Luka Tersembunyi

"Assalamualaikum," Kunir membuka pintu sembari mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam. Eh, dah balik lu?" Tasya yang tengah menonton televisi menoleh, "gimana lombanya?"

"Emmm, aku mandi dulu ya, Tas, capek," sahut Kunir. Ia meninggalkan barang-barangnya di luar kamar dan berrencana untuk menatanya nanti.

Baru saja melepas jilbab, ponselnya berdering. Nama 'Bune Ma Lope' tertera di sana. Mendadak, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin menolak panggilan, tapi itu tak sopan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menerima setelah menarik napas panjang.

"Assalamualaikum, Buneeeee," sapanya ceria sembari melambaikan tangan. Mereka tengah melakukan panggilan video.

"Waalaikumsalam. Wis pulang dari tempat lomba, Nok?"

Kunir mengangguk, "Sudah, Bune."

"Bune tadi lihat live penutupan acara lombanya sampeyan. Dikasih link sama Pakdhe Thoha. Selamat, Nok, barakallah. Bune bangga." Nasikhah menatap bangga anaknya dengan mata berkaca-kaca.

Kunir tersenyum masam, "Maturnuwun, Bune." (Terima kasih)

"Kenapa ndak semangat gitu?"

"Maaf aku ndak bisa juara satu ya, Bune," ucap Kunir pelan.

"Sampeyan selalu juara satu di hati dan hidupnya Bune," sahut Nasikhah sembari tersenyum.

"Aku sayang Bune." Kunir mengucek matanya yang berkaca-kaca. Ia tak ingin terlihat meneteskan air mata di hadapan ibunya.

"Bune juga selalu sayang sama sampeyan." Nasikhah mengusap layar ponsel, seolah sang putri tengah ada di hadapannya.

"Kunir yo kui?" (Kunir ya itu?)

Jantung Kunir kembali berdegup kencang mendengar suara bapaknya.

"Juara 2?" tanya Toriq dengan wajah meremehkan. "Wis rak kaget aku. Nduwe anak wedok siji isone mung ngeyel karo wong tuo, ra tau banggakke," lanjutnya. (Udah gak kaget aku. Punya anak perempuan satu bisanya cuma ngeyel sama orangtua, gak pernah membanggakan)

Kunir hanya terdiam dan menunduk. Mendengar suara bapaknya saja ia tak sanggup, apalagi menatap wajah lelaki itu. Dadanya luar biasa sesak. Air mata yang telanjur menetes segera ia hapus dalam.

"Pak, ampun ngoten. Juara 2 niku sampun membanggakan, sampun luar biasa. Namanya lomba ya emang ada yang menang dan kalah, kan ndak mungkin menang semua," tegur Nasikhah. (Pak, jangan gitu. Juara 2 itu sudah membanggakan, sudah kiar biasa)

"Ya harusnya dia bisa berusaha lebih gigih lagi biar juara 1," sanggah Toriq.

"Kunir sudah berusaha, tapi kan takdir itu mutlak punya Allah. Sekuat apa pun berusaha, kalau Allah ndak bilang kun ya endak," bela Nasikhah.

Kunir masih menunduk. Ia ingin menyanggah kalimat bapaknya. Ia ingin bercerita kalau ia sudah berusaha sampai titik akhir. Ia ingin memberitahu bahwa selama pelaksanaan lomba, ia bahkan hanya tidur 2-3 jam saja dalam sehari. Ia sibuk mengulang-ulang hafalan, melatih pernapasan, menetralisir gugup. Ia ingin berteriak bahwa karena lomba ini, ia bahkan kehilangan nafsu makan. Tapi untuk apa? Untuk apa menceritakan itu semua? Bapaknya tak akan pernah mau mendengarkan apalagi memahami.

Kunir mengusap air matanya yang kembali menetes, kemudian menarik napas panjang dan mendongak, "Bune, Bapak, aku tak mandi dulu, ya. Baru pulang ini, nanti tak telpon lagi. Assalamualaikum."

Kunir segera mematikan panggilan bahkan sebelum bapak dan ibunya mengiyakan. Di seberang sana, bapaknya pasti sedang marah-marah, mengatakan jika ia anak kurang ajar, tak tahu sopan-santun. Kunir menyetujuinya. Kali ini, ia memang sedang tak sopan. Tapi bagaimana lagi? Hatinya sudah sangat sesak. Air matanya meronta-ronta untuk keluar, sedang ia tak ingin menunjukkan tangisan.

Kunir menyambar asal baju santai dan handuk, kemudian segera berlari ke kamar mandi. Tangisnya pecah di sana.

Di depan kamar, Tasya menatap prihatin teman sekamarnya. Ia telah berdiri di sana sejak tadi. Awalnya, ia hanya ingin membantu merapikan barang-barang temannya. Namun, video call dari orangtua Kunir menghentikan langkahnya. Gadis yang selalu ceria itu tampak seperti tak pernah terluka. Ia pandai sekali menyembunyikan segala duka, bahkan pada teman terdekatnya.

Tasya memasukkan barang-barang temannya ke dalam kamar sembari menggeleng pelan. Kunir cantik, pintar, dan menyenangkan. Entah apa yang membuat bapaknya tak bangga.

*****

Kunir keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, meski matanya terlihat sayu.

"Digigit semut lu? Keluar dari kamar mandi kenape mata lu bengkak-bengkak merah gitu dah?" tanya Tasya. Ia berpura-pura tak tahu jika Kunir baru saja menangis.

"Kelamaan di Depok kayaknya. Aku jadi ndak cocok sama airnya Jakarta deh, Tas. Di mata perih gitu rasanya. Anterin balik ke Depok, yuk," sahut Kunir sembari tertawa.

"Lah ayok, malah seneng gua, kasurnya longgar."

"Yee, malah kesenengan. Kamu ndak kangen sama aku?" Kunir berjalan ke meja rias, kemudian menyisir rambut dan mengoleskan lotion ke tubuhnya.

"Kagak," jawab Tasya singkat.

"Ngeselin!" ketus Kunir.

"Laper kagak lu? Gua masakin opor noh di dapur." Tasya memainkan ponsel tanpa menatap lawan bicaranya.

Kunir seketika menoleh, "Masyaa Allah, Tasya Aninditakuuuuu... Kamu sweet banget sih. Terharu loh aku."

"Alah lebay. Udah sono kalo mau makan."

"Siap, Bos." Kunir mengangguk semangat. Ia menjemur handuknya di gantungan, kemudian segera berlari ke dapur. Ia baru sadar jika lapar. Terlalu lama menangis membuatnya lupa membeli makanan. Beruntung, ia memiliki Tasya yang selalu bisa diandalkan untuk masalah perdapuran.

Usai menikmati makanannya, Kunir berjalan menuju ruang tamu. Ia membongkar kardus berisi oleh-oleh, kemudian membaginya pada seisi penghuni kos. Teman-temannya yang tengah menonton televisi sontak mengerubunginya.

"Udah, ambil aja semuanya, bagi rata. Aku mau nonton Akademi Chef. Seminggu lebih ndak nonton, Chef Abey jadi seganteng apa, ya." Kunir meninggalkan teman-temannya yang tengah antusias membongkar oleh-oleh, kemudian duduk di sofa depan tv dan mengganti saluran. Ia ingin melupakan kekecewaannya dengan melihat sang artis favorit.

"Makanan apa ini? Cuih!" Abey melepehkan makanan yang baru ia cicipi, kemudian meludah.

"Kamu pernah jalan-jalan ke tambak ikan yang ikannya pada mati?" tanya Abey sinis.

Seorang peserta Akademi Chef yang masakannya tengah dicicipi Abey mengangguk takut.

"Kamu tahu baunya?" tanya Abey lagi.

Lagi-lagi, peserta itu mengangguk.

"Apa baunya?"

"Bacin, amis, gak enak, Chef," jawab peserta itu dengan suara gemetar. Kepalanya tertunduk dalam.

"Seperti itu aroma masakan kamu. Mencium aromanya saja saya mual. Begitu masuk ke mulut, rasanya malah amburadul. Kamu mau meracuni saya?" Abey menatap sang peserta dengan tatapan mengintimidasi.

"Eng... enggak, Chef. Saya minta maaf." Sang peserta terlihat semakin menunduk.

"Kamu itu bertanding di Akademi Chef, even memasak paling bergengsi di Indonesia, bukan lomba abal-abal. Kenapa bisa memasak makanan busuk seperti ini? Jangan bilang saya sok-sokan dan meremehkan kemampuan kalian. Jangan bilang saya berlebihan dan gak punya hati. Kalau makanan kalian memang busuk, apa iya saya harus memaksakan diri untuk menelan? Kalau saya memuji-muji masakan kalian yang seperti sampah ini, mau jadi chef yang seperti apa kalian nanti? Chef yang meracuni pengunjung restorannya? Kalian mau baru buka restoran seminggu, kemudian langsung gulung tikar? Iya?!" bentak Abey marah. Seluruh peserta menunduk dalam.

"Astaghfirullah, kayaknya baru sekarang aku lihat Chef Abey semarah ini. Ngeri juga," gumam Kunir.

"Kagak ada filternya kan mulut die? Kagak bisa jaga perasaan orang, kan?"

Kunir menoleh, Tasya yang baru saja keluar dari kamar duduk di sampingnya.

"Iya sih, tapi yang diomongin Chef Abey ada benernya juga loh, Tas," sahut Kunir.

"Astaga, lu kena sawannya Chef Abey kali ye, Nir. Orang senyinyir itu masih aja lu benerin." Tasya mengusap dada.

"Kan buat melatih mental, Tas," bela Kunir.

"Kalo kayak gitu mah mental kagak kelatih, Nir. Mental down malah iya."

Kunir tertawa, "Eh itu, anak-anak lagi pada bongkar oleh-oleh dari Depok. Sana ikutan."

"Gampang lah ntar." Tasya mengibaskan tangan, "eh, selamat ye, keren lu bisa ngalahin berratus-ratus peserta. Syukuran kapan? Gua udah siap ngelist resto, nih."

Kunir terkekeh sumbang, "Juara 2, Tas, bukan juara satu. Biasa aja, ndak ada yang spesial."

"Lu makanya jangan nonton Akademi Chef doang. Lu tahu Arafah Riyanti? Dia juara 2 stand up comedy. Sekarang, lebih terkenalan dia noh daripada yang juara satu. Si Tiara Andini, juara 2 Indonesian Idol juga lebih terkenal dari yang juara 1. Juara 2 tuh dipercaya bawa hoki, Nir. Tenang aje lu," hibur Tasya. Ia tak sedang membanding-bandingkan porsi rejeki dan kesuksesan orang, ia hanya ingin menghibur temannya agar tak larut pada rasa kecewa.

Kunir terkekeh pelan dan mengangguk, "Iya juga ya, wah kira-kira aku bakal sesukses apa, ya? Ramalin dong, Tas."

"Kumat gila lu," sembur Tasya. Kunir lagi-lagi terkekeh.

"Aku ndak peduli sehoki apa angka 2 dalam sebuah peringkat, Tas. Aku mau dapat juara 1 cuma demi Bapak, biar aku ndak dicap sebagai anak yang memalukan dan ndak pernah membanggakan," batin Kunir. Ia tak mungkin menceritakan masalahnya pada Tasya. Ia selalu memegang prinsip bahwa orang lain cukup mengetahui tawanya saja, bukan tangisnya.

*****

Naya ngetik part ini semalem. Terus ketiduran, bangun-bangun udah dini hari, haha. Jadi, kuupdate pagi ini aja.

Selamat membaca, ya. Kasih vote dan ramaikan komentar dong, hihi.

Jangan lupa, jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar ❤️.

Semarang, 09 April 2021


Naya Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top