Kamu Masyaa Allah, Aku Astaghfirullah

"Sekalian ambilin jahe di kulkas, Nir. Satu ruas aja, terus minta tolong geprekin juga."

Kunir yang sedang berdiri di depan kulkas menggaruk kepalanya meski tak gatal. Ia mengambil kotak berisi rempah yang ada di bagian paling bawah dengan ekspresi bingung, sebab tak tahu mana yang disebut jahe. Ia bahkan tak tahu semua rempah. Satu-satunya yang ia tahu hanyalah kunyit sebab memiliki warna yang paling berbeda, dan menjadi cikal-bakal nama panggilannya.

"Loh, kok malah ngelamun. Mana?"

Kunir nyengir, "Budhe, aku belum pernah kenalan sama jahe. Aku kenalnya cuma sama kunyit."

"Ya Allah, kamu itu udah segede ini, udah mahasiswa, kok ya masih tetep gak tahu bumbu. Budhe kira merantau sendiri di Jakarta bikin kamu mandiri, terus jadi bisa masak." Humaida menggeleng gemas. Keponakannya yang berasal dari Jawa Tengah itu ternyata belum banyak berubah.

"Di Jakarta kan masih banyak yang jualan makanan, Budhe. Oh iya, jangan lupa, aplikasi pembelian makanan online juga semakin merajalela. Terus nih, Budhe, temen sekamar kost aku, dia itu puinter banget masak. Olahan makanan dia enak terus pokoknya. Yawis, aku jadi semakin nol-putul masalah masak-memasak," kekeh Kunir.

"Ya itu harusnya malah bikin kamu bisa belajar masak, Nir, gimana sih." Humaida berjalan menuju kulkas, mengambil jahe kemudian mencubit gemas pipi keponakannya.

"Aduh. Sakit, Budhe." Kunir mengusap pipinya dengan wajah cemberut.

"Nir, ikut gak?" ajak Aira, sepupu Kunir.

"Mau ke mana?" Humaida yang tengah mengaduk air rebusan jahe menoleh, menatap anak dan keponakannya.

"Disuruh Abah beli camilan, Mi. Mau ada tamu katanya." Aira menghampiri ibunya sembari mengirup aroma jahe, "hemmm, sedep banget baunya. Buat Abah?"

Humaida mengangguk, "Iya, Abah agak kurang enak badan sejak pulang dari Tangerang kemarin, makanya Ummi buatin air jahe. Eh, tapi kok Abah mau nerima tamu? Hari Ahad loh ini."

Aira mengendikkan bahu, "Abah kan selalu nerima tamu dalam kondisi apa pun, Mi. Apalagi kata Abah tamunya ini beberapa hari lalu udah ke sini, cuma gak ketemu Abah. Kebetulan barengan sama acara Abah di Tangerang itu."

"Oh gitu. Eh, emangnya Abah udah pulang dari jalan-jalan pagi?" tanya Humaida.

"Belum sih, tadi Abah minta tolong lewat telpon," jawab Aira.

"Ya udah, sana berangkat. Hati-hati, pelan-pelan aja naik motornya. Hari Ahad gini biasanya banyak orang jalan-jalan," pesan Humaida.

Aira mengangguk kemudian mencium tangan ibunya, "Iya, aku jalan dulu ya, Mi. Ayok, Nir, lo ikut gak?"

"Eh, ikut ikut, ayok." Kunir meletakkan botol minuman ke dalam kulkas, kemudian berjalan menghampiri Humaida dan ikut bersalaman, "Aku ikut Mbak Ai dulu ya, Budhe."

*****

"Mbak Ai, kita mau beli camilan di mana?" tanya Kunir dari boncengan motor.

"Gak tahu gue, enaknya di mana?" sahut Aira.

"Ke CFD HI aja, yuk. Seru nih, Ahad pagi pasti rame," ajak Kunir.

"Oke."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan kecepatan sedang sembari menikmati suasana Ahad pagi. Tiba-tiba mata Kunir menangkap keramaian di sebuah bangunan yang terlihat baru. Ia menepuk punggung Aira, "Mbak Ai, itu tempat apa sih kok rame?"

Aira menatap arah telunjuk Kunir, "Oh itu, mau ada pembukaan restoran baru katanya. Eh, sekarang tanggal 15, ya? Berarti hari ini pembukaannya. Makanya rame, lagi siap-siap paling."

"Makin banyak aja penjual makanan di bumi ini, bikin aku semakin ndak semangat belajar masak," kekeh Kunir.

"Alesan lo aja itu sih," sahut Aira, "eh iya, restoran yang mau buka itu katanya punya Chef Abey, juri Akademi Chef itu loh. Lo ngefans dia, kan?" lanjutnya.

Kunir terbelalak semringah, "Eh seriusan, Mbak? Wah, ayo ke sana bentar dong."

"Kan bukanya masih ntar siang, Nir. Lo ngapain ke sana sekarang? Mau bantuin nata?"

"Ya liat-liat aja. Ayolah, Mbak," mohon Kunir.

"Iya deh iya, tapi jangan masuk ke area restoran, ya. Malu gue, dari jauh aja liatinnya."

Kunir mengangguk semangat, "Iya, siap!"

Aira menepikan sepeda motornya di depan ruko yang berseberangan dengan lokasi restoran, kemudian melepas helm, "Udah nih, mau ngapain lo?"

"Kan aku udah bilang mau liat aja," kekeh Kunir. Ia menatap bangunan di depannya dengan takjub. Restoran dengan konsep bangunan klasik itu terlihat mewah. Bisa dipastikan menu yang tersaji akan dibandrol dengan harga yang tak murah.

"Loh loh, Mbak, itu Chef Abey, bukan?" pekik Kunir. Ia menatap siluet tubuh Abey yang tengah berdiri di depan pintu restoran. Lelaki itu terlihat sedang memberikan arahan pada beberapa orang yang sepertinya pegawai restoran.

Aira menajamkan pandangan, "Kayaknya iya deh."

"Ya Allah, dari jauh gini aja aura gantengnya udah kerasa. Masyaa Allah banget sih. Duh, Mbak, aku pengen ke sana deh buat minta foto. Temenin yuk," ajak Kunir bersemangat.

"Idih ogah, Nir. Malu-maluin ih," tolak Aira.

"Ih, ayo dong, Mbak. Kapan lagi loh aku ketemu Chef Abey. Mbak, pleaseeeeee," rengek Kunir.

"Kunir, ogah! Sekali gue bilang ogah ya ogah!" tegas Aira.

"Mbak Humaira yang pipinya ndak kemerah-merahan, kamu kan cantik, baik hati, dan tidak sombong. Ayo dong, Mbak," rayu Kunir.

"Gue udah tahu, jadi lo gak perlu repot-repot muji. Udah yuk ah, keburu tamunya Abah dateng." Aira menghidupkan mesin motor, bersiap pergi dari depan ruko.

"Eh bentar, Mbak," ucap Kunir. Ia melihat seorang perempuan keluar dari restoran, kemudian menggenggam tangan Abey dan menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu. Abey tersenyum tipis kemudian mengusap kepala perempuan itu penuh sayang.

"Apa lagi?" tanya Aira.

"Mbak, itu Chef Ale bukan, sih?" tunjuk Kunir pada pemandangan yang baru saja ia lihat.

"Chef Ale yang juri Akademi Chef juga itu?" Aira kembali menajamkan pandangan, "iya tuh. Masyaa Allah, cantik bener, ya. Eh, tapi kok mesra banget ama Chef Abey? Mereka pacaran?" tanyanya.

"Ih, udah jadi trending topic kali, Mbak," sahut Kunir.

Aira mengendikkan bahu, "Ya mana gue tahu, gak sempet nontonin akun gosip gue."

"Yawis lah, ayo jalan aja, Mbak. Udah ndak mood aku kalau liat Chef Abey sama Chef Ale." Kunir memakai helm dengan perasaan sebal. Ia masih saja tak suka pada hubungan Abey dan Ale.

Aira mengernyitkan dahi, "Kenapa lo? Tadi aja semangat banget ekspresinya, kenapa sekarang jadi kesel gitu? Cepet amat berubahnya."

"Wis, ayo jalan aja, Mbak," sahut Kunir malas. Ia telanjur tak suka, apalagi melihat Abey dan Ale yang semakin mesra di depan sana.

*****

Kunir meletakkan toples makanan di meja ruang tamu, kemudian menghampiri lelaki yang tengah duduk di atas kursi, "Mau ada tamu siapa sih, Pakdhe?"

"Ada lah, beberapa mahasiswa dari kampus mana kemarin, lupa Pakdhe." Thoha, nama lelaki itu, meletakkan ponsel yang ia pegang di atas meja, kemudian menatap keponakannya, "gimana kabar Bapak sama Bunemu?"

"Alhamdulillah baik, Pakdhe," jawab Kunir.

"Persiapan buat lomba gimana? Udah lengkap semua?"

Kunir menarik napas panjang, "Insyaa Allah udah. Doanya ya, Pakdhe.

Thoha mengangguk, "Pakdhe selalu mendoakan yang terbaik buat kamu. Oh iya, jadinya ikut cabang MTQ apa MHQ?"

"MHQ, Pakdhe."

MHQ adalah Musabaqoh Hifdzil Qur'an atau lomba hafalan Al-Qur'an. Sementara MTQ adalah Musabaqoh Tilawatil Qur'an atau lomba membaca Al-Qur'an dengan irama tertentu.

Thoha mengernyitkan dahi, "Kenapa gak MTQ aja? Suara kamu itu khas loh, Nir, apalagi kalau udah baca Qur'an pakai irama shoba, sedihnya bener-bener kerasa. Pakdhe yang udah sering denger aja masih terpesona, apalagi orang-orang yang baru denger suara kamu."

Dalam seni membaca Al-Qur'an, terdapat tujuh macan irama lagu yaitu, bayyati, shoba, nahawand, hijaz, rost, sika, dan jiharka. Shoba sendiri adalah jenis irama yang bergerak ringan dan cepat, berkarakter lembut, halus, dan bernuansa penuh kesedihan. Jika pelantun dapat membawakan irama ini dengan baik dan benar, pendengar akan ikut larut dalam suasana sedih. Dan bagi Thoha, Kunir selalu berhasil membawakan irama itu.

"Pakdhe jangan bikin aku kepedean gitu ah, ntar kepalaku ngembang," kekeh Kunir, "lagian dari kampus memberangkatkan dua orang, Pakdhe. Jadi, biar ikut dua cabang berbeda, aku MHQ, yang satunya MTQ. Tapi ndakpapa juga, aku malah seneng, dapet pengalaman baru," jelas Kunir.

"Oh gitu, iya juga. Ya udah, coba Pakdhe tes, ya," tantang Thoha. Kunir menangguk.

"Wa in kaana qomiishuhu qudda min duburin fakadzabat wa huwa minas shodiqiin,"

Kunir berpikir sejenak, kemudian menarik napas panjang, "A'udzubillahi minas syaithonir rajiim. Falamma raa'a qomiishuhu qudda min duburin qaala innahu min kaydikunna, inna kayda kunna 'adzim. Yusuufa a'ridl 'an hadzaa...,"

"Cukup cukup, surat apa, ayat berapa?" Thoha menghentikan bacaan Kunir.

"Surah Yusuf ayat 27-28, Pakdhe," jawab Kunir.

"Ahsanti, lagi ya." Thoha kembali membaca sebuah ayat, dan Kunir melanjutkannya. Mereka masih terus melakukan sambung ayat ketika tiba-tiba terdengar suara salam. (Bagus)


"Loh? Shela, Karina, Lek Ujik, Pras? Kalian to tamunya?" pekik Kunir usai menjawab salam. Ia terkejut mendapati teman-temannya yang datang.

"Kunir? Kok lo di sini?" Shela menatap Kunir bingung.

"Loh, la ini rumah pakdheku kok," sahut Kunir.

"Owalah, ini temen-temenmu to? Ayo ayo duduk dulu. Sana ambilin minum, Nir." Thoha mempersilahkan tamunya untuk duduk.

"Eh iya, bentar ya, tak ambilkan minum dulu." Kunir segera berjalan ke dapur. Beberapa menit kemudian, ia kembali ke ruang tamu membawa nampan berisi minuman.

"Silahkan diminum," ucapnya sembari menuangkan teh ke dalam gelas, "jadi Ustad Thoha yang kalian maksud itu Ustad Thoha Mustofa? Tak pikir siapa. Tahu gitu kan kalian ndak usah repot-repot ke sini, biar aku aja yang bilang," lanjutnya.

"Lo sih kalau rapat suka gak fokus," kekeh Karina.

Kunir ikut terkekeh dan menggumamkan maaf. Mereka kemudian mengobrol ringan setelah menyampaikan maksud kedatangan. Thoha menanggapi tamu-tamunya dengan baik. Ia bercerita banyak hal tentang masa-masa kuliahnya di Mesir. Ia juga bercerita tentang Kunir. Kunir yang mengkhatamkan hafalan dalam waktu satu tahun, Kunir yang sering menang lomba tilawah, Kunir yang polos dan menggemaskan, Kunir yang selalu membanggakan. Thoha terlihat begitu menyayangi keponakannya.

Shela, Karina, dan Pras terlihat antusias mendengar cerita-cerita Thoha, sesekali menimpali dengan candaan yang menghadirkan tawa. Satu-satunya orang yang terlihat tak semringah adalah Fauzi. Bukan apa-apa, ia hanya merasa semakin kerdil. Perasaannya pada Kunir semakin membuncah, namun kesadaran bahwa ia bukan siapa-siapa membuatnya patah. Kunir terlahir dari keluarga yang taat beragama, sementara selama ini ia hanya dididik untuk fokus pada ilmu dunia. Kunir terlalu masyaa Allah untuk ia yang astaghfirullah.

*****

Selamat merayakan malam Isra' Mi'raj. Kalau udah baca doa malam 27 Rajab, silahkan baca ceritanya Mbak Kunyit, ya.

Eh, besok tanggal merah loh. Pada punya agenda apa? Ramaikan kolom komentar, yuk. Kita berbagi obrolan, hehe.

Selamat membaca.
Jangan lupa,
Selalu jadikan Allah sebaik-baiknya tempat bersandar, ya 🧡.

Semarang, 10 Maret 2021
Disunting di Semarang, 22 Maret 2021

Naya Zayyin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top