Tali Cinta

Kunir_Asem:

Bune, hari ini aku tampil babak pertama, dapet nomor urut 9. Doanya, nggeh.

Bune ma lope:

Bismillah, lancar-lancar, Nok. Jangan lupa solawat, fatihah. Bune kirim doa dari sini.

Kunir_Asem:

Enggeh, Bune.

Usai meminta doa pada ibunya, Kunir memasukkan ponsel ke dalam tas kecil yang ia bawa. Baru saja akan membuka mushaf untuk murojaah, ponselnya berdering. Ia menutup kembali mushafnya, kemudian mengangkat panggilan yang ternyata dari Tasya.

"Assalamualaikum, ada apa, Tas?"

"Waalaikumsalam. Lu hari ini udah mulai lomba ape belon?"

"Udah dong. Aku dapet nomer urut 9. Doain, ya."

"Iye gua doain. Ya udeh, sono lu belajar lagi, biar kagak lupa ntar pas maju."

"Iya, siap. Eh sebentar, kamu kenapa nelpon aku?" tanya Kunir bingung.

"Kagak kenape-kenape, pengen tau aje lu udah lomba ape belom," jawab Tasya.

"Terus kalau udah tahu kenapa?" tanya Kunir lagi.

"Lu kenape jadi hobi tanya dah, Nir. Bani Isroil lu," sungut Tasya.

Kunir tertawa, "Ya habisnya kamu aneh, tiba-tiba telpon cuma buat nanya kayak gitu."

Tasya mendengkus, "Gua mau nyemangatin elu awalnye. Tapi pas denger suara lu, kok gua malah ngerasa jijik, ye. Kagak jadi dah."

"Masyaa Allah, so sweet sekali Tasya Aninditaku ini. Makasih ya, Tas, jadi tambah sayang deh." Kunir kembali tertawa usai mendengar penjelasan Tasya. Sahabatnya itu memang selalu menunjukkan perhatian dengan cara yang berbeda.

"Dahlah, gua tutup telponnya. Sono lu apalan lagi."

"Eh sebentar," sela Kunir. Mendadak ia teringat sesuatu. "Semalem aku ketemu Chef Abey tau, Tas. Masyaa Allah, dia berpuluh-puluh kali lebih ganteng dari yang biasa aku lihat di tv."

"Lu ngelindur ye, Nir? Ape jangan-jangan saking stresnya bakal maju lomba, lu jadi halu?"

"Ih, apaan sih. Aku serius, Tasya Anindita! Tapi nih ya, dia nabrak aku. Eh, malah dia juga yang marah. Terus ndak minta maaf, langsung pergi gitu aja. Nyebelin, kan?" adu Kunir.

"Mulai kagak bener nih anak. Lu kagak idup di dunia sinetron, Kunir! Halu lu ketinggian, ngeri gua," sahut Tasya.

"Astaghfirullah, Tas, aku serius." Kunir tak tahu lagi bagaimana cara meyakinkan sahabatnya.

"Udeh udeh, matiin telponnya. Lu fokus ama lomba aje dulu, ngehalunya besok lagi. Semangat, semoga diberi yang terbaek, ye. Assalamualaikum." Tasya segera mematikan panggilan sebelum Kunir menyahutinya.

"Tas... Tas... yaaaahh, kok udah dimatiin sih. Ya udah deh, waalaikumsalam." Kunir mengerucutkan bibir, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Mbak Kunir, dapet nomor undian berapa?" Kunir menoleh, Sarifa duduk di belakangnya.

"Eh, Fa," sapanya, "aku dapet nomer 9. Sampeyan berapa?"

Sarifa menunjukkan nomor undiannya, "12, Mbak. Tapi yang cabang 5 juz udah sampek nomor 9 sekarang, aku sebentar lagi maju. Deg-degan, Mbak, jurinya sangar-sangar."

Terdapat tiga juri dalam lomba MHQ kali ini. Dua di antaranya merupakan guru besar Universitas ternama dan lulusan Al-Azhar, Kairo. Sementara juri satunya adalah seorang Syaikh yang diundang langsung dari Timur Tengah. Meski seluruh juri berwajah teduh dan menenangkan, namun mereka adalah ahlul Qur'an yang keilmuannya tak perlu lagi diragukan. Wajar jika para peserta merasa gentar.

Kunir mengusap lengan Sarifa, "Aku juga deg-degan, Sar. Tapi bismillah, tenang. Baca sholawat terus aja. Semoga diberi kelancaran."

Sarifa menggenggam erat tangan Kunir, "Saling mendoakan ya, Mbak."

Kunir membalasnya dengan anggukan.

"Nomor pesertanya mana, Mbak Kunir?" Doktor Zulfa yang sejak tadi sibuk menelpon seseorang kini menatap Kunir.

"Di dalam tas, Dok," jawab Kunir.

"Panggil 'bu' saja, jangan 'dok', malah kayak mau periksa kamu," kekeh Doktor Zulfa, "itu nomor undiannya ditempel ke jilbab aja, biar kelihatan kalau peserta," lanjutnya.

"Oh, iya, Dok... eh, Bu, maksudnya." Kunir terkekeh. Sepanjang perjalanan kemarin, ia tak banyak mengobrol dengan pendamping lombanya itu. Ia merasa sungkan sebab kewibawaan seorang Doktor Zulfa begitu terpancar. Ia takut salah ucap.

Doktor Zulfa kembali terkekeh, kemudian mengusap kepala Kunir, "Semangat ya, Mbak. Minum air putih, terus tarik napas dalam-dalam dan embuskan, biar gak gugup."

"Iya, Bu. Terima kasih sarannya," sahut Kunir sembari tersenyum. Ia tak menyangka jika ternyata Doktor Zulfa seperhatian itu.

Doktor Zulfa mengangguk sembari menggumamkan kalimat 'sama-sama'. Setelah itu, tak ada lagi obrolan. Masing-masing peserta sibuk memurojaah hafalan.

*****

"Peserta selanjutnya, cabang Musabaqoh Hifdzil Qur'an 30 juz dengan nomor peserta 217 Kontingen DKI Jakarta, atas nama Kuni Raghiba Shafiyyah."

Kunir menarik napas panjang begitu namanya disebut oleh MC acara. Mendadak, jantungnya berdegup kencang. Ia gugup setengah mati.

"Sana naik ke panggung, Mbak. Semangat." Doktor Zulfa mengangguk pada Kunir, mempersilahkan.

"Bu, doanya, ya," sahut Kunir sembari mencium tangan Doktor Zulfa, kemudian berdiri.

"Iya, Mbak. Selalu saya doakan." Doktor Zulfa mengusap lembut kepala Kunir, "bismillah."

Kunir kembali menarik napas, kemudian melangkah pasti ke atas panggung.

"Ananda Kuni Raghiba Shafiyyah?" tanya juri pertama begitu Kunir duduk di tempat yang telah disediakan.

"Iya, Syaikh," jawab Kunir.

"Baik, silakan mengambil undian yang ada di wadah depan Anda."

Kunir mengangguk, kemudian mengambil salah satu gulungan kertas yang ada di hadapannya.

"Silakan dibuka, kemudian sebutkan surah apa yang tertulis di dalamnya," perintah sang juri.

Kunir lagi-lagi mengangguk. Tangannya gemetar membuka kertas undian. "Qur'an surah Az-Zumar."

"Baik. Silakan dibaca surah Az-Zumar ayat 35 sampai 37. Tafadzol." (Silakan)

Kunir menarik napas panjang kemudian mengembuskannya. Ia memejamkan mata untuk memperoleh ketenangan dan menajamkan konsentrasi.

"A'udzu billahi minassyaithonirrajim," ia menarik napas sejenak, "bismillahirrahmanirrahim."

"Liyukaffirallahu anhum aswa'alladzi 'amilu..... "

Kunir membaca ayat yang diperintahkan oleh juri dengan lancar dan khidmat. Ketiga juri saling pandang sembari tersenyum. Peserta yang ada di hadapan mereka kali ini terlihat begitu mumpuni.

"Toyyib. Selanjutnya, baca lima ayat setelah ayat yang terakhir Anda bacakan." Juri kedua memberikan perintah lanjutan begitu Kunir mengusaikan bacaan. (Baik/bagus)

Kunir berpikir beberapa detik, kemudian membacakan ayat yang diminta oleh juri dengan lancar.

"Ahsanti, bagus sekali. Soal terakhir, bacakan dua ayat sebelum ayat yang Anda baca di soal pertama." Kali ini, juri ketiga yang memberikan perintah.

Kunir tak lagi butuh waktu untuk berpikir. Ia segera membacakan ayat yang diminta juri. Ia langsung paham bahwa ayat yang dimaksud adalah ayat pertama dari juz 24. QS. Az-Zumar:32.

"Bagus, tiga soal dijawab dengan baik. Peserta dipersilakan untuk meninggalkan tempat lomba," ucap juri pertama sembari tersenyum.

Kunir membalas dengan senyuman dan ikut mengangguk, mengisyaratkan rasa hormat. Ia turun dari panggung dengan perasaan lega.

"Alhamdulillah lancar, Mbak," sambut Doktor Zulfa dengan senyum merekah.

Kunir mengangguk, "Alhamdulillah, Bu."

"Kita tunggu acara hari ini sampai selesai, baru boleh balik ke penginapan, kan?" tanya Doktor Zulfa.

"Iya, Bu," jawab Kunir. Ia mengambil tasnya yang ada di kursi kemudian duduk. Ketika tak sengaja menoleh ke samping kiri, seorang perempuan paruh baya menatapnya dengan senyum lebar.

"Bu," sapa Kunir sembari mengangguk. Ia hanya ingin berbasa-basi.

Perempuan paruh baya itu ikut menganggukkan kepala. Bibirnya masih menyunggingkan senyum yang sama. "Bacaan Qur'an kamu tartil sekali. Hafalan kamu juga bagus, lancar. Makhorijul hurufnya benar semua. Suara kamu masyaa Allah merdunya. Tadi, pas kamu baru baca taawuz aja, saya langsung terpesona."

Kunir terkekeh canggung, "Terima kasih, Bu. Duh, saya jadi malu."

"Saya Karimah, panggil saja Rima. Pendamping peserta asal Pesantren Ulumul Qur'an, Depok." Perempuan paruh baya tadi memperkenalkan diri, "eh, siapa tadi nama kamu? Kun...,"

"Kunir, Bu," sahut Kunir cepat.

"Ku...nir?" eja Karimah dengan ekspresi ragu,"Kunir itu kunyit, kan? Nama kamu berasal dari nama rempah-rempah?" lanjutnya.

Kunir mengangguk, "Hehe, iya. Bu Rima asli Jawa? Kok tahu kalau kunir itu kunyit?"

Karimah menggeleng, "Bukan, saya orang sini asli. Tapi saya gak asing sama nama-nama rempah dalam berbagai bahasa. Jadi, kenapa nama kamu kunir? Ada filosofinya?"

"Kalau dari yang saya pelajari, menurut ilmu psikologi, warna kuning dapat memunculkan rasa optimis. Kunyit warnanya kuning kan, Bu? Jadi, saya berharap hidup saya selalu dipenuhi perasaan optimis dalam segala situasi. Filosofi itu juga yang bikin saya ndak mau nyerah sama semua keadaan. Tapi ini karangan saya sendiri sih, hehe. Duh, maaf saya jadi panjang lebar." Kunir menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia kembali merasa canggung.

"Wah, bagus bagus." Karimah mengangguk sembari tertawa, "tapi tadi nama kamu Kuni Ra... eh siapa?"

"Kuni Raghiba Shafiyya, Bu," sambung Kunir.

"Nah, Kuni Raghiba Shafiyya. Terus kenapa dipanggil Kunir? Itu unik sekali," lanjut Karimah.

"Sejak kecil, ibu saya kalau nulis nama lengkap saya Kuni R Shafiyya. Beliau menyingkat nama tengah, bukan nama belakang. Beliau suka kata 'Shafiyyah' di nama saya, karena bagian itu pemberian langsung dari Kiai Fathul Mu'in, pengasuh pesantren salaf terbesar di kota saya. Beliau ndak mungkin menyingkat nama depan saya, sedangkan kalau tidak disingkat, nama itu akan terlalu panjang. Jadi, beliau selalu menyingkat bagian tengah. Jadilah orang-orang memanggil saya Kunir. Tapi saya juga suka sih, unik. Bisa bikin orang-orang cepat hafal sama saya," jelas Kunir panjang lebar dan diakhiri kekehan.

"Oh begitu. Iya iya, unik," sahut Karimah sembari mengangguk-angguk. "Kamu cantik, cerdas, suara kamu bagus, hafizah pula. Kamu manusia atau bukan? Hampir sempurna, loh," godanya.

"Saya punya buanyak kekurangan, Bu Rima. Ndak bisa masak salah satunya. Bukankah itu problem terbesar bagi seorang wanita?" sahut Kunir sembari tertawa.

"Nama kamu diambil dari rempah masakan, tapi kamu gak bisa masak? Kamu semakin terlihat unik di mata saya." Karimah ikut tertawa.

Kunir kembali tertawa, "Unik dan aneh sebenarnya beda tipis ya, Bu?"

Karimah mengendikkan bahu dengan raut jenaka, "Ya, begitulah."

Kunir dan Karimah tertawa bersama. Mereka baru pertama kali bertemu, namun entah mengapa bisa terlihat sedekat itu. Kelak, mereka akan tahu bahwa hari ini adalah kali pertama mereka terikat oleh tali cinta.

*****

Hayo, siapa yang kemarin kepo nama aslinya Kunir? Akhirnya launching juga nih di part 10, haha.

Ada yang bisa nebak siapa Bu Rima? Ayo ayo tebak.

Btw, Naya nulis part ini keliling-keliling. Dari Semarang-Salatiga-Solo sampek Semarang lagi. Ya Allah, drama sekali, haha.

Dahlah, selamat membaca dengan penuh cinta. Jangan lupa, tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar, ya 💟.

Semarang, 29 Maret 2021

Naya Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top