Semangkuk Mie Instant

Tema : Pengorbanan
Judul : Semangkuk Mie Instant

Langit kelabu. Menampakkan gumpalan awan abu-abu yang bertanda hujan sebentar lagi. Tak menunggu lama, rintikan gerimis kecil mulai turun dari balik awan. Tak sabar menanti untuk bertemu dengan bumi dan menyuburkan tanaman di atasnya.
Tampak seorang wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh keluar rumah menuju halaman belakang kontrakannya. Tubuh kecil itu mendekati jemuran yang masih berjejer rapi. Dengan kedua tangan yang mulai renta, diraihnya secepat kilat baju-baju yang mulai terkena tetesan gerimis. Tidak lama kemudian hujan deras mengguyur bumi, tepat ketika wanita tersebut memasuki rumah dengan nafas yang mulai tidak teratur. Tumpukan jemuran setengah basah menggunung di atas tangan kanannya. Belum selesai mengatur pernafasan, terdengar langkah kaki dan pintu yang di tutup dari arah depan. Suara tersebut memasuki rumah menuju posisinya saat ini.  
“Ibu, dari mana? Kok, seperti habis lari-lari?” sapa sebuah suara. Wanita yang merasa dipanggil ‘ibu’ tersebut menoleh sambil menata kembali jemuran di teras dapur. Matanya membelalak melihat penampilan seorang gadis remaja yang basah kuyup, lengkap dengan tetesan air yang membasahi lantai. Tanpa menanggapi pertanyaannya, wanita tersebut segera menghampiri dan menggiring sang putri ke kamar mandi.
“Kalau basah kuyup, cepat mandi dan ganti baju, Atta, biar tidak masuk angin,” ucap sang ibu menasihati buah hatinya. Atta mengangguk patuh dan segera memasuki kamar mandi. Sang ibu kembali meneruskan kegiatan menjemurnya.
Selesai mandi dan berganti baju, Atta berjalan menuju dapur untuk mencari makanan. Kegiatan sekolah selalu menguras energi yang membuatnya lapar ketika pulang sekolah. Di bukanya tudung makanan di atas meja. Kosong. Bahunya melorot dengan mata penuh kekecewaan.  Gadis tersebut mengelilingi dapur dengan harapan menemukan sesuatu untuk di makan. Di sekolah tadi, dirinya hanya mampu membeli segelas es teh untuk meredakan haus dan lapar karena sisa uang saku dibuat untuk mencicil buku LKS yang belum lunas. Dengan kondisi ekonomi pas-pasan dan seorang ibu yang baru saja menikah dengan seorang duda yang tidak memiliki pekerjaan tetap, dapat bersekolah hingga tingkat SMA saja sudah merupakan hal yang luar biasa baginya. 
Dapat. Sebungkus mie instan rasa soto kini berada di tangannya. Dengan mata berbinar, Atta segera merebus air untuk memasak mie tersebut. Tidak butuh waktu lama untuk mematangkan mie tersebut. Aroma soto menguar dari bumbu yang telah tercampur dengan kuah dan mie itu sendiri. Betapa nikmat dan hangat ketika kuah mie soto itu bertemu dengan lidahnya nanti, batin Atta. Tak sabar, dia segera duduk menghadap semangkuk mie soto. Dia segera menyendok kuah mie untuk merealisasikan khayalannya. Belum sampai di mulut, dirinya tibatiba mengingat sang ibu. Gadis itu berdiri dan meraih mangkuk mie, membawanya menuju kamar sang ibu.
Atta membuka pelan pintu kamar wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu itu. Gelap, seperti biasa ketika sang ibu dirundung kesedihan.
“Ibu, ayo makan bersama-sama. Atta buat mie soto, nih,” ucap Atta sambil menyalakan sakelar lampu. Tampak sang ibu yang sedang mengusap mata sembabnya dengan terburu-buru. Atta duduk di samping ibunya sambil tersenyum maklum. Dirinya sudah biasa dengan pemandangan ini. Sejak sang ayah meninggal empat tahun yang lalu, ibunya sering menangis diam-diam di dalam kamar yang gelap. 
“Ibu tidak lapar, kamu saja yang makan mie itu, Atta,” jawab sang ibu.
“Ayo makan bersama, Bu. Atta tahu ibu belum makan dari pagi. Om belum pulang, kan?” cecar Atta.
“Panggil dia dengan sebutan ayah, Atta. Bagaimanapun sekarang dia ayahmu, Nak,” pinta sang ibu lirih.
“Bagi Atta, ayah cuma satu, selamanya tidak akan terganti dengan ayah-ayah yang lain,” jawab Atta tegas. Sang ibu menghela nafas keras. Kesal dengan ke keras kepalaan putrinya. Tapi dia juga tidak bisa memaksakan kehendaknya pada sang putri. Tiba-tiba terdengar suara perut ‘berdendang’ dari perut sang ibu. Kedua perempuan berbeda umur itu saling melihat.
Kemudian tawa keduanya terdengar nyaring di sudut kamar sempit itu.
“Ayo makan bersama, Ibu. Meski  cuma semangkuk, setidaknya perut kita terisi sedikit. Atta tidak mau makan kalau Ibu tidak makan juga.” Sang ibu terharu dengan pernyataan putrinya. Dengan mata berkaca-kaca, dirinya membuka mulut ketika Atta menyodorkan sesendok mie di depan mulutnya.

The End

Nama : Ila 
Askot : Lumajang – Surabaya
Akun Line : Ila Yasha Elvaretta
Akun FB : Ila Yasha Elvaretta
Akun IG : Ila Yasha Elvaretta
Akun WP : @ila_hbb


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top