Kau Yang aku Tunggu
Ini adalah cerpen yang akan masuk kumpulan cerpen antalogi Crazy love yang akan terbit di penerbit Y&I publisher. Semoga berkenan ya.
And... Ini spin off dari novel Fortuna dengan mengambil tokoh Cia. Ya... Cia
.......................
Tidak ada hari yang tidak indah.Itu adalah motto hidup seorang Aracia atau yang akrab dipanggil Cia. Tapi, sepertinya motto hidup itu harus dia eliminasi. Berganti dengan 'Selalu ada hari buruk jika berhubungan dengan reinkarnasi Miss. Puff alias Ibu Saskia.' Ditambah sesuatu yang belakangan ini dia alami.
Aracia namanya, hampir setahun bekerja sebagai sekretaris Ibu Saskia di sebuah perusahaan desain. Walaupun si ikan buntal itu sangat menyebalkan. Cia harus sabar demi masa depan, karir dan hidupnya. Lagipula dia sekarang hanya hidup berdua bersama ibunya.
Dari kejauhan aku melihat si ikan buntal itu berjalan sambil sedikit bergoyang. Lengkap dengan raut yang sepertinya sudah wanita itu hafal. Cia yang ditakdirkan duduk di dekat ruangannya harus menahan kesal. Banyak yang sayang jantungnya memilih keluar. Namun, bagi yang butuh nafkah memilih bertahan.
Lihat saja dandanannya yang agak tebal, berambut keriting pendek, dan lemaknya yang ikut bergoyang ketika dia berjalan. "Selamat pagi, bun... Eh Bu Saskia," sapa Cia yang tampak modis memakai blouse serta celana span. Dia mencoba tersenyum manis dan lebar demi menutupi kekesalannya.
"Ini memang pagi jadi tak perlu kamu mengucap pagi lagi, Cia. Saya mau berbicara hal penting." Bu Saskia menampilkan ekspresi memohon seperti anak kecil yang meminta balon.
Cia membenarkan posisi duduknya menjadi tegak. Dengan tegas tak terlalu mementingkan sopan santun. Dia bertanya," Rekan perusahaan mana lagi yang ibu inginkan?"
Cia mengangkat sebelah alisnya. Lagipula bekerja hampir setahun tak ada lagi rasa formal. Terlebih Bu Saskia yang selalu memanfaatkannya menarik klien. Senyum lebar langsung terbit dengan bangga. "Oh... Cia, kamu selalu mengerti diriku ini," ucap Bu Saskia Lusa sambil merapikan blouse milik Cia. "Lusa, kita berangkat ke Bali untuk menemui klien kita selanjutnya. Sekalian saya mau menemui kesayangan saya." Bu Saskia pergi lagi sambil bersenandung dan bergoyang. Dari belakang wanita cantik berambut panjang itu hanya melewek dan komat kamit mengejek.
....................................
"Dasar, jelman Miss. Puff spongebob! Gak lihat apa? Banyak kertas yang masih menumpuk di atas mejaku," ucapku sambil sedikit berjalan cepat untuk menuju motor matikku. "Pokoknya hari ini aku harus curhat sama Una setelah dia meluapkan amarah pada Gibran." Aku menggeram dan mengigit bibir gemas sepanjang jalan. Akan tetapi, langkah ini harus terhenti karena parjo, seorang satpam muda yang menghalangi jalanku.
"Mbak, ada kiriman," ucapnya senang.
Aku hanya mendesah lemas. Lagi-lagi paket rahasia. Sudah dua bulan belakangan ini dia selalu mendapat kiriman paket. Awalnya dia senang karena hadiah itu selalu berisi barang yang dia inginkan. Tapi, tak sempat dibeli karena terlalu mahal. Namun, sekarang semua ini membuatnya risih dan sedikit takut. Apalagi tiga hari ini si pengirim rahasia sudah berani mengirim barang ke rumahnya.
"Pak, saya sudah bilang dari jauh hari kalau tidak akan menerima barang dari orang tidak jelas." Aku menatap jengah si satpam kurus yang tampak gelisah juga. "Tapi... saya tidak enak kalau ambil barangnya lagi."
Aku berdecak lagi. "Ya sudah anggap saja rezeki bapak." Setelah mengucapkan itu aku langsung pergi dan menaiki motor maticku.
...................................
Setelah mandi dan memakai piyama tidur pendeknya. Cia jatuh ke kasur dan memejamkan matanya. Baru beberapa menit menutup mata, suara panggilan dari ponselnya berdering. "Ck, Si ikan buntal itu mau apa lagi ya?" tanya wanita itu dengan erangan kesal.
Dia pun terpaksa membuka matanya lalu meraba meja kecil di samping tempat tidurnya. Dahinya berkerut melihat private number. "Hah? Private number?"
Dering itu terus mengalun. Dia bangun dari tidurnya sambil menimang-nimang ponsel itu. Berpikir untuk menjawab atau tidak. Dan Cia tersenyum kecil lalu mengeser icon hijau.
"Una, sudah lulus kuliah masih iseng ngerjain.... " ucapannya terpotong karena mendengar suara bariton yang berat dan berdesah.
"Akhh.... Sayang... Aracia... Aku sampai... Akhhhhhh!"
Raut cantik cerianya langsung berubah pias, pucat, melotot dan dengan sigap langsung memutus panggilan. Termasuk mematikan ponselnya. Jantungnya berdegup sepuluh kali lebih cepat.
Cia langsung berbaring dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut sampai kepala. "Kampret, itu tadi telepon nyasar dari mana? Kok namanya mirip aku." Cia tampak sangat ketakutan dengan suara bergetar. Lalu rasa takut itu semakin menjalar kala memikirkan kiriman hadiah yang selalu datang untuknya. Tapi, dia bersikukuh tak mau stress dan alhasil setelah berdoa bisa tidur dengan nyenyak.
....................................
Cia dengan tampilan blazer hitam dan Bu Saskia akhirnya berangkat ke Bali dan tiba di sebuah restoran di hard rock cafe untuk bertemu klien mereka. Seorang pria tampan dengan balutan jas abu-abu dengan rambut under cut coklatnya menyapa mereka. Dia datang bersama sekretarisnya.
"Dia Julian Andriano, keponakan saya." Bu Saskia memperkenalkan pria tampan itu dengan bangga. Cia membulatkan mata tak menyangka jika Bu Saskia baru memberitahunya sekarang.
Tanpa basa basi pria tampan dengan tubuh tegapnya itu mengulurkan tangan kuat dan jantan itu pada. "Julian." Dia memperkenalkan diri dengan suara barito yang terdengar familiar bagi Cia.
Saat itu, selain tak lagi mempercayai lagi motto hidupnya. Hari ini tak pernah dia merasakan setakut ini. Cia menatap takut pada wajah tampan yang tersenyum itu. Tanpa dia sadar pulau terindah di Indonesia itu akan menjadi saksi kisahnya.
Cia mengendalikan dirinya. Menampilkan sikap formal dan santun. "Saya Aracia, sekretaris Ibu Saskia Nandar."
Julian tersenyum bergumam dalam hati. Kau yang aku tunggu akhirnya bisa bertemu.
...........................................
Julian berjalan dengan senyum misterius yang tak luntur dari bibirnya. Melewati koridor dengan dinding kaca di sebuah villa. Saat sampai di depan pintu kayu jati besar. Pria itu mengetuk. Pertama, masih sabar. kedua, mencoba sabar lagi. Ketiga, rautnya berubah kejam dan dia langsung menendang pintu itu dengan kakinya. Suara musik waltz yang besar tak henti membuatnya kesal.
"Hei, abangku yang cacat! Keluar! Sudah seenaknya menjadikan aku budakmu, masih saja tak tahu diri. Buka pintunya Julian Andriano yang sebenarnya!" teriak pria yang sudah tampak geram dan berkali-kali menendang pintu.
"Masuk saja."
Suara bariton serak itu mengalun santai tanpa dosa. Suara yang sama dengan Utha Andriano, adiknya. Utha memejamkan mata menghela nafas lalu merapikan rambut dan kemejanya yang sempat acak-acakan. Merancang raut tenang.
Ketukan sepatu pantofelnya berada dengan suara dari piringan hitam di dalam kamar. Nuansa kamar berwarna hitam, itu dulu. Tapi sekarang sudah lebih mengarah ke abu-abu. Menunjukkan sang pemiliknya mulai merasa hidup bangkit kembali. Walau masih banyak foto berbagai ukuran di dinding bermotif akar itu.
Di depan jendela besar terbuka seorang pria berperawakan lebih tinggi, gagah juga berambut tipis itu menari riang. Setelan kemeja dan rompi sudah terbalut di tubuhnya. Dia menatap foto besar seorang wanita cantik yang mirip dengan Aracia. Utha memutar bola matanya malas. Dia langsung mematikan mesin musik klasik itu.
Pria yang hanya terlihat dari samping itu berhenti menari. Perlahan menoleh pada adiknya. Hingga menampilkan bekas luka bakar yang masih setia berada di sisi pipi kanannya. Julian menyeringai. "Kau menganggu kesenanganku. Tapi aku maafkan meningat kamu berhasil membawa dia ke sini."
"Terima kasih untuk permintaanmu yang berhasil menganggu bulan maduku selama tiga hari," balas Utha dengan sebal. "Sekarang ayo temui dia. Kamu sudah merasa paling tampan, kan? Sampai selalu menolak operasi plastik."
Julian yang memiliki garis ketampanan yang sama dengan Utha hanya tersenyum. Dia becermin merapikan diri sambil bersiul dengan wajah santai. Utha mendekati sang kakak yang jarang menoleh padanya. Dengan raut serius berbisik pada telinga Julian sambil menatap pantulan diri mereka di cermin panjang itu. "Kakak harus ingat, dia bukan Ranti, wajahnya mereka memang mirip. Tapi, tetap saja berbeda. Aku harap kakak bisa membuka lembaran baru bersama dia yang selalu kakak perhatikan dari jauh, memberi hadiah, atau mengajak bercinta dari ponsel. Lupakan kecelakaan itu dua tahun yang lalu itu, lupakan rasa bersalah itu." Ada getar lirih saar Utha berkata dan menepuk pundak lebar Julian dibarengi raut sendu.
.................................
Rasanya hidup kembali normal saat kembali lagi bertemu dirinya. Aracia, wanita cantik yang saat ini sedang tampak canggung memulai makan siang bersamaku. Dia duduk di seberangku. Setelan mini dress dan celana warna maroon tampak cantik di tubuhnya. Senada dengan warna rompiku
Aku melahap daging steak dengan senyum birahi menatapnya. Namun, Cia tampak sesekali melahap sedikit sarapannya diselingi isakan tangis tersendat. Dia melirik-lirik takut padaku.
Dua jam yang lalu, aku tahu dia akhirnya terpaksa menempati perjanjian yang dibuat tante dan adikku. Cia sangat sayang pada ibunya. Tak kuat mendengar isak tangisnya. Rahangku mengetat lalu meletakkan pisau dan menelan cepat daging yang aku makan.
Senyum ramah kembali aku tampilkan. "Aku suka daging steak dengan tingkat kematangan medium, bagian dalam terlihat masih agak kemerahan dengan aroma bakar yang sangat menggoda, meresap kedalam daging, dan juicy yang terasa manis di lidah," ucapku kembali memotong daging dan mengunyahnya nikmat. Mataku terus memandang tajam, dalam dan penuh minat.
Wanita itu benar-benar tegang sekarang dengan nanar membuka mulutnya bergetar. "Kamu... Kenapa melakukan ini?" tanyanya dengan lirih
"Aku ingin memulai hidup baru denganmu, kamu takut sama bekas lukaku ini? Padahal dua tahun yang lalu kamu tak takut melihatku. Bahkan menolongku dari hinaan banyak orang di mall saat aku seperti orang gila." Aku tampak memelas dan bersikap hangat. "Turuti saja ya, perjanjian ini. Tenang, kami tidak akan memperlakukanmu seperti tahanan kok. Dan masalah sepupu jauh kamu itu. Kita cuma sedikit main-main saja."
Cia menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya. Aku tahu, masih ada getar takut di dirinya. "Aku akan menuruti kalian, terutama kamu. Jadi jangan ganggu ibuku atau Gibran. Oke?" mohon Cia dengan tekad. Aku juga bisa melihatnya, termasuk lekukan tubuh indahnya.
Aku mengangguk dan tersenyum sambil bertopang dagu. "Sssttt... Sudah jangan sedih seperti itu. Mulai sekarang kita belajar saling mencintai ya. Aku yakin kita ini berjodoh dan kamu juga nanti tak akan mengelak lagi."
..................................
Rasanya aku seperti ditarik paksa dalam mimpi buruk. Ingin bangun tak bisa. Hingga rasa takut yang mendalam adalah ini bukan mimpi buruk. Tapi yang membuatku lebih takut adalah jatuh cinta padanya.
Waktu bergulir dengan cepat, mendekati tujuh hari. Aku justru jatuh cinta padanya. Sepertinya perkataan mengandung keyakinan darinya berhasil.
Tujuh hari, dia benar-benar bersikap baik padaku. Berbeda saat pertama kali aku bertemu dengannya. Bu Saskia yang menyimpan keanggunan di balik raut bodohnya, dan Utha yang ternyata cukup menyenangkan. Aku sempat marah saat mereka menipuku. Tapi, perlakuan mereka padaku tujuh hari ini sontak menyentuh hati. Bahkan sepertinya aku tertular kegilaan cinta Julian. Dari 'sentuhan ringan' hingga berakhir lebih jauh. Cacilah aku jika kalian menganggap aku murahan. Karena perasaan cinta yang berbeda baru kali ini aku rasakan.
Malam ini, di hari keenam aku mengusap dada bidang Julian. Kecupan tak lepas dilancarkan Julian ke bibirku. Kami saling menatap lekat dalam keremangan cahaya kamar.
"Apa kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" Julian tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Dan malam itu kami kembali bergumul dengan liar.
.................................
Cia masih mengingat kalimat pertama dari Julian saat berkata aku yang ditunggunya. Walau begitu yang ditunggu tetap akan pergi. Seperti dirinya yang menangis dalam mobil milik keluarga Andriano.
"Sabar ya sayang, kita akan bahagia walau cuma berdua." Dengan senyum getir dia mengelus perutnya yang masih rata. Ini adalah keputusannya memilih pergi saat tahu pria itu mencintainya dalam bayangan gadis masa lalunya. "Biarkan papamu tetap tenggelam bersama kekasih lamanya."
Mungkin setelah ini dia akan menanggung beban hidup sendiri. Nanti dia akan cerita pada Fortuna, sahabatnya.
Tak berapa lama, supir Julian menghentikan mobilnya mendadak membuat Cia cukup terkejut. "Ada apa, pak?"
Supir itu hanya tersenyum dari sepion, membuka topi dan menoleh ke belakang. Cia menangis tambah keras. Pria yang pura-pura menjadi supir dengan topi dan kacamata hitam tertutup itu adalah Julian Andriano.
"Kamu benar-benar bodoh. Hanya dengan pikiran semu seperti itu mau meninggalkanku bersama anakku juga. Maafkan aku, tapi kamu yang aku cintai sekarang bahkan dari dua tahun yang lalu." Dengan geram Julian berpindah ke kursi belakang. Memeluk dan mencium bibir Cia dengan cinta.
Pemandangan indah Ubud, Bali menjadi saksi dari dua insan yang memang harus bersatu.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top