Mendadak Koki

“Cabe-cabean, cabe-cabe murahan ...." Sebuah lirik lagu dangdut melantun keras.

Yuli si mantan nyonya kaya, mendadak dangdutan di dapur kontrakan sempitnya. Dengan tangan mengulek cabai dan bumbu-bumbu lainnya, dia berdendang layaknya biduan. Tak lupa pinggulnya bergoyang dan tampak sekali mantan nyonya itu sedang berbahagia. Dari goyang gergaji, ngebor, ngecor sampai patah-patah. Semua goyangan dia praktikkan ala pantura.

“Kata Mpok Eti, kalau lagi masak ngulek bumbunya mesti sambil goyang, biar nampol katanya, hihihi!” katanya sambil tersenyum macam baru menang lotre. Mpok Eti itu mantan kokinya. Berhubung usaha burung suaminya bangkrut, tinggallah sekarang Yuli turun derajat jadi koki. Koki dadakan tepatnya. Yang tadinya semua makanan disiapkan, sekarang harus membuat dan menyiapkan sendiri.

Yuli belajar memasak demi menyenangkan suami tercinta, Bang Zul. Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah kehidupan Yuli memasak. Tapi dia tetap semangat, berbekal resep dari tukang sayur dan Mpok Eti yang sekarang jadi tetangganya. Dengan kepercayaan diri tingkat nasional, Yuli bertekad bulat menjadi koki untuk suaminya. Dia yakin bisa.

“Sambal sudah siap dan sekarang waktunya masaaak! Masak-masak, goreng-goreng, tumis-tumis dimulai ...,” serunya ceria ala 'jingle' iklan minyak goreng berkilau itu. Yuli mulai menumis bumbu. Dia terbatuk mencium aroma sambal yang kuat.

“Yaelah, sengsara banget, ya, jadi koki dadakan?” gerutunya.

Yuli berusaha menghindari asap yang mengepul dari wajan panas penuh sambal. Beberapa saat dia mengaduk sambal dengan tangan kiri menutup hidung mancungnya dan matanya tertuju ke wajan.

“Bisa pesek dah ini lama-lama!” keluhnya. Keringat mulai membasahi bajunya. Tapi sedikitpun dia tidak menyerah. Dia terus berusaha menjadi koki untuk suaminya. Tangannya meraih hati dan ampela goreng di piring samping kompor, lalu memasukkannya ke wajan di atas api.

“Yuhuuu, biar gini-gini bisa juga gue masak.”

Hati dan ampela ayam sekarang sudah berubah menjadi merah berbalut sambal. Aromanya mantap. Hampir saja liurnya menetes andai tak segera dikondisikan. Dia yakin sekali akan hasil masakannya.
“Assalamualaikum, Dek Yul masak apa? Wanginya menggoda iman.” Suaminya datang di saat yang tepat. Yuli tersenyum lebar sampai gigi kelincinya terlihat.

“Cuci tangan dulu, Abang! Ini masakan spesial dijamin Abang pingsan! Serius.”

“Kok pingsan?”

“Karena rasanya nggak akan ada yang ngalahin, Bang.”

Bang Zul mencuci tangannya, berharap debu-debu dan dosa-dosanya hilang tersiram air.

Sesaat kemudian, mereka menyantap sajian spesial dari koki dadakan itu.

“Gimana rasanya, Bang?”

“Enak, ini bener-bener spesial!” tangan suaminya terlihat terangkat dan menampilkan jempol gendutnya, pertanda enak. Tapi di suapan berikutnya, mulut Bang Zul seperti menemukan sesuatu dalam hidangan itu.

“Dek Yul, ini kenapa utuh begini masaknya?” terlihat sebuah ampela ayam bekas gigitan Bang Zul diangkat tinggi.

“Biar Abang suka, kan, biasa juga Mpok Eti kalau masak nggak dipotong kecil-kecil, kan?”

“Coba sini, Abang mau tunjukin sesuatu!” Yuli melipir ke arah suaminya. Wajahnya bingung.

“Apa Dek Yul, nggak belah ampelanya?” Yuli hanya menggeleng. Bang Zul mendadak mual. Dia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan hidangan spesial istrinya itu.

“Abang kenapa?”

“Ya, Tuhan, salah apa saya dikasih istri yang spesial seperti ini?!” tangisnya dari dalam kamar mandi. Sedangkan Yuli hanya terbengong tanpa tahu sebabnya Bang Zul muntah dan meratap. Tangan lentiknya menggaruk kepalanya yang belum gatal.

Tangerang Selatan, 22/8/2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top