Malam itu Masih....

Mulmed : Dr. Pm - tak harus miliki

......................

Pesta bisnis, apalagi jika menyangkut pembukaan cabang baru memang sangatlah meriah. Para tamu berpakaian indah dan mahal silih berganti berdatangan, menikmati menu masakan western, dan saling mengobrol.

Di sudut ruangan, seorang pria duduk sendiri di meja bar. Enggan menyatu dengan yang lain. Namun, gelas putih kecil itu tak henti terisi minuman. Tidak, dia tidak mabuk. Juga tidak ada wanita yang menemaninya. Datang ke pesta ini juga hanya formalitas. Berhubung si pemilik pesta memiliki hubungan kerja sama dengannya.

"Woi, Fin... aje gileee, sampai kapan loe mojok kayak buaya ompong. Minum mulu, kagak kembung loe?!" Sahabatnya bernama tiba-tiba datang menepuk pundaknya. Evans, si pemilik pesta.

Penampilan dua pria tampan itu sangat elegan dengan jas armani yang melekat di tubuh atletis masing-masing. Arifin berkulit coklat khas pria tampan Indonesia sedangkan Evans keturunan Jerman dari ibunya. Mereka baru bersahabat tiga tahun ini semenjak menjalin kerja sama.

Raut wajah Arifin memandang bosan pada Evans. "Loe kayak gak tau gue aja," balas Arifin dengan pandangan lelah. Ya, semenjak lima tahun hidupnya dia hanya menjalani hari-hari dengan datar. Kerja, pulang, jalan jika butuh saja. Semua tak sama semenjak lima tahun yang lalu.

Saat dia meninggalkannya. Masih, jujur saja dia masih ada. Suasana pesta tampak berkilau, ramai dan apik. Namun, Arifin tidak sanggup hanyut di dalamnya.

Arifin menoyor kepala Evans yang duduk di depannya sampai mereka berakhir saling memukul kepala. Tak lama Evans terpaku menatap ke arah pintu masuk. Membuat Arifin juga berhenti menyerangnya. Dia mengernyit melihat Evans yang tampak terperangah.

"Hei, kesambet loe! Malah bengong." Arifin melambaikan tangan di depan wajah Evans. Pria itu tetap seperti patung tapi tersenyum.

"Dia... Dia datang," ucap Evan tergagap dengan pandangan yang tak putus dari objek yang dilihat. Hingga Arifin mengikuti arah pandang Evans dengan penasaran.

Rasanya hati Arifin ingin melompat keluar. Degupan jantung semakin cepat. Rautnya terperangah perlahan Arifin tersenyum dengan sedih. "Miranda," ucapnya pelan dan lirih dan tak mampu di dengar Evans sekalipun.

Gadis yang dia lihat tampak berbeda dari lima tahun yang lalu. Lebih dewasa, cantik, percaya diri dengan gaun ungu panjang membentuk lekuk tubuhnya dengan punggung terbuka. Rambut hitamnya tersanggul modern. Tersenyum pada semua orang dengan ramah dan menyapa beberapa tamu wanita dengan menempelkan pipi.

Dandanan yang tak terlalu mencolok tapi anggun sangat indah dipandang. Seketika suasana melambat menyisakan Miranda dan dirinya yang berada di sana.

Diapun menjadi bodoh juga seperti Evans yang menatap kagum. Ternyata Miranda adalah gadis atau sudah menjadi wanita dewasa misterius yang diceritakan Evans. Wanita yang sangat menjaga jarak darinya. Tepat saat itu Evans berbisik," Gue daritadi mau kasih tahu kalau namanya Miranda."

..........................

Saat perkenalan Miranda justru bersikap biasa saja seperti dua orang asing yang baru mengenal. Hal itu membuat Arifin sakit. Wanita itu seolah melupakannya.

Saat berada di balkon, Arifin tak menyiakan kesempatan untuk berbicara dengan Miranda. Mereka berdua sedang menatap langit malam.
"Apa kabar, Ra?" tanya Arifin lembut.

Miranda menoleh dengan gerak anggun. "Kamu bisa lihat sendiri." Wanita itu tersenyum tipis menegak anggurnya dengan bibir berbalut lipstik merah. Dan yang pasti dulu walau mantan kekasihnya itu tak suka lipstik merah. Arifin akan dengan senang hati mengecup bibir lembut yang selalu lebih suka lipgloss pink.

Hening beberapa saat. Mereka sama-sama melihat langit yang sama tanpa bintang. Meresapi kenangan indah dan pahit mereka dulu. Arifin dicampur rasa bahagia, canggung dan bersyukur bertemu Miranda.

"Selamat, kamu sudah sukses dengan usaha sepatu sneakers yang berdiri dua cabang," ucap Arifin mengulurkan tangan. Tersenyum lagi.

Miranda menatap intens pada Arifin membuat pria itu semakin merindu dan terpesona. "Aku bikin usaha itu juga karena kamu yang suka sepatu sneakers. Terima kasih ya." Miranda tetap bersikap ramah layaknya orang asing yang sopan. Arifin tak menyukainya.

Alasan wanita itu juga membuatnya senang. "Kapan-kapan boleh aku datang ke tokomu sekalian mengobrol dengan kamu lebih banyak ?"

Miranda mengedikan bahu. "Anakku suka rewel jadi aku jarang di toko."

Pernyataan itu membuat Arifin tak terlalu terkejut. Menurut Evans Miranda janda.

"Maafkan aku yang dulu menyakiti dan mengkhianati kamu. Aku dan Diana tidur..."

"Sudahlah, its oke, Fin. Itu sudah cerita lama. Masuk yuk, lama di sini dingin juga." Miranda mengusap lengannya lalu masuk ke dalam.

Lalu wanita itu menoleh lagi pada Arifin. "Oh ya, anggap saja kita baru mengenal sekarang. Oke."

Arifin mengangguk dan tersenyum tegar. "Iya"

Sekali lagi Miranda pergi meninggalkannya. Sama seperti lima tahun yang lalu. Saat dia dirawat di rumah sakit karena bertengkar dengan Miranda. Mereka saling memukul dan menyakiti di apartemen Arifin setelah Diana pergi. Sampai kakinya tertancap pecahan beling dari vas bunga yang dilempar Miranda padanya.

Mereka berpacaran lima tahun dari SMA. Berbagai konflik mereka jalani dan lewati. Hingga malam sebelum dia pergi dan tidur bersama Diana. Arifin bertengkar dengan Miranda.

Karena Diana, sahabatnya yang semakin cantik dan selalu menghiburnya. Arifin mendekatinya malam itu. Diana juga menyambutnya dengan baik. Mungkin dia sudah lelah pada hubungan cintanya dengan Miranda.

Malam itu terlewati dengan luar biasa. Lalu tepat saat Arfin bertelanjang dada di ranjang dan Diana memakai pakaian. Melihat Miranda yang terpaku menahan amarah, Diana pergi tanpa rasa bersalah melewati kekasihnya.

Pandangan sedih tertuju pada Arifin yang salah tingkah. Sedikit lega saat Miranda pergi. Namun, tak lama kemudian gadis itu melempar vas bunga dekat meja nakas sampai berhamburan di lantai.

Miranda menangis kalap dan memukul wajah juga tubuh Arifin. Lelaki itu tak terima. Dia membalasnya juga. Miranda lebih marah lagi lalu mendorong tubuh Arifin hingga terjatuh, kaki dan pinggangnya terkena pecahan beling.

Lelaki itu meringis dan berteriak sakit. Miranda hanya memandang pias, menangis dan menutup matanya.

*****

Lima tahun yang lalu, Miranda akhirnya mengunjungi Arifin yang dirawat di rumah sakit karena kelelahan. Ditambah bekas luka yang lumayan parah.

Pria itu sedikit menghangat. "Ra."

"Maaf ya, karena aku kamu jadi seperti ini," ucap gadis berambut panjang itu lembut.

Arifin berusaha duduk walau sakit. Dia tersenyum sedih. "Maaf, Ra. Aku juga minta maaf. Aku sangat mencintai kamu."

Miranda memalingkan wajah sambil membawa buah-buahan menyembunyikan air mata. Lalu kembali menoleh Pada Arifin dengan tegar. Menarik nafas dan menghembuskannya.

"Kita... Putus saja ya." Ucapan Miranda sontak mengejutkan Arifin yang pucat.

"Ra, jangan... Aku cinta kamu... Maaf," ucap lelaki itu lirih. Dia ingin berdiri menggapai kekasihnya. Namun, gadis itu menggeleng lemah dan menjauh.

Dia juga menangis tersedu. "Kita sudah parah, Fin. Puncaknya... Saat kamu tidur sama Diana. Aku mendengar suara pelepasan kalian di akhir." Suara Miranda kian serak. Gadis itu menghapus pileknya. "Lagipula aku akan melanjutkan S2 di luar negeri. Aku yakin kamu bisa hidup tanpa aku. Selamat tinggal."

Hanya buah-buahan itu yang tertinggal dan isak tangis Arfin yang meringkuk di ranjang rumah sakit malam itu. Beberapa kali memanggil nama Miranda.

*******

Malam lima tahun kemudian. Saat ini Arifin mencoba mengejar mobil BMW Miranda yang sudah hilang. Di bawah langit malam dan hembusan angin pria itu memegang lututnya ngos-ngosan. Tak peduli tatapan heran Evans yang melihatnya saat dia keluar gedung pesta mengejar Miranda.

Arifin memejamkan mata. Berdoa kepada Tuhan agar dia masih diberi kesempatan.

_________________
Fin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top