Tak Tersisa

Mulmed : Element - Tak Tersisa
Kalian yg berpuasa met puasa ya.
Ps : lbh baik bca pas buka or Sahur. Wkwkwk tpi klo kuat gpp. Msh aman. Cuma ya ituuu

..........................

Kota Metropolitan memang selalu ramai tanpa mengenal malam, pagi atau siang. Di sana pusat dari segala kesenangan sekaligus kesedihan. Dalam keramaian itu masih terlihat asap rokok mengepul yang bersaing dengan udara malam.

"Gin, masih narik aja loe. Udah malam nih, pulang yuk," sapa seorang pria tambun dengan gaya memelas.

Wanita itu mematikan rokoknya. Tersenyum sinis lalu bangun dari posisi bersandar di kap mobil. Ginaya, seorang wanita berambut pendek seperti pria. Berprofesi sebagai supir taksi selama lima tahun.

"Dasar, gendut. Loe enak punya bini di rumah. Gak usah pasang tampang memelas deh loe. Pasti pengen cepat-cepat minta kelon, kan?!" Gina berbicara santai tanpa peduli sopan santun dan etika. Ya, tentu saja sudah lima tahun dia bersahabat dengan si gendut bernama Parman. Usianya tiga puluh tahun, lebih tua dua tahun dari Gina.

Parman hanya melongo dan menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan sikap selebor gadis ini. "Gila, padahal gue bermaksud baik perhatian sama loe Lah, loe selalu pikirannya kotor. Banyak-banyak ibadah biar kebagian tiket ke surga." Pria itu langsung mengacak-acak rambut Gina.

Gina mencebik bibir. "Haish, udahlah gue mau pulang. Makasi atas perhatiannya gendut. Loe juga kurusin tuh perut biar muat masuk pintu surga," ledek Gina sambil memukul perut Parman lalu segera berlari masuk mobil. Dia cepat-cepat melaju pergi dengan mobilnya sebelum parman menyambitnya dengan sepatu bututnya.

Malam masih bergelayut berani di langit. Gina meninggalkan pangkalan taksi. Raut konyol dan cerianya tadi berubah dingin. Tiap jam sebelas malam, dia akan melajukan mobil menuju sebuah rumah bergaya modern minimalis tingkat dua. Dia akan berhenti di depan rumah itu. Menatap penuh haru, rindu dan kembali berubah dingin.

Membuka sedikit jendela. Mata kucing yang cantik itu menunggu seseorang keluar dari rumahnya. Selalu saja di tiap hitungan kesepuluh pria itu pasti keluar. Dibantu oleh seorang pelayan laki-laki muda yang mendorong kursi rodanya.

Lalu Gina akan tersenyum tipis saat melihat pria tampan berbalut sweater oversize itu mengamati bunga-bunga dalam pot. Pria itu tidak hanya lumpuh, tapi tak bisa melihat.

Gina tertawa tanpa suara ketika melihat wajah pria yang mengusap bunga sepatu itu. Merasa sudah puas Gina pergi begitu saja. Kembali pulang ke kostan murahnya yang nyaman.

...............................

Pagi kembali menyapa dunia. Sebelum memulai aktivitas kerjanya. Gina pasti mampir dulu di kediaman yang sama. Melihat pria tampan berambut tipis itu memyiram bunga sepatu yang ternyata tumbuh subur. Kali ini tanpa pelayan lelaki itu membantunya. Dengan meraba, tertatih dan pandangan kosong dia mampu tersenyum. Gina bisa melihat senyum kesedihan itu. Sekali lagi dia hanya bisa diam memandang pria itu dengan berjuta perasaan.

Setelah kembali melajukan mobilnya. Dalam perjalanan Gina akhirnya meledak dalam tangis sambil mencengkram setir mobilnya. Wanita berkulit coklat itu memukul setir berkali-kali dan berhenti di tepi jalanan kota. "Bego, benar-benar bego loe, Ran." Suara Gina tampak gemetar dan lirih. Namun, sorot mata itu menyimpan gundah dan dilema.

Puas melampiaskan kesedihan. Wanita itu kembali memperbaiki diri. Menghapus air mata, merapihan rambut yang kembali dia cukur, merapikan pakaian, dan memasang senyum. Lagian dia tidak ingin merusak aktivitas bekerjanya sebagai supit taksi.

........................................

Malam kembali menjelang. Di halaman depan pangkalan taksi yang luas. Di sana ada Gina dan Parman yang duduk sambil menikmati minuman. Wanita itu terkekeh sambil bersandar. "Gue capek, Man." Gina kembali menghirup rokoknya. Menatap langit malam tanpa bintang.

Parman yang mengeluarkan asap rokoknya mengernyit. "Ya, kalau capek pulang, tidur, harusnya jam kerja kita batas paling malam jam setengah sepuluh. Lumayan baik untuk di kota ini. Tapi, kita aja yang bandel malah ikut sok rajin."

"Gue mau balik," ucap Gina sambil memejamkan matanya.

"Ya udah, balik. Tadi kan gue bilang... "
"Gue mau balik ke Randy," ucap Gina memotong perkataan sahabatnya itu. Sontak pria tambun berkumis tipis itu terbatuk-batuk lalu menatap Gina tak percaya.

"Serius?" Parman masih tak meyakini itu. "Pikirkan baik-baik, Marissa Ratanti." Wajah pria itu berubah serius.

Parman, selain sahabat lima tahunnya. Dia juga yang ternyata sudah mengetahui semua tentang Ginaya alias Marissa. Ginaya adalah nama mendiang ibunya.

Marissa Ratanti, tujuh tahun yang lalu adalah gadis berusia dua puluh satu tahun dari Lampung. Dijodohkan oleh Randy Danuarta. Diwakilkan oleh pamannya.

Marissa, yang baginya tak tersisa lagi. Saat Randy tidur dan selingkuh dengan kekasih lamanya selama lima bulan pernikahan mereka. Dia tak tahan dan melarikan diri ke Manado selama dua tahun. Lalu kembali ke Jakarta setelah pencarian Randy untuknya tak berujung. Dia mengganti identitas dibantu Parman.

Hingga saat dia tak sengaja melihat Randy di sebuah mall dengan kursi roda dan pandangan hampa. Rasa penasaran pada Randy mengikuti. Dan Gina selalu memantau Randy setiap saat dan menertawai juga menangisi nasib Randy.

"Kenapa loe mau balik sama dia?!" bentakan Parman membuat Gina terbangun dari lamunannya. "Udah jengah hidup susah?"

Gina alias Marissa hanya menggeleng pelan lalu tersenyum tipis.

.........................

Satu minggu kemudian, Marissa melamar sebagai supir pribadi Randy Danuarta. Dia berani karena semenjak paman Randy meninggal dalam kecelakaan bersama pria itu. Semua pelayan lama di pecat Randy. Yang ada hanya dua pembantu wanita baru. Dan satu pelayan pribadi Randy.
Pemuda yang mewawancarainya tampak menatap intens penampilan dan maskulin Gina dan wajahnya. Satu alisnya terangkat naik. "Kamu... Perempuan?"

Gina yang duduk di ruang tamu tampak tak suka cara menatap pemuda itu. "Iya, memang salah? Sekarang zaman modern yang menjunjung emansipasi."

Sekali lagi pemuda berpakaian hitam putih itu menatap intens. "Kayak pernah lihat."

Kedatangan Randy dengan kursi roda yang didorong pelayan wanita membuat Gina lega. Saat mereka kembali bertemu berbagai perasaan tumbuh menjadi satu. Waktu seolah bergerak lambat. Membuat Gina tak bisa menemukan aura keangkuhan dan keegoisan dari pria itu. Yang ada hanya raut bersahaja dan sayu.

"Saya mungkin tak memiliki penglihatan yang bagus. Namun, saya tahu kamu orang yang giat dan baik setelah saya menyuruh Nita membaca CV kamu. Selamat bekerja." Randy tampak ramah dan mejabat tangan Gina. Wanita itu tampak canggung lalu bersikap senormal mungkin. Ikut tersenyum walau pria itu tak bisa melihat. Jika di sini hanya ada dia dan Randy. Mungkin dia akan melewek pria itu.

Semua harus bersabar. Mengambil hati, membuat pria itu jatuh cinta lagi. Lalu dia akan meninggalkannya. Ya, hanya seperti itu. Karena bagi Gina. Semua sudah tak tersisa.

...............................

"Mau apa kamu?! Pergilah, aku dan Dita akan bercinta di kamar ini." Randy menarik lengan Marissa kasar lalu melempar gadis muda berambut panjang itu keluar. Dan bodohnya dia tetap tak pergi dari sana justru malah mendengar suara percintaan mereka.

"Aku dan kamu menikah karena hutang budi tak penting mendiang orang tua kita! Jangan harap ada kamu di hatiku!"

Dan Marissa melihat Dita yang berpakaian tipis tertawa di belakang Randy.

Semua kenangan itu berputar. Paman Randy yang memukuli membabi buta hingga dengan terpaksa Randy dan Marissa memiliki waktu berdua.

Di Lombok ternyata perkataan Randy terbantahkan. Perhatian dan sikap baik Marissa padanya membuat Randy luluh. Bahkan pria tampan itu diam-diam melihat Marissa yang suka merawat bunga sepatu di beranda villa mereka.

Perasaan berbunga-bunga itu muncul. Tapi, harus berganti mendung karena melihat Randy dan Dita berciuman di taman.

Kenangan kembali berputar. Kepulangan ke Jakarta, pelarian, kemarahan paman Randy dan tak tahu lagi.

.................................

Marissa perlahan membuka matanya dan mengernyit karena mencium bau minyak kayu putih. Menyesuaikan pandangan. Gina yang sudah tak memakai seragam supirnya terkejut karena Randy menatapnya sedekat itu. Lengkap dengan wajah khawatirnya. Dengan Cepat Gina membulatkan mata, memasang sikap awas lalu beringsut mundur hingga ke belakang.

Pemuda di belakang Randy hanya melongo menatap bergantian pada foto besar di belakang Gina. Foto di dinding dekat kepala ranjang adalah Marissa dengan senyum manis, feminim dan rambut panjang. Saat itu, si pemuda sadar kenapa dia merasa mengenal wanita ini.

Dulu dia sempat tak sengaja melihat tuannya memandang potret Marissa saat sedang termenung di beranda depan. Mengetahui keberadaannya, sang tuan cepat-cepat menyembumyikannya. Lalu berakhir tawa karena mungkin mereka hanya mirip. Penampilan saja berbeda, begitu dalam hati si pemuda.

Randy mengibaskan tangan ke belakang memberi kode pada pelayan laki-lakinya untuk pergi. Dengan sikap hormat pemuda itu pergi. Sekarang hanya ada mereka berdua.

Randy mendorong kursi rodanya menatap pada Gina. Dia tersenyum, wajah dan sikap hangat Randy dengan penampilan sederhana kembali membuat Gina takut. Dia merutuki dirinya sendiri yang bekerja selama satu bulan di sini justru terlihat bodoh.

Rasa dendam itu seolah ciut kala menatap sikap bodoh Randy. Yang tiap malam memandang nanar pot-pot berisi bunga sepatu. Atau tiap pagi menyirami bunga-bunga itu.

Memang dia gak punya pekerjaan apa? Pakai baju polo atau sweater oversize dan celana kain. Di rumah, jalan-jalan di taman. Jarang sekali melihatnya pergi ke kantornya. Yang ada tiap dia mengantar Randy. Pria itu menceritakan tentang dirinya. Rutuk Gina dalam hati.

Dia juga bercerita sambil menangis tentang dirinya dan Gina alias Marissa hanya memutar bola mata malas. Ada satu yang membuatnya tercengang, yaitu penyebab Randy seperti ini. Ternyata kecelakaan karena dia dan pamannya mencari Marissa, setahun setelah menghilang.

Berarti satu tahun masih bersenang-senang dengan Dita. Cacinya sekali lagi dalam hati.

Lalu fakta baru lagi. Saat mereka berciuman karena Dita sakit kanker dan ingin Randy menciumnya sekali lagi. Satu tahun ternyata untuk menemani Dita hingga akhir hidup. Sebelum itu Dita meyampaikan maaf untuk Marissa.

Usapan Randy yang lembut membuat Marissa tersadar. "Aku tidak buta benar, Marissa. Hanya kurang penglihatan. Maafkan aku ya, Mar. Kamu jadi menderita seperti ini. Aku tahu sejak minggu kedua kamu bekerja kalau ini kamu. Suara kamu, aroma, dan semuanya... Aku tahu." Ekspresi Randy haru dan mengandung kebahagiaan.

Suara lirih, senyum tulus dan usapan lembut di tangan wanita itu. Sontak membuatnya menangis dalam diam. Rasa terkejut, gemetar dan takut langsung menjalar. Marissa menangis sejadinya. Dia berusaha melepas genggaman tangan pria itu dengan kasar. "Brengsek. Sejak kapan kamu tahu?!"

Randy langsung ikut menangis. Dia berlutut memeluk perut Marissa. Langkahnya tadi terseok jatuh dari kursi roda. "Maafkan aku, Mar... Maaf. Jangan pergi lagi."

Tatapan Marissa berubah tajam. "Percuma, sekarang kamu harus rasain ditinggalkan lagi! Aku cuma mau melihat penderitaan kamu. Lalu kamu luluh dan aku pergi. Dan sekarang aku tetap mau pergi!" bentak Marissa dengan suara gementar bercampur marah. Dia meronta melepas pelukan Randy. Tapi tetap mengerat.

"Jangan pergi, Mar... Tak apa jika kamu siksa aku. Tapi, tolong jangan pergi.. " lirih Randy.

Marissa tersenyum tipis. "Baiklah, Kamu ingin tersiksa bukan?!"

Marissa menarik tubuh Randy dan menindihnya. Bercinta dengan kasar. Lalu akan terus menyiksa Randy seperti dulu saat dia juga begitu

Tamat




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top