Aslika, maafkan aku(oneshoot)

Terinspirasi dari video clip d'bagindas -maafkan aku, di atas....

Lembang, Bandoeng, 1935

Semilir angin membawa kesejukan bagi semua orang di kota kecil, sejuk, asri, dan indah ini. Semua warga, baik pribumi, londo, dan bangsawan melakukan aktivitas mereka sehari-hari. Trem-trem sudah beroperasi di kota maupun jalan desa. Dan fokus utama mengarah pada seorang gadis remaja cantik dan gadis mungil dengan kemben batik menutup tubuh mereka. Membiarkan rambut hitam mereka tergerai ditiup angin. Suara gemericik air sungai bagai alunan nada jernih menyegarkan hati. Suara kucek cucian saling bersahutan dari mereka.

Canda tawa dan aksi saling melempar percikan air mewarnai keriangan mereka. Lalu wajah gadis remaja itu berubah sumringah saat mengambil gaun berenda klasik berwarna pastel. Karena rasa ingin mencoba dan tertarik, gadis remaja itu berdiri lalu memakai gaun itu tak sempat mencuci busa sabun dari tangannya.

"Esih, apa teteh pantas memakainya?" Tanya gadis itu pada adiknya.

Si gadis kecil tergugah menganga. "Itu... Pakaian raden Diah Ayu padmi, wah... Indah sekali, teh. Teh Lika pantas juga memakainya. Aku juga ingin mencobanya." Esih langsung berdiri ingin mengambil pakaian itu. Tapi Aslika, nama lengkap gadis itu mencegahnya.

"Eh... Eh... Ini gaun gadis besar. Kamu masih kecil." Lika menoyor kening adiknya sambil mengejek jahil.

"Ah... Teteh pelit, aku juga ingin mencobanya. Tak apa kebesaran. Aku sudah sebelas tahun juga. Mungkin kebesaran sedikit. Ayoo... Berikan sebentar saja." Esih tampak merajuk sambil menarik gaun pastel indah itu.

Jangan heran jika Diah ayu banyak memiliki pakaian gaun. Bukan kebaya. Karena dia gadis bangsawan yang berpikiran maju. Pergaulannya lebih banyak dengan londo.

"Tidak boleh, ayo kita lanjut mencuci lagi." Balas Aslika sedikit tegas, namun Esih tetap merajuk dan menarik gaun itu hingga saling tarik menarik terjadi. Dan....

Krek! Krek!

Mulut kedua gadis itu kembali menganga terkejut melihat hasil perbuatan mereka hingga burung yang bertengger di pohon dekat sungai berciut menertawai mereka. "Lihat! Ini hasil perbuatanmu, Esih!" wajah Aslika berubah kesal. Lalu berganti wajah takut dan bingung. "Aduh... Gusti... Bagaimana ini. Kita dalam masalah... Ah," ucapnya lirih. Wajah Aslika berubah sedih lalu meratapi gaun yang sudah sobek parah itu. Dia terduduk lemas di batu dekat sungai.

Terlihat wajah Esih pucat ketakutan ikut terduduk lemas di batu. Perlahan mata Esih berair lalu mulai menangis. "Maaf...Teteh... Aku...hanya ingin ikut mencoba. Hiksssss."

Aslika menatap adiknya. "Kenapa kamu menangis, kamu yang merobeknya."

"Maaaaff" tangis Esih semakin kencang. "Biarkan aku yang nanti menjahitnya." Esih merebut gaun itu, namun naas ketika Aslika ingin mengelak. Gaun yang sudah sobek itu jatuh mengikuti arus sungai.

"Gustiii!" Teriak mereka bersamaan. Lengkap dengan suara ibu mereka yang baru datang sambil membawa bakul pakaian. "Ada apa?" tanya ibunya menatap heran pada kedua putrinya.

Mereka hanya melihat sekilas lalu pada ibunya tapi lebih memilih berlari dengan gesit mengejar pakaian itu yang melaju mengikuti arus sungai. Suara saling teriakan mereka bersahut-sahutan. Bahkan mereka mendorong Dudung, si bocah gemuk tetangga mereka yang memamerkan ikan besar tangkapannya.

Entahlah apa yang terjadi selanjutnya.

......................

Tiga wanita berbeda usia dan fisik itu sekarang bersujud di teras keramik berhadapan dengan wajah marah seorang pria dengan beskap mewahnya, dan dua wanita, ibu dan anak gadisnya yang berpakaian rapi dan terlihat mewah juga. Terlihat amarah berkecamuk di mata gadis muda itu.

"Sebagai gantinya, putri sulungmu itu harus bekerja sebagai kacung di kediaman ini. Tanpa sepeserpun upah!" Ucap kejam si pria bangsawan dengan kumis lebarnya itu. Sontak ketiga wanita itu terkejut. Sang ibu menangis haru memeluk putrinya. Esih juga memeluk kakaknya dengan menangis paling kuat.

Aslika harus rela berkorban. "Tidak perlu khawatir, aku akan menebus kesalahan ini untuk kalian." Ucap lirih gadis itu sambil menatap ibu dan adiknya sedih dan tegar.

...............

Seorang pemuda tampak memperhatikan Aslika yang sedang mengepel teras luas rumah mewah itu. "Kacung itu cantik juga ya?" Ucap pemuda itu menepuk bahu bidang sahabatnya. Yang tampak tak acuh.

Dua pemuda berpakaian kemeja dan rompi asyik menikmati kopi di pendopo kecil tak jauh dari Aslika.

"Mahesa, sudahlah jangan kamu pikirkan Diah Ayu. Lagipula memang kamu tahan jadi selingkuhannya terus? Lebih baik lihat gadis itu. Sekalian hiburan."Mahesa menatap Aslika yang tampak kepayahan.

Keesokan harinya, Mahesa yang sedang menikmati pemandangan taman belakang setelah bertemu Dyah diam-diam. Melihat pemandangan yang membuatnya geram.

Dierja! Lepaskan dia!"

Suara tegas itu muncul seiring dengan pelukan paksa pria itu. Mereka menoleh dan mendapati Mahesa dengan wajah dingin dan beskap juga jarik pendek yang melingkar di pinggangnya bercelana putih itu berjalan pada mereka.

Aslika tampak lega sekaligus berterima kasih pada pria itu. Sedangkan Dierja tampak tersenyum tak berdosa sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Menganggu saja kamu, Esa. Aku kan ingin berkenalan dengan gadis ini."

Aslika menatap Dierja dengan ketakutan lalu langsung menghindar bersembunyi di belakang tubuh tegap Mahesa. Hal itu membuat pria itu terkejut. Bagai gerakan lambat diiringi angin yang menerpa rambutnya. Mahesa sedikit terpaku. Tapi cepat-cepat dia menormalkan sikapnya. Bahkan gadis itu masih bersembunyi di balik tubuhnya.

"Tu..an... Pria ini tadi berusaha melecehkan saya. Tolong saya." Ucap Aslika dengan suara mencicit sambil meremas kedua tangannya gugup.

Walau Mahesa tak menoleh tapi dia bisa merasakan ketakutan gadis itu dari suaranya. "Dierja, kamu pikir semua gadis yang kamu dekati itu sama?! Jaga sikapmu seperti derajatmu. Aku sahabatmu, tak suka bila kamu berbuat seperti itu di rumah manapun, terlebih ini rumah sahabat kita."

Lama Dierja jengah juga mendengar sikap sok terhormat Mahesa terlebih selalu sok ramah. Dierja mengibas tangannya mengejek Mahesa. "Ah... Jangan sok bermoral, kamu bersikap sok baik, sopan, tak bejat untuk menutupi status anak harammu itu bukan?!"

Kalimat terakhir itu sungguh menohok hati Mahesa. Mereka memang sering bertengkar, berdebat atau apapun. Tapi tak pernah pria itu marah atau tersinggung sebagian hanya gurauan. Namun, dia tak menyangka. Kalimat tabu itu keluar dari mulut Dierja secara mudah seperti bernafas atau meludah di sembarang tempat.

Mahesa mengetatkan rahang, menggeram, mengepalkan tangan. Niatnya ingin mencari angin segar karena tak tahan melihat kemesraan Diah dan Roland. Tapi disini dia mendapat angin topan yang memporak porandakan hatinya.

Dengan berjalan cepat meninggalkan Lika yang masih cemas. Mahesa langsung meninju wajah Dierja. Aslika terpekik sambil menutup mulutnya.

Dierja terjatuh dengan wajah terkejut sambil memegang pipinya yang terkena hantaman pria itu. Dia pun meringis, "Kenapa marah?! Memang seperti itu bukan dirimu, bahkan kamu juga menusuk sa....." Dierja tak mau kalah tapi kalimatnya terputus karena ringisan. Bekas luka itu menjangkit kian parah jika dia terlalu banyak bicara.

Saat ingin menghardik Dierja lagi. Suara derap langkah dan teriakan Roland dan Diah terdengar. Roland melerai kedua pria itu sambil berbicara baik-baik. Sedangkan Diah langsung menatap tak suka pada Lika. Gadis itu berpikir ini semua terjadi karena Aslika.

...........................................

Semanjak pertemuan itu mereka menjadi dekat dalam enam bulan. Mahesa adalah pria pertama yang membuatnya jatuh hati karena perhatiannya selama ini. Pertemuan pertama selalu berkesan di hati. Mahesa juga jatuh cinta pada Aslika melihat kelembutan, perhatian, dan tak memandang rendah dirinya. Sejenak dia melupakan hubungannya dengan Dyah Ayu.

Saat ini mereka sedang berteduh di kediaman pribadi milik Mahesa, tepatnya di sebuah ruang kerja yang memiliki sofa. Hujan di luar sana semakin deras.

"Raden, terima kasih karena sudah menebus saya," ucap Aslika yang merasa canggung dan malu-malu.

Mahesa yang duduk di sampingnya semakin dekat dan menyentuh dagu mungil gadis itu menatapnya dalam. "Sudah aku katakan berapa kali untuk tidak memanggilku Raden. Panggil akang."

Aslika tersenyum, "Maaf... Kang."

Mereka saling menatap dan saat Mahesa memberikan ciuman lembut di bibirnya saat itu mereka terhanyut dalam letupan gairah cinta. Bercinta hingga lelah dan hujan semakin deras dari jendela besar ruangan dengan cahaya temaram juga barang-barang antik.

Setelah selesai bercinta mereka berpelukan dan saling berpandangan. "Maaf aku menidurimu sebelum sah. Maklumlah, aku ini hanya anak simpanan..." suara serak itu tertahan karena tangan halus Aslika yang menutupinya. "Kang, aku mencintaimu apa adanya. Sejak kamu menolongku dari teman akang yang mau menodaiku paksa. Aku sudah mencintaimu."

Mahesa melepas tangan gadis itu dari mulutnya lalu meraih tubuh langsing itu agar semakin dekat dengannya. Jemari besar itu merapikan rambut panjang hitam Aslika yang berantakan. "Minggu depan aku akan melamarmu."

...............................

Janji ternyata tak tak lebih dari mimpi semu. Saat pria itu tak kunjuhg datang. Aslika nekat menyusul ke kediaman Mahesa bersama kusir dengan delman. Menerobos pelayan yang menghalanginya. Gadis berkebaya putih dengan corak bunga itu langsung berdiri kaku dengan palu yang menghantam kepalanya.

Mahesa dan Dyah Ayu ternyata masih menjalin hubungan dan mereka sedang bercinta sambil berpelukan dengan tubuh telanjang. Aslika langsung membuang cincin dan kalung itu dihadapan mereka.

Mahesa dan Dyah Ayu terkejut dan pias. Lalu segera membenarkan tubuh mereka dengan selimut. "Aslika...." dengan raut sedih pria itu turun dari ranjang untuk mendekati gadis itu.

Aslika memeluk tubuhnya sendiri dengan gemetar memandang takut, benci, pucat dan sakit pada pria yang dengan bodohnya dia cintai. "Ternyata kamu masih mencintainya," ucap gadis itu dengan lirih.

Mahesa memungut cincin dan kalung itu sambil bersujud untuk menyentuh pinggang Aslika. Dan gadis itu mundur. "Kau memang anak haram, Mahesa, memang pantas ayahmu meninggalkanmu dengan ibumu. Perbuatanmu ini sungguh menjijikan. Pengkhianat!" dengan suara mendesis dan tatapan tajam dari Aslika membuat dunia Mahesa seolah runtuh.

Dyah Ayu mendekati mereka dengan selimut terlilit di tubuhnya. Menatap dalam pada gadis itu, "Kami dari dulu sudah menjalin hubungan. Bahkan sebelum Mahesa mengenalmu."

"Aslika maafkan aku. Aku terlena, tolong jangan usaikan kita." Mahesa masih bersujud, merangkak untuk mendekati gadis itu.

Namun, tatapan tajam dari mata indahnya tak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Dia pria harusnya tidak larut dalam kenangan. Dia yang berstatus anak simpanan harusnya bersyukur bertemu, mengenal dan merasakan kasih sayang dari Aslika, si gadis desa yang cantik dan lembut.

Setelah memandang mereka satu persatu dengan tajam dan digenangi. Aslika pergi dengan cepat tak peduli Mahesa yang mengejar setelah memakai celana panjangnya dengan teriak pilu. Saat itu dia merasakan sakit hati yang sesungguhnya setelah meninggalnya sang Ibu.

.................................................

Berbulan-bulan Mahesa selalu mencoba mendekati Aslika namun hasilnya sia-sia. Dan kali ini hal yang paling menyakitkan untuknya adalah melihat Aslika yang memakai gaun berenda dan topi bulat lebar menyambut uluran tangan seorang meneer Belanda. Pria itu menggeleng dengan raut sedih melihat koper-koper besar dimasukkan ke dalam bagasi mobil antik mewah itu.

Bahkan ibu dan adik perempuan Aslika tersenyum haru. Mahesa yang tampak berantakan dengan kemeja putih langsung berlari tepat saat gadis itu masuk ke dalam mobil menyusul meneer dengan jas rapi dan kaca mata hitamnya. "Likaaaaaaa....!!"

Mahesa terus berlari sampai melewati perkebunan, anak perempuan dan bocah lelaki tetangga Aslika ikut mengejar. Wanita itu hanya melihat lirih.

Mahesa berlari diikuti adik Lika dan bocah lelaki dengan kemeja tanpa lengan terbuka itu. Saat sudah lelah berlari Mahesa terjatuh menatap mobil yang semakin menjauh. Tak lama usapan tangan kecil itu datang membuat Mahesa menoleh dan menatap dua bocah itu.

"Teteh pergi untuk aku dan ibu," suara kecil dan senyum manis adik Aslika semakin membuatnya menangis. Mahesa memeluk mereka berdua di bawah mentari yang perlahan pulang seiring mobil yang membawa Aslika menuju pelabuhan tanjung Periok.

Yang bisa digapai oleh pria itu hanya topi bulat dengan renda milik Aslika yang dia lempar. Hingga tangan kekar itu berubah keriput.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top