Potret Buram Emak
“Sudahlah Kang, nggak usah terus kamu menangis gitu.” Kalimat itu terdengar lagi dari arah belakang. Pasti Iis berpikir aku meratapi kepergian emak. Emak yang selama ini begitu jahat padaku. Sementara tanganku masih saja memegang sebuah potret buram Emak. Mataku tak lepas dari kertas monokrom itu.
“Dialah satu-satunya penghalang hubungan kita Is.” Aku menoleh sejenak ke arah Iis yang duduk di bangku kecil dekat jendela.
“Kang, saya rasa nggak ada gunanya kamu masih menyimpan dendam itu pada Emak.”
“Aku terlalu sayang, aku sayang padamu Is, tapi sayang pula pada Emak.” Suamiku tergugu.
Sejenak pikiranku terbang ke peristiwa malam itu. Malam di mana aku berdebat dengan Emak. Emak memintaku untuk bercerai dengan Iis.
“Istri yang tidak bisa punya anak itu tak pantas dipertahankan kau tau?” Emak berkata sinis.
“Stop, Mak! Aku menyayangi Iis apa itu tak cukup?”
“Mau kau tinggalkan istrimu, atau aku yang akan berbicara langsung padanya untuk meninggalkanmu, hah?” ancam Emak malam itu.
“Aku rela kehilanganmu, Mak! Daripada aku harus menyakiti istriku.”
Aku keluar ruangan tamu rumah Emak, lalu melempar korek api yang menyala ke arah tumpukan baju yang kebetulan belum sempat Emak rapikan di atas meja. Api cepat membesar menyambar apa saja. Tak lama terdengar teriakan Emak. Aku hanya mematung di sana. Menitikkan air mata dengan senyum sinis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top