Hari Kasih Sayang : The Truth Untold

Aralia memeluk boneka beruang coklatnya dengan tubuh gemetar, suara teriakan ibunya menggema ke penjuru ruangan. Seolah memecah kebekuan malam yang dingin. Suara gerimis masih terdengar samar di telinga Ara. Sesekali petir bahkan masih menyambar.

Suara pukulan berbarengan dengan suara erangan sang ibu membuat Ara tak kuat lagi. Gadis berusia dua belas tahun itu memberanikan diri bangkit dari persembunyiannya dan meraih sebuah pisau yang terlihat di atas meja.

Sudah cukup bagi Ara melihat penderitaan ibunya selama ini. Dia benar-benar tak tahan lagi. Dengan langkah pelan dia menghampiri ayahnya yang tengah berjongkok memukuli sang ibu.

Mira, yang sudah tak berdaya dengan luka lebam di sekujur tubuh berusaha menyuruh Ara tetap bersembunyi. Tapi gadis kecil itu tetap melangkah mendekat. Dengan sebilah pisau yang dia sembunyikan dibalik punggung.

Dengan tubuh gemetar, Ara berlari menerjang ayahnya.

"Berhenti!" Teriakan itu bersamaan dengan erangan keluar dari bibir Bima. Ara menusukkan sebilah pisau itu pada pinggang ayahnya.

Bima tersungkur tapi masih bisa bangkit karena tusukan Ara tentu tak sekuat itu untuk melukainya. Dia bahkan mencabut pisau itu dengan mudah. Dengan wajah penuh amarah Bima menghampiri Ara, berniat memberi pelajaran pada sang putri.

Ara gemetar, dan berusaha menghindar dengan menyeret tubuh. Namun, ketika Bima hendak melayangkan pukulan pada Ara, Mira menerjang suaminya. Dia menancapkan pisau yang tadi digunakan Ara tepat mengenai perut sang suami. Tak cukup satu kali, Mira bahkan menusuk suaminya berkali-kali. Seolah melampiaskan rasa sakit yang selama ini sudah ditahannya sekuat tenaga. Bagi Mira, lebih baik dia yang mengorbankan diri dibanding harus melihat Ara menderita memiliki ayah seperti Bima.

"Tutup mata kamu, Sayang! Jangan buka sebelum ibu mengizinkan!" teriak Mira pada Ara. Terakhir, Mira menusuk jantung suaminya hingga laki-laki bertubuh jangkung itu benar-benar tewas.

"Tidaaak!" Ara terbangun dari mimpi dengan napas memburu.

Gadis tujuh belas tahun itu mengusap wajah gusar, kemudian Ara memindai seluruh sudut perpustakaan yang ternyata sudah sepi. Sepertinya dia terlalu lama tertidur. Dilihatnya jam di tangan yang sudah menunjukan pukul empat sore. Cepat-cepat Ara bangkit dan bergegas pergi. Hari ini dia tak boleh terlambat.

Di depan lapangan basket, Ara tak sengaja berpapasan dengan Sammy, teman satu kelasnya. Ah, tidak. Bukan hanya Semmy di sana. Tapi ada juga Cassandra, Ivanka, dan Darren. Empat murid paling terkenal di sekolah ini.

Cepat-cepat Ara memutar tubuh, berharap ke empat sahabat itu tak akan memergoki dirinya. Namun, sialnya baru satu langkah berjalan, terdengar suara Cassandra memanggil.

"Ara!" Teriakan itu dibarengi dengan suara langkah mendekat. Ara tahu, dia sudah tak bisa lagi menghindar walau dia ingin.

Mau tak mau Ara memutar tubuh lagi menghadap Cassandra.

"Emm ... Nanti malam jangan lupa, ya, datang ke pesta ulang tahun aku. Sekalian kita merayakan hari valentine bersama. Yang lain juga ikut kok," ujar Cassandra sembari mengulurkan kartu undangan.

Ara terdiam sejenak, dia ragu apa harus menerima undangan itu atau tidak.

"Kita berharap kamu datang loh, Ra," ujar Ivanka yang tahu-tahu sudah berdiri di samping Ara. Gadis berwajah oriental itu bahkan merangkul bahunya akrab. Jangan lupakan juga senyum ramah khas Ivanka.

Ara tertegun, dia menatap Cassandra dan Ivanka bergantian. Seakan tak menyangka bahwa dua gadis paling popular di sekolah bersedia mengundangnya. Selama ini meski mereka satu kelas, Ara selalu berusaha menghindari keduanya. Bagi Ara, pengalaman pahit sejak kecil membuat dia lebih memilih menutup diri. Ara takut semua orang akan mengetahui kelemahan, dan latar belakang keluarga. Pada akhirnya mereka pun akan pergi meninggalkannya sendirian.

"Kok malah bengong. Datang ya, please," suara penuh harap Cassandra membuyarkan lamunan Ara. Dia menatap gadis berambut pirang di depannya dengan ragu, sebelum akhirnya mengangguk.

******

Jam menunjukan pukul sebelas tiga puluh malam, dan Ara masih termenung di dalam kamar dengan sebuah  kue tart kecil berbentuk hati, dengan krim coklat di atasnya. Lilin bertuliskan angka tujuh belas menyala dan menerangi ruangan kecil berukuran tiga kali tiga meter itu.

Keadaan panti sudah sepi, semua adik-adiknya juga sudah tertidur lelap. Biasanya saat hari ulangtahun, Ara akan merayakannya dengan ibu, dia datang ke lapas dan meniup lilin bersama di lapas. Tapi semenjak ibu meninggal beberapa tahun lalu, Ara selalu merayakannya sendiri.

"Happy brith day Ara," ucap Ara untuk dirinya sendiri. Ara menyeka air matanya yang jatuh sebelum meniup lilin di atas meja.

Baru saja lilin mati dan keadaan kamar menjadi gelap, semua adiknya terbangun. Yang membuat Ara semakin syok adalah mereka menyalakan lampu lad dan menyanyikan lagu ulang tahu. Belum selesai dengan semua itu, seseorang membuka pintu dengan sebuah kue di tangan. Suara nyanyian ulang tahun bersahutan, menghadirkan suasana meriah yang lama sekali tak Ara rasakan.

Ara belum tahu siapa gerangan orang-orang yang  datang dan mengusir rasa sepinya di hari kasih sayang sekaligus hari ulang tahunnya. Dia takut ini hanya mimpi.

Ketika lampu menyala, Ara kaget. Di depannya berdiri Cassandra dan semua teman satu kelasnya di sana.

"Ayo, tiup lilinya sama-sama. Aku nggak nyangka banget, loh, kita ulang tahunnya barengan," ujar Sandra dengan senyum tulus.

"Ayo tutup mata kamu, dan ucapkan permohonan," sambung Cassandra.

Ara hanya diam, dia masih merasa semua ini hanya mimpi. Sama halnya seperti mimpi buruk yang selalu datang menghantuinya. Tapi jika ini mimpi. Kenapa semua orang kembali bernyanyi.

Pada akhirnya, Ara menutup mata. Meski dia yakin begitu dia membukanya, semua akan kembali jadi fatamorgana. Tapi dia salah. Suara tepuk tangan justru terdengar memenuhi ruangan. Dibarengi dengan ucapan selamat semua orang.

"Apa ini nyata?" ujar Ara masih tak percaya. Semua orang terdiam.

"Tolong, jelaskan sama aku, apa ini semua nyata? Atau kalian semua hanya ada dalam mimpiku?" ulang Ara karena tak kunjung mendapat jawaban.

Semua orang saling berpandangan, bingung dengan kata-kata yang Ara ucapkan. Ivanka memutuskan memegang bahu Ara. Dia berusaha menenangkan kepanikan Ara.

"Ini nyata, kita semua ada di sini buat kamu. Maaf karena selama ini kami semua nggak peka dengan keadaan kamu. Padahal udah setahun kita satu kelas," ujar Ivanka penuh sesal.

Mendengar itu, Ara menangis sejadinya. Lega rasanya mengetahui kebenaran ini, bahwa dia ternyata tak pernah sendirian.

"Hari ini, hari kasih sayang. Kamu nggak boleh nangis, Ra. Jangan pernah menutup diri lagi," ujar Cassandra yang dijawab anggukan Ara.

"Dan kita nyiapin kejutan ini bukan buat kamu aja. Tapi untuk semua adik panti juga. Selamat hari valentin adik-adik," ujar Cassandra tulus. Yang dijawab sorak gembira anak panti.

Rasa sepi dan putus asa yang menggerogoti Ara benar-benar menakutkan. Dia selalu merasa tak memiliki siapa pun. Hingga selalu mengabaikan kebenaran yang begitu banyaknya. Semula Ara pikir semua teman sekelas membencinya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top