangan hanya ditangisi dalam kenangan. Persembahkan doa terbaik buat dia. Kirim Al Fatihah dan Yasin, Syah," ujar Ilyas yang memberhentikan mobil karena lampu merah menyala. Ia mengetahui air mata mengalir di pipi Aisyah saat kepalanya menoleh.
Aisyah yang sempat terkejut, sontak menghapus air mata dengan cepat seraya mengangguk. Detik kemudian, bibirnya mengukir senyum nanar.
"Oh iya. Kita mampir dulu ke toko kue ya, Syah."
"Beli kue kesukaan Oma ya, Om?" tebak Aisyah.
Ilyas mengangguk, kemudian kakinya mulai menginjak pedal gas saat mendapati lampu berubah hijau.
Begitu sampai di tempat yang dituju, mobil langsung berhenti di tempat parkir. Keduanya turun dan berjalan beriringan.
"Sholatullah salamullah, ala toha rosulillah. Sholatullah salamullah ala yasin habibillah." Lagu selawat dari suara khas anak kecil yang merdu ini cukup keras disenandungkan, membuat perhatian Aisyah tersita ke arah anak kecil imut yang berjilbab sedikit kumal itu tengah memukul-mukulkan botol plastik ke tangan sebelahnya.
Bibir Aisyah tersenyum miris. Berbagai rasa yang dialami hatinya saat ini.
Terharu dan merasa malu, sekecil ini dia sudah pandai berselawat. Sekecil ini dia sudah menutup aurat.
"Aisyah ke sana dulu ya, Om," pamit Aisyah dan langsung mendapat anggukan dari Ilyas.
Ilyas langsung memasuki toko, sedangkan Aisyah menghampiri anak kecil yang berdiri di depan toko yang tak jauh dari pintu.
Aisyah terdiam berdiri di sebelah gadis itu. Menikmati senandung merdu suara lembut sang gadis yang sepertinya tak menyadari keberadaannya saat ini.
Senyum terbit di bibirnya, tak bisa mengelak jika saat ini ketenangan merasuki hatinya.
Ia juga ikut senang melihat setiap pengunjung toko yang lewat di depannya, pasti akan memasukkan selembar uang di sebuah kaleng yang diletakkan di depan sang gadis.
Beberapa orang yang lewat pasti menatapnya haru, tanpa segan sebagian dari mereka mengusap pucuk kepala sang gadis cilik dengan tak hanya memberinya uang, tetapi juga makanan.
Saat gadis cilik itu berhenti bersuara. Aisyah maju satu langkah lebih dekat.
"Assalamu'alaikum Adik cantik," sapa Aisyah sembari sedikit berjongkok, mensejajarkan dengan tubuh anak kecil itu.
"Wa'alaikumsalam warohmatullah wabarokatuh, Kak." Tampak binar ceria dari wajahnya menjawab dan menatap ke arah Aisyah.
"Waahhh, suara adek bagus banget. Namanya siapa?"
"Lina, Kak."
"Kenalin, nama kakak, Aisyah. Boleh kakak dengerin satu lagu lagi? Nanti kakak beliin kamu kue brownis. Gimana?"
"Blownis? Lasa cokelat ya, Kak?"
Aisyah mengangguk cepat dan berulang-ulang.
"Mau mau, Kak. Kue blownis lasa cokelat juga kesukaan bunda Lina."
"Ooh, sekarang bunda Lina ke mana?"
"Bunda Lina sakit, Kak. Lina ngamen biar dapat uang buat beli obat."
"Oh my God," ucap Aisyah dalam hati.
Belum juga rasa iba dalam hati Aisyah usai. Tiba-tiba terdengar gadis cilik itu mulai menggemakan suara merdunya.
"Bunda ku tercinta
Pengasuh penuh suka
Kan tersenyum bahagia
Ku temukan surga
Ku duduk bersimpuh
Di telapak kaki
Bunda ku tersayang
Wajib ku hormati
Bunda ... Bunda .... Bunda .... Bunda
Bunda ku tercinta
Bunda ku tersayang
Di singgah sana yang kasih
Bunda membalai nyanyian kalbu
Tak kusakiti, tak ku lukai
bunda penawar sedih hatiku
Bunda .... Bunda .... Bunda .... Bunda
Belum juga gadis cilik bernama Lina itu menyelesaikannya nyanyiannya. Aisyah tak kuat lagi menahan gemuruh hatinya. Sesak di dada, air matanya mencelos tanpa bisa dicegah lagi.
Aisyah langsung merengkuh Lina. Gadis cilik itu pun langsung tak bersuara lagi, terkejut.
"Makasih ya, Dek lagunya. Sekarang kita beli kue buat kamu," ucap Aisyah setelah mengusap air mata yang membasahi wajahnya.
Lina menurut saja dan mengangguk dengan senang. Aisyah sangat pandai menyembunyikan kesedihannya. Sehingga gadis cilik itu sama sekali tak menemukan raut kesedihan di wajah Aisyah.
Padahal, lain di wajah, sangat lain di hati. Bibirnya memang bisa tersenyum, namun hatinya sakit, terhimpit oleh rindu yang memekik.
Ya Allah ...
Ampuni hamba yang selama ini tak pernah bersyukur atas segala nikmatmu.
Ampuni hamba yang selalu menyalahkan-Mu tak adil atas takdir yang menimpaku.
Ampuni hamba yang selama ini keras hati, sehingga selalu protes atas ketentuan-Mu.
Hamba baru sadar, jika hidup hamba selama ini bukanlah sesuatu yang sangat menyengsarakan. Masih ada yang lebih memilukan dari pada hidupku.
"Kak, Kak," panggil Lina sembari menarik-narik ujung baju Aisyah. Karena Lina sudah memanggilnya berulang kali, tetapi Aisyah masih bergeming, tak menyahut.
Aisyah pun gelagapan. "Kenapa, Dek?"
"Mau yang ini, boleh?" tanya Lina menatap Aisyah dengan puppy eyes-nya. Menunjuk ke arah brownis bertabur keju dan ada tiga cery di atasnya.
Aisyah mengangguk lalu membelinya. Penjualnya langsung membungkus dan menyerahkan ke Aisyah.
"Ini ya, Dek, brownisnya dan ini buat beli obat. Maaf ya, kakak nggak bisa anter kamu. Kakak masih ada urusan soalnya." Aisyah menyerahkan satu kantong plastik dan beberapa lembar uang berwarna biru kepadanya.
Lina langsung mengangguk. Tampak mata anak kecil itu berkaca-kaca dan langsung menghambur ke pelukan Aisyah. "Telimakasih banyak, ya, Kak. Kakak cantik baik banget."
Hati Aisyah terasa begitu sejuk, lega dan bahagia. Ibarat setetes air sejuk yang mampu menghilangkan dahaga dari keringnya tenggorokan.
Ternyata, memberi kebahagiaan kepada orang lain membuat hati tenang dan bahagia berkali-kali lipat.
Sepeninggal Lina. Aisyah menghela napas cukup panjang. Rasa lega, bahagia, dan haru seakan menjadi satu. Terselip rasa bangga dalam hatinya. Bukan bangga terhadap apa yang baru saja ia lakukan. Melainkan rasa bangga kepada gadis kecil itu yang bisa tegar menghadapi kesulitannya. Ia begitu bisa menyembunyikan sedihnya, senyum terus terukir di bibir mungil yang berwarna merah alami itu.
"Syah, kamu dari mana saja? Dari tadi Om cariin." Ilyas yang tiba-tiba terdengar suaranya begitu dekat, membuat Aisyah terkejut.
"Hehe maaf, Om. Tadi nganter anak kecil beliin kue."
"Oh, yau dah. Kamu bawa ini dulu ke mobil ya. Om mau ke toilet."
Aisyah mengangguk dan meraih kantong plastik yang om-nya sodorkan. Segera ia keluar toko, hendak menuju mobil di parkiran.
Namun, siapa sangka saat ia baru berbelok akan meraih pintu mobil. Tiba-tiba ada seseorang dari arah samping menabraknya.
.
.
.
.
.
.
.
Bersambung.
Siapa ya yg nabrak Aisyah?
Tebak-tebakan yuk. 😁
Oia ...
Kemarin" aku juga sibuk revisi cerita di lapak sebelah nih.
Alhamdulillah skarang udah pre order.
Mungkin ada yang minat? 😀
Kekepin Hasbi dan Nisa versi novel.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top