Sendu dan Tawa Candu

'Aku tunggu di kafe bawah penginapan ya, Nduk.'

Kunir tersenyum membaca pesan dari Khalid. Setelah mengetikkan balasan, ia bergegas memakai jilbab dan keluar dari kamar.

"Mau ke mana lo?" Isna yang tengah berlatih olah suara menoleh ketika Kunir membuka pintu.

"Ke bawah, ketemu sama temen. Mau ikut?" tawar Kunir.

Isna menggeleng cepat, "Dih, ngapain gue ikutan. Kenal juga enggak. Gue nitip sesuatu aja, ntar gue whatsapp."

Kunir tertawa, "Oke. Ya udah, aku ke bawah dulu."

Isna hanya mengangguk kemudian melanjutkan kegiatannya.

*****

"Kang, udah lama?" sapa Kunir begitu sampai di kafe.

"Belum kok. Duduk, Nduk." Khalid mengulum senyum sembari menarik kursi untuk Kunir. Ia berusaha untuk terlihat biasa saja, meski ekspresi wajah tak mampu membohongi perasaan yang sebenarnya.

Kunir mengangguk, kemudian duduk.

"Apa kabar, Nduk?" tanya Khalid.

"Basa-basinya mbok diganti, Kang, jangan yang itu. Kan, udah jelas-jelas lihat aku sehat wal afiyat, la ini nyatanya bisa ketemu di sini," jawab Kunir sembari tertawa.

Khalid ikut tertawa, "La gimana basa-basi yang bagus?"

"Gimana, ya? Kayaknya semua basa-basi udah basi ya, Kang?" Kunir masih tertawa.

"Yawis, ndak usah basa-basi kalau gitu, langsung aja. Ini buat sampeyan." Khalid menyodorkan sebuah bungkusan pada Kunir sembari terkekeh.

"Wah, apa ini?" Kunir membuka bungskusan dari Khalid dengan senyum semringah, "sambel kacang?" ucapnya bingung.

Khalid mengangguk, "Coba kamu cium aromanya."

"Kenapa emang?" Kunir mengernyitkan dahi, tapi tetap melakukan perintah Khalid. Beberapa detik setelah menghirup aroma sambal kacang di hadapannya, wajahnya kembali semringah.

"Sambel kacangnya De Tun ya, Kang?" tebaknya.

Khalid mengangguk, "Seneng?"

"Seneng banget dong. Ya Allah, aku itu kangen banget sama sambelnya De Tun. Di Jakarta ndak ada yang bisa bikin sambel seenak De Tun, Kang. Makasih banget loh. Kok bisa kepikiran bawain aku sambelnya De Tun sih? Kan, aku ndak minta, masih ngrentek aja," cerocos Kunir. Ia benar-benar bahagia. (Ngrentek: membatin)

Di pesantrennya dulu, pecel De Tun adalah makanan favorit seluruh santri. Sambal kacangnya yang kental dengan komposisi bumbu yang pas selalu berhasil memanjakan lidah para santri . Mereka rela mengantri dan berdesak-desakkan setiap pagi, hanya demi sarapan dengan sepincuk pecel itu. Seluruh alumni jika ditanya makanan apa yang dirindukan dari pesantren, pasti juga serempak menjawab pecel De Tun.

Beberapa minggu yang lalu, ketika Khalid bercerita jika pesantren mereka akan mengirim delegasi untuk lomba MTQ Nasional, Kunir berpikiran untuk menitip sambal kacang De Tun. Tapi kesibukan mempersiapkan lomba dan mengurus acara di DEMA membuatnya lupa. Dan, entah mendapat firasat dari mana, Khalid justru benar-benar membawakan sesuatu yang ia inginkan.

"Berarti aku beneran sakti ya, Nduk, bisa baca krentekmu." Khalid tertawa melihat wajah Kunir yang berbinar-binar.

"Iya iya, sakti mandraguna," sahut Kunir.

"Kemarin sebelum berangkat, aku tiba-tiba inget kalau kamu suka pecelnya De Tun. Ndak mungkin to kalau tak bawakan pecelnya, sampai sini pasti udah basi. Yawis, aku beli bumbu pecelnya aja. Oh iya, sekarang De Tun jualan bumbu pecel kering kayak gitu. Untungnya kemarin masih ada, biasanya laris manis, tiap hari habis," cerita Khalid.

"Wah, alhamdulillah makin maju usaha perpecelannya De Tun. Jadi, kapan-kapan aku bisa minta kirim dong ya, kan udah ada kemasan keringnya," goda Kunir.

Khalid tertawa, "Iya, kalau lagi pengen bilang aja. Nanti tak paketkan."

"Kang Khalid terbaik emang," puji Kunir. Khalid hanya tertawa menanggapinya.

"Eh, ini yang satunya apa?" Kunir baru sadar jika ternyata ada dua bungkusan. Ia segera membuka bungkusan kedua, kemudian kembali memamerkan wajah semringah, "Wah, buku. Ih, makasih lo, Kang. Kok jadi repot-repot sih."

"Ndak repot. Sampeyan masih suka baca, to?" tanya Khalid.

"Masih dong," jawab Kunir antusias, "Maha Guru Para Sufi, wah buku tentang apa ini, Kang?"

"Tentang kisah kearifan Syaikh Abu Yazid Al-Busthomy. Baca o, Nduk, bagus. Syukur-syukur bisa meningkatkan keimanan kita, biar tambah taat sama Allah."

"Wah, pas banget ini, Kang."

Khalid mengernyitkan dahi, "Pas gimana?"

"Jakarta ini kota keras, harus pandai-pandai jaga diri dan pegang teguh prinsip yang kita punya. Kota besar, Kang, penduduknya buanyak, jadi ya ketemu bermacam-macam orang dengan kepribadian dan sifat yang kontras banget sama kehidupan kita di desa. Kalau ndak pinter-pinter jaga diri, ya bisa keikut arus. Bacaan-bacaan gini ini cocok banget buat charger keimanan," jelas Kunir.

Khalid mengangguk paham, "Semoga bermanfaat ya, Nduk."

"Amiin," sahut Kunir.

Obrolan mereka terjeda sejenak dengan kedatangan seorang pegawai kafe. Usai meletakkan semua pesanan, pegawai itu segera meninggalkan meja.

"Tadi sebelum sampeyan dateng, aku udah mesen dulu. Ndakpapa kan tak pesenin ini?" tanya Khalid.

Kunir menatap dua porsi roti bakar, dua cup cappuchino, dua botol air mineral di hadapannya, kemudian mengendikkan bahu sembari tertawa, "Aku pemakan segala, Kang, semuanya masuk."

"Dasar," kekeh Khalid, "eh, gimana lombanya kemarin? Lancar?"

Kunir menyesap cappuchinonya sembari mengangguk, "Alhamdulillah. Aku kemarin dapet nomor urut sembilan. Hari ini masih lomba lagi yang nomor urut 15-30. Besok penentuan siapa yang lolos di babak penyisihan, yang lolos berarti maju lagi di hari Kamis. Kalau lolos lagi, hari Jumatnya maju ke babak final. Nanti hari Sabtu pengumuman pemenang. Doanya ya, Kang."

"Semoga diberi yang terbaik, Nduk," sahut Khalid sembari memotong roti bakar.

Mereka terus melanjutkan obrolan sembari menghabiskan makanan. 2,5 tahun tak bertemu membuat mereka memiliki ratusan stok cerita. Kunir benar-benar merasa bahagia. Ia tak sadar jika di depan pintu kafe, sepasang mata menatap sendu pada ia dan Khalid yang tengah berbagi tawa.

*****

"Loh, Kunir? Kamar kamu di sini?"

Kunir yang hendak membuka pintu kamar menoleh, "Eh, Bu Rima? Loh, kamar kita sebelahan?"

Karimah tertawa, kemudian mengangguk.

"Wah, tetangga kamar kita. Dari mana, Bu?" tanya Kunir ramah.

"Habis beli camilan di bawah. Kamu?"

"Dari bawah juga, habis ketemu sama teman."

"Eh, hari ini gak ada jadwal maju, kan? Ayo sini main ke kamar saya," ajak Karimah.

"Boleh, Bu?"

"Boleh dong, ayo sini masuk." Karimah membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Kunir untuk masuk.

"Peserta dampingan Bu Rima mana?" Kunir duduk di kursi yang ada.

"Sedang jalan-jalan di bawah sepertinya. Mereka kan juga gak ada jadwal maju sekarang." Karimah membuka camilan yang baru ia beli, kemudian menyuguhkannya pada Kunir, "Ayo dimakan."

Kunir mengangguk canggung, "Terima kasih, Bu. Ndak usah repot-repot harusnya."

"Gak repot kok," kekeh Karimah, "oh iya, kamu asli mana, Nir?"

"Saya asli Magelang."

Karimah mengernyitkan dahi, "Magelang? Mana itu?"

"Jawa Tengah, Bu, dekat dengan Salatiga," jelas Kunir.

"Salatiga itu apa lagi? Nama tempat juga?"

Kunir tertawa sembari mengangguk.

"Aduh, saya benar-benar buta soal luar daerah. Jawa Tengah setahu saya cuma Semarang sama Solo. Oh iya, sama Jogja." Karimah menggeleng pelan. Ia jarang bepergian, wajar jika merasa asing pada beberapa nama daerah.

"Jogja malah bukan Jawa Tengah, Bu. Sudah provinsi sendiri," sahut Kunir.

"Wah, udah tahunya cuma tiga, masih salah pula," kekeh Karimah, "terus di Jakarta kuliah, kan? Jurusan apa?" lanjutnya.

"Iya, kuliah di Universitas Bina Ilmu, jurusan desain interior."

"Oh, jurusan yang nanti kerjanya mendesain penataan ruangan-ruangan gitu, ya? Bagus itu prospek kerjanya, apalagi untuk kota se-metropolitan Jakarta. Kan banyak gedung di sana. Hotel, perkantoran, apartement, dan lain-lain. Semua itu kan butuh sentuhan tangan para desain interior. Pinter kamu pilih peluang jurusan," puji Karimah.

"Saya cuma suka iseng nata-nata barang di rumah awalnya, Bu. Hobi ngerubah-rubah posisi perabotan gitu. Terus pas mau nentuin jurusan kuliah baru tahu kalau ada jurusan itu, ya sudah saya daftar di situ," jelas Kunir.

"Pilihan yang tepat." Karimah mengangguk, "Eh tapi kamu hafalan Qur'an juga, kan? Pernah tinggal di pesantren?"

"Sejak SD saya sudah di pesantren. Waktu SD di Magelang aja, pesantren salaf dekat rumah, yang kemarin saya ceritakan kiainya ngasih saya nama itu. Terus SMP sama SMAnya pindah pesantren ke Susukan, sekalian hafalan."

Karimah kembali mengernyitkan dahi, "Susukan nama daerah juga? Di sebelah mana lagi itu?"

Kunir tertawa, "Di Jawa Tengah juga, Bu, Kabupaten Semarang."

Karimah memijat pelan kepalanya, "Aduh, pusing saya. Kayaknya emang kapan-kapan saya harus menjelajahi Jawa Tengah."

"Ayo kapan-kapan main ke rumah saya. Nanti saya ajak jalan-jalan," tawar Kunir.

"Penawaran yang menarik." Karimah mengangguk sembari tersenyum.

Kunir tiba-tiba menepuk dahi, "Ah iya, saya lupa. Sebelumnya mohon maaf, saya baru ingat kalau dititipi teman untuk membelikan sesuatu. Saya harus turun ke bawah lagi. Saya pamit dulu ya, Bu."

"Oh, gitu. Ya sudah silakan silakan."

Kunir berdiri, kemudian menyalami Karimah, "Terima kasih untuk jamuannya, Bu."

Karimah menepuk pelan tangan Kunir, "Enggak seberapa. Lain kali semoga kita kembali dipertemukan, ya. Biar bisa ngobrol lebih banyak."

Kunir menggumamkan amin sembari keluar dari kamar Karimah. Ia harus kembali turun untuk membelikan pesanan Isna. Ia lagi-lagi menepuk dahi, terlalu asyik mengobrol dengan Khalid membuatnya tak sempat mengecek whatsapp. Namun, ketika membuka aplikasi hijau untuk melihat pesanan Isna, ia justru dibuat tertarik oleh sebuah pesan yang belum sempat terbaca.

Pesan dari Fauzi. Lelaki yang akrab ia sapa Lek Ujik itu mengiriminya dua pesan, namun ditarik lagi sebelum ia sempat membaca.

"Lek Ujik kirim pesan apa, ya? Kok dihapus lagi, sih. Penting ndak, ya?" gumamnya dalam hati.

*****

Apa yang kalian rasakan ketika udah tahunan gak ketemu sama seseorang yang 'ehem'? Haha.
Kalau Naya malah salting, bingung mau ngomong apa. Kunir kok bisa selancar itu ngobrolnya, ya?

Btw, Lek Ujik ngirim pesan apa kira-kira?

Selamat membaca dengan penuh cinta. Jangan lupa, tetap jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar, ya ❤️.

Semarang, 01 April 2021


Naya Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top