Luka dalam Tawa
"Lu mau pindahan apa gimana sih, Nir? Kagak sekalian lemari kost lu bawa ke Depok?" tegur Tasya. Ia menatap ngeri tas Kunir yang mengembang sesak.
"Kan aku di Depok satu minggu." Kunir menarik paksa resleting tasnya dengan susah payah, "bantuin kek, Tas, susah banget ini."
Tasya mendengkus sebal kemudian memegang ujung tas Kunir, "Seminggu sih seminggu, tapi kagak segini juga, Nir."
"Terimatengkyu, Tasya Anindita." Kunir mengembuskan napas lega sembari nyengir begitu tasnya berhasil ditutup. Matanya beralih ke koper yang masih terbuka, "apa lagi ya yang harus dibawa?"
"Udahan, Nir, astaga. Koper lu meleduk ntar." Tasya memukul pelan lengan Kunir.
Kunir mengangguk-angguk, "Iya iya, ini kayaknya juga udah kebawa semua kebutuhanku."
"Berangkat dari kampus jam berapa lu? Gua anterin?" tanya Tasya.
Kunir menatap jam dinding, "Kata dosennya sih habis asar. Jam 4 atau setengah 5 kali, ya. Aku ke kampus jam setengah 4 aja, deh. Eh tapi aku mau dianter Pakde Thoha, nanti beliau ke sini."
"Syukur deh, gua juga lagi mikir gimana bentukan motor gua kalo dibuat gotong koper ama tas segede gaban gitu."
"Tenang aja, motor kamu bakal tetap aman," kekeh Kunir. "Eh, tapi kamu nanti ikut nganterin aku ke kampus, ya, naik mobil bareng. Nanti pulangnya biar dianterin juga sama pakdeku."
"Ogah, malu ama pakde lu gua," tolak Tasya.
"Ih, biasa aja kali, ndakpapa. Pakdeku baik kok," pinta Kunir.
"Gua tau pakde lu baik, Kunir. Justru karna pakde lu kelewat baik ntuh, gua jadi kagak enak," sahut Tasya.
"Ya tapi masak kamu ndak mau nganterin aku berangkat sih, ngasih semangat gitu." Kunir mencebikkan bibir, berpura-pura kecewa.
Tasya mendengkus, "Kagak usah drama deh lu. Iye udah ntar gua anterin, tapi gua naik motor sendiri aja ke kampusnya."
"Nah gitu dong. Ya wis, bentar aku tak telpon buneku dulu, ya." Kunir merapikan tas dan kopernya di samping pintu, kemudian mengambil ponsel dan merebahkan tubuh di atas kasur.
"Assalamualaikum, Buneeeeee," teriaknya begitu wajah sang ibu muncul di layar ponsel.
"Waalaikumsalam. Jangan teriak-teriak gitu, Nok. Cah wedok kok gembar-gembor, ndak anggun blas," tegur Nasikhah -ibu Kunir- sembari terkekeh. (Anak perempuan kok teriak-teriak, gak anggun sama sekali).
"Hehe, ngapuntene, Bune. Bune pripun kabare?" tanya Kunir. (Maaf, Bune. Bune gimana kabarnya?).
"Apik, alhamdulillah. Sampeyan pripun? Sehat?" Nasikhah bertanya balik. (Baik, alhamdulillah. Kamu gimana?)
Kunir mengangguk, "Sehat sentosa dan sejahtera. Bune, habis asar nanti aku berangkat ke Depok, doanya nggeh."
"Oh, berangkat lombanya habis ini? Yawis, hati-hati di jalan ya, Nok. Sehat-sehat di kota orang. Maem e dijaga biar suaranya ndak serak. Jangan lupa banyak doa, baca sholawat, tawasul ke guru-guru, ke juri lombanya juga kalau perlu. Sebesar apa pun usahane sampeyan, kalau ndak diiringi doa ya sama aja," pesan Nasikhah.
"Enggeh, Bune. Pokoknya Bune juga jangan berhenti doain aku."
"Doa Bune buat sampeyan ya ndak pernah berhenti," sahut Nasikhah. "Terus ke Depoknya berangkat rame-rame dari kampus gitu?"
"Ndak rame sih, wong dari kampus cuma memberangkatkan dua orang. Terus didampingi sama dua dosen. Naik mobil berlima aja paling, sama sopirnya," jelas Kunir. "Eh iya, nanti ke aku kampusnya mau dianterin sama Pakdhe, Bune."
"Pakdhe Thoha kalau sama sampeyan ki emang top, Nok. Padahal sibuk to dia? Bune kemarin lihat dia ngisi ceramah di tv. Tapi kok ya mau-maunya nyempatin nganter sampeyan ke kampus," kekeh Nasikhah.
"Karena aku anak yang baik, tidak sombong, serta suka menabung," sahut Kunir sembari tertawa.
"Ono-ono wae sampeyan ki. Yawis, Bune titip salam buat Pakdemu, ya." (Ada-ada aja kamu).
"Enggeh, Bune, nanti tak sampaikan."
"Lagi ngomong sama siapa, Bune?"
Kunir terkesiap, suara gahar seorang lelaki masuk ke ruang dengarnya. Ia baru saja akan mematikan panggilan sepihak, namun wajah sangar bapaknya telanjur tampak.
"Dengaren telpon Bunemu, kenopo? Sangune entek?" tanya Toriq -bapak Kunir- sinis. (Tumben telpon Bunemu, kenapa? Uang sakumu habis?).
Kunir mendengkus pelan, kemudian memaksakan senyum, "Mboten, Pak, taseh. Ajeng pamit badhe berangkat lomba kalih nyuwun dongo." (Gak, Pak, masih. Pamit mau berangkat lomba sama minta doa).
"Meh melu lomba opo?" (Mau ikut lomba apa?).
"MHQ, Pak. Pandunganipun nggeh," pinta Kunir. (Doanya, ya).
"La nopo melu-melu lomba ngono meneh? Tahun wingi wae kalah ngunu kok, ndadak melu meneh. Ngisin-ngisinke wae. Makane nek meh melu lomba ki sinau sing tenanan, ra angger wae," ucap Toriq ketus. (Ngapain ikut-ikutan lomba itu lagi? Tahun kemarin aja kalah kok mau ikut lagi, malu-maluin aja. Makanya kalau mau ikut lomba itu belajar yang serius, gak sembarangan).
"Tahun kemarin Kunir ndak kalah, Pak. Dia kan juara 3," bela Nasikhah di seberang panggilan.
"Halah podo wae. Nek menang ki juara siji," sahut Toriq. (Halah, sama aja. Kalau menang itu juara satu).
Kunir menarik napas dalam. Obrolan apa pun bersama bapaknya memang tak pernah menyenangkan, "Kulo diutus kalih kampus, Pak. Dados e nggeh kedah nderek. Kolo wingi kan nderek cabang MTQ, niki nderek MHQ, nggeh nyuwun doanipun kersane mboten gelakke Bapak." (Aku diutus sama kampus, Pak. Jadi ya harus ikut. Kemarin kan ikut cabang MTQ, sekarang MHQ. Ya minta doanya biar gak mengecewakan Bapak).
"MTQ sing karek moco wae kalah, opo meneh MHQ sing kudu ngapalke," sahut Toriq meremehkan. (MTQ yang tinggal baca aja kalah, apalagi MHQ yang harus ngapalin).
"Sampun sampun, pundi hapene Bune? Mriko, Bapak mang neraske kerjaan mawon." Nasikhah merebut ponselnya, dan meminta suaminya untuk pergi. Ia tak tega pada putrinya yang terus-terusan dipojokkan. (Sudah sudah, mana hapenya Bune? Sana, Bapak lanjut kerja aja).
"Nok, omongannya Bapak jangan dimasukkan ke hati, yo," ucap Nasikhah begitu suaminya pergi.
Kunir tersenyum ceria, "Aku udah kebal sama omongan Bapak, Bune. Setiap ngobrol kan emang gitu. Jadi ya ndak tak masukke ke hati, tak masukke ke perut aja biar kenyang."
Nasikhah ikut tersenyum. Ia paham jika hati Kunir pasti terluka, hanya saja putrinya itu berpura-pura tampil ceria. "Ya wis, sampeyan semangat ya lombanya. Ndak harus menang, Nok, cukup berikan penampilan terbaik yang sampeyan bisa. Menang kalah itu urusan Allah."
"Enggeh, Bune. Ya udah, udah azan ini. Aku tak solat dulu terus berangkat ke kampus ya," pamit Kunir.
"Iya, jangan lupa seimbangkan doa sama usaha. Bune bantu doa dari sini. Bune ridho," sahut Nasikhah.
"Maturnuwun, Bune. Assalamualaikum."
"Waalaikumsaam."
Kunir mengusap matanya yang basah. Orang-orang selalu menatapnya bangga, tapi bapaknya, orang yang seharusnya paling memberikan dukungan, justru sering meremehkannya. Ia tersenyum miris. Entah ada masalah apa dengan bapaknya di masa lalu.
*****
"Loh? Ustad Thoha? Kok ada di sini? Ada keperluan apa?" sapa Hanafi -dosen pendamping Kunir-.
"Eh, Prof. Hanafi. Masyaa Allah, alhamdulillah bisa ketemu di sini. Apa kabar?" Thoha menjabat erat tangan Hanafi.
"Baik alhamdulillah, Ustad. Jadi, ada keperluan apa?" tanya Hanafi lagi.
"Ini saya mengantar keponakan. Dia peserta lomba MHQ yang akan berangkat," jawab Thoha.
"Masyaa Allah, jadi Kunir itu keponakan Anda? Pantas hebat. Bibit bebet bobotnya tidak perlu diragukan," puji Hanafi.
Thoha terkekeh, "Lebih hebat Anda, Prof. Kalau kami masih sama-sama belajar."
"Anda ini suka sekali merendah," sahut Hanafi.
"Pakdhe," panggil Kunir sembari berjalan menuju Thoha.
"Nah, itu anaknya." Thoha menatap Hanafi sembari menunjuk Kunir.
Hanafi terkekeh, "Iya. Ya sudah, silakan mengobrol dengan keponakan Anda. Saya ke sana dulu mengurus beberapa hal."
"Iya, Prof. Saya titip Kunir selama di Depok, ya," pinta Thoha.
Hanafi mengangguk sembari tersenyum, "Siap, Ustad."
"Kenapa, Nir?" tanya Thoha begitu Kunir sampai di hadapannya.
"Ini amplop siapa ya, Pakdhe?" Kunir memperlihatkan sebuah amplop yang ia temukan di dalam tasnya.
"Amplop kamu, titipan dari budhe itu. Disimpen, buat tambahan jajan," sahut Thoha.
"Pakdhe ndak perlu repot-repot ah, aku ndak mau," tolak Kunir sembari menyodorkan amplop.
"Gak boleh nolak rezeki." Thoha mendorong amplop yang disodorkan keponakannya.
"Yawis, makasih, Pakdhe. Sering-sering aja kalau gitu," kekeh Kunir.
"La malah ketagihan." Thoha tertawa, "udah pamit sama bapak-bunemu? Udah minta doa?" lanjutnya.
"Sama Bune udah, Pakdhe. Sama bapak juga udah, tapi ndak dapet doa malah dapet marah." Kunir tersenyum miris.
"Bapakmu kan emang gitu, udah gak usah dimasukin ke hati." Thoha mengusap kepala Kunir.
"Iya, ndak tak masukin ke hati, Pakdhe. Aku udah kebal sama sikapnya Bapak," kekeh Kunir.
"Nah, mending gitu aja. Ya udah, tetep semangat. Pakdhe yang doain."
Kunir mengangguk, "Iya, Pakdhe. Doain biar aku juara satu, ya."
"Gak dapat angka satu pun kamu udah jadi juara buat Pakdhe," sahut Thoha.
"Tapi Bapak maunya aku juara satu, Pakdhe. Biar ndak malu-maluin katanya," sanggah Kunir.
Thoha tersenyum menatap keponakannya, "Dengerin Pakdhe, hafal Al-Qur'an itu bukan buat juara-juaraan. Biarkan Al-Qur'an itu mendarah daging dalam tubuh kamu tanpa butuh pengakuan orang. Tanamkan dalam diri kamu, kalau ikut lomba bukan buat menang. Niatkan buat memperlancar hafalan. Niatkan buat syiar ke masyarakat biar ahlul qur'an semakin banyak bermunculan. Kalah dan menang dalam lomba itu cuma penilaian dari manusia, sifatnya fana. Sementara dalam hidup, yang terpenting adalah penilaian dari Allah."
"Padahal Pakdhe sama Bapak itu kan sedarah, kakak-adik kandung. Tapi kenapa Bapak ndak bisa sebijak Pakdhe sih?" rutuk Kunir.
"Hust, gak boleh gitu. Udah sana masuk mobil, udah mau berangkat itu." Thoha menunjuk mobil universitas yang telah hidup mesinnya.
"Iya, Pakdhe. Wis, pokoknya Pakdhe jangan lupa doain aku. Aku berangkat dulu," pamit Kunir sembari mencium tangan Thoha.
"Iya, hati-hati di jalan," sahut Thoha sembari mengusap kepala Kunir.
"Iya, Pakdhe. Makasih udah nganterin aku, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kunir melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil. Thoha menyahutinya dengan anggukan kepala. Keponakannya yang satu itu begitu membanggakan, siapa pun tahu hal itu. Toriq juga pasti menyadari, adiknya itu pasti juga bangga, hanya mungkin tertutupi oleh ego semata.
*****
Halohaa, Naya kembali dengan part yang benar-benar fresh, masih suegerr. Oh iya, berhubung part yang kemarin-kemarin itu Naya perbaharui, jadi mungkin di hape kalian ceritanya jadi kelihatan acak-acakan. Solusinya, coba dihapus dulu dari library-nya, terus disimpen lagi.
Selamat membaca dengan penuh cinta, ya.
Jangan lupa,
Jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar.
Semarang, 23 Maret 2021
Naya Zayyin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top